Plato, Negara yang Adil & “The Philosopher King”

Lukisan Dinding Plato oleh Raphael

Bayangkan sebuah gua, tempat sekumpulan orang dipenjarakan sejak lahir. Mereka dirantai dan dihadapkan pada dinding belakang gua. Mereka hanya bisa menghadap lurus ke dinding gua itu. Di belakang para tahanan, di mulut gua, terdapat sinar yang sangat terang, yang menyebabkan para tahanan itu hanya bisa melihat bayangan mereka sendiri di dinding gua tadi.

Di antara para tahanan dan sinar di mulut gua, terdapat berbagai benda yang juga bayangannya terpampang di dinding gua. Bayangan-bayangan tersebut adalah semua hal yang diketahui para tahanan tentang dunia. Mereka tidak mempunyai konsep tentang obyek yang sebenarnya. Hanya jika salah satu tahanan tersebut berhasil melepaskan diri dan keluar dari gua, barulah ia akan melihat sendiri realitas yang sejati.

Namun, setelah seumur hidup terperangkap di sana, tahanan yang berusaha keluar gua mungkin akan bingung, Matanya silau dan butuh waktu baginya untuk beradaptasi dan menyadari realitas sesungguhnya di hadapannya. Bagi yang tidak kuat, ia mungkin bisa kembali lagi ke dalam gua untuk melihat dindingnya, sebagai satu-satunya kenyataan yang selama itu ia ketahui.

Cerita di atas, yang dikenal sebagai “Alegori tentang Gua”, dianggap sebagai landasan dari teori Plato tentang “Idea” atau “Bentuk”. Inti teorinya, kira-kira menyatakan bahwa setiap hal di dunia yang dapat kita kenali melalui persepsi inderawi, memiliki “bentuk” aslinya di dunia “Idea”. Apa yang kita lihat di dunia ini ibarat dinding gua tadi. Jadi, kita sendiri, tak lain adalah para tahanan di dalam gua.

Gagasan tentang “Idea” ini tidak hanya berlaku pada dunia materi, tapi juga untuk konsep-konsep abstrak. Misalnya, konsep tentang keadilan. Dalam pandangan ini, keadilan di dunia ini hanyalah model atau bentuk yang tidak sempurna dari keadilan sesungguhnya dalam dunia “Idea”. Tujuan filsafat dan kehidupan, termasuk kehidupan bernegara, adalah untuk mencapai atau mewujudkan dunia “idea” itu.

Itu pandangan yang berkembang tentang pemikiran Plato, secara konvensional – setidaknya yang bisa dilihat dan dijelaskan dari buku “The Philosophy Book (Big Ideas)” yang sempat saya baca…

Namun, setelah membaca kembali kisah tersebut dari sumber aslinya, “The Republic” (First Clydesdale Press Edition 2018), yang ditulis oleh Plato sendiri, saya mendapatkan pemahaman baru yang lebih kaya. Begini: “The Republic” ditulis dalam bentuk dialog-sokratik yang khas dari gurunya, Socrates, dengan para teman dialognya, untuk mencapai sebuah kesimpulan atau pemahaman, atau lebih tepatnya lagi, kebijaksanaan (lihat juga tulisan sebelumnya di blog ini, “Socrates: Hidup yang Tak Teruji Tak Layak Dijalani”).

Dalam buku yang terdiri dari 10 bagian ini (tiap bagian disebut Buku I hingga X), Plato menggunakan kata “saya” sebagai ganti dari Socrates. Hal ini memunculkan debat tak terselesaikan hingga saat ini, apakah gagasan yang ada dalam buku tersebut merupakan milik Plato atau Socrates. Sulitnya lagi, Socrates tak pernah menulis buku dan membuat teori. Sehingga wajar, jika secara konvensional, banyak pihak kemudian menggunakan buku tersebut sebagai landasan “pemikiran” Plato.

Berbeda dengan Xenophon, murid Socrates lainnya, yang cenderung menggambarkan gurunya sebagai sosok bijak yang cenderung spiritual (bahwa Socrates mendapatkan tuntunan spiritual dari jiwanya yang lebih tinggi, yang ia sebut sebagai “Daemon”), Plato menggambarkan Socrates sebagai tokoh yang memiliki superioritas intelektual. Wajar pula jika ia pun lebih mengedepankan pandangan Socrates dari sisi rasionalitasnya. Tak ada yang salah dengan itu – dan saya pun menduga Socrates memang sosok yang memiliki banyak wajah, intelektual dan spiritual sekaligus.

Kembali pada “Alegori tentang Gua”. Kisah tersebut ditulis dalam konteks yang sebetulnya sudah cukup jelas ditunjukkan dari judul buku tersebut, “The Republic”, yang sedang membahas bagaimana mewujudkan sebuah negara yang adil. Kisah itu, dalam perspektif saya, merupakan pandangan Socrates tentang evolusi jiwa manusia untuk mencapai tingkatan, semacam maqam, yang lebih tinggi, yang harus dicapai para pencari kebijaksanaan (para filsuf).

Mereka yang telah mencapai tingkatan itu, idealnya, harus kembali lagi ke dalam gua dan menjadi pemimpin dan penuntun bagi para tahanan di dalam gua untuk mencapai tingkatan yang sama. Ini kemudian menjelaskan konsep “The Philosopher King”, sebagai sosok pemimpin yang kompatibel dengan negara yang adil dalam buku tersebut.

“The Republic” dan Pengaruhnya

Buku yang ditulis pada sekitar tahun 375 SM ini boleh dibilang sebagai karya Plato paling terkenal yang telah menjadi salah satu karya pemikiran filsafat dan teori politik yang juga paling besar pengaruhnya di dunia. Tak kurang para tokoh dan pemikir terkemuka dari zaman Romawi kuno seperti Cicero hingga filsuf Inggris abad ke-20 Bertrand Russel dan Leo Strauss turut mengulas buku ini secara mendalam. Masing-masing dengan apresiasi sekaligus kritik terhadapnya.

Dalam dunia Islam, Ibnu Rushid (Averroes), pemikir asal Andalusia abad ke-12 yang menguasai berbagai bidang ilmu pun turut menuliskan komentarnya terhadap “The Republic”. Seperti dikutip  britannica.com, ia tampaknya tertarik dengan konsep “Philosoper-King” untuk menciptakan masyarakat yang adil dan juga dapat menerima prinsip-prinsip kesetaraan terhadap perempuan.

Pada tahun 2001, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Philosopher’s Magazine dengan melibatkan 1.000 orang pemikir, akademisi dan mahasiswa, “The Republic” dinobatkan sebagai karya terbesar filsafat. Meskipun Julian Baggini, editor Philosopher’s Magazine, berpendapat bahwa substansi dari buku tersebut banyak yang sudah tidak relevan, namun pertanyaan yang diangkatnya serta metode yang digunakannya, sangat esensial dalam tradisi filsafat barat. “Tanpa itu kita mungkin takkan memiliki filsafat sebagaimana yang kita kenal saat ini,” ujar Baggini.

Intisari Buku: Negara yang Adil, Membutuhkan Jiwa-Jiwa yang Adil

Saya sebetulnya berharap bisa membuat intisari yang lebih baik setelah membaca “The Republic”. Namun, membaca kesimpulan dan kata pengantar dari filsuf dan ahli metaetika dari Cambridge University, Simon Blackburn dalam versi buku yang saya punya, rasanya tak banyak lagi yang masih bisa ditambahkan. Analisis Blackburn telah langsung menukik pada pokok bahasan terpentingnya.

“Karya Plato ini berbicara tentang dua tema berbeda yang saling terkait: kota yang tertata rapi atau kota yang adil dan jiwa yang tertata rapi atau jiwa yang adil. Yang satu berbicara tentang pengaturan sosial dan politik, yang lain berbicara tentang kehidupan seseorang dan cara seseorang menjalaninya. Secara resmi, keadilan di kota digunakan hanya sebagai analogi, yang disediakan untuk ‘menyinari’ keadilan yang akan tumbuh dalam jiwa,” ungkap Blackburn.

Jelas bahwa kekuatan buku ini bukanlah tentang konsep kota yang adil – yang kemudian menjadi titik utama kritik dari berbagai pemikir terhadap “pemikiran” Plato ini. Buku ini justru mengingatkan kita untuk tidak melupakan perkembangan jiwa manusia-manusianya. Sebab, jika tidak ada benih keadilan dalam diri mereka, apapun bentuk kota atau negara yang dipilih, keadilan tidak akan pernah terwujud.

Namun, itu tidak berarti bahwa kita lantas bisa seenaknya membangun kota. Seperti kata Blackburn, “keadilan dalam jiwa membutuhkan dukungan sosial dan politik untuk berkembang; sedangkan keadilan di kota membutuhkan warga yang adil untuk dukungan dan kelanjutannya.”

Dalam pengamatan Blackburn, kita, manusia modern hari ini “mungkin lebih khawatir tentang pengaturan politik kita ketimbang keadaan jiwa kita. Tetapi pemerintah muncul dan berlanjut dengan kesepakatan, jadi ketika politik kita buruk, hal itu adalah konsekuensi dari hal yang buruk dalam diri kita.” Menggunakan kalimat saya sendiri, pendekatan struktural itu penting, tapi lebih penting lagi pendekatan kultural.

Terus terang, semasa masih mahasiswa saya cenderung percaya bahwa pendekatan struktural lebih penting daripada kultural – terutama, karena analisis struktural lebih memuaskan dalam menjelaskan penyebab terjadinya kemiskinan, ketimbang analisis kultural (baca: orang menjadi miskin bukan karena malas, tapi karena tidak mendapatkan kesempatan yang sama, yang biasanya disebabkan karena kebijakan publik atau politik). Tapi, sebaliknya, ketika kita berbicara solusi atas berbagai masalah, pendekatan yang terlalu berat pada analisis struktural seringkali menutup celah terhadap inovasi – dan bahkan bisa membuat para penganutnya frustrasi.

Sebaliknya pendekatan kultural – lebih khususnya lagi yang percaya pada peran penting pertumbuhan atau kebangkitan jiwa – sangat dibutuhkan bagi sebuah bangsa yang dipenuhi berbagai masalah dan membutuhkan lompatan besar untuk menjadi lebih adil dan maju. Bayangkan situasi di tanah air sebelum tahun 1945, jika kita terlalu tenggelam dan menerima keadaan bahwa kita sedang terjajah, maka kemerdekaan takkan pernah terwujud. Sebaliknya, para pendiri bangsa, meskipun ada yang diasingkan dan dipenjarakan, tapi jiwa mereka tetap “bebas dan adil”, sehingga mampu memerdekakan Indonesia.

Blackburn melanjutkan, “memang benar bahwa kota ideal menurut Plato adalah kota yang cenderung otoriter, dan tidak diragukan lagi hal ini tidak akan sesuai dengan selera modern.” Tetapi, harus diingat bahwa “otoritas yang dihargai (oleh Plato dan/atau Socrates) bukanlah kekuatan brutal dan kekuasaan yang tak terkendali, tetapi yang didasarkan pada kebijaksanaan.” Bagi Blackburn, perhatian Plato adalah bagaimana mendiskusikan apa yang dibutuhkan untuk menciptakan keadilan di kota, “bukan untuk memberikan cetak biru praktis untuk mewujudkannya.”

Bahkan cetak biru itu sesungguhnya bukan urusan Plato dan Socrates – itu adalah urusan kita atau generasi setelah Plato untuk menyesuaikannya dengan perkembangan kehidupan yang dinamis. Urusan mereka, mengingatkan tentang pentingnya keadilan diwujudkan, di tingkat negara atau kota, dan yang lebih penting lagi di dalam jiwa masing-masing warganya.

Dialog-dialog sokratik, saya kira, pun memang tidak bertujuan untuk memfinalisasi sebuah konsep. Tetapi untuk memicu kita berpikir dan berusaha untuk mencari sendiri solusi yang khas dari masing-masing zaman untuk keluar dari ketidakadilan dan menciptakan keadilan. Seperti kata filsuf dan matematikawan Inggris, Alfred North Whitehead, yang juga dikutip oleh Blackburn, “karakter umum yang teraman dari tradisi filosofis Eropa adalah, tradisi ini terdiri dari serangkaian catatan kaki untuk Plato.” Tetapi ia dengan hati-hati kemudian menjelaskan bahwa ia tidak mengacu pada “doktrin Plato”, sebaliknya pada “kekayaan umum ide, yang dibawanya ke dalam terang.”

Dua Sisi Manusia

Mengapa Plato begitu peduli pada pertumbuhan jiwa manusia? Hal ini dilandasi kesadaran bahwa jiwa manusia bukanlah sebuah produk final, yang sudah selesai. Untuk menjadi adil, jiwa manusia harus ditempa dengan berbagai cara, termasuk melalui perenungan dan pembelajaran secara individual maupun kolektif. Dalam Buku IX, hal ini diperjelas melalui penjelasan Socrates:

“Ada beberapa kesenangan dan nafsu yang tak perlu yang saya anggap melanggar hukum; setiap orang tampaknya memiliki nafsu ini, tetapi bagi beberapa orang hal ini dapat mereka kendalikan, melalui hukum dan akal, kemudian keinginan yang lebih mulia bisa mengatasi nafsu-nafsu mereka — ada yang sepenuhnya bisa dibuang atau ada yang menjadi berkurang dan lemah; tapi dalam kasus lain, nafsu-nafsu itu menjadi lebih kuat, dan ada lebih banyak yang seperti ini.”

Nafsu-nafsu itu adalah sisi kebinatangan dalam diri manusia. “Mereka terjaga ketika nalar dan jiwa manusia dan kekuatan pengendalian dirinya terlelap; saat itulah binatang buas dalam diri kita, yang kenyang dengan daging atau minuman, mulai terbangun dan setelah bangkit dari tidurnya, pergi keluar untuk memuaskan keinginannya.” Selanjutnya, menurut Socrates, “poin yang ingin saya kemukakan adalah bahwa dalam diri kita semua, bahkan pada orang yang baik sekalipun, terdapat sifat binatang buas yang mampu melanggar hukum, yang sedang mengintip dalam tidur.”

Namun, manusia yang adil adalah yang tidak membiarkan kebinatangan tersebut menguasai dirinya:  “Tetapi. ketika denyut nadi seseorang sehat dan tidak berlebihan, dan ketika sebelum tidur ia membangkitkan kekuatan rasionalnya, dan mengisinya dengan berbagai pertanyaan dan renungan mulia, menyatukan dirinya dalam meditasi; setelah memenuhi nafsunya dengan tidak berlebihan, yang hanya cukup untuk menidurkan mereka, dan mencegah mereka dengan segala kenikmatan dan rasa sakitnya untuk mengintervensi prinsip yang lebih tinggi – yang ia biarkan berada dalam kesunyian abstraksi yang murni, bebas berkontemplasi dan merindukan pengetahuan dari yang ‘tak dapat diketahui’, di masa lalu, masa kini dan masa depan: ketika ia kembali dapat mengatasi nafsunya, jika harus bertengkar dengan siapapun – saya bisa mengatakan, ketika ia telah mampu menenangkan dua prinsip yang irasional, dia membangkitkan yang ketiga, yaitu akal budi, sebelum dia beristirahat, seperti yang engkau ketahui, ia pun mencapai kebenaran yang paling mendekati, dan yang paling tidak mungkin hanya menjadi kegiatan hebat namun dengan visi yang tak berdasar.”

Manusia adil yang dibayangkan Socrates tidak cukup hanya melatih akal-pikir atau sisi rasionalitasnya, tapi lebih dari itu ia harus mewujudkan kebajikan dalam hidupnya. Kualitas jiwanya harus menunjukkan adanya keadilan, pengendalian diri, keberanian dan kebijaksanaan (hal. 169), dan itulah yang seharusnya menjadi hasil yang dituju dalam pendidikan.

“Mereka tidak hanya harus diuji dalam pekerjaan dan bahaya dan kesenangan yang telah kita sebutkan sebelumnya, tetapi ada lagi jenis percobaan lain yang tidak kita sebutkan— mereka harus dilatih juga dalam banyak jenis pengetahuan, untuk melihat apakah jiwanya mampu menanggung ‘yang tertinggi dari semuanya’, atau justru akan tumbang karenanya, seperti dalam pembelajaran dan latihan-latihan lainnya.”

Pendidikan bagi Calon Pemimpin

Untuk mencapai keadilan, pendidikan menjadi salah satu tema penting dalam “The Republic”. Sejalan dengan konsep kesetaraan, Socrates percaya bahwa pendidikan yang sama harus diberikan pada laki-laki dan perempuan. Namun, Socrates juga percaya harus ada pendidikan khusus bagi para calon pemimpin, yang ia sebut “the guardians”. Harus ada seleksi terhadap mereka.

“Mari kita perhatikan di antara para calon pemimpin ini siapa saja yang sepanjang hidupnya menunjukkan kehendak terbesar untuk berbuat yang terbaik bagi negaranya, dan ketidaksukaan yang sama besarnya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan negara.”

Pendidikan, bagi para calon pemimpin ini membutuhkan proses yang komprehensif, yang tidak terbatas pada pengembangan sisi ‘dalam’ jiwa, tapi juga sisi ‘luar’, yaitu kemampuan fisik manusia. Ketangkasan fisik dibutuhkan mengingat sebuah negara yang adil sewaktu-waktu akan menghadapi ancaman perang atau konflik fisik. Melalui pelatihan fisik pula, manusia-manusia yang berjiwa adil akan dapat hidup tanpa membutuhkan perhatian medis yang sering. Pelatihan fisik akan membantu mencegah penyakit dan kelemahannya.

Lalu, kata Socrates, “dan ketika jiwa yang indah menjadi selaras dengan bentuk yang indah, dan keduanya dilebur ke dalam satu cetakan, maka bukankah itu akan menjadi pemandangan terindah bagi siapapun yang memiliki mata untuk melihat?” Lanjutnya lagi, “dan dia yang menggabungkan kemampuan bermusik dengan ketangkasan fisik dalam proporsi yang paling pas, dan berusaha sebaik mungkin untuk memupuk jiwanya, mungkin tepat untuk disebut sebagai musisi dan harmonis sejati dalam arti yang jauh lebih tinggi daripada sekedar menyetem senar (alat musik).”

“Dan seorang jenius pemimpin seperti itu akan selalu dibutuhkan di negara kita jika pemerintah ingin bertahan.”

Philosopher King

Pemimpin sejati adalah ia yang telah berhasil melewati berbagai ujian dalam hidup. Hanya orang seperti itulah yang dapat memberikan dan mewujudkan keadilan bagi kota atau negaranya: “Dia yang pada setiap usia, sejak anak-anak, remaja dan maupun dalam kehidupan dewasanya, telah berhasil keluar dari ujian dengan kemenangan dan tetap murni, yang harus ditunjuk sebagai penguasa dan penjaga negara; dia harus dihormati dalam kehidupan dan kematiannya, dan akan menerima pemakaman dan berbagai penghormatan lainnya, yang terbesar yang harus kita berikan.”

“Tapi,” sebaliknya, “dia yang gagal, harus kita tolak. Saya cenderung berpikir bahwa beginilah cara bagaimana penguasa dan penjaga kita harus dipilih dan diangkat. Saya berbicara secara umum, dan tidak berpretensi bahwa semua harus setepat itu.”

Seperti itulah “Philosopher King”, Pemimpin Filsuf atau Pemimpin Bijaksana, yang dibayangkan oleh Socrates dan Plato. Mengapa harus bijaksana? “Mari kita beranggapan bahwa alam pikiran filsafat selalu mencintai pengetahuan yang menunjukkan kepada mereka sifat alam yang kekal dan tidak koruptif… Lebih dari itu, mari kita setuju bahwa mereka adalah pecinta semua makhluk yang sejati; tidak ada bagian, yang lebih besar atau lebih kecil, lebih terhormat atau kurang terhormat, yang mereka bersedia untuk tinggalkan; seperti yang telah kita bahas sebelumnya tentang orang yang ambisius.”

“Kepada orang seperti itulah, yang telah disempurnakan oleh pengalaman dan pendidikan, dan hanya kepada merekalah kita bisa mempercayakan negara kita.”

Sekali lagi, tidak mudah mendapatkan pemimpin yang demikian. “Dan filsuf kita ini harus mengikuti analogi yang demikian: dia seperti tanaman yang, dengan perawatan yang tepat, harus bertumbuh dan menjadi matang dalam semua kebajikan, tetapi, jika ditabur dan ditanam di tanah yang asing, bisa menjadi yang paling berbahaya dari semua benih, kecuali dia dilindungi oleh kekuatan ilahi.”

Pemimpin filsuf ini adalah tahanan yang telah berhasil keluar gua – seperti alegori yang digambarkan di awal tulisan ini – namun yang masih mau kembali untuk menolong para tahanan lain yang tertinggal di dalam. Ia yang sudah “selesai dengan dirinya”.

Namun, melalui dialog-sokratik yang cukup panjang, Plato menunujukkan bahwa pemimpin seperti itu akan ditolak oleh para “pesaing-pesaingnya” dengan cara-cara politik yang kotor. Dalam situasi politik yang normal, hampir tidak mungkin melahirkan pemimpin yang demikian.

“Dan bahkan jika ada seseorang yang karena kebaikan yang melekat dalam pribadinya atau karena kewajaran alamiah telah sedikit terbuka penglihatannya dan bersikap merendah serta telah ‘tertawan’  oleh filsafat, bagaimana kira-kira teman-temannya akan bersikap ketika mereka mulai berpikir bahwa mereka akan kehilangan keuntungan yang mereka harap bisa didapatkan dari kehadirannya di tengah-tengah mereka? Tidakkah mereka akan melakukan dan mengatakan sesuatu untuk menghalang-halanginya berkembang dan membuatnya tidak berdaya, menyebar intrik dan bahkan melakukan persekusi terhadapnya? Lalu, bagaimana orang yang dalam keadaan yang demikian bisa menjadi seorang filsuf?”

Uniknya, Plato seperti tidak memberikan jalan keluar atas situasi ini – ia mungkin sedang menantang siapapun yang membaca bukunya, untuk melahirkan seorang Philosopher King. Tapi, barangkali, seperti dijelaskan Socrates sebelumnya, pemimpin seperti itu hanya akan muncul “jika ia dilindungi kekuatan ilahi.” Entahlah.

Perubahan Berbagai Bentuk Negara

Melalui “The Republik”, Plato, dengan menggunakan medium dialog antara Socrates, Glaucon dan Aidemantus menjelaskan tentang kecenderungan berbagai bentuk negara untuk terus berubah. Mulai dari Timokrasi (pemerintahan yang dikuasai oleh orang-orang yang selalu hendak menegakkan aturan dan mengedepankan kehormatan, terutama melalui perang), Oligarki (pemerintahan yang dikuasai sekelompok kecil orang, atau elit dengan latar belakang yang sama), Demokrasi (pemerintahan yang dibentuk berdasarkan pemilihan oleh publik) dan Tirani (pemerintahan oleh satu orang dengan kekuasaan yang absolut). Bagi Plato, keempat bentuk negara ini tidak ada yang ideal.

Sebuah negara bisa saja mencapai kondisi yang cukup ideal melalui pemerintahan Aristokrasi (pemerintahan yang  dikuasai oleh sekelompok kecil orang yang disebut aristokratia, atau kekuasaan oleh yang terbaik) yang bijaksana. Namun, seiring waktu, terjadilah perubahan struktur sosial, politik dan kemudian konflik atau perang. Pemerintahan aristokrasi pun digantikan oleh Timokrasi.

Seiring waktu, lebih banyak kelahiran yang terjadi pada orang-orang yang kurang aristokrat, kualitas mereka pun berkurang, dan perlahan-lahan menggeser minat penduduk dari pengetahuan, musik, puisi dan “pendidikan bagi calon pemimpin”, menuju pada kecenderungan untuk mencari uang dan menumpuk harta benda. Perang saudara antara mereka yang menghargai kebijaksanaan dan mereka yang menghargai materi ini akan terus berlanjut hingga tercapai kompromi.

Karena penekanan pada kehormatan mulai dapat dikompromikan dengan penguasaan materi, maka Timokrasi pun tergantikan oleh Oligarki. Pemerintahan oligarki didominasi oleh orang-orang kaya sebagai kelas penguasa. Hanya soal waktu jika isu kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin akan muncul dan meluas, lalu berpuncak pada pemberontakan oleh mayoritas kelas bawah, sehingga melahirkan Demokrasi. Dalam pemerintah demokrasi, isu kebebasan menjadi menonjol dan kekuasaan didistribusikan secara merata. Nafsu untuk berkuasa tetap besar, namun kali ini direalisasikan dengan cara yang tidak disiplin dan sering tak terkendali.

Populisme dapat dengan mudah muncul dalam pemerintahan demokratis yang dapat mengarah pada aturan massa, yang dipicu oleh ketakutan pada oligarki. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh “demagog cerdas” untuk mengambil alih kekuasaan dan membangun Tirani (membaca ini saya jadi teringat pada kecenderungan duni belakangan ini untuk memilih pemimpin-pemimpin “populis-kanan” yang tidak demokratis).

Dalam pemerintahan tirani, negara atau kota diperbudak oleh tiran, yang menggunakan pasukannya untuk menyingkirkan elemen sosial dan individual terbaik – karena khawatir mereka adalah ancaman baginya untuk mempertahankan kekuasaan. Ia juga akan cenderung memprovokasi terjadinya peperangan yang akan ia jadikan kesempatan untuk mengkonsolidasikan posisinya sebagai pemimpin.

Meskipun perjalanan sejarah pemerintahan seringkali tidak berjalan seperti “skenario” yang disampaikan Plato (karena oligarki bisa saja hidup dalam setiap bentuk pemerintahan dengan cara-cara yang canggih), namun pesan intinya masih sama: bahwa dalam bentuk negara apapun, selalu penting dan relevan untuk mempersiapkan pemimpin yang berjiwa adil, yang bijaksana.

Tentang Kekekalan Jiwa

Salah satu topik menarik dari Buku X, yang merupakan bagian terakhir dari “The Republik”, adalah tentang mitos tentang Er, putra Armenius. Di sini digambarkan bahwa Er telah memasuki kehidupan setelah kematian dan menemukan bahwa untuk sementara kebajikan manusia memang dihargai dan kejahatan pun mendapatkan hukuman. Akan tetapi, Plato menggambarkan bahwa kehidupan tidak berakhir pada kematian. Manusia akan mengalami reinkarnasi, memasuki siklus kelahiran dan kematian. Sehingga mereka yang  tadinya sudah mendapatkan ganjaran yang baik bisa berubah menjadi tidak baik dan sebaliknya.

Dalam pandangan Simon Blackburn, mitos ini hendak menyampaikan pesan bahwa perjuangan untuk menegakkan keadilan tidak akan pernah selesai. “Busur alam semesta moral mungkin panjang, tetapi bagaimanapun, tidak mengarah pada keadilan. Jika kita ingin keadilan menang, kita harus melakukannya sendiri, di sini dan saat ini, dan hanya untuk saat ini. Tidak ada pertahanan terhadap waktu, dan tidak ada bantuan sihir dari luar.”

Pernyataan Blackburn terdengar seperti ironi yang tragis – yang memberi kesan, setidaknya bagi saya, bahwa manusia seperti “dikutuk” untuk hidup berulangkali dalam komidi putar kehidupan. Namun saya justru tidak menangkap pesan yang demikian dari penjelasan Plato. Pesan inti yang hendak disampaikannya, dalam pandangan saya, sebetulnya sederhana, yaitu bahwa “orang akan menerima ganjalan yang setimpal terhadap perbuatannya di dunia,” dan bahwa “jiwa, tidak seperti tubuh, bersifat kekal-abadi”.

Seperti kata Socrates, “hendaklah hal ini diingat oleh orang yang berlaku adil, bahwa meskipun ia berada dalam kemiskinan dan keadaan sakit, atau mengalami kemalangan lainnya, segala sesuatu akan bekerjasama untuk membawa kebaikan baginya dalam kehidupan ini maupun di alam kematian; sebab para dewa memperhatikan siapapun yang berkeinginan menjadi adil dan mengikuti kehendak Tuhan, sejauh yang dapat diraihnya dengan mengejar kebajikan.”

Saya kira, jika Er, yang digambarkan dalam ‘mitos’ itu harus bereinkarnasi, tidak berarti bahwa semua manusia, dalam pandangan Plato dan Socrates, pun harus mengikuti siklus yang persis sama – mungkin saja ada yang menggunakan fasilitas “jalan tol” untuk terbebas dari proses itu. Saya juga mengira, Socrates menggunakan mitos Er untuk menjelaskan tentang ganjaran bagi sikap adil, bukan untuk mengelaborasi bagaimana persisnya struktur dan mekanisme alam baka. Mitos Er adalah semacam persuasi supaya para pembaca “The Republik” mau turut menjadi orang yang adil dan bijaksana.  Ya, itu memang hanya pendapat saja.

Saya rasa cukup sampai di sini saja. Sebenarnya, khusus untuk tulisan ini, saya menggunakan struktur “piramida terbalik”, mirip straight news dalam dunia jurnalisme: Hal-hal yang saya anggap paling penting dalam “The Republik”, telah saya sampaikan di bagian-bagian awal tulisan ini. Semoga bermanfaat, dan terimakasih telah berkunjung ke rawanda.blog.