
Hidup sederhana dan menjalankan kebajikan itu bukan teori belaka. Saya beruntung menyaksikan contoh nyata di lingkungan keluarga terdekat saya. Jauh sebelum saya belajar tentang psikologi, filsafat serta agama, ayah saya Johanes Albert Tuturoong (22 Februari 1942 – 3 November 2010) telah menjalani kehidupan yang sederhana. Sampai akhir hayatnya.
Sepengetahuan saya, ia tidak pernah belajar filsafat secara formal. Tapi, tiga prinsip yang ia terapkan dalam hidupnya adalah: menjunjung tinggi etika, selalu bersyukur dengan melihat kebaikan di balik setiap situasi, dan mengoptimalkan peluang apapun yang tersedia di hadapannya.
Mirip betul dengan Stoikisme, yang diperkenalkan para bijak seperti Marcus Aurelius, Seneca dan Epictetus, ribuan tahun yang lampau. Dichotomy of control atau pemilahan kendali – yaitu hanya fokus pada hal-hal yang mungkin kita kendalikan dan tak perlu pusing dengan hasil yang tak bisa kita kendalikan – benar-benar dipraktekkannya.
Mengawali karir sebagai guru, ia pensiun sebagai bankir profesional di tahun 1997 (setahun sebelum krisis ekonomi dan politik besar terjadi di Indonesia). Meskipun mantan guru, tak sekalipun ia mau melihat nilai-nilai raporku. Juga tak pernah ia membebani anak-anaknya untuk bersekolah di lembaga pendidikan tertentu. Dia cuma bilang, “yang terpenting dalam hidup itu, menghormati orang lain.”
Ketika di kelas I SMA, saya nyaris tidak naik kelas dengan sejumlah mata pelajaran, termasuk matematika mendapatkan nilai merah, dia malah tertawa dan meledek, “memangnya kamu belum bisa hitung-hitungan.” Seolah-olah itu bukan perkara besar.
Sejak muda ia sudah menjalani hidup yang keras. Semasa SMP dia dan Opa-Oma kami, harus masuk hutan karena situasi Perang Permesta di Sulawesi Utara. Dari sana tampaknya ia terbiasa menghadapi krisis, dan telah melatih mental emosionalnya untuk melakukan langkah-langkah terbaik dalam situasi under pressure.
Tanggal 2 November 2010, saat sakitnya sudah semakin parah, saya dan adik saya bergegas ke Manado mengunjunginya. Hari itu ia sangat apa adanya. Sempat mengaku takut, tapi tak lama kemudian ia terlihat tegar. Ia mencoba merencanakan semuanya termasuk menunjuk adiknya sendiri sebagai Ketua Panitia, untuk urusan kematian dan penguburannya.
“Sertifikat-sertifikat tanah ini bisa kamu gadaikan, untuk biaya penguburan,” katanya sambil mengeluarkan sejumlah dokumen. Saya menolak, dan bilang bahwa saya yang akan menentukan bukan dia.
Tanggal 3 November 2010 sore, ia meminta saya menyupir untuk berkeliling kota. Tapi, belum juga keluar pagar rumah, ia membatalkan. “Tidak usah,” katanya pendek, lalu kembali ke ruang tengah dan bersandar di sofa. Saya memegang lengan kirinya, adik saya memegang lengan kanannya. Kakak saya memegang kaki kanannya, dan ibu saya memegang kaki kirinya. Lengkap, kami sekeluarga sudah berkumpul.
Saya merasakan aliran dingin merayap dari bagian bawah tubuhnya, perlahan naik ke atas. Nafasnya mulai tidak teratur, tapi “Papi” terlihat pasrah. Tak lama kemudian, ia menengadah ke atas seperti menantikan sesuatu selama beberapa saat dan berucap dengan jelas, “Tuhan, ambillah nyawaku.” Lalu pergi.
Kami membaringkan tubuhnya ke lantai dan saya mengatupkan kedua kelopak matanya. Butuh beberapa saat untuk benar-benar menyadari apa yang baru saja terjadi…
Setahun setelahnya, saya memberanikan diri menulis memoar di bawah ini.
Memory of My Beloved Father
3 November 2011 pukul 19.46
Persis hari ini, setahun sejak kepergiannya… Damai selalu bersamamu. Amin.
Sekitar tahun 1995, beberapa bulan setelah aku dilepaskan dari Rumah Tahanan Salemba. Orang tuaku, sudah pindah ke Jakarta – setelah sebelumnya bertugas sebagai Kepala Cabang bank milik negara (Bank Dagang Negara, yang kemudian menjadi salah satu bank yang dilebur menjadi Bank Mandiri) di Tarakan, Kalimantan Timur (waktu itu).
Di Jakarta, Papi kembali memimpin cabang bank yang sama di kawasan Cilandak Commercial Estate. Aku tak ingat persisnya, setahun setelah bertugas di Jakarta atau mungkin kurang dari itu…
Sebuah “investigasi” dilakukan dengan melibatkan Bakorstanas (lembaga ekstra yudisial, yang kami kenal saat itu sebagai salah satu badan intelijen yang cukup ditakuti) untuk mengungkap “penyimpangan” yang dituduhkan pada Papi ketika ia bertugas di Tarakan. Investigasi semacam itu sebuah pukulan telak buat kami, terutama buat Papi yang sedang menanjak karirnya…
Papi adalah seorang pegawai profesional yang meniti karir dari bawah. Ia tak punya gelar sarjana (kelak ia bakal punya gelar sarjana Teologi dari sebuah sekolah tinggi antah-berantah di Jawa Timur setelah tak lagi memegang jabatan di bank). Ia pernah jadi guru, sekolahnya pun sekolah guru, Sekolah Guru tingkat Atas. Ia banting setir jadi pegawai bank setelah melihat adiknya yang lebih dulu menjadi karyawati BDN memiliki kehidupan yang ia anggap lebih baik.
Pilihannya bekerja di bank, tampaknya tepat. Mungkin di tahun 1995 itu, ia satu-satunya kepala cabang yang tak punya gelar sarjana. Namun dalam beberapa pendidikan internal perbankan yang sering diadakan BDN waktu itu, ia selalu berada di antara yang terbaik. Ia seorang otodidak – hal yang kami anak-anaknya sangat syukuri, sebab secara genetika tampaknya hal itu mengalir dalam darah kami.
Pilihannya untuk menjadi pegawai bank membawa konsekuensi yang cukup panjang. Kami tidak lagi hidup dalam tempurung di kota Manado. Sejak tahun 1980 kami sering berpindah-pindah. Dari Manado ke Donggala, lalu ke Jakarta, Banjarmasin, Tarakan dan kembali lagi ke Jakarta. Kami anak-anaknya terbiasa untuk beradaptasi dengan berbagai budaya Nusantara.
Kemampuan untuk menyelami watak manusia Indonesia yang berbeda, kami semua miliki secara alami. Apalagi, ketika mengajari kami, ia selalu mengulang-ulang hal yang sama: yang terpenting dalam hidup adalah “etika”. Jika melihat masa-masa itu, aku yakin kami tak mungkin pernah tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang fanatik.
Ya, pengusutan itu sebuah pukulan telak. Terutama karena, siapapun yang melalui proses itu seringkali karirnya berakhir memalukan. Turun pangkat atau mungkin dipecat.
Lalu, mulailah proses panjang itu. Pertama-tama ia harus kehilangan jabatannya sebagai kepala cabang. Pangkat tidak diturunkan, tetapi segala tunjangan terkait jabatannya harus dicabut. Selama itu, berulangkali ia diinterogasi dan ditanya tentang “aktivitas” anak-anaknya.
Suatu malam, dalam keadaan letih sepulang dari interogasi itu ia mengajakku bicara. “Kamu yakin dengan yang kamu perjuangkan?” tanyanya serius. “Ya, tentu saja,” jawabku singkat.
“Itu yang penting,” kata dia. “Yang penting kamu yakin. Papi rela dan tidak malu menjalani semua ini. Kamu tidak perlu banyak berpikir lagi soal ini.”
Aku barangkali masih terlalu muda dan tak banyak berpikir tentang pengorbanan yang dilakukan Papi saat itu. Yang kuingat, ia memang tak pernah mengeluh soal apapun yang ia sedang jalani. Ia malah mulai mempelajari ketrampilan “baru” seperti membuat berbagai bahan presentasi dengan perangkat lunak “microsoft powerpoint”, termasuk membuatkan bahan-bahan presentasi buat para koleganya yang membutuhkan.
Ia juga tetap aktif dalam kegiatan sosial di gereja, termasuk mengorganisir beberapa senior untuk menghidupkan kembali Hawaiian music. O’ya, ia memang senang bernyanyi. Kami punya seperangkat sound system yang bagus, yang kalau tak salah, dibeli dari koleganya dengan harga miring.
Belakangan, ia mencoba kuliah jarak jauh bidang teologia untuk menutupi kekurangannya dari segi akademis. Ia seperti punya seribu satu alasan untuk tetap aktif dan memberi makna terhadap waktu berlimpah yang dimilikinya.
Selama masa pemeriksaan itu, sejumlah mantan bawahannya di BDN Tarakan berulangkali datang menginap di rumah kami, rumah instansi di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka memberi laporan tentang pemeriksaan dan pengusutan yang masih berlangsung dan meyakinkan Papi bahwa mereka semua secara moril berada di belakang Papi.
Loyalitas anak buah memang bisa dilihat di manapun Papi berada. Aku tak tahu bagaimana membuktikannya, tapi Papi sering bilang bahwa mungkin ia atasan yang paling sering mempromosikan kenaikan jabatan anak buahnya. “Kita tak punya banyak atasan, tapi punya lebih banyak bawahan. Jika berada dalam kesukaran, para bawahanlah yang paling mungkin kelak membantu kita.”
Prinsip yang menurutku agak aneh ini tampaknya benar-benar terbukti dalam hidupnya.
Suatu hari, datang juga keputusan itu. Singkat saja: Tidak terjadi penyimpangan, hanya kesalahan administratif. Tidak ada turun pangkat, tidak ada penyitaan properti dan barang-barang berharga. Lagipula ia selama hidupnya tak pernah membeli barang-barang mewah, jadi tak ada yang bisa disita.
Ia punya hobi membeli barang-barang bekas… sampai-sampai tak pernah membeli mobil baru hingga akhir hayatnya, dan banyak di antara barang-barang bekas itu, yang meskipun Papi sudah menjelaskan panjang lebar kegunaannya dan betapa harga yang ia bayarkan amat sangat murah, menurutku benar-benar tak berguna.
Papi sangat mensyukuri keputusan itu. Aku masih merasa bahwa sesungguhnya, hak-haknya semestinya dikembalikan. Ia masih layak memimpin kantor cabang dan sebagainya. Tapi, Papi yang lebih tahu. Ia tahu, saat itu situasi politik tak mungkin memberikannya pilihan yang lebih baik lagi. Aku belajar politik, tapi ia punya kepekaan politik. Kata reformasi pun baru akan terdengar 2 hingga 3 tahun setelah itu.
Selama proses itu, rumah instansi BDN di kawasan Cilandak itu, sesungguhnya menjadi salah satu “markas” penting perjuangan demokrasi melalui media internet. Dari situ kami mengirimkan sejumlah berita-berita tentang perjuangan demokrasi ke seluruh dunia, terutama lewat milis ‘apakabar.net‘. KdP Net (Kabar dari Pijar versi internet) serta versi email dari artikel-artikel yang kami buat untuk majalah bawah tanah Suara Independen dan Xpos, juga berbagai siaran pers dan kronologi berbagai peristiwa politik yang kami organisir atau ikuti.
Hanya segelintir orang yang tahu bahwa tagihan telepon dan internet untuk kegiatan-kegiatan itu ditanggung oleh Papi.
Baru sekarang sebetulnya, aku merasa bahwa rasa bersyukur Papi itu benar-benar tepat adanya. Ia akhirnya bisa menikmati masa pensiunnya secara penuh, dengan jaminan kesehatan seratus persen.
Ketika akhirnya divonis mengidap kanker paru-paru pun sebetulnya biaya berobatnya hingga ke luar negeri sekalipun dapat ditanggung asuransi – namun ia memilih berada di Manado saat itu, dengan pertimbangan Mami tetap bisa mengurus cucunya dan karena ia merasa penyakitnya memang sudah tak tersembuhkan.
Saat ini, keadaan sudah berbeda. Para pegawai bank senior pun tak punya kemewahan tunjangan dan asuransi kesehatan yang penuh. Sementara para pegawai baru, tak lebih hanya bekerja dengan status kontrak karena merupakan bagian dari kebijakan outsourcing perusahaan untuk menekan cost.
Papiku selalu merasa ia adalah orang yang beruntung. Aku kini dapat benar-benar “mengamini” hal itu.