
Wabah sedang menuju Damaskus dan melewati suatu kafilah di padang gurun.
“Mau ke mana, begitu tergesa-gesa?” tanya kepala kafilah.
“Ke Damaskus. Saya mau merenggut seribu nyawa.”
Sekembalinya dari Damaskus, Wabah itu bertemu lagi dengan kafilah itu. Kepala kafilah berkata, “Engkau merenggut 50.000 nyawa, bukan hanya 1.000.”
“Tidak” kata Wabah. “Saya hanya mengambil seribu. Yang lain disebabkan oleh ketakutan.”
(Dikutip dari “Doa Sang Katak 2, Meditasi dengan Cerita”, karya Anthony de Mello, SJ, Penerbit Kanisius, 1990)
Apa yang kita lihat sebagai dampak dari ketakutan akibat Covid-19 akhir-akhir ini mirip dengan parabel tentang “Wabah” di atas. Bedanya, korban jiwanya tidak berlipat ganda sebagaimana di Damaskus. Tapi dampak ekonomi yang terjadi saat ini, jika terus berlanjut, bisa berakhir fatal.
Seperti diberitakan The Guardian, wabah Covid-19 telah menyebabkan pembalikan tercepat pasar saham sejak Great Depression tahun 1933. Wall Street terjungkal dari rekor tertinggi ke titik terendah sejak tahun 2016, dan kehilangan lebih dari 5 triliun dolar AS nilai pasar global hanya dalam waktu seminggu.
Pasar saham global mengalami minggu terburuk sejak krisis keuangan tahun 2008, yang merupakan cerminan meningkatnya “ketakutan” terhadap bencana ekonomi.

Dow Jones Industrial Average anjlok 1.190 poin dalam satu hari saja. FTSE 100 kehilangan 823 poin selama seminggu. Saham perusahaan penerbangan termasuk easyJet dan pemilik British Airways, IAG, termasuk yang paling terpukul. Perusahaan pelayaran Carnival, operator kapal Diamond Princess, yang dikarantina karena Covid-19, kehilangan seperlima dari nilai pasar sahamnya.
Investor global pun bergegas membeli aset yang dianggap “aman”, terutama obligasi pemerintah dan emas – yang menyebabkan yield atau imbal hasil dari obligasi US Treasury berada pada rekor terendah.
Benar bahwa Covid-19 telah menyebabkan banyak kematian, yang dengan mudah bisa dibaca dari berbagai media pada saat ini. Tapi fakta juga menunjukkan bahwa mereka yang terkena virus dari penyakit ini bisa disembuhkan. Laporan tim WHO yang diturunkan ke Cina untuk bekerjasama dengan para saintis lokal untuk mempelajari cara Cina menangani merebaknya Covid-19 menunjukkan bahwa angka pasien yang terkena penyakit ini terus menurun.
“Pendekatan berani Cina untuk menahan penyebaran cepat patogen pernapasan baru ini telah mengubah arah epidemi yang meningkat dengan cepat dan mematikan,” ungkap Laporan tersebut. “Penurunan kasus COVID-19 di seluruh Tiongkok adalah nyata.”
Tanggal 10 Februari, ketika tim pendahuluan dari Misi Gabungan WHO-China memulai pekerjaannya, Tiongkok melaporkan 2.478 kasus baru. Dua minggu kemudian, ketika para ahli asing hendak kembali ke negaranya masing-masing, jumlah itu telah turun menjadi 409 kasus. Epidemi di Tiongkok tampaknya telah memuncak pada akhir Januari, menurut laporan itu.
Penurunan kasus yang terjadi di Cina tentu tak lepas dari kebijakan komprehensif yang diambil pemerintahnya.
Laporan tadi memang mendokumentasikan bagaimana Cina bisa mencapai apa yang oleh banyak ahli kesehatan dianggap mustahil, yaitu membendung penyebaran virus pernapasan yang sudah beredar luas. Intinya, laporan tersebut menyimpulkan bahwa, “Tiongkok telah menjalankan upaya penahanan penyakit yang paling ambisius, gesit, dan agresif dalam sejarah.”
Dari data massif yang dikumpulkan para ilmuwan Cina (yang berarti lebih dari 90% dari total 90.000 kasus global yang terkonfirmasi), diperoleh gambaran bahwa sekitar 80% orang yang terinfeksi memiliki penyakit ringan hingga sedang, 13,8% memiliki gejala parah, dan 6,1% memiliki gejala yang mengancam jiwa, terutama kegagalan pernapasan, septic shock, atau gagal organ.
Tingkat fatalitas kasus tertinggi adalah untuk orang yang berusia di atas usia 80 (21,9%), dan orang yang memiliki penyakit jantung, diabetes, atau hipertensi. Demam dan batuk kering adalah gejala yang paling umum. Yang mengejutkan, hanya 4,8% dari orang yang terinfeksi memiliki ingusan. Anak-anak hanya tercatat sebesar 2,4% kasus, dan hampir tidak ada yang sakit parah. Untuk kasus ringan dan sedang, rata-rata butuh 2 minggu untuk pulih.
Dengan melihat data secara lebih rinci, Virus Korona ternyata menjadi tak terlalu mengkhawatirkan…
Lalu, dari mana datangnya ketakutan dan kepanikan ini? Salah satu penjelasan yang masuk akal adalah serbuan informasi, termasuk framing yang membingkai bagaimana informasi tersebut harus disajikan untuk mempengaruhi persepsi publik, sudah sangat massif. Hal ini tak lepas dari perkembangan pengguna internet dan sosial media yang bertumbuh secara cepat.
Data dari we are social, awal tahun 2019 lalu, menunjukkan bahwa dari 7,676 milyar penduduk dunia 4,388 milyar di antaranya telah menggunakan internet (meningkat 366 juta dibandingkan tahun sebelumnya).

Sementara itu Facebook, platform media sosial terbesar di dunia, memiliki 2,4 miliar pengguna. Platform media sosial lainnya termasuk Youtube dan Whatsapp masing-masing memiliki lebih dari satu miliar pengguna. Jadi, setidaknya 3,5 miliar dari kita sudah online. Ini berarti platform media sosial digunakan oleh satu dari tiga orang di dunia, dan lebih dari dua pertiga dari semua pengguna internet.
Media sosial telah mengubah dunia. Adopsi cepat dan luas dari teknologi ini mengubah cara kita mengakses informasi…
Media (termasuk media sosial), sebagaimana namanya, idealnya adalah “medium” atau instrumen yang netral. Tergantung isi dan framing-nya. Jika berisi informasi yang positif dan mencerahkan, media bisa membawa perubahan peradaban menuju ke arah yang lebih baik dengan lebih cepat. Namun, jika berisi informasi yang negatif dan meresahkan, yang terjadi adalah hal yang sebaliknya.
Dalam kasus Covid-19, proporsi terbesar informasi yang beredar dengan cepat di media sosial tampaknya adalah yang memicu ketakutan dan kepanikan. Apakah ada pihak tertentu atau konspirasi dinosaurus yang berkepentingan untuk memunculkan ketakutan dan kepanikan ini, bukan sesuatu yang akan dijawab dari tulisan ini.
Saat ini, saya lebih tertarik untuk membahas tentang betapa tidak bergunanya dan betapa berbahayanya kita membiarkan diri terjebak dalam keadaan takut dan panik. Tanpa berusaha memahami dan mengatasi persoalan ini di tingkat individual (dalam perspektif psikologi maupun neurosains), maka dengan mudah kita akan diombang-ambingkan oleh informasi ataupun rekayasa informasi yang setiap saat dapat diarahkan langsung pada perangkat penyedia informasi yang kita miliki.
Kebijakan yang baik tidak bisa didasarkan pada ketakutan. Sebab, bangunan kebijakan itu akan mudah runtuh ketika suatu saat ketakutan itu kembali mendesak ke permukaan. Meletus seperti gunung berapi. Pada saat itu, yang akan memegang kendali adalah irasionalitas yang merupakan saudara kembar dari ketakutan dan kepanikan.
Dari kacamata neurosains, ketakutan, kepanikan serta phobia tidak bisa dilepaskan dari peran bagian otak yang bertanggung jawab terhadap emosi, memori serta insting untuk bertahan hidup, yang disebut sebagai limbic system. Bagian otak ini berbeda dengan neo cortex yang menjalankan fungsi logis dan analitik dan dianggap menjadi faktor yang menjadikan manusia modern lebih unggul dibandingkan spesies lainnya di muka bumi.
Berbeda dengan neo cortex yang hanya dimiliki manusia modern, limbic system juga dimiliki oleh mamalia atau hewan yang menyusui.
Ketika di masa kecil kita yang belum pernah melihat lebah dan tiba-tiba terkena sengatannya, limbic system memproses dan menyimpan informasi ini, termasuk emosi yang terkait dengan peristiwa tersebut. Tujuannya untuk menghindari ancaman sengatan lebah di masa depan. Proses ini berlangsung di bawah sadar dan mempengaruhi berbagai keputusan yang kelak kita ambil di kemudian hari.
Limbic system terdiri dari dua bagian, hippocampus dan amygdala.
Hippocampus membantu pembentukan memori baru dan emosi yang terkait dengan memori tersebut. Sedangkan amygdala berperan sebagai pemroses ketakutan (fear processor). Dalam kasus sengatan lebah tadi misalnya, rasa sakit itulah yang tersimpan dalam memori. Jika suatu waktu, kita melihat lebah atau mengenali sesuatu yang mirip dengannya, amygdala akan memproses informasi yang tersimpan dalam hippocampus tadi. Memori tentang rasa sakit yang pernah dirasakan sebelumnya pun terpicu, menjadi rasa takut untuk menghadapi bahaya.
Proses penyimpanan memori yang tidak mengenakkan ini tidak hanya terjadi pada saat kita masih kecil.
Di kantor misalnya, Anda mungkin pernah mengalami kejadian tak mengenakkan dengan Boss anda, yang menyebabkan Anda gugup dan wajah anda memerah. Jika reaksi emosional anda cukup kuat, maka memori tentang Boss anda akan tersimpan bersama emosi tersebut. Lalu setiap kali Anda bertemu Boss, atau karakter yang mirip dengannya, Anda tiba-tiba merasa cemas.
Sekali lagi, seluruh proses ini terjadi secara bawah sadar. Semakin kuat emosi yang menyertai memori yang tersimpan, maka semakin kuat pula ia akan kembali “mengganggu” ketika terpicu peristiwa tertentu yang mirip dengan memori tadi.
Entah berapa banyak pengalaman tidak mengenakkan terjadi secara bawah sadar ketika kita masih kecil – ketika ditinggal sendiri sewaktu malam, saat mati lampu dan tak ada yang menemani atau sewaktu ditinggal orang yang sangat dekat dengan kita.
Jangan menganggap enteng dampak dari ketakutan dan kepanikan ini. Kita sudah mengetahuinya dari berbagai pemberitaan media yang terjadi akibat Covid-19, di berbagai penjuru dunia.
Bayangkan jika setiap saat, berbagai berita yang disajikan di depan kita adalah yang memicu bekerjanya limbic system. Peradaban manusia akan didikte oleh irasionalitas…
Berbagai peristiwa sejarah telah menunjukkan bahwa ketakutan dapat menjadi pembunuh.
Dalam sebuah peristiwa paling tragis dalam sejarah sepakbola, lebih dari 300 orang meninggal dunia dalam Tragedi Stadion Nasional Peru pada tanggal 24 Mei 1964, ketika terjadi kericuhan yang berawal dari ketidakpuasan pendukung tuan rumah atas keputusan wasit. Keributan dengan Polisi Peru menyebabkan kepanikan yang berujung kematian ratusan orang akibat terinjak-injak oleh massa yang berusaha menyeruak ke luar stadion.

Kematian akibat kepanikan ini selalu terjadi dari masa ke masa. Saya tak punya waktu untuk mengumpulkan satu persatu data tentang hal ini. Namun, catatan cukup panjang dari wikipedia, (yang sebagian kecil di antaranya membutuhkan verifikasi) menunjukkan bahwa hingga Februari tahun ini pun peristiwa-peristiwa serupa masih saja terulang.
Tanggal 1 Februari 2020 menurut koran The New York Times, telah terjadi peristiwa tragis di sebuh gereja di Moshi, Kilimanjaro, Tanzania. Sedikitnya 20 orang tewas dan 16 lainnya terluka dalam kepanikan yang terjadi saat lebih dari 4.500 umat kristiani di sana sedang berusaha menuju pintu keluar agar bisa berjalan di atas minyak urapan.
So, harus bagaimana?
Irasionalitas yang hadir bersamaan dengan ketakutan dan kepanikan adalah persoalan kemanusiaan yang harus kita bicarakan dan atasi bersama. Cara menyelesaikannya bukan dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang tabu yang tidak bisa dibicarakan. Sebaliknya, tema ini harus topik yang harus diangkat ke permukaan, didiskusikan, dipelajari, dijadikan obyek penelitian dan bila perlu menjadi pokok masalah yang harus diatasi melalui desain kebijakan publik.
Perasaan takut adalah sesuatu yang nyata dalam masyarakat. Takut pada sesuatu yang tidak diketahui, takut kematian, takut atau phobia terhadap sesuatu yang traumatik serta takut untuk berbicara di depan umum atau glossophobia – yang ternyata merupakan salah satu ketakutan terbesar masyarakat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun.
Kendati demikian, ada cukup banyak orang atau cerita dalam sejarah kemanusiaan yang menunjukkan bahwa rasa takut tersebut bisa diatasi. Seringkali dengan perjuangan yang tidak mudah.
Sudah saatnya, sebuah strategi untuk membangun masyarakat yang bebas dari ketakutan kita mulai bicarakan.
Takut bisa terjadi karena konstruksi atau rekayasa sosial, termasuk melalui serbuan informasi yang berisikan framing yang dampaknya menciptakan ketakutan. Cara menghadapinya adalah dengan membuat counter-framing dan menyebarluaskan literasi tentang informasi yang dapat membebaskan publik dari ketakutan.
Secara saintifik, rasa takut juga terjadi karena proses kimia yang terjadi dalam otak manusia melalui fear processor atau amygdala seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, teknik-teknik mengatasi trauma atau phobia yang mulai dikembangkan berdasarkan riset-riset neurosains perlu terus dikembangkan dan disempurnakan (silakan search di youtube, misalnya dengan kata kunci “spider phobia”).
Secara sosial, termasuk dalam komunitas dan keluarga, ketakutan juga diproduksi oleh doktrin dan dogma yang dipercaya sebagai bisa membawa kebaikan bersama. Dalam konteks ini, pendekatan kebudayaan menjadi lebih relevan untuk diterapkan. Lingkungan terdekat kita – sebagaimana saya pernah bahas dalam tulisan sebelumnya tentang Keluarga Medici – adalah inkubator yang dapat membuat kita menjadi lebih progresif.
Akhirnya, secara individual, kita harus bertanggung jawab terhadap diri kita sendiri. Kalaupun berbagai bentuk konstruksi atau rekayasa sosial belum bisa berjalan efektif, jihad pribadi untuk mengatasi ketakutan tetap harus dijalankan. Ada yang mulai melakukannya melalui permenungan, ada yang menggunakan teknik pernafasan.
Ada juga sejumlah teknik yang dikembangkan para praktisi NLP (Neuro Linguistic Programming) yang banyak beredar di internet yang tampaknya cukup bisa membawa hasil positif. Ada pula yang, karena keterbatasan referensi, melatih diri untuk menghadapi ketakutannya satu per satu…
Cara terakhir ini adalah cara yang saya pribadi upayakan sendiri dan, untungnya cukup efektif – terutama berdasarkan pengalaman sebagai siswa yang dulunya sangat introvert dan aktivis mahasiswa yang cukup “nakal” pada masanya.
Sekali lagi, rasa takut harus dihadapi dan diatasi.
Dalam situasi kiamat sekalipun, ketakutan atau kepanikan takkan pernah membuat kita menjadi lebih baik atau lebih ganteng.