Michael E. Porter dan Strategi Memenangkan Persaingan (bagi Perusahaan dan Negara)

File:Michael Porter 2017.jpg
Michael E. Porter, 2017

Ketika NASA pertama kali menjalankan misi untuk mengirimkan astronotnya ke luar angkasa mereka menyadari bahwa pulpen tidak bisa berfungsi karena tidak adanya daya gravitasi.

Jutaan dolar investasi dan ujicoba selama dua tahun akhirnya berhasil menciptakan pulpen yang bisa digunakan di luar angkasa, dalam posisi yang terbalik di hampir semua permukaan dan dalam temperatur yang berkisar di bawah titik beku hingga lebih dari 300 derajat celsius.

Namun ketika dihadapkan pada masalah yang sama, pihak Rusia memberikan solusi berbeda yang lebih sederhana: Pensil.

Kisah yang memalukan ini, yang saya kutip dari iklan produk pensil yang dinamakan “Russian Space Pen” (pulpen luar angkasa milik Rusia), sudah dibantah kebenarannya. Namun, jika Anda baca seluruh tautan itu, sepertinya memang benar ada pihak swasta, yaitu Fisher Pen Co. yang sempat berinvestasi satu juta dolar AS untuk mengembangkan pulpen luar angkasa tersebut.

When NASA first 
started sending 
astronauts •nto 
space. they realized 
that the ball-point pen 
*Outd not work at 
zero gravCy. 
A million dollar 
investment and two 
years of tests 
resur.ed in a pen that 
could wnte in space. 
upside down. on 
almost any surface 
and at temperatures 
ranging from below 
freezing to over 
3000c. 
When confrx)nt.ed mth 
same problem. 
Vie Russians used a 
pencd,
Iklan Russian Space Pen

Ada-ada saja memang. Lepas dari benar-tidaknya, kisah ini sudah terlanjur jadi ilustrasi favorit banyak pihak, termasuk saya, untuk menceritakan tentang pentingnya strategi dan inovasi. Bayangkan betapa sia-sianya investasi sebesar jutaan dolar AS itu, karena ternyata ada pilihan strategi yang lebih efisien dan kompetitif untuk mencapi tujuan – yaitu agar bisa menulis di luar angkasa.

Dalam kasus yang berbeda, kita mungkin saja berada dalam situasi yang demikian.

Menggunakan definisi dari Cambridge Dictionary, strategi – adalah rencana terperinci untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai situasi seperti perang, politik, bisnis, industri, atau olahraga, atau kemampuan untuk merancang dalam situasi-situasi tersebut – sangat kita butuhkan untuk mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien. Segala sesuatu yang sifatnya kompetitif membutuhkan strategi. Sebab tanpa strategi, para pihak yang bersaing hanya akan mengandalkan nasib untuk menjadi yang terunggul atau terdepan.

Dalam dunia bisnis yang sangat kompetitif, Michael E. Porter adalah salah satu “Guru” yang paling dihormati dalam hal strategi. Saat ini ia masih menjadi Bishop William Lawrence University Professor di Harvard Business School, kedudukan tertinggi yang pernah diberikan oleh kampus tersebut pada fakultasnya. Menurut catatan wikipedia, Porter menulis 20 buku dan sejumlah artikel penting, termasuk Competitive StrategyCompetitive Advantage dan On Competition.

Ia meraih enam kali McKinsey Award for the Best Harvard Business Review Article of the Year dan merupakan orang yang paling banyak dikutip dalam dunia bisnis dan ekonomi. Oleh karena itu, pandangannya tentang strategi layak untuk kita bahas dan pertimbangkan untuk dikembangkan dalam konteks bisnis, organisasi secara umum (sejauh relevan), maupun dalam mengelola persaingan industri antar negara – sebagaimana yang ia jelaskan dalam salah satu bukunya, “Competitive Advantage of Nations”.

Ketika berbicara strategi, Porter, seperti dapat dilihat dari tulisan-tulisannya, cenderung membatasi konteksnya untuk dunia bisnis dan industri secara umum. Saat berbicara dalam ruang lingkup negara pun Porter mengaitkannya dengan “persaingan negara-negara industri” – hal yang relevan saat ini, terutama sejak menguatnya globalisasi ekonomi selama beberapa dekade terakhir. Tapi, Porter tidak berbicara tentang strategi perang antarnegara, atau strategi untuk meraih Piala Dunia sepakbola misalnya.

Strategi bagi Porter adalah bagaimana menjadi kompetitif – hal ini dengan mudah dapat dilihat dari berbagai pilihan judul dalam tulisan-tulisannya. Perhatiannya yang besar pada competitiveness tampaknya tak lepas dari pengalaman masa mudanya sebagai olahragawan. Ia pernah tergabung dalam tim golf untuk NCAA Championship ketika masih berkuliah di Princeton dan ia juga bisa bermain sepakbola, bisbol dan bola basket.

Dalam “What Is Strategy?” (Harvard Business Review, 1996), Porter mendefinisikan strategi sebagai sesuatu yang cukup umum, yaitu “penciptaan posisi yang unik dan bernilai, yang melibatkan berbagai aktivitas”. Jika hanya ada satu posisi ideal untuk diraih, maka menurut Porter, tidak perlu ada strategi. “Perusahaan hanya akan menghadapi kewajiban yang sederhana — memenangkan perlombaan menemukan dan mendahului pihak lain untuk meraih posisi ideal itu.” Padahal, bagi Porter, inti dari penentuan posisi strategis atau strategic positioning adalah memilih berbagai aktivitas yang berbeda dari pesaing.

Hal yang belum saya temukan dari gagasan Porter adalah apa saja yang menurutnya merupakan “komponen strategi”. Pertanyaan ini sebetulnya sangat penting untuk membedakan mana yang bisa disebut strategi dan mana yang bukan. Jika sempat membaca tulisan saya sebelumnya tentang “The Art of War: Membedah dan Mengadopsi 15 Elemen Strategi Sun Tzu”, terdapat komponen-komponen strategi yang bisa digunakan untuk membedakannya dari taktik atau misalnya “rencana strategis” – yang belum tentu merupakan strategi.

Porter mengatakan bahwa operational effectiveness bukanlah strategi. Yang ia maksud dengan operational effectiveness adalah berbagai aktivitas di dalam perusahaan untuk menciptakan efisiensi, yang merujuk pada “berbagai praktek untuk menjadikan perusahaan menjadi lebih baik dalam memanfaatkan input-nya, misalnya dengan mengurangi kecacatan dalam produk atau mengembangkan produk dengan cara lebih cepat.”

Contoh yang digunakan Porter untuk menunjukkan operational effectiveness adalah apa yang dilakukan berbagai perusahaan Jepang pada tahun 1970-an dan 1980-an, dengan mempraktekkan manajemen kualitas secara total dan perbaikan secara terus-menerus. Intinya adalah menyempurnakan proses produksi agar menjadi lebih baik. Pendekatan ini menurut Porter, memiliki kelemahan utama. “Dalam sudut pandang persaingan, masalah dari operational effectiveness adalah praktik-praktik terbaik atau best practices seperti ini sangat mudah ditiru.”

Berbeda dengan operational effectiveness, “penciptaan posisi strategis atau strategic positioning adalah upaya untuk mencapai keunggulan kompetitif secara berkelanjutan dengan cara menjaga sesuatu yang berbeda dari sebuah perusahaan. Itu artinya melakukan berbagai aktivitas yang berbeda dengan pesaing, atau melakukan aktivitas-aktivitas yang mirip dengan cara-cara yang berbeda.”

Ada 3 contoh strategic positioning yang dapat memudahkan kita untuk memahami apa yang dimaksud Porter: Pertama, dengan cara melayani kebutuhan yang ‘sedikit’ atau spesifik dari banyak konsumen (contohnya adalah Jiffy Lube yang cukup berhasil dengan hanya menjual pelumas untuk mobil); Kedua, dengan cara melayani kebutuhan yang ‘banyak’ atau umum dari sedikit konsumen (contohnya adalah lembaga keuangan Bessemer Trust yang hanya menyasar orang-orang kaya); Ketiga, dengan cara melayani kebutuhan yang ‘banyak’ atau umum dari banyak konsumen di pasar yang sempit (contohnya adalah Carmike Cinemas yang mendirikan bioskop di daerah yang populasinya di bawah 200 ribu orang).

Terus terang saja, karena belum jelasnya komponen strategi dalam gagasan Porter, saya memiliki catatan kritis terhadap pandangan Porter terkait operational effectiveness dan strategic positioning. Menurut saya, di masa jayanya, operational effectiveness bisa saja dikategorikan sebagai langkah strategis yang tepat. Namun ketika banyak perusahaan sudah bisa menirunya, maka ia tidak lagi bisa disebut tindakan strategis – harap diingat bahwa artikel Porter ditulis di tahun 1996, sedangkan operational effectiveness ala Jepang dilakukan sejak dua dekade sebelumnya. Dengan menggunakan komponen strategis ala Sun Tzu, yaitu tentang “unsur kejutan, perubahan rencana dan kerahasiaan”, maka sesuatu yang sudah jadi pengetahuan umum tentu memang sudah selayaknya dievaluasi.

Sebaliknya, strategic positioning yang dia anjurkan, pada saatnya pun bisa menjadi usang dan, bisa saja, ditiru dengan baik oleh para pesaing – persis seperti operational effectiveness yang pada akhirnya juga bisa ditiru. Maka pada saat itu pendekatan ini pun harus dievaluasi kembali dan berbagai aktivitas untuk menjaga keunggulan kompetitif harus dirumuskan ulang. Nah, terkait perlunya perubahan strategi, Porter pun sebetulnya menyadari hal itu dan di bagian akhir “What Is Strategy?” menyebutkan bahwa “perusahaan mungkin harus mengubah strategi jika terjadi perubahan struktural yang besar pada industrinya.”

“Faktanya,” ungkap Porter, “strategic positions yang baru seringkali muncul ketika terjadi perubahan dalam industri, dan para pemain baru yang tak terbebani dengan masa lalu bisa mengeksploitasinya dengan mudah.”

Hanya itu saja catatan kritis saya terhadap gagasan Porter – yang disebabkan karena saya belum menemukan komponen-komponen strategi yang ia gunakan. Selebihnya – seperti yang akan saya bahas dalam bagian berikutnya – Porter memiliki gagasan-gagasan substantif yang sangat penting terkait strategi untuk memenangkan persaingan.

Lima Faktor Persaingan yang Dapat Memengaruhi Strategi Perusahaan

Ada dua sumbangan besar Porter yang telah memperkaya gagasan dan wacana tentang strategi untuk menjadi kompetitif dalam konteks perusahaan dan negara. Yang pertama adalah, karya seminalnya dengan judul “The Five Competitive Forces That Shape Strategy” yang diterbitkan pertama kali oleh Harvard Business Review pada tahun 1979 dan disempurnakan pada tahun 2008. Yang kedua adalah “The Competitive Advantage of Nations” yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama di tahun 1990.

“Five Competitive Forces”, adalah tulisan yang sangat jernih dan tajam dalam membedah berbagai aspek paling penting dalam persaingan dalam konteks perusahaan. Sebatas pengetahuan saya, tidak ada yang menulis seperti itu sebelumnya. Umumnya, ketika berbicara tentang persaingan, kebanyakan orang hanya berbicara tentang tantangan yang muncul dari pesaing yang konvensional. Tapi, Porter menunjukkan bahwa keunggulan kompetitif tak hanya diraih dengan memenangkan persaingan antar existing competitors – itu hanya salah satu saja.

Empat faktor atau kekuatan lainnya adalah ancaman dari pendatang baru (threat of new entrants), posisi tawar dari pembeli (bargaining power of buyers), ancaman dari produk atau jasa pengganti (threat of substitute prdducts or services), dan posisi tawar dari pihak pemasok (bargaining power of suppliers). Kelimanya jika tidak diantisipasi dengan baik bisa memperlemah posisi strategis sebuah organisasi bisnis. 

Bargaining 
power Of 
suppliers 
Threat 
of new 
entrants 
Rivalry 
among 
existing 
competitors 
Threat Of 
substitute 
products or 
Services 
Bargaining 
power Of 
buyers
The Five Competitive Forces That Shape Strategy

Ancaman dari pesaing atau sesama pemain pada bidang garapan yang sama relatif lebih mudah untuk diperhatikan – karena prilaku maupun produk atau jasanya bisa langsung tampak nyata di pasar. Namun empat ancaman lain jika tidak diantisipasi bisa mempengaruhi sasaran keuntungan yang telah ditargetkan.  

• Pelanggan yang cerdas dapat menyebabkan harga turun dengan “mempermainkan” perusahaan dan pihak pesaing.

• Pemasok yang kuat dapat mengurangi laba jika mereka menaikkan harga.

• Pendatang baru yang bersemangat, didukung kapasitas yang baru dan determinasi untuk merebut pangsa pasar, dapat memengaruhi tingkat  investasi yang dibutuhkan agar tetap kompetitif.

• Produk atau jasa pengganti/substitusi dapat menyebabkan pelanggan pergi.

Salah satu contoh sektor bisnis yang paling sensitif terhadap kelima faktor persaingan yang diidentifikasi Porter adalah industri penerbangan komersial. Sesama maskapai penerbangan bersaing dengan ketat dalam hal harga tiket. Pelanggan mudah berubah, mereka mencari tawaran terbaik tanpa memandang operator. Pemasok – terutama produsen pesawat dan mesin, bersama dengan para pekerja yang tergabung dalam serikat kerja – menawar dengan sengit bagian terbesar dari keuntungan perusahaan. Pemain baru pun terus memasuki industri ini tanpa henti. Sedangkan produk jasa penggantinya juga sudah tersedia – seperti kereta api atau mobil sewaan yang nyaman.

Dengan menganalisis kelima faktor persaingan itu, kita bisa memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang dapat memengaruhi profitabilitas perusahaan. Kita, mau tak mau harus mengidentifikasi tren perubahan-permainan sedini mungkin, sehingga dengan cepat dapat mengantisipasinya — bahkan membentuk kembali atau mengkonsolidasi diri agar menjadi lebih kuat. Dengan kata lain, strategi untuk menjadi unggul dalam persaingan harus menggunakan kelima faktor ini sebagai pisau analisis.

Untuk itu, Porter menyarankan tiga strategi berikut ini:

  1. Posisikan Perusahaan di mana Faktor Persaingan adalah yang Terlemah

Sebagai contoh: Dalam industri truk kelas berat di Amerika Serikat, banyak pembeli mengoperasikan armada besar mereka sendiri dan sangat termotivasi untuk menurunkan harga. Truk dibuat dengan standar yang ketat dengan fitur serupa, sehingga persaingan harga menjadi kaku; serikat pekerja menggunakan posisi tawarnya secara optimal; sedangkan konsumen dapat menggunakan pengganti seperti pengiriman barang dengan kereta api.

Untuk menciptakan dan mempertahankan keuntungan jangka panjang dalam industri ini, produsen truk Paccar memilih fokus pada satu kelompok pelanggan yang faktor persaingannya paling lemah: pengemudi individu yang memiliki truk dan kontrak langsung dengan pemasok. Operator-operator ini memiliki pengaruh terbatas sebagai pembeli dan kurang sensitif terhadap harga karena adanya ikatan emosional dan ketergantungannya pada truk mereka sendiri.

Untuk pelanggan semacam ini, Paccar mengembangkan fitur-fitur seperti kabin tidur mewah, kursi kulit mewah, dan gaya eksterior yang ramping. Pembeli juga dapat memilih dari ribuan opsi yang tersedia untuk membubuhkan tanda tangan pribadi pada truk yang telah menjadi lebih “personal” – dan karenanya emosional – ini. Untuk mendapatkan itu, pelanggan rela membayar Paccar 10% lebih tinggi, dan produsen truk ini telah mencatatkan keuntungan selama 68 tahun berturut-turut dan memperoleh tingkat pengembalian atas ekuitas atau return on equity jangka panjang di atas 20%.

2. Eksploitasi Perubahan-Perubahan yang Terjadi dalam Faktor-Faktor Persaingan

Contoh: Dengan munculnya Internet dan distribusi musik secara digital, pengunduhan secara gelap telah memunculkan pengganti “yang ilegal namun kuat” bagi perusahaan rekaman. Perusahaan rekaman berusaha mengembangkan platform teknis untuk distribusi digital mereka sendiri, tetapi para label besar tentu tak ingin menjual musik mereka melalui platform yang dimiliki oleh saingannya. Melihat adanya celah ini, Apple dengan iTunes-nya masuk menjadi pemain baru, untuk mendukung perangkat pemutar musik iPod miliknya.

Masuknya Apple, di satu sisi membawa dampak negatif dalam kacamata para label besar, yang pada tahun 1997 masih berjumlah enam dan belakangan tinggal tersisa empat. Tapi di sisi lain, membawa kemudahan bagi konsumen, dan keuntungan bagi Apple serta industri sejenis seperti Spotify yang berkembang pesat belakangan ini. Begitulah “kejamnya” persaingan dalam dunia bisnis jika tak awas terhadap faktor-faktor persaingan sebagaimana disampaikan Porter.

3. Kelola Faktor-Faktor Persaingan Agar Menguntungkan Kita

Gunakan taktik yang dirancang atau dipersiapkan secara khusus agar keuntungan tidak “bocor” ke pemain lain. Contohnya:

• Untuk “menetralkan” kekuatan pemasok, lakukan standardisasi spesifikasi pasokan (misalnya suku cadang dalam industri otomotif) sehingga perusahaan kita dapat berpindah-pindah dengan lebih di antara para vendor atau pemasok.

• Untuk menghadapi kekuatan pelanggan, perluas layanan yang ada sehingga pelanggan lebih sulit pergi alias lebih loyal.

• Untuk mengatasi perang harga yang diprakarsai oleh saingan yang kuat, berinvestasilah lebih banyak pada produk yang berbeda secara signifikan dibandingkan yang ditawarkan para pesaing.

• Untuk “menakut-nakuti” pendatang baru, jadikan persaingan menjadi lebih mahal dengan meningkatkan biaya tetap – misalnya, dengan meningkatkan pengeluaran R&D alias penelitian dan pengembangan.

• Untuk mencegah munculnya ancaman produk atau jasa substitusi, tawarkan nilai yang lebih baik melalui aksesibilitas produk yang lebih luas. Hal ini misalnya dilakukan produsen minuman ringan yang memperkenalkan mesin penjual otomatis dan layanan distribusi ke toko, yang secara dramatis meningkatkan ketersediaan minuman ringan dibandingkan dengan minuman lain.

Dari alat analisis yang diberikan Porter, kita semakin menyadari bahwa agar menjadi kompetitif dalam bisnis, ibarat mempersiapkan diri untuk menghadapi perang. Ini menjelaskan mengapa tak banyak yang bisa benar-benar menjadi wirausahawan sejati. Butuh strategi dan inovasi yang terus-menerus – tak bisa hanya mengandalkan intuisi atau kenekatan belaka. Bisnis pun butuh “intelektualisasi”.

Di luar dunia bisnis, ilmu yang diberikan Porter pun tetap relevan, terutama untuk menganalisis faktor-faktor yang dapat memengaruhi kesuksesan lembaga. Ketika saya berpindah profesi sementara dari konsultan menjadi bagian dari pemerintahan di tahun 2015, substansi strategic positioning ala Porter ternyata bermanfaat pula untuk menganalisis konstelasi politik serta untuk menemukan posisi strategis kelembagaan agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara lebih baik, dan tentu saja, strategis.

Bagaimana Menjadikan Negara Kompetitif?

Sekarang mari kita simak, gagasan Porter dalam konteks negara. Sekali lagi saya perlu mengingatkan bahwa bagi Porter – dalam konteks perusahaan maupun negara – pilihan terbaik untuk menjadi unggul adalah menjadi “benar-benar kompetitif”. Kata kompetitif ini bisa dipertukarkan dengan kata “kuat” atau “tangguh”. Strategi apapun yang ditempuh adalah yang memfasilitasi munculnya para pemain yang tangguh – dalam konteks individual, pandangan ini mungkin sejalan dengan stoikisme (lihat tulisan lain di blog ini tentang tentang tokoh-tokoh stoik seperti Seneca, Epictetus dan Marcus Aurelius).

“Kesejahteraan nasional itu diciptakan, bukan diwariskan.” Itu kalimat pertama dari “The Competitive Advantage of Nations”. Lanjutnya lagi, “kesejahteraan tidak datang dari kekayaan alam suatu negara, kumpulan tenaga kerjanya, tingkat suku bunganya, atau nilai mata uangnya – sebagaimana diyakini para ekonom klasik.”

Bagi Porter, keunggulan sebuah negara lebih bergantung pada kapasitas industrinya untuk melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan-perusahaan dalam sebuah negara bisa unggul dalam persaingan global justru karena menghadapi berbagai tantangan dan tekanan. Mereka mendapatkan keuntungan dari persaingan yang ketat di dalam negeri, pemasok lokal yang agresif dan konsumennya yang memiliki banyak tuntutan.

Dalam konteks persaingan global, negara justru menjadi semakin penting perannya – bukannya berkurang. Mengingat bahwa persaingan telah makin bergeser ke arah penciptaan dan penggabungan pengetahuan, peran negara juga berkembang sebagai fasilitator. Kesimpulan-kesimpulan yang diambil Porter ini, didasarkan pada studi selama empat tahun yang dilakukan  untuk mengamati kesuksesan kompetitif di 10 negara terdepan dalam perdagangan.

Intinya, bagi Porter, negara berperan sangat vital dalam memfasilitasi kompetisi dan inovasi. Inovasi pun harus disadari adalah proses yang tidak mudah. Perusahaan yang sukses menjalankan cara baru atau lebih baik dalam berkompetisi memperolehnya dengan determinasi yang tinggi, seringkali dihadapkan dengan kritik yang pedas dan rintangan yang berat. “Faktanya, agar bisa sukses, inovasi biasanya membutuhkan tekanan, tuntutan dan bahkan kesulitan: takut kehilangan seringkali terbukti lebih powerful dibandingkan dengan harapan atas keuntungan,” ungkap Porter. Sebab, “para pesaing, pada akhirnya dan tanpa bisa dielakkan, akan mengambil alih keunggulan dari perusahaan yang berhenti memperbaiki diri dan berinovasi.”

Pertanyaan-pertanyaan kunci dalam studi yang dilakukan Porter adalah: Mengapa perusahaan tertentu yang berbasis di negara tertentu mampu melakukan inovasi secara konsisten? Mengapa mereka dengan tanpa kompromi melakukan berbagai perbaikan diri, mencari sumber keunggulan kompetitif yang kian canggih? Mengapa mereka mampu mengatasi berbagai hambatan substansial untuk berubah dan berinovasi yang seringkali menyertai kesuksesannya?

Jawabannya terletak pada empat atribut yang dimiliki suatu negara, atribut-atribut yang secara individual dan sebagai sistem membentuk “berlian keunggulan nasional”, yang merupakan playing field atau lapangan permainan sekaligus persaingan yang dibangun dan dioperasikan pada masing-masing negara demi kemajuan industrinya. Keempat atribut itu adalah:

1. Kondisi Dasar Produktivitas (Factor Conditions). Merupakan posisi negara dalam mengelola berbagai faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau infrastruktur, yang diperlukan untuk bersaing dalam industri yang ada.

2. Kondisi Permintaan (Demand Conditions). Yaitu keadaan permintaan dalam pasar domestik bagi produk barang atau jasa.

3. Industri Terkait dan Pendukung (Related and Supporting Industries). Ada-tidaknya pemasok bagi industri dalam sebuah negara serta industri terkait lainnya yang memiliki daya saing internasional.

4. Strategi yang Kuat, Struktur Industri, dan Persaingan Usaha (Firm Strategy, Structure, and Rivalry). Adalah berbagai kondisi bagaimana sebuah negara mengelola penciptaan perusahaan, pengorganisasiannya, manajemennya, dan persaingan domestik di antara mereka.

Determinants of National 
Competitive Advantage 
Foe:" 
Firm 
Dem o nd 
Conditions
Berlian Keunggulan Nasional

Factor Conditions. Dalam teori ekonomi yang berlaku umum, faktor-faktor produksi – seperti tenaga keraja, sumber daya alam, modal infrastruktur – akan menentukan bagi terjadinya aliran perdagangan. Sebuah negara melakukan ekspor berbagai produknya dengan memanfaatkan faktor-faktor yang telah tersedia untuknya. Bagi Porter, “doktrin ini, yang berasal dari Adam Smith dan David Ricardo ini, dan sudah mengakar lama dalam pemikiran ekonomi klasik, adalah yang paling tidak lengkap dan paling keliru.”

Dalam negara-negara industri yang maju, faktor-faktor terpenting dalam produksi tidak diwariskan tapi diciptakan – seperti sumber daya manusia yang trampil atau yang berbasis saintifik. Lebih dari itu, faktor-faktor yang tersedia dan memanjakan dalam kurun waktu tertentu, sesungguhnya tidak begitu penting jika dibandingkan dengan upaya untuk mendorong efisiensi, peningkatan kualitas dan pemanfaatannya dalam berbagai industri. 

Faktor-faktor produksi yang paling penting adalah yang melibatkan investasi besar dan berkelanjutan serta yang bersifat terspesialisasi. Faktor-faktor umum, seperti kumpulan tenaga kerja atau sumber bahan baku lokal, bukanlah merupakan keuntungan dalam industri yang “padat pengetahuan”. Semua perusahaan lain dapat mengaksesnya dengan mudah melalui jalur strategi global atau menghindarinya melalui teknologi.

Berlawanan dengan pandangan konvensional, keberadaan angkatan tenaga kerja secara umum dengan pendidikan sekolah menengah atau bahkan perguruan tinggi belaka, tak bisa menjadi jaminan keunggulan kompetitif dalam persaingan internasional saat ini. Untuk mendukung keunggulan kompetitif, sebuah faktor penentu harus sangat terspesialisasi untuk menjawab kebutuhan khusus industri — misalnya sebuah lembaga ilmiah yang memiliki spesialisasi dalam bidang optik, atau kumpulan modal ventura untuk mendanai perusahaan perangkat lunak. Faktor-faktor tersebut harus bersifat “langka” dan lebih sulit untuk ditiru oleh pesaing dari luar negeri — dan mereka membutuhkan investasi berkelanjutan untuk menciptakannya.

“Contohnya adalah Denmark yang memiliki dua rumah sakit yang berkonsentrasi untuk mempelajari dan menangani diabetes – sekaligus sebagai pengekspor terdepan untuk produk insulin. Begitu juga Belanda yang memiliki lembaga-lembaga riset kelas dunia untuk mengolah, mengemas dan mengirimkan bunga, sehingga ia menjadi pengekspor kelas dunia.”

Keterbatasan faktor produksi – misalnya kondisi alam yang tidak produktif atau bahkan, seperti di negara-negara maju, biaya tenaga kerja yang tinggi – harus dijawab dengan inovasi. Jepang menjawab sulitnya mendapatkan tenaga kerja murah dengan membuat otomatisasi. Pada saat yang sama, angkatan kerjanya terus ditingkatkan kapasitasnya agar mampu menghadapi tantangan perubahan yang terus berubah. Seringkali, tantangan-tantangan yang dihadapi, adalah pemicu utama terjadinya inovasi. Untuk maju, memang tak bisa bermalas-malasan.

Demand Conditions. Ada atau tidak ada globalisasi, Porter percaya bahwa permintaan domestik akan selalu penting. Malah, komposisi dan karakter pasar dalam negeri biasanya memiliki efek yang bisa membantu perusahaan mempersepsikan, menafsirkan dan merespon berbagai kebutuhan pembeli. Sebuah negara akan diuntungkan industrinya ketika konsumen dalam negeri mampu menekan perusahaan untuk berinovasi lebih cepat dan mencapai keunggulan kompetitif yang lebih canggih dibandingkan pesaing mereka di pasar global. Ukuran permintaan dalam negeri mungkin kurang signifikan, tapi karakternya penting dalam membentuk budaya persaingan.

“Pembeli lokal yang banyak tuntutan dan rumit merupakan jendela untuk membaca kebutuhan konsumen yang kian maju; mereka mendesak perusahaan untuk memenuhi standar yang tinggi; mereka memaksanya untuk berbenah, berinovasi dan menaikkan kelas agar bisa memasuki segemen yang lebih tinggi,” kata Porter.  Sebagaimana yang dihadapi dalam “Kondisi Dasar Produktivitas”, tantangan bagi “Kondisi Permintaan” harus dilihat sisi positifnya karena memaksa perusahaan-perusahaan untuk menjawab berbagai tantangan yang berat. Tuntutan konsumen harus dilihat sebagai peluang untuk peningkatan kemampuan.

“Kesuksesan perusahaan-perusahaan AS dalam industri makanan cepat saji dan kartu kredit, bisa dijadikan contoh, karena mereka terlebih dahulu dihadapkan pada tuntutan konsumen AS terhadap kemudahan dan kemudian menyebarluaskan selera atau tuntutan seperti ini ke seluruh dunia.” Selanjutnya, “Negara kemudian membantu mengekspor nilai-nilai dan seleranya melalui media, melalui pelatihan bagi orang-orang asing, melalui pengaruh politik, dan melalui berbagai kegiatan perusahaan dan warga AS di luar negeri.”

Related and Supporting Industries. Faktor penentu berikutnya bagi keunggulan sebuah negara adalah adanya industri pendukung dan terkait yang memiliki daya saing internasional. Mereka menjadi faktor penting di bagian hilir industri, terutama karena bisa memberikan input yang tidak memberatkan dari sisi biaya karena kecepatan dan berbagai kemudahan atau keistimewaan layanan yang dapat diberikan. Perusahaan perhiasan emas dan perak di Italia bisa menjadi pemimpin dalam industri global sebagian besarnya karena perusahaan Italia lainnya mampu memasok dua pertiga kebutuhan dunia terhadap mesin pembuat perhiasan dan daur ulang logam mulia.

Namun, yang jauh lebih penting daripada sekadar akses ke komponen dan permesinan, adalah keunggulan yang diberikan industri berbasis rumah tangga dan industri pendukung lainnya dalam inovasi dan peningkatan kelas — keunggulan yang bisa diperoleh karena hubungan kerja yang dekat. Pemasok dan konsumen yang berdekatan satu sama lain memanfaatkan jalur komunikasi yang pendek, aliran informasi yang cepat dan konstan, dan pertukaran ide dan inovasi yang berkelanjutan. Perusahaan pun memiliki kesempatan untuk memengaruhi upaya teknis pemasoknya dan sekaligus dapat berfungsi sebagai “penguji” bagi pekerjaan R&D, sehingga mempercepat laju inovasi.

Sifat kompetitif bagi industri yang terkait di dalam negeri juga membawa manfaat yang sama. Industri terkait yang berbasis rumah tangga membawa peluang bagi perusahaan untuk merangkul keterampilan baru sekaligus menjadi sumber penyedia pemain baru yang akan membawa pendekatan baru dalam berkompetisi.

Cerita sukses Swiss dalam bidang farmasi, misalnya, lahir dari keberhasilan internasional sebelumnya yang lebih dulu diraih oleh industri pewarnaan; Begitu juga dominasi Jepang dalam industri keyboard musik elektronik tumbuh dari kesuksesan instrumen akustik sebelumnya yang dikombinasikan dengan posisi mereka yang kuat dalam perdagangan perangkat elektronik.

Firm Strategy, Structure, and Rivalry. Ekosistem domestik menciptakan kecenderungan yang kuat bagaimana sebuah perusahaan diciptakan, diorganisir, dan dikelola, termasuk bagaimana situasi persaingannya dijaga. Karakter perusahaannya bisa berbeda-beda, namun selama ekosistemnya mendukung terjadinya kompetisi maka semuanya bisa berkontribusi bagi keunggulan kolektif sebuah negara. Di Italia, misalnya, perusahaan internasional yang sukses sering kali berasal perusahaan kecil atau menengah yang dimiliki dan dioperasikan secara pribadi seperti keluarga besar; di Jerman, sebaliknya, perusahaan cenderung sangat hierarkis dalam praktik organisasi dan manajemennya, dengan top managers yang biasanya memiliki latar belakang teknis.

“Kearifan konvensional berpandangan bahwa persaingan dalam negeri tidak penting: sebab mengarah pada tumpang-tindih usaha dan menghalangi tercapainya skala ekonomi perusahaan. ‘Solusi yang tepat’ karenanya adalah merangkul satu atau dua ‘juara nasional’, perusahaan dengan skala dan kekuatan untuk mengatasi pesaing asing, lalu memberi mereka sumber daya yang diperlukan, dengan restu pemerintah. Namun pada kenyataannya, sebagian besar ‘juara nasional’ ini tidak kompetitif, meskipun sudah disubsidi dan dilindungi oleh pemerintah.”

Dalam pengamatan Porter, konsentrasi bisnis pada geografi tertentu mampu memperbesar kekuatan persaingan domestik. Pola ini ditemukannya di seluruh belahan dunia: Perusahaan perhiasan Italia berlokasi di sekitar dua kota, Arezzo dan Valenza Po; perusahaan peralatan makan di Solingen, Jerman dan Seki, Jepang; perusahaan farmasi di Basel, Swiss; sepeda motor dan alat musik di Hamamatsu, Jepang. “Semakin banyak terjadi persaingan, maka industri semakin kuat. Dan semakin intens, semakin baik.”

Keempat atribut keunggulan kompetitif ini, bagi Porter, harus dilihat sebagai sebuah sistem yang saling menunjang. Pembeli yang penuh tuntutan tidak serta-merta bisa melahirkan berbagai produk canggih, misalnya, jika tidak diikuti dengan kualitas sumber daya manusia yang memungkinkan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pembeli. Tantangan yang dihadapi dalam faktor produksi tidak juga akan otomatis memotivasi inovasi tanpa adanya kultur persaingan yang kuat serta visi perusahaan untuk mendukung investasi berkelanjutan. Pada tingkatan yang lebih luas, kelemahan dalam satu faktor penentu akan membatasi potensi industri untuk mencapai kemajuan dan peningkatan kelas.

Peran Pemerintah

Tidak hanya di Indonesia, di mana pun, sejak beberapa dekade lalu, debat tentang bagaimana sebaiknya peran pemerintah dalam menciptakan daya saing negara tidak pernah berakhir dengan tuntas. Di satu sisi, ada yang berpandangan bahwa pemerintah adalah penolong atau pendukung utama bagi industri, hal yang dilakukan melalui pembuatan dan implementasi kebijakan yang dapat berkontribusi langsung pada kinerja industri strategis atau yang menjadi sasaran utama pembangunan.

Di sisi lain, ada yang berpandangan bahwa pemerintah cukup memberikan kepercayaan pada “pasar bebas” dan membiarkan invisible hand atau “tangan tak terlihat” untuk bermain sulap dan mengatur segala sesuatunya.

“Kedua pandangan tersebut keliru,” tegas Porter. Kedua-duanya, jika diikuti begitu saja hingga ke tingkat outcome, bisa mengarah pada kerusakan permanen kemampuan sebuah negara untuk menjadi kompetitif. Pada satu sisi, “mereka yang percaya pada bantuan pemerintah untuk menolong industri seringkali mengajukan kebijakan-kebijakan yang pada akhirnya akan melemahkan perusahaan dalam jangka panjang dan menciptakan tuntutan untuk lebih banyak mendapatkan pertolongan.”

Padi sisi yang lain, “para pendukung bagi pengurangan peran atau kehadiran pemerintah mengabaikan peran penting dan sah pemerintah untuk membentuk konteks dan membangun struktur kelembagaan di sekitar berbagai perusahaan, dan terutama dalam menciptakan lingkungan strategis yang dapat menstimuli perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.”

“Peran pemerintah yang tepat adalah sebagai katalis dan penantang; ini untuk mendukung — atau bahkan mendorong — perusahaan untuk meningkatkan aspirasi mereka dan beralih ke tingkat kinerja yang lebih tinggi, meskipun proses ini mungkin secara inheren tidak menyenangkan dan sulit.”

Bagi Porter, pemerintah tidak dapat menciptakan industri yang kompetitif – hanya perusahaan yang dapat melakukannya. Pemerintah dapat memainkan peran yang secara inheren parsial, yang dapat berhasil hanya ketika bekerja bersama-sama dengan kondisi mendasar yang menguntungkan sesuai dengan “berlian keunggulan nasional” di atas.

Meski demikian, peran pemerintah dalam mentransmisikan dan memperkuat kekuatan “berlian” itu masih sangat kuat. Kebijakan pemerintah yang berhasil adalah kebijakan yang menciptakan lingkungan di mana perusahaan dapat memperoleh keunggulan kompetitif dibandingkan kebijakan yang melibatkan pemerintah secara langsung dalam prosesnya – kecuali, di negara-negara di awal proses pengembangan. “Ini adalah peran tidak langsung, bukan langsung.” Sebagai fasilitator bukan eksekutor.

Di bawah ini adalah sejumlah arah strategi kebijakan pemerintah yang diusulkan Porter yang sejalan dengan semangat memenangkan persaingan. Namun, saya harus mengatakan bahwa saya tidak serta-merta bersepakat dengan apa yang diusulkan oleh Porter – meskipun semangat untuk memunculkan keunggulan yang mendasari usulan tersebut, menurut saya bisa diterima. Arahan kebijakan yang disampaikan Porter ini, mestinya sangat relevan dengan konteks Amerika Serikat yang sejarah perkembangan industrinya telah “dewasa”.

Untuk konteks Indonesia dengan ekosistem dan struktur industri yang masih seperti “anak-anak” atau bahkan masih “bayi”, saya masih memperlakukan usulan Porter sebagai gagasan terbuka yang masih perlu diperdebatkan dan dipertajam (saya misalnya masih percaya pada pentingnya kebijakan afirmatif dan kolaboratif pada UMKM, termasuk meningkatkan kapasitas mereka dalam “berstrategi”, hingga tahap tertentu, sampai mereka menjadi lebih siap untuk berkompetisi secara bebas). Anggap saja usulan-usulan di bawah ini adalah tesis yang memerlukan antitesis supaya bisa menghasilkan sintesis – yaitu outcome jangka panjang yang jelas, yaitu industri nasional yang kompetitif – dan bukannya sebuah resep yang baku dan kaku:

Fokus pada penciptaan faktor produktivitas yang khusus. Pemerintah memiliki tanggung jawab penting bagi penyediaan faktor-faktor produktivitas yang mendasar seperti sistem pendidikan dasar dan menengah, infrastruktur nasional dasar, dan penelitian di bidang yang menjadi perhatian nasional secara luas seperti kesehatan. Namun upaya-upaya umum semacam ini meskipun penting pada penciptaan faktor produktivtas secara jangka panjang tidak otomatis akan menghasilkan keunggulan kompetitif. Untuk itu, perlu ada fokus terhadap faktor-faktor yang secara langsung terkait dengan keunggulan kompetitif yang lebih maju, terspesialisasi, dan terkait dengan industri atau kelompok industri tertentu. Mekanisme seperti program pemagangan khusus, penelitian di universitas yang terhubung dengan industri, kegiatan asosiasi perdagangan, dan, yang paling penting, investasi swasta pada akhirnya menciptakan faktor-faktor yang akan menghasilkan keunggulan kompetitif.

Hindari campur tangan dalam faktor dan pasar mata uang. Dengan mengintervensi pasar mata uang, pemerintah berharap dapat menciptakan faktor biaya yang lebih rendah atau nilai tukar yang menguntungkan yang akan membantu perusahaan bersaing lebih efektif di pasar internasional. Namun, berbagai bukti dari seluruh dunia menunjukkan bahwa kebijakan seperti ini — seperti devaluasi dolar yang dilakukan pemerintahan Ronald Reagan di AS — seringkali kontraproduktif. Upaya ini berlawanan dengan upaya industri untuk naik kelas dan mendapatkan keunggulan kompetitif yang lebih berkelanjutan.

Terapkan standar produk, keamanan, dan lingkungan yang ketat. Peraturan pemerintah yang ketat dapat mempromosikan keunggulan kompetitif dengan merangsang dan meningkatkan permintaan domestik. Standar ketat untuk kinerja produk, keamanan produk, dan dampak lingkungan mendorong perusahaan untuk meningkatkan kualitas, meningkatkan teknologi, dan menyediakan fitur yang dapat merespon tuntutan konsumen dan masyarakat. Melonggarkan standar, betapapun menggoda, adalah tindakan yang kontraproduktif.

Batasi dengan ketat kerja sama langsung antar industri yang bersaing. Porter melihat adanya kecenderungan industri yang saling bersaing untuk melakukan kerjasama penelitian dalam sebuah konsorsium industri. Hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa penelitian independen oleh para pesaing adalah pemborosan dan duplikasi, dan bahwa upaya kolaboratif dapat mencapai skala ekonomis, dan bahwa masing-masing perusahaan cenderung kurang berinvestasi dalam R&D karena mereka tidak dapat menuai semua manfaatnya. Pada kenyataannya, dalam pengamatan Porter, kerjasama seperti itu tidak pernah efektif – masing-masing perusahaan tidak mengikutsertakan saintis terbaiknya, dan seringkali, jika proyek ini diinisiasi pemerintah, mereka turut serta hanya agar tidak ketinggalan dibandingkan pesaingnya.

Promosikan tujuan yang mengarah pada investasi berkelanjutan. Pemerintah memiliki peran vital dalam memengaruhi tujuan investor, manajer, dan karyawan melalui kebijakan di berbagai bidang. Cara bagaimana pasar modal diatur, misalnya, memengaruhi insentif bagi investor dan, pada gilirannya, perilaku perusahaan. Pemerintah harus memiliki tujuan untuk mendorong investasi berkelanjutan dalam peningkatan keterampilan manusia, inovasi, dan dalam aset fisik. Instrumen paling ampuh untuk meningkatkan investasi berkelanjutan dalam industri adalah melalui insentif pajak bagi keuntungan modal jangka panjang (lima tahun ke atas) yang terbatas pada investasi baru dalam ekuitas perusahaan. Insentif seperti ini juga juga bisa diterapkan pada dana pensiun dan investor lain yang belum dipajaki, yang sekarang mungkin masih memiliki sejumlah alasan untuk tak terlibat dalam trading jangka pendek.

Deregulasi kompetisi. Regulasi persaingan melalui kebijakan seperti mempertahankan monopoli negara, mengendalikan masuknya industri, atau penetapan harga memiliki dua konsekuensi negatif yang kuat: hal ini menghambat persaingan dan inovasi, terutama karena perusahaan menjadi sibuk berurusan dengan regulator untuk melindungi apa yang sudah mereka miliki; dan, kedua, menjadikan industri sebagai pembeli atau pemasok yang kurang dinamis dan kurang diinginkan. Namun demikian, deregulasi tidak akan berhasil tanpa persaingan domestik yang kuat — dan itu membutuhkan, sebagai konsekuensi yang wajar, kebijakan antimonopoli yang kuat dan konsisten.

Tegakkan kebijakan antimonopoli dalam negeri yang kuat. Kebijakan antimonopoli yang kuat — terutama untuk mengatur merger secara horizontal, aliansi, dan perilaku kolutif — merupakan hal mendasar bagi inovasi. Meskipun merger dan aliansi atas nama globalisasi dan penciptaan ‘juara nasional’ masih menjadi tren hingga kini, namun kenyataannya, hal ini lebih sering merusak penciptaan keunggulan kompetitif. Daya saing nasional yang nyata mengharuskan pemerintah untuk tidak menyetujui merger, akuisisi, dan aliansi yang melibatkan berbagai industri besar.

Tolak pengaturan perdagangan. Perdagangan yang dikelola bisa berbahaya bagi penciptaan daya saing nasional. Perjanjian pemasaran yang diatur, perjanjian pengekangan secara sukarela, atau perangkat lain yang berusaha menetapkan target-target kuantitatif untuk membagi pasar juga berbahaya, tidak efektif, dan seringkali berakibat merugikan konsumen. Bukannya mempromosikan inovasi dalam industri bagi negara, perdagangan yang dikelola hanya menjamin pasar bagi perusahaan yang tidak efisien.

Peran Pemimpin

Porter menyoroti, banyak perusahaan dan top managers yang salah memahami sifat persaingan dan tugas utama mereka – mereka justru lebih memfokuskan diri pada peningkatan kinerja keuangan, mengharapkan bantuan pemerintah, mencari stabilitas, dan mengurangi risiko melalui aliansi dan merger. Baginya, realitas industri yang makin kompetitif hingga saat ini, sangat menuntut kepemimpinan.

Pemimpin dalam bayangan Porter adalah mereka yang memiliki visi dan percaya pada perubahan. “Mereka memberi energi pada organisasi untuk terus berinovasi; mereka mengakui pentingnya negara asal mereka sebagai bagian integral dari kesuksesan kompetitifnya dan terus bekerja untuk meningkatkannya.” Tapi, yang terpenting, para pemimpin “menyadari perlunya tekanan dan tantangan.”

Mereka bersedia mengorbankan kehidupan yang mudah untuk menghadapi kesulitan dan, pada akhirnya, mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. “Itu yang harus menjadi tujuan, baik bagi negara maupun perusahaan: tidak hanya bertahan, tetapi mencapai daya saing internasional,” kata Porter.

Catatan Penutup

Jarang sekali ada pakar manajemen merangkap konsultan seperti Michael E. Porter yang mampu membicarakan topik yang luas, dari strategi perusahaan hingga negara dengan pesan visioner yang jelas – yaitu menjadi kompetitif. Tokoh lain yang saya tahu adalah “Management Guru”, Peter F. Drucker. Mereka mengajarkan pada kita bahwa mengelola bisnis dan perusahaan bukan semata-mata mencari uang sebanyak-banyaknya, atau sekedar mengalahkan para pesaing.

Kewirausahaan, dan persaingan, memiliki makna yang lebih jauh dari itu. Ia adalah bagian dari kodrat manusia untuk tetap maju, lewat inovasi, lewat intelektualisasi dan kerja keras. Sebab tanpa itu, kita bisa mengalami kemunduran, karena hanya berharap bahwa segala sesuatu akan selalu tersedia bagi kita. Kita tidak menjadi penguasa bumi dengan cara seperti itu. Tidak ada yang bisa menjadi penguasa bumi dengan cara seperti itu – tidak juga dinosaurus.

Tulisan Porter lahir ketika optimisme terhadap globalisasi sedang menjulang tinggi sejak beberapa dekade terakhir. Narasi persaingan lebih mengemuka dibandingkan dengan narasi kolaborasi. Namun, pada saat krisis melanda, seperti sekarang ini, narasi kerjasama menjadi lebih mengemuka – sebab bagaimana cara menjadi lebih unggul di tengah perekonomian yang sedang terpuruk. Bisa bertahan saja sudah bagus.

Persaingan dan kolaborasi akan terus bergantian menjadi fokus perhatian kita – karena keduanya adalah bagian yang inheren sekaligus modal penting dalam kehidupan kita. Tanpa kompetisi, tak ada kemajuan. Tapi tanpa kerjasama, tak ada keberlanjutan. Manusia menjadi penguasa bumi karena bisa berpikir, berinovasi dan bekerjasama – untuk mencapai kemajuan dan keberlanjutan hidup.

Lalu, mengapa kita perlu membaca Porter di saat krisis saat ini? Ya karena, setelah krisis, dunia masih akan terus berputar. Jadi, mumpung sedang work from home tak ada salahnya melatih mental untuk terbiasa menghadapi persaingan. Semoga kita semua menjadi kian kompetitif, sekaligus tak lupa bergotong-royong. Demikian.