Semua Orang adalah VIP

Photo by Geralt from Pixabay

Apapun profesi kita, ada banyak situasi dalam hidup kita, yang mengharuskan kita mendapatkan dukungan atau simpati dari orang lain. Ada yang bisa mendapatkannya, dan banyak yang tidak. Pertanyaannya, mengapa ada orang-orang yang sepertinya sangat “beruntung”, mudah melakukannya?

Simpan dulu pertanyaan itu sampai nanti. Sekarang mari kita simak dua kisah berikut…

Pada 7 Mei 1931, perburuan paling sensasional yang pernah diketahui di New York City telah mencapai klimaksnya.

Setelah berminggu-minggu pencarian, Crowley “Dua Senjata” —pembunuh, pria bersenjata yang tidak merokok atau mabuk — berada di teluk, terperangkap di apartemen kekasihnya di West End Avenue. Seratus lima puluh polisi dan detektif mengepung persembunyiannya di lantai paling atas.

Mereka membuat lubang di atap; mencoba memerangkap Crowley, “pembunuh polisi,” dengan gas air mata. Kemudian mereka memasang senapan mesin di gedung-gedung sekitar, dan selama lebih dari satu jam salah satu daerah pemukiman di New York itu menjadi sangat riuh dengan bunyi keras pistol dan rentetan senapan mesin.

Crowley, berjongkok di belakang kursi empuk, menembaki polisi tanpa henti. Sepuluh ribu orang ikut menyaksikan pertempuran. Belum pernah hal seperti itu terjadi di trotoar New York.

Saat ditangkap, Komisaris Polisi E.P. Mulrooney menyatakan bahwa Crowley adalah salah satu penjahat paling berbahaya yang pernah ada dalam sejarah New York. “Dia akan membunuh,” kata sang Komisaris, “meskipun tanpa sebab apapun.”

Tapi bagaimana Crowley “Two Gun” mempersepsikan dirinya? Kita tahu, karena ketika polisi menembak ke apartemennya, dia menulis sepucuk surat yang ditujukan pada semua orang, “Kepada siapa pun yang berkepentingan,” dan ketika menuliskannya, darahnya mengalir dari luka-lukanya sehingga meninggalkan bercak merah di atas kertasnya.

Dalam surat itu, Crowley mengatakan, “Di balik mantel saya ini terdapat hati yang lelah, tetapi baik — yang tidak akan membahayakan siapa pun.”

Beberapa saat sebelumnya, Crowley mengadakan pesta dengan pacarnya di jalanan pedesaan di Long Island.

Tiba-tiba seorang polisi berjalan ke mobil dan berkata, “Coba saya lihat SIM Anda.” Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Crowley mengambil senjatanya dan menghujam polisi itu dengan timah panas. Ketika petugas yang sekarat itu sudah terjatuh, Crowley melompat keluar dari mobil, meraih revolvernya, dan menembakkan peluru lain ke tubuh yang sudah tak berdaya itu.

Dia adalah orang yang sama yang berkata: “Di balik mantel ini terdapat hati yang lelah, tetapi baik — yang tidak akan membahayakan siapa pun.”

Crowley akhirnya dihukum di kursi listrik.

Ketika tiba di penjara Sing Sing untuk proses eksekusi, apakah dia berkata, “Inilah yang saya dapat karena membunuh orang”? Tidak, justru sebaliknya: “Inilah yang saya dapat karena membela diri.”

Inti cerita ini adalah: Crowley “Si Dua Senjata” tidak menyalahkan dirinya sendiri atas apa pun.

Mari kita berpindah ke kisah yang lain lagi…

Pada musim gugur 1842, Abraham Lincoln menertawakan politisi sombong dan angkuh bernama James Shields. Lincoln mencercanya melalui surat anonim yang diterbitkan di Springfield Journal. Seisi kota itu pun tertawa terbahak-bahak.

James Shields jelas marah. Dia akhirnya mengetahui siapa yang menulis surat itu, melompat ke atas kudanya, memburu Lincoln, dan menantangnya berduel. Lincoln sebetulnya tak mau meladeni. Dia menolak cara-cara seperti itu, tetapi apa daya jika harus menyelamatkan kehormatannya.

Dia kemudian diberi pilihan senjata. Karena memiliki lengan yang sangat panjang dan pernah belajar bertarung dengan pedang saat berada di West Point, ia memilih pedang lebar kavaleri; lalu, pada hari yang telah ditentukan, ia dan James Shields bertemu di sebuah gundukan pasir di Sungai Mississippi, bersiap untuk bertarung sampai mati… Tetapi pada menit terakhir, para pendukungnya menyela dan menghentikan duel maut itu.

Mungkin itu adalah insiden pribadi paling mengerikan dalam hidup Lincoln. Peristiwa itu memberinya pelajaran tak ternilai dalam hal seni berurusan dengan orang lain. Dia tak pernah lagi menulis surat yang menghina. Juga tak pernah mengejek siapa pun. Dan sejak saat itu, Lincoln hampir tak pernah mengkritik siapa pun dengan alasan apa pun.

Selama Perang Saudara berlangsung, dari waktu ke waktu, Lincoln menempatkan jenderal baru sebagai kepala Pasukan Potomac, dan masing-masing secara bergantian — McClellan, Paus, Burnside, Hooker, Meade — melakukan kesalahan secara tragis dan membuat Lincoln gelisah. Nyaris putus asa.

Separuh negeri dengan kejam mengutuk para jenderal yang tidak kompeten ini, tetapi Lincoln tetap mampu mengendalikan diri dan situasi.

Salah satu kutipan favoritnya adalah “Jangan menghakimi, jika tak ingin dihakimi.” Dan ketika Ny. Lincoln dan orang-orang sekitarnya berbicara kasar tentang orang-orang dari kubu selatan, Lincoln menjawab: “Jangan mengkritik mereka; mereka juga seperti kita jika berada di situasi yang sama. “

Kedua cerita di atas, hendak menyampaikan pesan yang sama, yaitu bahwa “semua orang di dunia ini, merasa dirinya adalah orang yang sangat penting”. Dan kita semua, tanpa kecuali, memiliki kebutuhan untuk “diakui sebagai orang penting”. Feeling of importance adalah “kebutuhan pokok psikologis” manusia.

Ketika seseorang merasa dilecehkan, yang terjadi adalah dia merasa bahwa kebutuhan pokok psikologisnya telah dilanggar. Sehingga dia akan melakukan apapun untuk mempertahankannya dan mendapatkan pengakuan bahwa dia adalah orang penting.

Seorang penjahat, seorang politisi, seorang pengusaha, seorang buruh, sama saja. Cerita dan konteksnya bisa berbeda, tapi semua sama.

Bagi Anda yang sudah pernah membaca kedua cerita di atas, ya betul, sumbernya dari buku yang sama: How To Win Friends And Influence People, karya Dale Carnegie.

Buku yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 ini telah terjual sebanyak lebih dari 30 juta kopi di seluruh dunia, dan menjadikannya salah satu buku terlaris sepanjang masa. Di tahun 2011, menurut catatan Wikipedia, buku ini berada di urutan ke-19 dalam daftar 100 buku paling berpengaruh versi Majalah Time (hormat saya untuk Wikipedia dan para perisetnya, yang meskipun sering dicontek tapi jarang disebutkan sebagai sumber referensi karena kesannya “kurang ilmiah”).

Intisari kesimpulan atau proposisi, atau mungkin lebih tepatnya postulat, yang hendak disampaikan Carnegie dalam buku ini kira-kira begini…

Dengan alasan bahwa semua orang adalah “VIP” (itu sebabnya kita mempunya istilah ini, very important person), maka jika kita ingin berhasil dalam pergaulan di semua konteks hubungan sosial, di mana pun, maka:

(i) Jangan pernah membuat orang lain merasa dirinya tidak penting, sehingga kita tidak dimusuhinya, dan;

(ii) Tunjukkan sikap bahwa kita mengapresiasi betapa pentingnya orang lain yang sedang kita hadapi, sehingga dia pun kelak membalas kebaikan kita.

Dasarnya, sekali lagi, adalah “pengakuan sebagai orang penting” yang merupakan kebutuhan psikologis pokok manusia. Carnegie mengutip John Dewey, salah seorang filsuf, psikolog sekaligus tokoh pendidikan dari tanah Amerika, “the deepest urge in human nature is the desire to be important” – keinginan untuk menjadi penting adalah dorongan terdalam yang alamiah dari setiap insan. 

Carnegie kemudian menguraikan kesimpulannya, yang didukung dengan berbagai testimoni para tokoh serta mereka yang pernah mengikuti kursus public speaking di lembaga pendidikannya, ke dalam sejumlah prinsip turunan, antara lain:

Jangan mengkritik, mengutuk atau mengeluh; Berikan apresiasi yang tulus dan jujur; Munculkan minat dan kesungguhan dari orang lain (terdapat di bagian pertama buku tersebut, “Teknik-Teknik Mendasar dalam Menerapkan Prinsip Menangani Orang Lain”).

Tunjukkan ketertarikan yang tulus terhadap minat orang lain; Jadilah pendengar yang baik, dorong orang lain untuk berbicara tentang dirinya; Bicaralah dalam sudut pandang kepentingan pihak lain (ada di bagian kedua, “Enam Cara Untuk Membuat Orang-Orang Menyukaimu”).

Cara terbaik menghadapi argumen adalah dengan menghindarinya; Tunjukkan rasa hormat pada pandangan orang lain, jangan pernah katakan “kamu salah”; Jika kamu salah, segera akui; Biarkan orang lain menganggap ide berasal dari mereka (bagian ketiga, “Cara Memenangkan Orang Lain dalam Caramu Berpikir”).

Mulai dengan pujian dan apresiasi yang tulus; Sampaikan dulu kesalahanmu sebelum mengkritik orang lain; Buat orang lain senang melakukan hal yang kamu sarankan (bagian keempat, “Jadilah Pemimpin: Cara Mengubah Orang Lain Tanpa Menyerang dan Memunculkan Ketidaksukaan”).

Salah satu topik pembahasan penting, yang bahkan ditempatkan di bagian awal dari buku ini, adalah tentang tidak efektifnya kritik (untuk mempengaruhi orang lain). Terus terang, bagi saya sendiri, butuh perenungan yang lama untuk mengapresiasi pandangan seperti Carnegie ini.

Sewaktu menjadi pemimpin redaksi majalah fakultas, Politika, tahun 1993, pihak rektorat bukan lagi membredel majalah kami yang dianggap terlalu kritis. Tapi, menyegel ruangan sekretariat sehingga kami tidak boleh lagi beraktivitas di situ.

Sampai sekarang pun saya menerima pandangan bahwa “kritik sangat fundamental bagi kemajuan demokrasi”. Tanpa kritik, demokrasi mudah terjebak menjadi otoritarianisme. “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”, kata Lord Acton, yang kami pelajari sejak jadi mahasiswa Ilmu Politik tingkat satu.

Lalu, bagaimana mendamaikan pandangan ini dengan saran, yang juga valid, dari Carnegie dan yang tampaknya diyakini oleh tokoh politik sekaliber Abraham Lincoln?

Bagi saya, kritik harus tetap dijamin, dilindungi dan bila perlu didorong agar terus bergema di ruang publik. Tidak boleh dibungkam, karena merupakan energi dialektis untuk memajukan peradaban. Namun, pada saat yang sama, dalam konteks relasi personal dan profesional, kita atau saya sendiri, perlu mengembangkan kemampuan untuk menyampaikan kritik secara cerdik.

Tujuan kritik harus tersampaikan, namun caranya harus kreatif. Artinya, harus belajar berstrategi.

Di dalam lingkungan pekerjaan, atau di lingkungan organisasi paling kritis sekalipun, mengkritik kolega bukan hal yang mudah untuk dilakukan – berbeda situasinya dengan saat mengkritik pihak “di luar sana”.

Sekarang saya beranggapan bahwa “(i) kemampuan untuk menyampaik kritik secara efektif, adalah seni. Sedangkan (ii) kemampuan menerima kritik dengan hati yang lapang, adalah sejenis spiritualitas atau filsafat – seumur hidup belajar pun belum tentu lulus.”

Bagian (ii) adalah pelajaran yang terutama harus dilatih terus-menerus oleh siapapun yang mau menjadi pemimpin. Utamanya bagi mereka yang memegang jabatan-jabatan publik. Latihan inilah juga yang dipraktekkan oleh Marcus Aurelius, Sang Kaisar Roma yang Bijaksana, dengan menuliskan karyanya yang fenomenal Meditatons.

Itu tadi tentang kritik. Kembali ke laptop.

“Jika banyak orang sangat haus akan perasaan penting sehingga mereka benar-benar bisa menjadi gila untuk mendapatkannya, bayangkan keajaiban apa yang kita bisa capai dengan memberikan apresiasi dengan sungguh-sungguh kepada orang-orang sekitar kita,” ungkap Carnegie.

Dalam prakteknya, apresiasi semacam itu bisa dipraktekkan dengan cara menunjukkan ketertarikan pada hobi atau apapun yang sedang menjadi perhatian atau kebanggaan orang yang sedang berada di depan kita. Ini adalah jurus yang dapat digunakan para marketer atau para pelobi.

Simak cerita Carnegie yang satu ini…

Charles R. Walters, dari salah satu bank besar di Kota New York, ditugaskan menyiapkan laporan rahasia tentang perusahaan tertentu. Hanya ada satu orang penting yang memiliki fakta yang sangat dia butuhkan itu.

Ketika Walters diantarkan ke kantor si orang penting itu, seorang wanita muda menjulurkan kepalanya ke pintu dan memberi tahu bahwa dia tidak memiliki perangko untuknya pada hari itu. “Saya mengumpulkan perangko untuk putra saya yang berumur dua belas tahun,” kata si orang penting yang juga pemimpin sebuah organisasi ternama.

Walters lalu menyampaikan misinya dan mulai mengajukan pertanyaan. Jawaban yang diperolehnya tidak jelas, umum, dan samar-samar. Jelas dia enggan berbicara, dan tampaknya tak ada yang bisa membujuknya. Wawancara itu singkat dan gagal. “Terus terang, saya tak tahu harus berbuat apa,” kata Walters.

“Lalu saya ingat apa yang dikatakan sekretarisnya kepadanya — perangko, putra berusia dua belas tahun. Saya juga ingat bahwa departemen luar negeri bank kami sedang mengumpulkan banyak prangko — prangko yang diambil dari surat-surat yang mengalir dari setiap benua dari tujuh samudera.”

“Sore berikutnya saya menelepon pria ini dan mengirimkan kabar bahwa saya memiliki beberapa prangko untuk putranya.”

“Apakah dia antusias? Yes, Sir, dia menjabat tangan saya dengan sangat antusias seolah-olah sedang mencalonkan diri untuk Kongres. Dia memancarkan senyum dan niat baik. “George-ku akan menyukai yang ini,” dia terus berkata sambil membelai perangko-perangko itu. ‘Yang kamu berikan ini adalah harta karun.'”

“Kami menghabiskan setengah jam berbicara perangko dan melihat foto putranya, dan dia kemudian memberikan saya waktu lebih dari satu jam untuk semua informasi yang saya inginkan — bahkan tanpa saya memintanya. Dia mengatakan semua yang dia tahu, dan  memanggil bawahannya untuk memberikan informasi tambahan. Dia juga menelepon beberapa rekannya. Saya mendapatkan berbagai fakta, angka, laporan dan korespondensi.”

Prinsip yang sama dapat dipraktekkan ke dalam berbagai konteks berbeda. Seorang pemimpin bisa menyapa anak buahnya, memberikan senyum dan menanyakan kabar keluarganya. Semua itu mencerminkan perhatian dan pengakuan bahwa mereka penting.

Jika harus menanggapi kritik pun, prinsip ini dapat diterapkan tanpa harus terjebak dalam adu argumen yang tidak produktif. Bisa dengan cara terlebih dulu mengapresiasi tujuan baik dari si pengkritik. Misalnya, “saya tahu tujuanmu benar dengan menyampaikan kritik seperti itu, perbedaan kita mungkin ada di cara mencapai tujuan itu. Kamu memilih cara A, sedangkan saya memilih cara B. Nah, ijinkan saya menjelaskan kenapa saya memilih cara B…” dan seterusnya.

Atau dengan “mengiyakan” pandangannya terlebih dahulu. “Yang kamu sampaikan itu tepat, terutama dalam konteks tertentu… Pertanyaannya, apakah jika konteksnya berubah, taktik yang sama masih cukup efektif? Bagaimana jika seperti ini…” dan seterusnya.

Intinya, jangan merendahkan harga dirinya. Jika tidak ingin terjebak masuk dalam “medan pertempuran ego” yang melelahkan dan mungkin berbuntut panjang – persis seperti dalam berbagai WAG, yang saya, dan mungkin Anda juga, ikuti saat ini.

Prinsip yang sama juga berlaku dalam negosiasi. Itu yang kira-kira dipraktekkan oleh Chris Voss, mantan negosiator pembebasan sandera dari FBI yang menulis buku Never Split the Difference: Negotiating As If Your Life Depended On It. Hargai sense of importance orang yang sedang berunding denganmu:

“Bernegosiasilah dalam dunia mereka. Persuasi bukanlah soal seberapa pintar atau halus atau hebatnya pendekatan anda. Ini adalah tentang pihak lain yang hendak meyakinkan dirinya sendiri bahwa solusi yang Anda tawarkan adalah juga merupakan ide mereka sendiri. Jadi jangan menghantam mereka dengan logika atau kekerasan. Ajukan mereka pertanyaan-pertanyaan yang akan membuka jalan kepada tujuan Anda. Negosiasi bukanlah tentang dirimu,” tegas Voss.

Saya mengapresiasi karya Carnegie, bukan semata-mata karena teorinya. Saya sendiri, tanpa sadar sudah mempraktekkannya untuk beberap kasus.

Bertahun-tahun lampau saya diminta menjadi fasilitator pertemuan antara Orang Asli Papua dan Orang Pendatang di Papua untuk mendialogkan proses perdamaian di sana. Permintaan itu datang dari sahabat saya, peneliti tentang terorisme, Solahudin dan peneliti senior Muridan (Alm.) dari LIPI.

Sebagai orang “baru”, saya sebetulnya kurang paham tentang isu-isu terbaru tentang Papua. Jadi, saya hanya mengandalkan metode yang saya tahu untuk menggali informasi dari para peserta yang beragam itu. Hal terpenting yang saya lakukan, dan saya baru sadari soal itu di kemudian hari, adalah membuka pertemuan itu dengan memberi kesempatan pada semua peserta untuk berkenalan dan menyampaikan harapan-harapannya.

Metode selanjutnya tidak akan saya sampaikan di sini, karena keterbatasan ruang… Intinya, pembukaan forum dengan cara seperti itu sangat penting, untuk memberikan kesempatan bagi seluruh peserta mengekspresikan dirinya dan menunjukkan pada saya dan semua orang yang lain, bahwa “mereka penting” dan perlu mendapatkan penghargaan.

Saya sering menyaksikan berbagai forum diskusi menjadi arena debat kusir yang sangat tidak produktif, hanya karena para peserta yang belum saling mengenal, tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri. Total chaos!

Untuk forum di mana semua peserta sudah saling mengenal, pendekatan ini tidak perlu. Tapi, jika Anda harus memfasilitasi sebuah forum diskusi atau dialog pertama yang menghadirkan orang-orang dari berbagai latar belakang berbeda, termasuk dari bangsa jin dan dinousaurus sekalipun, pastikan mereka didengarkan dan dihargai pandangannya!

Kalau ingin mendapatkan penjelasan secara lebih “neuro-saintifik” dari pendekatan Carnegie ini, bisa membaca buku “Your Brain At Work”, karya Chris Rock, yang sempat saya tuliskan di sini.

Singkatnya, Rock menjelaskan bahwa otak tiap manusia pada dasarnya memiliki aspirasi. Aspirasi itu disingkat SCARF (Status-Certainty-Authority-Relatedness-Fairness). Jika aspirasi otak tersebut tidak kita penuhi, akibatnya bisa buruk bagi mental-emosional kita. Nah, sense of importance dalam bahasa Carnegie, kira-kira sejalan dengan SCARF dalam bahasa Rock.

Buku How To Win Friends And Influence People ini memang tidak dibahas secara signifikan sebagai sebuah karya ilmiah dalam berbagai jurnal akademik. Ada juga yang mengkritik keras dan bahkan menyebut bahwa Carnegie tidak tulus dan manipulatif. Faktanya, buku ini sangat populer dan berpengaruh. 

Dibahas secara khusus di majalah Reader’s Digest edisi Januari 1937, buku ini juga sangat besar pengaruhnya bagi Warren Buffet, salah satu investor terkaya di planet bumi. Sebagaimana dikutip Independent edisi 16 Februari 2009, Buffet mendaftar diri untuk mengikuti kursus Dale Carnegie ketika berusia 20-an tahun.

“Kursus itu sukses dan Warren telah mengajar, memberi kuliah, dan menjelaskan semua yang dia bisa kepada siapa saja yang mau mendengarkannya sejak saat itu.”

Lepas dari itu, bagi saya yang senang berorganisasi, prinsip-prinsip dalam buku ini, secara praktis sudah terbukti efektif – terutama ketika harus mengelola program atau pekerjaan, yang membutuhkan dukungan kerjasama dari para kolega. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk mengapresiasi buku ini.

Terakhir…

Harus saya akui saya sedikit menyesal, karena baru bisa membaca dan menyelesaikan buku ini. Seharusnya sudah dari dulu. Buku ini adalah all time favorite Almarhum Ayah saya, orang yang berperan besar memberi contoh bagaimana seharusnya mendapatkan kepercayaan rekan-rekan kerja

Ia berulangkali membeli buku ini dan membagi-bagikan kepada teman-temannya. Di rak buku di rumah kami, buku ini selalu mudah terlihat. Sengaja ditonjolkan, seperti kitab suci kedua baginya. Dia memang percaya dan mempraktekkan bagaimana membuat orang lain “merasa penting”.

Saya teringat, pertengahan tahun 1990, baru lulus dari SMA Negeri 2 Banjarmasin, saya dan teman-teman hendak berangkat ke Jakarta bersama-sama – melanjutkan pendidikan di ibukota. Sebelum kami menuju pelabuhan dan naik kapal, ia sengaja datang dari kantornya dan menemui saya.

“Kamu pasti berhasil,” katanya sambil mengusap matanya yang berkaca-kaca. Saya tidak tahu harus menjawab apa. Tapi saya tahu itu membuat saya merasa berharga. Saya yang selama di SMA, untuk berbicara di depan kelas pun tak pernah bisa.

Tidak. Saya tidak menyesal, baru bisa membaca buku ini. Jika dibaca saat itu, mungkin pesan penting buku ini hanya akan jadi teori. Tapi, setelah mengarungi jatuh-bangun kehidupan, saya baru bisa menghubungkannya dengan pengalaman-pengalaman yang nyata. Lalu menuliskannya sekarang ini, sebagai resensi buku terpanjang yang pernah saya tulis dalam hidup saya.

Oh ya, saya harap Anda sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan di paragraf pertama tulisan ini. Terima kasih sudah menemani saya sejauh ini. Anda pasti seorang yang spesial 🙂