
Kompromi
Bagi Cicero, politik adalah seni tentang kemungkinan, bukan medan pertempuran hal-hal yang absolut. Ia mempercayai nilai-nilai tradisional dan supremasi hukum, namun ia juga menyadari bahwa untuk mewujudkannya, berbagai faksi yang ada di negerinya harus bersedia untuk bekerja sama.
Ketika sekelompok kecil orang mengendalikan negara karena kekayaan atau kelahiran atau keuntungan lainnya, mereka cukup disebut sebagai faksi, meskipun ada yang menyebut mereka aristokrasi. Di sisi lain, jika banyak pihak memperoleh kekuasaan dan mengendalikan negara sesuai dengan keinginan mereka saat itu, ada yang menyebutnya sebagai kebebasan, meskipun hal itu sebenarnya chaos. Namun jika terdapat ketegangan antara orang banyak dan para aristokrat, yang karenanya tiap-tiap orang dan kelompok takut terhadap yang lain, keduanya tidak ada yang bisa mendominasi, sehingga sikap akomodatif harus tercapai di antara rakyat dan penguasa.
Ketika Caesar, Pompey dan Crassus membentuk Triumvirate untuk mengendalikan Roma dari balik layar, mereka sebetulnya mengundang Cicero untuk bergabung. Namun, dengan prinsipnya Cicero enggan terlibat, meskipun ia cukup realistis, mengetahui bahwa ia harus bekerjasama dengan ketiga orang itu jika ingin merestorasi Republik. Dalam sebuah suratnya pada teman lamanya, Lentulus Spinther, ia menjelaskan bahwa seorang politisi kadang-kadang harus menelan kebanggaan dirinya untuk mencapai kebaikan yang lebih tinggi.
Seandainya saya berada dalam masa ketika negara sedang dikendalikan oleh orang-orang jahat dan bajingan sebagaimana yang terjadi pada masanya Cinna atau pada periode buruk lainnya dalam sejarah kita, tak ada penghargaan yang dapat mempengaruhiku untuk berpihak pada mereka (penghargaan tak terlalu berarti buatku, sekalipun itu bisa berarti keuntungan pribadi untukku), juga tak ada ancaman (meskipun saya harus mengakui bahwa yang terbaik di antara kita sekalipun bisa berubah karena takut akan keselamatan dirinya).
Namun, orang paling berkuasa di Roma adalah Pompey, yang telah memperoleh semua kemenangan dan penghormatan yang diberikan padanya karena pengabdiannya yang luar biasa bagi negara dan karena berbagai kemenangannya dalam medan perang. Saya telah mendukungnya sejak berusia muda dan juga ketika menjabat sebagai praetor dan konsul. Ia, sebaliknya juga mendukung saya dengan saran dan suaranya di Senat, sebagaimana yang juga engkau telah lakukan, dengan menolongku mencapai berbagai tujuan.
Saya juga memiliki musuh yang sama di Roma seperti halnya Pompey. Mempertimbangkan semua hal ini, saya tidak takut mendapatkan reputasi sebagai orang yang tidak konsisten jika sewaktu-waktu dalam pidato-pidatoku saya mengajak orang-orang lain untuk mendukungnya, sebab ia memang orang hebat dan dermawan untukku…
Jadi sekarang engkau tahu alasanku untuk membela mereka dan mengapa saya berpolitik sebagaimana yang sudah terjadi. Saya ingin memperjelas bahwa saya pun tetap akan melakukan hal yang sama seandainya tidak mendapatkan tekanan dari mereka. Sebab saya tidak cukup bodoh untuk bisa melawan sebuah aliansi yang demikian kuat dan saya juga tidak bisa menghalangi hak dari mereka yang berpengaruh untuk meningkatkan kekuasaannya, meskipun sangat mungkin bagi saya untuk melakukannya.
Dalam politik, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab untuk bersikukuh pada satu sikap ketika situasi senantiasa berubah dan orang-orang baik pun pikirannya berkembang. Sikap berpegang pada pendapat yang sama tanpa peduli harga yang harus dibayarkan, takkan pernah bisa disebut sebagai kebajikan di antara para negarawan. Saat berada di laut, lebih baik menghindarkan diri dari ancaman badai jika kapalmu tak bisa berlabuh. Namun jika bisa selamat dengan cara mengubah-ubah haluan, hanya orang bodohlah yang mau mengambil jalan lurus untuk mencapai tujuan.
Dengan cara yang sama seorang negarawan harus berdamai dengan kehormatan negeri sebagai tujuan utamanya, sebagaimana yang sudah sering saya katakan. Visi kitalah yang harus tetap konstan, bukan kata-kata kita.
Setahun kemudian Crassus terbunuh dalam pertempuran dengan Kekaisaran Parthia, dan tak lama kemudian Pompey dan Caesar pun bersiap-siap untuk memasuki perang saudara. Saatnya pun tiba bagi Cicero untuk memilih akan berpihak pada siapa. Meskipun terdapat berbagai pertimbangan yang harus ia ambil sebagaimana terlihat dari surat berikut ini pada Atticus, namun tak dapat diragukan bahwa dalam pikirannya sikap kompromi harus dikesampingkan untuk kebaikan Republik.
Sekarang, demi Hercules, saya meminta bantuanmu dengan segudang kebijaksanaanmu dalam banyak hal dan menumpahkan rasa kasihmu padaku dalam satu persoalan ini – tolonglah bantu aku memutuskan apa yang harus dilakukan! Sebuah pertempuran besar akan segera meletus, barangkali yang terhebat dalam sejarah, kecuali jika dewa yang sama yang membawa kita berperang dengan kaum Parthia masih mengasihani Republik.
Tidak ada jalan keluar bagi konflik ini, dan saya harus menghadapinya sebagaimana orang-orang yang lain. Saya tidak memintamu untuk memikirkan hal itu, tapi saya mohon engkau menolongku dengan situasi yang kualami. Tidakkah engkau menyadari bahwa karena engkaulah saya memiliki kedekatan dengan Pompey maupun Caesar? Saya harap saya dapat mendengarkan kata-katamu sejak awal, namun seperti kata Homer, engkau tak dapat mengubah ketetapan hati di dalam dadaku. Setidaknya engkau dapat mempengaruhiku untuk berdamai dengan Pompey karena semua hal yang telah dilakukannya padaku dan dengan Caesar karena kekuasaanya yang besar.
Oh, betapa saya telah berusaha untuk mendekatkan mereka dan mendapatkan kebaikan dari mereka berdua, setidaknya sebesar yang bisa saya lakukan. Kita sudah pernah memperhitungan bahwa jika memilih berpihak pada Pompey setidaknya saya tidak perlu mengesampingkan keyakinan politikku dan karena ia juga merupakan sekutu dekat Caesar, saya dapat bekerja sama dengannya juga. Namun kita berdua mengetahui bahwa perang besar antar keduanya akan segera terjadi. Keduanya memperlakukanku sebagai temannya, kecuali jika salah satu dari mereka hanya berpura-pura, tapi saya tidak yakin Pompey meragukan loyalitasku, sebab saya lebih mendukung pilihan politiknya dibandingkan pilihan politik Caesar.
Di sisi lain, saya baru menerima surat dari keduanya yang datang pada saat yang bersamaan dengan suratmu, yang menyatakan bahwa tak ada orang lain di dunia ini yang mereka hargai lebih daripada saya. Jadi apa yang harus saya lakukan? Tak ada ruang tersisa untuk berduduk diam di luar pagar.
Uang dan Kekuasaan
Republik Romawi kuno, sebagaimana pemerintahan di manapun memiliki dua kelas dalam masyarakat, yang kaya dan yang miskin, dengan hanya sedikit program bantuan sosial bagi yang miskin. Pajak cukup memberatkan namun dibutuhkan untuk membiayai pasukan yang juga besar. Sejak abad kedua sebelum masehi, sudah terdapat sejumlah usulan untuk mengurangi beban pajak dan meredistribusi lahan dan berbagai bahan kebutuhan bagi para veteran dan kaum miskin kota. Cicero tidak berkeberatan dengan gagasan untuk mengurangi beban mereka yang membutuhkan, namun memperingatkan dalam esainya “On Duties” tentang bahayanya bagi para politisi untuk mengangkat isu ini terlalu jauh. Ia juga mengutuk kecenderungan serakah mereka yang semestinya melayani dalam pemerintahan tapi hanya mementingkan dirinya sendiri.
Saat melindungi hak-hak individu, kita harus selalu memastikan bahwa kita juga melakukan sesuatu yang menguntungkan atau setidaknya tak merugikan negara kita. Gaius Gracchus pernah membagikan gandum secara massal pada rakyat, namun hal ini kemudian memberatkan kas negara. Marcus Octavius lebih berhati-hati ketika memberikan makanan bagi rakyat miskin, yang memungkinkan terjadinya keseimbangan antara kemampuan negara dan pertolongan bagi yang membutuhkan.
Siapapun yang memerintah sebuah negara pertama-tama harus mampu mengetahui bahwa warga negara dapat menjaga apa yang menjadi milik mereka dan negara tidak mengambil dari individu apa yang menjadi hak mereka. Ketika Philippus menjadi Tribune, ia mengusulkan adanya undang-undang yang berpotensi menciptakan masalah untuk membagi-bagikan tanah, meskipun ketika rancangan undang-undang tersebut ditolak ia bisa menerimanya dan tak memasalahkan kekalahannya.
Namun pada saat sedang mempertahankan rancangan undang-undang tersebut ia dengan tanpa malu mencari simpati rakyat banyak dengan mengatakan bahwa tak ada lebih dari dua ribu orang di kota yang memiliki properti. Hiperbola semacam ini harus ditolak bersama dengan usulan-usulan lain yang mendukung pembagian berbagai kebutuhan secara merata. Bisakah engkau membayangkan agenda yang lebih destruktif dari hal itu?
Sesungguhnya alasan utama kita memiliki konstitusi dan pemerintahan adalah agar setiap orang dilindungi untuk bisa memiliki properti secara individual. Meskipun alam mendorong manusia untuk membentuk komunitas pertama-tama, mereka bersedia melakukan itu dengan harapan dapat menjaga apa yang sepenuhnya menjadi milik mereka.
Pemimpin politik harus mencoba menghindari pengenaan pajak properti sebagaimana yang dilakukan para orang-orang tua kita karena kas negara kosong dan perang yang tanpa henti. Peringatan perlu diberikan dari jauh-jauh hari untuk mencegah pengenaan pajak yang seperti ini. Jika memang suatu negara berada dalam situasi harus mengenakan beban pajak yang demikian (saya tidak sedang berbicara hanya untuk Roma tapi juga untuk semua negeri), para petinggi pemerintahan harus membuat semua orang menyadari bahwa keselamatan dan keamanan mereka sangat tergantung pada pelaksanaan pajak tersebut.
Juga merupakan pekerjaan bagi mereka yang memerintah untuk memastikan ketersediaan berbagai kebutuhan hidup masyarakat. Saya tidak harus menjelaskan secara rinci apa saja kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebab itu mudah untuk diketahui. Cukuplah saya menjelaskan bahwa hal itu penting.
Yang terpenting untuk dihindari oleh pejabat pemerintah adalah keserakahan dan kepentingan diri sendiri. Di masa lalu, Gaius Pontius dari Samnite pernah berkata, “saya berharap nasib membawaku di masa Roma membolehkan pemberian suap. Sebab dengan begitu saya tak harus berurusan dengan aturan-aturan mereka!” Dia sebetulnya hanya perlu menunggu beberapa generasi untuk mencapai keinginannya karena hanya akhir-akhir ini saja korupsi telah melanda negeri kita. Saya justru senang Pontius hidup di jamannya, karena ia adalah seorang yang hebat.
Baru sekitar satu abad sejak Lucius Piso meloloskan undang-undang untuk menghukum tindakan pemerasan. Sebelumnya, hukum semacam itu tidak dibutuhkan. Setelah itu ada banyak undang-undang yang mirip dengan itu, dan setiap kali muncul hal baru yang lebih keras dibandingkan sebelumnya, dan telah banyak pejabat yang telah diadili dan dihukum.
Perang yang terjadi dengan sekutu Italia selama ini disebabkan karena warga Roma takut akan hukuman yang demikian. Ketika undang-undang dan pengadilan telah diputarbalikkan, sekutu-sekutu kita mengalami penjarahan dan perampasan yang luar biasa. Saat ini kita terlihat kuat hanya karena kelemahan dari pihak lain, bukan karena kekuatan kita sendiri.
Panaetius memuji Africanus karena integritasnya. Ya, memang demikianlah orangnya. Meskipun ada banyak kualitas lebih yang sebetulnya ia miliki. Sesungguhnya, ketika engkau memuji integritas seseorang engkau juga pada saat yang bersamaan memuji zaman ketika ia hidup. Ketika Paullus menaklukkan Macedonia dan membawa kembali kekayaannya yang besar, ia membawa serta uang dalam jumlah besar ke kas negara sehingga tumpahan yang dibawa seorang jenderal saja bisa menutup kebutuhan untuk mengenakan pajak properti. Satu-satunya hal yang ia bawa untuk dirinya adalah kejayaan namanya yang abadi.
Africanus meniru ayahnya dan tidak mengambil keuntungan apapun dari penaklukannya atas Carthage. Lalu, masih ingat dengan koleganya, Lucius Mummius? Apakah ia sedikit lebih kaya setelah menghancurkan Corinth, kota yang paling makmur? Ia lebih memilih untuk memperkaya Italia, bukannya rumah pribadinya, kendati sepertinya dengan memberikan keuntungan lebih besar untuk Italia ia justru membuat rumahnya menjadi lebih kaya.
Tapi, saya telah melantur dari inti diskusi kita, yaitu bahwa tak ada kejahatan yang lebih besar daripada keserakahan, terutama dari mereka yang memerintah negeri kita. Sebab menggunakan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi bukan saja tidak bermoral, tapi juga perbuatan kriminal dan kejahatan yang nyata. Ketika peramal Apollo di Delphi mengatakan pada pasukan Sparta bahwa satu-satunya musuh yang dapat mengalahkan adalah keserakahan, ia tidak hanya sedang bicara dengan mereka tapi juga untuk semua negeri yang sejahtera.
Bagi para politisi yang menghendaki dukungan publik, tak ada jalan yang lebih baik dibandingkan dengan kejujuran dan kemampuan untuk menahan diri.
Sedangkan untuk para politisi yang berpura-pura menjadi sahabat bagi rakyat banyak dan yang mencoba untuk meloloskan undang-undang redistribusi properti dan mendorong rakyat untuk keluar rumah atau yang menginisiasi legislasi pengampunan utang, menurut saya mereka sedang menganggap remeh pondasi negara kita. Mereka menghancurkan harmoni sosial, yang tidak dapat diciptakan jika engkau mengambil uang orang lain dan memberikannya pada orang lain lagi.
Mereka juga menghancurkan nilai-nilai keadilan, yang hilang ketika orang-orang tidak bisa menjaga apa yang seharusnya menjadi hak mereka. Sebab, seperti telah saya katakan, sudah menjadi tugas yang tepat bagi pemerintah untuk melindungi hak-hak warga negara untuk mengendalikan properti mereka sendiri.
Cicero sangat percaya terhadap hak untuk memiliki properti pribadi, namun ia juga melihat bahaya besar ketika ada segelintir orang mengendalikan sumber daya finansial sebuah negara.
Selama bertahun-tahun, kita telah menyaksikan dengan diam ketika kekayaan dunia terakumulasi di tangan sekelompok kecil orang. Sikap kita untuk membiarkan hal ini terjadi merupakan buktinya karena mereka ini tidak merasa perlu berpura-pura tak melakukan kesalahan atau mencoba untuk menutup-nutupi keserakahannya.
Imigran
Di tahun 56 SM, kubu konservatif di Senat menyadari bahwa mereka tidak bisa menyerang Julius Caesar secara langsung pada saat ia sedang memimpin perang yang berhasil ia menangkan di Gaul, oleh karena itu mereka mempersiapkan serangan proxy pada salah satu orang dekatnya, seorang kaya bernama Balbus yang berasal dari kota Gades di pantai Atlantic di semenanjung Iberian. Balbus telah menerima kewarganegaraan Roma 15 tahun sebelumnya dari Pompey karena jasa-jasanya untuk Roma. Cicero merasa wajib, terutama karena hubungan baiknya dengan Caesar dan Pompey, untuk membela Balbus, namun argumen yang ia sampaikan menyentuh hal-hal di luar pengadilan untuk mengilustrasikan sikap masyarakat Roma terhadap pemberian kewarganegaraan bagi imigran.
Tak seperti kota-kota Yunani, warga Roma menyambut warga asing yang kaya (sebagaimana Paulus dari Tarsus, atau dikenal sebagai Rasul Paulus) hingga mantan budak untuk mendapatkan kewarganegaraan penuh. Leluhur Cicero dari pedesaan Volscian di Arpinum juga pernah mendapatkan kewarganegaraan seperti ini pada abad sebelumnya, dan karenanya mudah bagi kita untuk membayangkan betapa Cicero memiliki simpati terhadap persoalan ini. Cicero percaya bahwa sebuah negara yang menyambut terbuka orang asing untuk menjadi warga negara yang setara bisa menjadikannya lebih kuat, bukannya lemah.
Jika para jenderal kita, jika para senat, jika warga Roma sendiri tidak memperbolehkan pemberian kewarganegaraan bagi sekutu kita yang pemberani dan yang terbaik serta kawan-kawan kita yang telah merisikokan nyawa mereka untuk keamanan dan keselamatan kita, lantas kita pun kelak akan kesulitan memperoleh bantuan berharga yang kita butuhkan di masa sulit dan berbahaya…
Kita tahu bahwa warga Roma sebelumnya telah memberikan hal itu bagi komunitas pembayar pajak di Afrika, Sicily, Sardinia dan di berbagai provinsi lainnya. Kita juga tahu bahwa musuh-musuh kita yang telah takluk terhadap para jenderal kita dan telah berjasa bagi Republik telah diberikan kewarganegaraan. Dan tentu saja, bahkan para budak sekalipun, yang posisi hukumnya sangat rendah, telah diberikan kebebasan dan kewarganegaraan, juga karena mereka telah berjasa pada negara kita…
Saya ingin memperjelas prinsip krusial bahwa seorang warga negara dari negara manapun di bumi ini – apakah negara itu berada dalam posisi yang jauh dari Roma karena kebencian atau permusuhan atau justru berhubungan sangat baik dan dekat dengan kita karena kesetiaannya – dapat disambut ke dalam negeri kita dan diberikan kewarganegaraan Roma…
Tak dapat diragukan lagi bahwa hal terbaik yang telah meningkatkan kekuatan dan reputasi rakyat Roma adalah preseden yang telah diberikan oleh Romulus, pendiri kota kita ini, ketika ia membuat perjanjian dengan warga Sabines dan menunjukkan pada bahwa kita bisa menjadi kuat dengan membuka diri terhadap musuh-musuh kita sebagai warga negara. Leluhur kita tak pernah melupakan contoh kewarganegaraan yang ia hadiahkan dan berikan pada pihak lain.
Perang
Bangsa Yunani dan Romawi tak memiliki ilusi terkait dengan perang. Sejak Iliad-nya Homer hingga Perang Gallic-nya Caesar, peristiwa horor dan mengerikan dapat dengan mudah kita saksikan. Namun tak sekalipun mereka mundur ketika merasa bahwa perang memang dibutuhkan. Mengobarkan perang untuk melindungi negeri, melindungi sekutu atau menjaga kehormatan dianggap bisa diterima keduanya.
Cicero setuju dengan filosofi ini dan menunjukkannya dalam salah satu pidato politik di awal karirnya bahwa melindungi kehormatan negara bisa menjadi alasan yang paling kuat untuk berperang. Ketika itu sedang ada usulan untuk memperbolehkan patron politiknya, Pompey, untuk memimpin serangan militer terhadap Mithradates, musuh bebuyutan Roma sejak lama yang berkuasa di Asia Minor.
Para leluhur kita sering pergi ke medan perang hanya karena peristiwa penghinaan yang terjadi pada para pedagang dan pemilik kapal-kapal kita, jadi bagaimana perasaan kalian ketika hanya dengan sepatah kata Mithradates memerintahkan pembunuhan massal terhadap warga negara Roma? Nenek moyang kita pernah menghancurleburkan kota Corinth, yang menyinari Yunani, karena warga negaranya menunjukkan sikap tidak menghormati para duta bangsa kita.
Tapi kalian akan mempersilakan raja ini tidak tersentuh hukum setelah apa yang ia telah lakukan pada duta kita, mantan konsul warga Roma, dirantai, dicambuk dan disiksa dengan berbagai macam cara sebelum dibunuh? Nenek moyang kita tidak akan memperbolehkan warga Roma untuk menderita hanya karena diperlakukan dengan tidak semestinya, tapi kalian berdiam diri sementara mereka dibunuh! Mereka melakukan pembalasan pada saat perwakilan kita hanya dihina, sementara kalian, sebaliknya, tak melakukan apapun setelah duta besar kita disiksa sampai mati.
Jangan sampai negeri agung yang telah diwariskan oleh para leluhur kita ini dipermalukan dengan sangat – karena kalian tidak bersedia untuk membelanya.
Cicero memberikan argumen bahwa sejumlah perang dapat dibenarkan sementara yang lain tidak. Doktrin tentang perang yang adil ini dinyatakan dengan sangat jelas dalam sejumlah fragmen yang tersisa dari karya terakhirnya, On the State.
Sebuah negara yang baik tidak memulai perang kecuali untuk mempertahankan kehormatannya atau untuk melindungi dirinya sendiri…
Perang menjadi tidak adil jika dilakukan tanpa sebab. Hanya perang yang didasarkan pada pembalasan atau mempertahankan diri yang dapat disebut sebagai adil…
Tak ada perang yang terhormat kecuali jika diumumkan dan dideklarasikan atau diperuntukkan untuk mendapatkan kembali kekayaannya yang hilang.
Korupsi
Penyalahgunaan kekuasaan begitu marak di hari-hari terakhir Republik Romawi, terutama yang dilakukan oleh kaum bangsawan yang dikirimkan ke luar daerah untuk memerintah berbagai provinsi. Mereka memiliki hak-hak istimewa untuk memeras di wilayahnya seringkali dimungkinkan karena mendapatkan perlindungan dari para anggota senat, yang pernah melakukan praktek yang sama atau berharap melakukannya di masa depan.
Namun orang jujur seperti Cicero peraya bahwa korupsi adalah kanker yang akan menggerogoti jantung sebuah negara. Dalam ungkapan-ungkapan berikut yang diambil dari pidato-pidato awalnya, Gaius Verres, mantan gubernur di pulau Sicily yang sedang berada dalam proses pengadilan dijadikan lambang politisi busuk yang mencoba meraup keuntungan dari masa penugasannya.
Para Juri yang mulia, saya tahu kalian telah menyadari bahwa Gaius Verres tanpa rasa malu telah menjarah Sicily dengan mengambil berbagai hal, dari yang suci maupun yang sekuler, publik maupun privat. Kalian sama tahunya seperti saya bahwa ia secara terbuka telah melakukan berbagai jenis pencurian dan penjarahan tanpa sedikitpun peduli dengan persoalan moral jika ia tertangkap…
Ketika musim semi dimulai di masa pemerintahannya – yang tidak disampaikan padanya melalui angin barat yang hangat atau rasi bintang, tapi lebih karena penampakan sekuntum mawar segar di meja makannya – pada saat itulah ia pun memulai masa kerjanya yang melelahkan di provinsi itu. Ia terlihat begitu rajin dan bersungguh-sungguh dengan tugasnya sehingga tak seorangpun pernah melihatnya menunggangi kuda.
Tidak, bagaikan seorang raja Bithynia ia dilahirkan di atas tandu yang dipikul oleh delapan orang. Di dalamnya terdapat bantal mewah yang dihiasi dengan kelopak mawar dari Malta. Di dalamnya, Verres mengenakan dua untaian bunga di lehernya. Ia memegang tas jaring yang terbuat dari bahan linen yang halus yang juga dihiasi dengan kelopak mawar.
Gambaran itu menunjukkan bagaimana ia melakukan perjalanannya menuju provinsinya, langsung menuju tempat tidurnya di manapun ia tinggal. Di ruang yang sama datanglah kemudian para pejabat Sicilia dan pebisnis dari Roma seperti yang telah diceritakan para saksi pada kalian. Ia memutuskan berbagai pertikaian hukum secara privat dan baru kemudian mengumumkannya secara terbuka. Jadi, ia menghabiskan waktunya di kamar mengeluarkan berbagai peraturan, tanpa peduli sama sekali dengan persoalan-persoalan keadilan yang terjadi dan hanya memikirkan bagaimana mendapatkan uang.
Namun tugas berat seperti ini tak menghabiskan seluruh waktunya dalam sehari, sebab ia masih sempat meremas Venus dan Bacchus dalam jadwalnya yang padat. Saya merasa harus berbagi cerita tentang betapa rajin dan perhatiannya pemimpin kita mengabdikan dirinya dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Di setiap kota di Sicily, tempat yang biasanya dikunjungi oleh gubernur, beberapa perempuan dari keluarga terhormat dipilih untuk memuaskan nafsunya. Beberapa di antara mereka dibawa secara terbuka ke meja makannya, sementara yang lainnya diselundupkan dalam kegelapan agar tak terlihat oleh mereka yang sedang berkumpul.
Kebiasaan makan malam Verres tentu bukanlah urusan sederhana yang kalian harapkan dari seorang gubernur dan jenderal, tidak pula hal ini berkesesuaian dengan sopan santun yang biasa kita saksikan di meja-meja para pejabat Roma. Tempat itu dipenuhi dengan keributan dan teriakan, kadang-kadang bisa berubah menjadi arena tinju. Gubernur kita yang setia ini tak terlalu peduli dengan aturan dan regulasi dalam tugasnya, namun jika sudah menyangkut wine ia menjadi penuh perhatian dan mempraktekkannya dengan bersemangat.
Pemandangan yang menarik untuk dilihat, para tamu yang dibopong keluar dari pesta yang ia adakan di bahwa lengan pengantarnya seperti prajurit yang terluka di medan perang. Sebagian lagi dibiarkan terkapar seperti mayat, sementara yang lainnya berbaring seperti dewa mabuk. Orang-orang yang sedang lewat mungkin berpikir bahwa mereka tidak sedang melihat pesta makan malam dari seorang Gubernur Romawi melainkan ulangan dari peristiwa tak bermoral yang terjadi dalam Pertempuran Cannae…
Oleh karena korupsi dan dan keserakahan Verres, kapal-kapal Roma di Sicily adalah bagian dari angkatan laut yang hanya tinggal nama saja. Kapal-kapal itu hampir tidak berisikan para kru, dan mereka yang ada di sana telah terbiasa melayani ketamakan sang gubernur ketimbang mengejar para bajak laut. Kendati demikian, ketika para kapten, Publius Cassius dan Publius Tadius sedang berada di laut dengan kapal-kapalnya yang kekurangan orang, mereka bisa menangkap kapal perompak yang penuh dengan harta karun.
Mereka sebetulnya tidak benar-benar menangkap kapal itu yang berlayar dengan lambat karena dipenuhi oleh barang-barang jarahan. Kapal itu penuh dengan koin perak dan piring, baju-baju yang mewah – dan pria-pria muda yang tampan. Mereka menemukan kapal yang satu ini di dekat Megara Hyblaea tak jauh dari Syracuse. Ketika Verres diberitahu akan hal ini, ia sedang terbaring mabuk dikelilingi oleh perempuan-perempuan muda, tapi ia segera menemukan kekuatannya dan melompat serta memerintahkan para pengawalnya untuk segera menemui quaestor dan wakilnya agar bisa melihat semua itu dibawa ke hadapannya tanpa tersentuh.
Kapal dan para krunya pun dibawa ke Syracuse, di mana semua orang berharap untuk mendapatkan keadilan, namun sebaliknya Verres bertindak seolah-olah semua itu adalah miliknya. Para bajak laut yang sudah tua dan tak dianggapnya penting dibunuh bagaikan musuh negara. Sementara mereka yang menarik dan menunjukkan kemahiran tertentu diambilnya untuk dirinya sendiri, meskipun beberapa di antaranya ada yang ia berikan pada para sekretarisnya, asistennya dan anaknya. Enam orang yang tertangkap yang merupakan musisi ia kirimkan pada seorang temannya di Roma. Butuh waktu semalaman bagi mereka untuk mengeluarkan sisa harta karun yang ada di kapal itu…
Demikianlah, Yang Mulia Para Juri, saya berharap dapat menyelesaikan penuntutan ini dengan mengetahui bahwa saya telah menjalankan tugas untuk warga Sicilia dan juga rakyat Roma. Tapi saya ingin agar setiap orang di sini mengetahui bahwa jika kalian bersikap tidak seperti yang saya harapkan dan tak mau menghukum Verres, saya akan melanjutkan pekerjaan saya dan membawa berbagai tuntutan terhadap siapapun yang telah mencoba menyuap kalian dan siapapun yang telah bersalah karena menerimanya.
Oleh karena itu, biarkan saya berkata pada mereka yang mencoba memainkan trik licik dan mencoba mengintervensi upaya tegaknya keadilan terhadap tertuduh dalam kasus ini, hati-hatilah, sebab mereka harus bersiap-siap untuk menghadapiku saat saya mengungkap siapa mereka pada rakyat Roma. Saya harap mereka akan melihat sikap keras, tekun dan hati-hati yang saya lakukan sebagai penuntut bagi musuh para sekutu Sicilia ini. Biarlah mereka tahu bahwa saya akan bersikap adil dan gigih dan takkan berhenti sebagai penuntut di masa depan jika dibutuhkan, dan terlebih lagi, karena saya akan berbicara atas nama rakyat Roma.
Tirani
Cicero hidup pada masa mulai meredupnya kebebasan di Republik Romawi. Hak-hak rakyat dan perwakilan mereka mulai digantikan oleh kekuatan militer yang sedang berkuasa dan memperkaya diri. Bagi Cicero, kekuasaan di tangan satu orang, meskipun memiliki kemampuan seperti Julius Caesar, merupakan undangan bagi bencana, sebab kekuasaan yang absolut dapat merusak orang-orang yang paling baik sekalipun.
Rakyat memasrahkan diri mereka pada otoritas dan kekuasan seseorang karena berbagai alasan. Kadangkala mereka melakukannya sebagai perwujudan niat baik atau rasa terima kasih atas kebaikan yang mereka terima. Terkadang mereka melakukannya karena martabat seseorang atau karena mereka berharap mendapatkan keuntungan dari tindakannya itu. Beberapa orang rela untuk menundukkan dirinya karena takut jika tidak berbuat demikian, orang yang mereka dukung akan memaksa mereka juga pada akhirnya. Ada juga orang yang menyerahkan kebebasannya karena mendapatkan banyak hadiah atau janji-janji. Terakhir, yang sering terjadi di negara kita, orang-orang tunduk pada kekuasaan pihak lain karena mudah menerima suap.
Cara terbaik bagi seorang pria untuk mendapatkan kekuasaan sejati atas orang-orang lain dan menjaganya adalah dengan kasih sayang yang sungguh-sungguh. Sedangkan cara yang terburuk adalah dengan memunculkan ketakutan. Enius yang Bijaksana pernah mengatakan, “Rakyat membenci orang yang mereka takuti – dan siapapun yang mereka benci, mereka ingin melihatnya mati.”
Belum lama berselang kita belajar, seolah-olah kita tak pernah mengetahuinya, bahwa tak ada kekuatan yang dapat menahan kebencian rakyat. Kematian Caesar yang mengatur negara dengan mengandalkan angkatan bersenjata (dan yang warisannya masih mengatur kita) menunjukkan harga yang harus dibayar dari pemerintahan tiran. Kalian akan sulit menemukan para despot yang hidupnya tidak berakhir seperti dirinya. Sekali lagi saya katakan, menggunakan ketakutan untuk menjaga kekuasaan takkan berhasil. Tetapi pemimpin yang mampu menjaga kepercayaan dari rakyatnya akan aman.
Para penguasa yang ingin mengendalikan pemerintahan dengan paksa harus menggunakan metode-metode yang brutal, sebagaimana seorang majikan melakukannya ketika berurusan dengan budak yang pemberontak. Siapapun yang mencoba memerintah sebuah negara melalui pendekatan ketakutan adalah orang yang tidak waras. Sebab betapapun seorang tiran berusaha memutarbalikkan hukum dan menghancurkan semangat kebebasan, cepat atau lambat akan terjadi kebangkitan kembali, melalui kemarahan rakyat ataupun melalui pemilu.
Kebebasan yang ditekan dan kemudian bangkit lagi akan menggunakan kekuatan yang lebih dahsyat ketimbang jika hal itu tak pernah hilang. Oleh karenanya ingatlah selalu hal yang benar, di setiap tempat, bahwa pendukung paling kuat dari kesejahteraan dan kekuatan, adalah kebaikan hati, yang lebih kuat daripada ketakutan. Itulah aturan terbaik untuk memerintah sebuah negara dan juga untuk menuntun kehidupan seseorang.
Cicero membenci segala bentuk tirani, lepas dari apakah kekuasaan seperti itu dijalankan oleh satu orang, sekelompok orang, atau massa yang sulit diatur. Dalam sebuah dialog imajiner di masa lalu yang mengetengahkan Jenderal Scipio dan kawannya Laelius, ia mengutuk ketiga bentuk tirani itu.
SCIPIO: Bagaimana bisa sebuah negara yang dipimpin oleh seorang tiran bisa disebut Republik? Sebab apa yang kita kenal sebagai Republik, berarti res publica, “dimiliki oleh rakyat.” Tak ada negeri yang rakyatnya ditekan oleh satu orang, yang memiliki ikatan yang sama terhadap keadilan, yang tidak terdapat kesepakatan di antara mereka, bisa dimiliki oleh rakyat.
Contohnya Syracuse, dengan kota-kotanya yang berjaya, yang oleh Timaeus disebut sebagai kota-kota terbesar Yunani dan yang paling indah dibanding kota manapun. Bentengnya sungguh menarik untuk dilihat, demikian juga dengan pelabuhan dan dermaganya, yang airnya masuk hingga ke jantung kota dan melewati pondasi bangunan-bangunannya. Jalannya luas dengan dihiasi tiang-tiang yang menjulang, rumah-rumah ibadah dan dinding-dinding yang kokoh. Namun, kota itu tidak bisa disebut republik pada saat Donysius memerintah, sebab segala sesuatunya adalah milik dia. Oleh karenanya, di manapun seorang tiran berkuasa kita tidak harus menyebut itu sebagai republik yang buruk – sebagaimana pernah saya katakan kemarin – sebab pada dasarnya itu sama sekali bukan republik.
LAELIUS: Benar Scipio. Sekarang saya baru mengerti apa yang engkau sampaikan kemarin.
SCIPIO: Jadi sekarang engkau sudah mengerti bahwa sebuah negara dikendalikan oleh sekelompok orang sekalipun, bukan hanya satu orang, tak bisa disebut Republik?
LAELIUS: Ya pastinya aku mengerti.
SCIPIO: Dan engkau benar jika meyakini hal itu. Di manakah adanya “harta milik rakyat” ketika Tiga Puluh Penguasa yang Jahat merebut Athena setelah Perang Peloponnesia? Apakah kejayaan masa lalu dari negara itu atau bangunan-bangunannya yang megah, teater, gimnasium, tiang-tiang agung, Monumen Propylaea, Acropolis, karya-karya seni Phidias, pelabuhan besar Piraeus, yang membuatnya bisa disebut Republik?
LAELIUS: Tentu saja tidak, sebab tak ada yang benar-benar dimiliki oleh rakyat.
SCIPIO: Lalu bagaimana ketika Dewan Sepuluh memimpin di Roma tanpa ada hak untuk memohon banding, ketika kebebasan telah kehilangan seluruh pendukungnya?
LAELIUS: Jika begitu tak ada yang bisa disebut Republik di masa lalu. Sesungguhnya, rakyat selalu bangkit untuk meraih kembali kebebasannya.
SCIPIO: Sekarang pikirkan tentang tipe ketiga dari pemerintahan yang juga dapat menimbulkan banyak masalah, yaitu demokrasi. Misalnya, dalam negara itu, rakyat mengendalikan segala sesuatu dan segala kekuasaan ada di tangan mereka. Massa menjatuhkan hukuman terhadap apapun yang mereka pilih dan raih, jarah, pertahankan atau bagikan semau mereka. Bukankah itu adalah definisi sebuah negara yang hartanya dimiliki oleh rakyat? Tidakkah engkau bisa menyebutnya sebagai Republik yang sempurna?
LAELIUS: Jelas tidak! Tak ada negara yang pantas menggunakan nama itu jika seluruh propertinya bisa diambil-alih oleh orang banyak. Kita telah memutuskan bahwa tak ada republik yang eksis di Syracuse atau di Agrigentum atau di Athena jika mereka diatur oleh para tiran, tidak juga di Roma seperti ketika Dewan Sepuluh sedang berkuasa. Saya tidak melihat bahwa despotisme bisa dikurangi ketika sebuah negara dipimpin oleh massa. Seperti yang dengan tepat engkau katakan Scipio, republik sejati hanya eksis ketika warga negaranya sepakat untuk mengikat diri secara bersama di bawah hukum. Keburukan massa yang telah engkau sebutkan itu pantas disebut tirani sebagaimana kekuasaan absolut yang dimiliki oleh satu orang. Bahkan sesungguhnya itu bisa lebih buruk, sebab tak ada yang lebih tercela dibandingkan sebuah pemerintahan yang secara keliru memberi kesan dan mengatasnamakan rakyat.
Setelah peristiwa yang terjadi dalam perayaan “Ides of March”, yaitu kematian Julius Caesar, di tahun 44 SM, Cicero dan mereka yang sepandangan dengannya berharap kebebasan dapat kembali lahir di Roma. Namun kematian Caesar hanya mempersiapkan panggung kekuasaan bagi lahirnya tiran-tiran baru dan berarti berakhirnya Republik. Ketika Mark Anthony dan Oktavianus memegang kendali kekuasaan, Cicero berharap bahwa Oktavianus (yang kemudian menjadi Kaisar Augustus) bisa mengembalikan tradisi yang sudah berjalan ratusan tahun, namun ia tidak bisa mengandalkan hal tersebut pada Anthony. Dalam berbagai rangkaian pidatonya, ia berulangkali mengutuk Anthony sebagi tiran. Cicero pun kemudian harus membayar sikap terus terangnya ini dengan nyawanya.
Saya akan membandingkan engkau, Anthony, dengan Caesar dalam hal nafsumu untuk berkuasa, tapi tidak untuk hal-hal lainnya. Sebab meskipun Caesar menimbulkan banyak keburukan di Republik ini, satu hal yang dapat saya katakan tentangnya adalah ia mengajarkan rakyat Roma berapa besar keyakinan yang dapat mereka tempatkan pada seseorang, yang kepadanya mereka dapat mempercayakan dirinya dan yang juga akan mereka bela kepentingannya. Tidakkah engkau mempertimbangkan hal ini?
Tidakkah engkau mengerti bahwa para pemberani telah mempelajari betapa indah, betapa menyenangkan, betapa berjaya rasanya menjatuhkan seorang tiran? Apakah engkau berpikir bahwa jika mereka tak bisa menerimanya, mereka akan menerimamu? Percaya padaku, sejak saat ini orang-orang tidak akan menunggu hingga waktu yang tepat untuk bertindak.
Mohon, sadarilah. Pertimbangkan mereka yang telah melahirkanmu, bukan mereka yang hidup bersamamu saat ini. Perlakukan aku semaumu, tapi jangan berbalik dari Republik. Bagaimanapun, pada akhirnya, engkau harus memutuskan jalan seperti apa yang harus engkau tempuh sebagaimana yang saya telah lakukan. Saya membela negeri kita ini ketika masih muda; saya pun tak akan meninggalkannya saat saya sudah tua. Saya tak gentar dengan pedang Catilina; saya pun tak akan gentar dengan pedangmu.
Saya dengan bangga bersedia mati jika hal itu bisa mengembalikan kebebasan di negeriku, sehingga penderitaan warga Roma setidaknya bisa berakhir dengan sebuah kelahiran baru. Hampir dua puluh tahun lalu, saya sampaikan di tempat ini bahwa seseorang yang telah menjadi konsul tidak boleh takut mati. Apalagi jika sudah tua seperti saya saat ini. Benar, saudara-saudaraku para senator, saya akan menyambut kematian saat ini sebagai kehormatan yang saya dapatkan dan perbuatan yang saya lakukan di masa lalu. Saya hanya menginginkan dua hal ini: Pertama, bahwa kematianku akan mengembalikan kebebasan rakyat Roma – para dewa tak bisa memberikan hadiah yang lebih besar daripada itu – dan kedua, bahwa setiap orang akan memperoleh penghargaan yang pantas baginya sebagaimana pengabdiannya pada negeri ini.
Epilog: Kejatuhan Negara
“Negara Roma dibangun dengan kokoh di atas tradisi kuno dan manusia-manusia sejatinya.” (Ennius, Annales)
Penyair yang menuliskan kata-kata yang singkat dan benar ini padaku sepertinya telah mendengarnya dari seorang peramal suci. Sebab, tak mungkin hanya orang-orang hebat tanpa sebuah negara yang dibangun berdasarkan tradisi yang kuat, atau sebaliknya tak mungkin tradisi yang kuat tanpa orang-orang hebat bisa mendirikan dan menjaga republik seperti yang kita miliki, yang kekuatannya sangat besar dan tesebar. Sebelum kita dilahirkan, tradisi mulia dari pendiri republik kita telah melahirkan orang-orang hebat dan mengagumkan yang menjaga berbagai cara hidup dan kelembagaan yang diwariskan para leluhur.
Tapi sekarang Republik kita terlihat seperti lukisan indah yang mulai meredup karena usia. Generasi kita tidak saja gagal menata kembali warna-warna dari mahakarya ini, tapi kita sendiripun merasa tidak terganggu untuk menjaga bentuk dan kerangkanya yang paling mendasar. Apa yang sekarang masih tersisa dari tradisi kuno negeri kita yang telah disampaikan penyair tadi yang menjadi dasar dari keberadaan kita? Tradisi ini telah karam dalam kealpaan karena kita tidak lagi mempraktekkannya dan juga mengingat-ingatnya.
Lalu apa yang harus saya katakan tentang orang-orang hebat di negeri ini? Alasan hilangnya tradisi kuno negara kita adalah karena orang-orang yang dulu menjaganya kini sudah tidak ada lagi. Semestinya kita dibawa ke depan pengadilan kota untuk menjelaskan mengapa bencana ini sampai terjadi. Tapi tak ada pembelaan yang dapat kita berikan. Negeri kita hanya tinggal kata-kata, intinya sudah tak tersisa. Kita telah kehilangan semuanya. Yang ada hanya diri kita yang patut untuk disalahkan.
Cicero tentang Kepemimpinan dan Kenegarawanan (Bagian I)
Kisah Kejatuhan dan Kebangkitan Kembali Cicero, Sang Penjaga Api Republik