Ada banyak pemikiran yang ditulis tentang jatuh bangunnya sebuah bangsa dan peradaban yang mengikutinya. Namun hanya sedikit yang mampu menampilkan data-data yang cukup komprehensif dalam perspektif historis yang cukup panjang.
Salah satu yang, sebetulnya secara subyektif perspektifnya saya sukai (mungkin karena mampu menuturkan gagasan dan analisisnya dengan lugas) adalah karya ekonom Daren Acemoglu dan James A. Robinson. Keduanya menulis “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty” pada tahun 2012.
Inti pemikiran mereka yang tertuang dalam buku itu adalah, sebuah negara akan menjadi kuat dan sejahtera jika menerapkan karakter kelembagaan yang “inklusif” (dengan membuka partisipasi publik yang luas dalam ekonomi). Sebaliknya, negara akan lemah dan miskin jika menerapkan model kelembagaan yang “ekstraktif” (dengan hanya mementingkan kelompok elit dan mengabaikan suara publik).
Sederhana. Tapi, sepertinya dunia memang tak sesederhana itu. Jeffrey Sachs, penulis “The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our Lifetime” yang juga ekonom dari Columbia University, mengkritik dengan keras: “Dalam dunia yang kompleks, penjelasan tentang pertumbuhan yang dipusatkan pada variabel tunggal tidak akan banyak memberi bermanfaat.”
Oleh karena itu, ketika ada sebuah buku relatif baru tentang tema serupa yang ditulis oleh Ray Dalio, saya sungguh bersemangat untuk melahapnya. “Principles for Dealing with The Changing World Order: Why Nations Succeed and Fail”, juga tidak berpretensi untuk menjelaskan sepenuh-penuhnya tentang jatuh-bangunnya peradaban. Namun, kelebihannya, buku ini memberikan perspektif yang lebih kaya tentang sebuah pola berulang, atau siklus perubahan dalam sejarah yang panjang dan melampaui masa hidup kita yang relatif singkat.
Siapa Ray Dalio? Dilahirkan pada 8 Agustus 1949, Raymond Thomas Dalio adalah pendiri lembaga pengelola investasi (hedge fund) terbesar di dunia, Bridgewater Associates. Pemrosesan data dan penggunaan algoritma melalui bantuan komputer super canggih adalah bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan investasinya. Ia merupakan penasehat berbagai pemimpin dunia, sehingga Majalah TIME memasukkannya sebagai “100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia”. Tanggal 4 Oktober 2022 lalu, ia tiba-tiba mundur dari jabatan eksekutif di Bridgewater.
Bloomberg
Siklus Hutang
Untuk memahami pemikiran Dalio, pertama-tama penting untuk mengetahui konsep dasar tentang siklus hutang yang ia sampaikan dengan gamblang dalam video berdurasi 31 menit berjudul “How The Economic Machine Works by Ray Dalio”, yang dapat disaksikan melalui kanal YouTube.
Intinya, utang yang dikucurkan secara kolektif akan menciptakan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (short-term debt cycle). Namun, pada akhirnya akan menciptakan kontraksi ekonomi, bahkan depresi, dalam jangka panjang (long-term debt cycle). Mengapa demikian?
Sebab, hutang pada akhirnya harus dibayar, baik pokok maupun bunganya. Pada saat, hutang jatuh tempo, apalagi secara bersamaan, maka semua penerima hutang harus membayarnya (dan mengurangi produktivitasnya). Akibatnya, terjadi penurunan permintaan atau demand secara kolektif yang memiliki dampak luas.
Untuk diketahui, setiap kali terjadi kontraksi ekonomi, resep umum yang selalu diberikan oleh penguasa fiskal dan moneter (pemerintah dan bank sentral) adalah kembali memompa perekonomian dengan kredit baru (baca: utang) yang lebih besar lagi. Biasanya akan lebih banyak diserap oleh elit (yang layak kredit), yang menggunakannya untuk membeli aset-aset berharga.
Sehingga memicu inflasi dan juga kesenjangan dalam berbagai dimensi (mayoritas rakyat tak mampu mengakses kucuran kredit tadi dan tak punya aset berharga). Maka, siklus berikutnya selain akan menciptakan depresi, juga memicu ledakan berbagai masalah sosial. Dan kali ini dengan jumlah hutang jatuh tempo yang jauh lebih besar lagi juga!
Perlu diingat bahwa bunga hutang selalu bertambah secara eksponensial. Yang artinya, hutang yang tertunda pembayarannya akan mendapatkan bunga setiap tahun dan menjadikan total hutang yang harus dibayar makin membengkak. Berikut gambar sederhana dari siklus hutang yang dimaksud Dalio:
Korelasi siklus hutang ini terhadap siklus kebangkitan dan kemunduran negara serta peradaban sesungguhnya sudah terlihat di sini. Tentu ada juga faktor-faktor determinan lainnya, sebagaimana dibahas oleh Ray Dalio. Namun, sejumlah faktor itu seringkali juga dipengaruhi oleh siklus hutang ini.
Siklus Besar
Sekarang kita bahas substansi bukunya. Secara umum, terdapat 3 fase perjalanan sebuah peradaban yang umumnya berlangsung dalam kurun waktu sekitar 250 tahunan. Dalio menyebutnya “Siklus Besar”. Fase pertama adalah kebangkitan (the rise), fase kedua adalah kejayaan (the top), dan fase ketiga adalah kemunduran (the decline), bersamaan dengan munculnya tatanan baru. Sampai hari ini, belum ada data yang menunjukkan bahwa ada peradaban yang bebas dari siklus ini.
Dalio secara khusus, mencermati kebangkitan hingga kemunduran dari 4 imperium besar yang dapat ditelusuri dalam sejarah, yaitu Belanda, Inggris, Amerika Serikat dan China. Kecuali Amerika Serikat yang baru sekarang mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran, ketiga negara lainnya sudah pernah secara bergiliran menjadi pemimpin “imperium besar” (yang salah satu penandanya adalah penggunaan mata uangnya sebagai reserve currency atau mata uang dunia). Sedangkan China saat ini, sedang memasuki fase kebangkitan baru.
Dalam sebuah Siklus Besar, sebuah peradaban kira-kira akan mengalami hal berikut:
Kebangkitan: Munculnya tatanan baru yang diwarnai dengan periode pembangunan. Sebuah peradaban di fase ini biasanya memiliki pondasi yang kuat, yang disebabkan karena a) tingkat hutang yang masih relatif rendah; b) kesejahteraan, kekayaan dan pertikaian politik yang relatif rendah dalam masyarakat; c) rakyat dapat bekerjasama secara efektif untuk mencapai kemakmuran; d) infrastruktur dan pendidikan yang relatif baik; e) kepemimpinan yang kuat dan mumpuni, dan; f) tatanan dunia yang damai yang dipimpin oleh satu atau lebih kekuatan yang dominan yang selanjutnya akan mengarah pada…
Kejayaan: Merupakan periode yang diwarnai dengan berbagai hal yang mulai “berlebih”. Seperti a) tingkat hutang yang tinggi; b) kesejahteraan, kekayaan dan pertikaian politik yang tinggi; c) penurunan pendidikan dan infrastruktur; d) konflik antar kelas yang berbeda dalam sebuah negara, dan; e) pergulatan antar negara, terutama antara imperium yang dominan dengan kekuatan baru yang jadi pesaingnya, yang kemudian akan mengarah pada…
Kemunduran: Ini adalah periode pertarungan dan perubahan struktur yang membawa pada konflik-konflik dan perubahan-perubahan besar di internal dan eksternal masing-masing negara. Namun, fase ini juga merupakan persiapan dimulainya kembali sebuah tatanan dan periode baru yang lebih menyejahterakan.
Dalam perspektif yang lebih rinci, setiap fase dalam sebuah Siklus Besar akan memiliki ciri-ciri seperti terlihat dalam gambar ini:
Di mana posisi sebuah peradaban jika ditempatkan dalam tiga fase Siklus Besar tadi, juga dapat diukur dengan melihat seberapa baik/kuat dan lemah/buruk dengan menggunakan indikator-indikator di bawah ini:
- Beban Hutang (dalam sebuah siklus besar ekonomi)
- Konflik Internal (dalam siklus internalnya)
- Pendidikan
- Inovasi dan Teknologi
- Biaya yang Kompetitif
- Kekuatan Militer
- Perdagangan
- Output Ekonomi
- Pusat Pasar dan Keuangan
- Kekuatan Mata Uang (reserve status)
- Efisiensi Pengalokasian Sumber Daya
- Investasi dan Infrastruktur
- Karakter/Determinasi/Civility
- Tata Kelola Pemerintahan/Kepastian Hukum
- Kesenjangan dalam Tingkat Kemakmuran, Peluang dan Nilai-Nilai
Seperti dapat dilihat di gambar ini, warna hijau menunjukkan seberapa kuat/baik dan warna merah menunjukkan seberapa lemah/buruk. Makin pekat warnanya, mengindikasikan makin besar skornya. Perhatikan bahwa beban hutang berada di tempat paling atas dalam gambar ini.
Dari riset yang dilakukan Dalio, pergeseran tatanan dunia yang terjadi dari Imperium Belanda ke Imperium Inggris dan dari Imperium Inggris ke Imperium Amerika Serikat memiliki kesamaan tanda-tanda berikut ini:
- Adanya krisis hutang dan restrukturisasi hutang (artinya penundaan/perpanjangan masa pembayaran atau pengurangan nilai hutang)
- Revolusi internal (dengan damai atau kekerasan) yang berujung pada pengalihan kekayaan dari kaum kaya ke kaum miskin
- Perang eksternal
- Keruntuhan mata uang dominan
- Terbentuknya tatanan baru domestik dan dunia
Siklus Internal (Siklus Kecil)
Selain Siklus Besar yang terjadi pada sebuah imperium atau peradaban besar, ada juga Siklus Internal atau Siklus Kecil yang terjadi pada tingkat negara atau bangsa. Durasinya antara 75 hingga 100 tahunan. Tahapannya adalah sebagai berikut:
- Tahap 1, terjadi ketika sebuah tatanan baru dimulai dan pemimpin baru mengkonsolidasikan kekuatannya, yang kemudian mengarah pada…
- Tahap 2, ketika sistem alokasi sumber daya dan birokrasi pemerintahan dibangun dan ditata secara baik, yang jika berhasil akan mengarah pada…
- Tahap 3, ketika perdamaian dan kesejahteraan tercapai, yang selanjutnya mengarah pada…
- Tahap 4, ketika terjadi pengeluaran yang berlebihan dan hutang dan melebarnya kesenjangan ekonomi dan politik, yang lantas mengarah pada…
- Tahap 5, ketika terjadi situasi finansial yang buruk dan konflik yang meningkat, yang mengarah pada…
- Tahap 6, ketika terjadi perang sipil/revolusi, yang kembali berujung pada siklus berikutnya…
Keenam tahapan ini terjadi di semua bangsa atau negara. Gambar berikut ini menunjukkan bagaimana selama ratusan tahun Siklus Internal ini pun terjadi di China sejak Dinasti Tang. Namun, pada saat ini, Negara China Modern atau Republik Rakyat Tiongkok justru sedang berada di masa keemasannya, dan dengan size-nya yang besar, juga menjadi penantang terkuat untuk menggantikan Amerika Serikat sebagai pemimpin imperium baru.
Sebaliknya, gambar berikut ini menunjukkan bagaimana posisi Amerika Serikat (dibandingkan dengan Inggris dan China) saat ini, yang dalam perhitungan Dalio sudah berada di tahap kelima dalam Siklus Internalnya.
Merinci Perbandingan AS dan China
Dalam buku ini, Dalio juga membuat matriks untuk mengukur kekuatan sebelas negara modern saat ini (hingga Agustus 2021). Yang ia cermati adalah posisi mereka dalam konteks Siklus Besar, Delapan Ukuran Kekuatannya secara Umum dan Ukuran Kekuatan Tambahannya (untuk keperluan perbandingan, saya hanya menampilkan dua saja, yaitu Amerika Serikat dan China).
Secara umum, meskipun Amerika Serikat masih berada dalam peringkat pertama dalam total Skor Imperium. Namun berbagai ukuran dalam konteks Siklus Besar menunjukkan pelemahan, terutama karena beban hutangnya yang besar, pertumbuhan yang rendah, risiko internal yang tinggi, potensi konflik internal yang tinggi serta kesenjangan kesejahteraan/kesempatan/nilai-nilai yang juga tinggi.
Sebaliknya, China memiliki sejumlah indikator Siklus Besar yang lebih unggul. Terlihat dari beban hutangnya yang rendah, pertumbuhan yang relatif tinggi, risiko internal yang rendah, dan konflik internal yang rata-rata. Namun kesenjangan kesejahteraan/kesempatan/nilai-nilai memang sudah mulai terlihat.
Pelajaran untuk Kita dan Catatan Penutup
Riset dan pemikiran Ray Dalio yang tertuang dalam buku ini, meskipun tidak selalu berhasil disampaikan secara runut, namun jelas mampu memperkaya perspektif kita dalam memandang jatuh-bangunnya negara dan peradaban. Korelasi siklus hutang dengan Siklus Besar dan Siklus Kecil harus menjadi pelajaran penting bagi para pengambil keputusan dalam segala jaman untuk selalu bersikap bijaksana.
Bagi pembaca yang mungkin masih bingung dengan “ketidakpastian global” atau “krisis global” yang sedang terjadi saat ini, buku ini bisa memberikan penerangan pemahaman terhadap dinamika yang sedang terjadi secara garis besar. Tentu, sebaiknya, perlu diperkaya dengan perspektif lain yang tentu akan senantiasa bermunculan dan membawa kebaruan.
Pelajaran lain, bisa kita ambil dengan meminjam indikator-indikator penting dalam fase kebangkitan (Siklus Besar) sebuah peradaban untuk dijadikan fokus dalam pembangunan jangka menengah dan panjang. Jika ingin membangun kekuatan, kita bisa juga menggunakan Delapan Ukuran Kunci Kekuatan Negara yang terdiri dari: perdagangan, keluaran ekonomi, pendidikan, inovasi dan teknologi, biaya yang kompetitif, kekuatan militer, pasar dan pusat keuangan serta kekuatan mata uang.
Selain mendapatkan pelajaran, kita juga tentu bisa bertanya: apakah Siklus Besar maupun Siklus Kecil ini sesuatu yang tak terhindarkan? Dalio tidak mengatakan demikian. Ia hanya mengatakan bahwa sejarah menunjukkan hal ini terjadi berulang kali. Artinya, pemerintah dan masyarakat AS bisa saja menunda pergeseran dari tahap 5 menuju tahap 6 dari sebuah Siklus Kecil, namun tentunya dengan upaya yang sangat besar.
Satu hal kurang memuaskan bagi saya ketika membaca buku ini adalah, karena Dalio sepertinya menganggap bahwa perangkap hutang yang dimasuki oleh berbagai negara dan peradaban selama ini, lebih disebabkan karena keserakahan. Dalam rumusan Dalio, “pengeluaran/hutang yang lebih besar dibandingkan produktivitas”.
Ya, ini memang juga persoalan moral yang penting digarisbawahi. Tapi, Dalio sepertinya tidak melihat akar persoalan yang lebih sistemik. Bahwa, sistem uang dengan bunga (interest bearing money) yang kita gunakan saat ini, sebetulnya secara inheren akan selalu menciptakan berbagai masalah (gagal bayar hutang dan sebagainya).
Ijinkan saya mengutip cerita pendek ini:
Desa kecil itu ramai dengan penduduk setempat yang dengan bangga memajang dagangan, ayam, telur, keju, dan roti saat mereka memasuki masa bernegosiasi dan saling bertukar untuk apa-apa yang mereka butuhkan.
Saat panen, atau kapan pun ada lumbung seseorang perlu diperbaiki setelah diterpa badai, penduduk desa menjalankan tradisi lama untuk saling membantu. Mereka sadar bahwa jika suatu hari mereka sendiri menghadapi masalah, orang lain pada gilirannya yang akan membantu mereka.
Tak perlu ada koin yang memfasilitasi pertukaran.
Namun suatu hari, seorang asing bersepatu hitam mengkilap dan topi putih yang elegan datang dan mengamati apa yang terjadi di pasar. Ia tersenyum, penuh rasa percaya diri. Saat seorang petani yang menginginkan daging sapi berukuran besar bergegas membawa enam ekor ayam miliknya ke lapak tukang daging, orang asing itu mengejek. “Hey miskin,” katanya, “caramu primitif.”
Mendengar ini, istri si petani menantangnya: “Memangnya kamu lebih pandai mengurusi ayam?”
Orang asing itu menjawab: “Bukan soal ayamnya. Tapi, saya tahu cara lebih baik mempertukarkan ayam. Cobalah bawa ke sini satu lembar kulit sapi besar dan sekalian ajak ke sini keluarga-keluarga yang lain.”
Setelah semua berkumpul, orang asing itu memotong lembar kulit sapi yang tersedia menjadi bundaran-bundaran kecil yang sempurna dan memberikan tanda tertentu.
Masing-masing sepuluh bundaran itu diberikan pada sepuluh keluarga yang hadir di situ, sambil mengatakan bahwa tiap bundaran tadi mewakili nilai seekor ayam. “Sekarang kamu bisa berdagang dan menawar dengan bundaran ini, tak usah lagi membawa-bawa ayam.”
Tampak masuk akal, dan semua orang pun terkesan.
“Satu lagi,” kata orang asing itu. “Tahun depan, saya akan kembali dan saya ingin semua keluarga menghadiahi saya dengan bundaran tambahan — bundaran kesebelas. Anggap saja sebagai rasa terimakasih atas perbaikan yang telah terjadi dalam hidup kalian.”
Tak sadar dengan konsekuensinya, mereka hanya mengangguk setuju.
Setahun berlalu dan ia pun kembali. Menanti pembayaran masing-masing keluarga untuk bundaran kesebelas. Sementara itu, di pinggiran desa, sebuah keluarga meminta sedekah, setelah kehilangan segalanya karena kebakaran. Penduduk desa sangat sibuk mengurusi kewajiban mereka, sehingga tak lagi punya waktu membantu.
Bundaran kesebelas itu tidak pernah diciptakan. Tapi, karena sepertinya tak seberapa, orang-orang di desa tak mempertanyakannya. Padahal, mereka harus berkompetisi untuk “mendapatkannya”.
Sudah pasti ada di antara mereka yang gagal dan terpuruk, karena memang bundaran kesebelas itu tak pernah ada. Walaupun ada juga keluarga pemenang yang memiliki lebih dari sepuluh koin. Sejak itu, mereka makin individualistik. Hilang sudah masa-masa ketika mereka bergotong-royong menyelesaikan masalah tiap anggota dari mereka bersama-sama.
Cerita ini berasal dari buku Bernard Lietaer, “Rethinking Money: How New Currencies Turn Scarcity into Prosperity” (hal. 37-39) yang telah saya sunting seperlunya dan pernah saya muat dalam tulisan berjudul “Alat Tukar Komplementer Sebagai Solusi Krisis (III): Mengapa Mata Uang Konvensional “Gagal” Menciptakan Kesejahteraan?”
Silakan membacanya jika ingin penjelasan lebih lanjut. Demikian. Terimakasih.