Leonardo Da Vinci: Apa yang Menjadikannya Jenius?

“Seorang talenta mampu menyasar target yang tak bisa disasar oleh orang lain,” kata filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer. Namun, “seorang jenius menyasar target yang tak terlihat oleh orang lain.”

Leonardo Da Vinci adalah representasi kejeniusan era Renaissance Italia yang hingga kini pun masih sulit dicarikan tandingannya.

Ia menjadi jenius karena tak pernah “berhenti” belajar sekaligus berkarya – hal ini juga tercermin dalam masterpiece yang tak pernah benar-benar ia selesaikan, “Mona Lisa”.

Pendekatan “Yin-Yang” dalam Menyusun Visi yang Efektif

Tak dapat disangkal bahwa keberhasilan sebuah organisasi – perusahaan hingga negara – sangat ditentukan oleh kerja keras dan kerja cerdas seluruh komponen pendukungnya. Namun, visi yang jelas, ternyata tak kalah pentingnya.

Sebuah studi yang dilakukan atas perusahaan-perusahaan paling sukses di lantai bursa sejak 1925, menunjukkan betapa vital peran visi yang efektif dalam keberlanjutan organisasi perusahaan.

Tulisan ini menjelaskan dua aspek penting dalam penyusunan visi yang efektif: “Core ideology” atau ideologi inti dan “envisioned future” atau masa depan yang dikehendaki. Pelajari bagaimana perusahaan elektronika asal Jepang, Sony, menyusun visinya.

Cicero tentang Kepemimpinan dan Kenegarawanan II (Selesai)

Upaya terakhir Cicero mempertahankan Republik Roma ia sampaikan dalam rangkaian 14 pidatonya di depan Senat antara tahun 44 hingga 43 SM, yang dikenal sebagai “Philippics” (ia menganalogikan pidatonya seperti yang disampaikan Demosthenes, negarawan Yunani kuno kepada Raja Philip II dari Macedonia).

Dengan segala upaya ia mencegah Mark Anthony, musuhnya sekaligus pendukung Julius Caesar yang sebelumnya terbunuh untuk berkuasa. Namun, ia sepertinya sudah menyadari akhir upayanya dan kemudian berpesan:

“Saya hanya menginginkan dua hal ini: Pertama, bahwa kematianku akan mengembalikan kebebasan rakyat Roma – para dewa tak bisa memberikan hadiah yang lebih besar daripada itu – dan; Kedua, bahwa setiap orang akan memperoleh penghargaan yang pantas baginya sebagaimana pengabdiannya untuk negeri ini.”

Cicero tentang Kepemimpinan dan Kenegarawanan

Anthony Everitt, penulis biografi Cicero, bilang bahwa pengaruh tokoh yang ia bukukan itu muncul lebih karena kehidupannya ketimbang pemikiran filosofinya. Tetapi, Cicero adalah orang yang menjalani dengan konsekuen apa yang ia tuliskan.

Sehingga, dengan membaca tulisan-tulisannya kita bisa memahami, pandangan serta pilihan tindakan, termasuk sikap kompromistis, yang ia ambil. Lebih dari itu, karya Cicero, sebagaimana orasinya, sangat menggugah. Hidup. Bukan sekedar bermain kata-kata.

Itu sebabnya ia mampu menyentuh hati dan pikiran para tokoh Pencerahan di abad ke-18 – seperti John Locke, David Hume, Montesquieu, dan Edmund Burke. Seperti kata sejarawan Tadeusz Zieliński, “Renaisans, di atas segalanya, adalah kebangkitan Cicero.”

Kisah Kejatuhan dan Kebangkitan Kembali Cicero, Sang Penjaga Api Republik

Selama hampir 500 tahun, Republik Romawi mampu bertahan dari gejolak politik dan perang saudara yang terus menghampirinya. Namun menjelang dimulainya milenia baru ketika itu, situasinya berbeda.

Dua sahabat sejak remaja, mengambil posisi yang berseberangan: Julius Caesar, Sang Jenderal, percaya bahwa Republik yang penuh dengan check and balance yang tiada habisnya, tak mampu menciptakan pemerintahan yang efektif – ia sendiri yang memimpin perubahan itu.

Sebaliknya, Cicero, seorang filsuf dan politisi sipil, masih menaruh harapan yang besar pada Republik, dan melakukan semua yang ia bisa untuk menyelamatkannya. Keduanya, terbunuh. Namun gagasan mereka tetap “hidup” dalam waktu yang lama.

Kekaisaran Romawi yang dirintis Caesar bertahan selama satu setengah milenia. Sampai akhirnya lahir kembali negara-negara Republik modern yang kita kenal hingga hari ini. Sungguh tak ada yang baru di bawah matahari.

Bagaimana Mempresentasikan Gagasan Secara Efektif Tanpa Bergantung Pada PPT?

Perangkat lunak Microsof PowerPoint (PPT) dan sejenisnya, dikembangkan untuk memudahkan kita mempresentasikan gagasan atau ide. Nyatanya, banyak yang menggunakannya secara berlebihan – dengan menumpukkan berbagai diagram dan data – dan melupakan fungsi asalinya.

Padahal, menurut Douglas Kruger, pemegang rekor 5 kali juara Southern African Championships for Public Speaking, tujuan presentasi adalah menyampaikan pesan bukan fakta. “Pernahkah Anda membayangkan Winston Churchill atau Barack Obama meyakinkan orang lain dengan menggunakan PowerPoint?” tanya Kruger.

Tulisan ini hendak menyarikan seni menyampaikan “pesan inti” secara efektif, dengan atau tanpa PPT. Simak pula apa kata Cicero, filsuf dan orator ulung Romawi kuno, kalau hendak mengembangkan bakat menjadi pembicara profesional.

Seni Kepemimpinan Cyrus Yang Agung (Berdasarkan “Cyropaedia”, Karya Xenophon)

Jarang ada penakluk yang dihormati bahkan dicintai warga di negeri taklukannya. Namun catatan sejarah menunjukkan Cyrus Yang Agung, pendiri Kekaisaran Persia adalah sosok yang demikian.

“Cyrus Cilinder”, sebuah dokumen penaklukan Cyrus atas Babilonia, yang menunjukkan perlakuannya yang sangat manusiawi atas kota itu pun dianggap sebagai piagam hak asasi manusia yang pertama.

Karena pengaruh dan kebijaksanaanya, Xenophon, murid Socrates yang juga seorang panglima perang dan sejarawan, mengabadikan sepak terjang Cyrus dalam sebuah karya klasik tentang kepemimpinan: “Cyropaedia” – yang berarti pendidikan seorang Cyrus.

Socrates: Hidup Yang Tak Teruji Tak Layak Dijalani

Melalui Plato, kita mengenal sosok Socrates yang jenius dan superior dari sisi intelektual. Namun, melalui Xenophon, muridnya yang lain, Socrates tampil sebagai sosok yang bijaksana.

“Dialog-dialog Socratic” ia gunakan untuk mempersuasi, dan kadang-kadang memprovokasi, lawan bicaranya untuk memiliki pemahaman dan kesadaran baru. Lebih dari itu, Socrates mengajak kita untuk bangkit dan menjadi kuat – secara mental maupun intelektual.

Kehidupan yang layak diraih dengan bekerja keras. Hanya dengan begitu, kita sebagai individu maupun sebagai bangsa, bisa mencapai kemajuan. Socrates, seperti kata Profesor Michael Sugrue, adalah the living voice, walaupun sudah lebih dari dua milenia sejak kematiannya, seruannya masih relevan hingga hari ini.

Michael E. Porter dan Strategi Memenangkan Persaingan (bagi Perusahaan dan Negara)

Dalam dunia strategi manajemen, hanya segelintir orang yang layak disebut sebagai “Guru”. Yang pertama, adalah “Management Guru”, Peter F Drucker. Yang kedua, adalah “Strategy Guru”, Michael E. Porter.

Drucker adalah orang yang berjasa memberikan pondasi bagi “intelektualisasi bisnis” yang berkembang sejak 1960-an. Sedangkan Porter memberikan pisau analisis sekaligus instrumen yang “powerful” bagi perusahaan untuk menjadi lebih kompetitif.

Tulisan ini membahas dua karya terpenting Porter, “The Five Competitive Forces That Shape Strategy” (1979) dan “The Competitive Advantage of Nations” (1990) – yang merupakan dasar pengembangan strategi dalam konteks perusahaan dan negara.

Pemimpin-Fasilitator dan Seni Memimpin Orang-Orang Pintar

Selama puluhan tahun “Management Guru” Peter F. Drucker mengamati, masyarakat modern berkembang cepat menuju knowledge society (masyarakat berpengetahuan) yang didahului lahirnya knowledge worker (pekerja berpengetahuan).

Butuh konsep kepemimpinan baru untuk mengelola kelas pekerja dan masyarakat baru ini. Bos “serba tahu” tidak lagi relevan. Yang dibutuhkan adalah “pemimpin-fasilitator” untuk mengelola “aset pengetahuan dan kemampuan” seluruh timnya secara kolegial.

Tulisan ini memberikan sejumlah prinsip dan tips yang diperlukan untuk memfasilitasi secara efektif – agar “orang-orang pintar” mau bekerjasama mencapai tujuan bersama organisasi.