Kuasa dan Puasa

Photo by dimitrisvetsikas1969 from Pixabay

Tumbuhan dan hewan adalah energi bagi tubuh yang fana; Gagasan dan kreativitas adalah energi bagi alam pikiran yang luas; Memagari nafsu menumbuhkan energi dari jiwa yang abadi.

(…)

Ijinkan saya menulis tentang puasa. Bukan dari perspektif agama semata, tapi dari berbagai sudut pandang lain yang mungkin relevan untuk Anda.

Ya, lebih baik mengaku saja. Saya memang minim pengetahuan tentang agama. Sudah tentu hanya bisa menulis tentang hal-hal sebatas diketahui. Siapa tahu ada gunanya.

Yang pertama, dari sudut pandang politik…

Tokoh yang rasanya sangat relevan untuk dibicarakan adalah Mahatma Gandhi (1869-1948). Tokoh anti kekerasan dan pendiri bangsa India, yang bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi ini, menjadikan puasa sebagai jalan baginya untuk menyucikan diri dan, pada saat yang sama, sarana melancarkan protes politik terhadap pemerintahan kolonial Inggris.

Dengan latar belakang keluarga yang relijius, puasa sudah merupakan kebiasaan Gandhi sejak kecil. Namun, puasa sebagai sebuah gerakan, baru mulai disadari olehnya ketika ia masih berada di Afrika Selatan. Di sana, pada tahun 1920 ia mendirikan Tolstoy Farm (diambil dari nama penulis dan pemikir Russia, Leo Tolstoy, yang bukunya “The Kingdom of God Is Within You” sangat besar pengaruhnya pada gerakan anti-kekerasan Gandhi), yang merupakan komunitas sekaligus markas gerakan anti-diskriminasi terhadap bangsa India.

Berikut kutipan bab khusus tentang “Puasa” dari bukunya, “M.K. Gandhi Autobiography: The Story of My Experiments with Truth”:

Eksperimen penting ini dilakukan ketika kami berada di Tolstoy Farm, di mana Mr. Kallenbach dan saya tinggal bersama beberapa keluarga pengikut gerakan Satyagraha, termasuk di dalamnya orang muda dan anak-anak yang kami sedikan sekolah. Di antara mereka ada empat atau lima orang Muslim.

Saya senantiasa membantu dan mendorong mereka menjalankan ibadah agama mereka. Mereka rajin menjalankan shalat setiap hari. Ada juga orang-orang muda dengan latar belakang Kristen dan Parsi – kewajiban saya mendorong mereka untuk mengikuti ibadah keagamaannya masing-masing.

Kebetulan saat itu bersamaan waktunya dengan bulan Ramadhan, sehingga mudah mengingatkan anak-anak muda Muslim untuk menjalankan ibadah puasanya. Tentu saja saya menjalankan puasa saya sendiri. Tapi sekarang saya meminta anak-anak yang beragama Hindu, Parsi dan Kristen untuk juga bergabung dengan kami.

Saya jelaskan kepada mereka bahwa merupakan hal yang baik untuk bergabung dengan orang lain yang sedang mempraktekkan pengendalian diri. Banyak orang di Tolstoy Farm yang kemudian menyambut tawaran saya. Saya tidak menganjurkan anak-anak Hindu dan Parsi untuk mengikuti secara persis saudara-saudaranya yang Muslim – itu tidak perlu.

Anak-anak muda Muslim harus menanti untuk berbuka puasa sampai matahari terbenam, sedangkan yang lain tidak harus demikian. Dengan demikian mereka bisa menyiapkan makanan lezat untuk teman-teman Muslimnya dan melayani mereka. Mereka juga tak perlu menemani saudara-saudaranya saat santap sahur, dan karena tatacara berpuasanya berbeda, mereka masih bisa minum air selama puasa (tidak harus seperti yang Muslim).

Hasil dari eksperimen ini membuat mereka semua meyakini akan nilai puasa, dan semangat kebersamaan yang luar biasa, tumbuh di antara mereka.

Kami semua mempraktekkan pola hidup vegetarian di Tolstoy Farm, dan saya harus berterima kasih, atas ketulusan  semua orang untuk tidak berusaha menyakiti perasaan saya. Anak-anak muda Muslim ini pasti merindukan makanan dari daging selama menjalani puasa Ramadhan, tetapi tidak ada dari mereka yang mengemukakan hal itu pada saya. Mereka senang dan menikmati “diet” vegetarian selama berada di sana. Anak-anak muda Hindu yang menyiapkan hidangan vegetarian untuk mereka, sesuai dengan kesederhanaan yang kami praktikkan di Tolstoy Farm.

Saya sengaja menyelipkan bagian khusus tentang puasa dalam buku ini. Sebab ini merupakan kenangan yang indah, dan juga merupakan kebahagiaan bagi saya berada di tengah-tengah rekan-rekan kerja yang selalu menjalankan sesuatu bersama-sama. Mereka sebenarnya baru dalam berpuasa, tetapi berkat waktu puasa Pradosha dan Ramadhan yang bersamaan, mudah untuk membuat mereka tertarik pada puasa sebagai cara mengendalikan diri.

Semua warga Tolstoy Farm mulai bergabung dengan kami dalam menjalankan puasa, secara parsial atau penuh, yang, saya yakin, semuanya untuk kebajikan. Saya tak tahu pasti seberapa jauh laku prihatin atau pengendalian diri seperti ini menyentuh hati mereka dan membantu mereka dalam upaya mereka untuk menaklukkan nafsunya.

Namun, bagi saya, saya yakin banyak manfaat dari praktik ini baik secara fisik maupun moral. Tetapi saya tahu bahwa puasa dan disiplin yang sama tidak akan memiliki dampak yang sama untuk semua orang.

Berpuasa dapat membantu mengekang nafsu kebinatangan dalam diri, hanya jika dilakukan dengan tujuan untuk mengendalikan diri. Beberapa rekan memang menyadari bahwa “nafsu hewaninya” justru terstimuli setelah berakhirnya masa puasa. Ini menunjukkan bahwa puasa bisa sia-sia jika tidak disertai dengan kerinduan yang tak henti-hentinya untuk mengendalikan diri.

Kutipan ayat terkenal dari bab kedua Bhagavad Gita mungkin patut dicatat terkait soal ini:

‘Bagi seseorang yang sedang berpuasa, mengendalikan diri; Di luar diri, objek-objek inderawi menghilang; Meninggalkan keinginan di belakang; tapi ketika Dia telah bertemu dengan Yang Maha Tinggi; Bahkan keinginan tadi pun menghilang.’

Karena itu, puasa dan disiplin serupa merupakan salah satu cara untuk mengakhiri pengekangan diri, tetapi ini pun belum lengkap… Jika puasa fisik tidak disertai dengan puasa mental, maka itu bisa berakhir dengan kemunafikan dan bencana.

Sejarah mencatat bahwa Gandhi adalah pribadi istimewa, yang pada tahun 1920 memimpin Indian National Congress (INC), sempat mendeklarasikan kemerdekaan India pada tanggal 26 Januari 1930 (meskipun tidak diakui Inggris) dan menuntut kemerdekaan di tahun 1942 (kali ini berakibat pemenjaraan dirinya dan ribuan pimpinan INC lainnya). Baru pada tahun 1947 kemerdekaan India diberikan oleh Inggris, bersama-sama dengan Pakistan – pemisahan yang justru ditentang oleh Gandhi.

Selain Gandhi, Cesar Chavez (1927-1993), pendiri serikat kerja tani (United Farm Workers union) juga terinspirasi Gandhi melakukan cara serupa di Amerika Serikat. Chavez berpuasa selama 36 hari dengan hanya mengkonsumsi air putih pada tahun 1988 untuk menarik perhatian terhadap dampak buruk pestisida dalam bentuk penyakit kanker dan cacat lahir bagi petani anggur dan selada, dan anak-anak mereka. 

Kisahnya itu sempat direkam dalam sebuah film dokumenter dengan judul “Cesar’s Last Fast” (2014) yang disutradarai oleh Richard Ray Perez dan Lorena Parlee. Dalam film yang ditayangkan perdana di Sundance Film Festival tahun 2014 itu, Chavez mengatakan, “saya tahu misi saya: membetulkan yang salah yang telah menimpa para pekerja selama 100 tahun.”

Meskipun namanya tidak sebesar Gandhi, tapi Chavez adalah juga seorang pribadi yang kuat dan berpengaruh dalam gerakan buruh di Amerika – apakah karena kebiasaannya berpuasa? Entahlah. Setelah meninggal dunia, ia menerima Presidential Medal of Freedom dari Presiden Bill Clinton pada tahun 1994, dan pada tahun 2006 dimasukkan ke dalam California Hall of Fame oleh Arnold Schwarzenegger, yang waktu itu masih menjabat sebagai Gubernur California – begitu kata Wikipedia.

Dua kisah tokoh dari dua benua yang berbeda itu menunjukkan bahwa puasa dapat memberikan kekuatan, bagi diri sendiri dan juga bagi kelompok atau organisasi yang lebih besar, dengan memberikan inspirasi untuk berjuang bersama-sama.

Apa persisnya yang membuat orang terinspirasi, barangkali akan tetap menjadi misteri. Salah satu asumsi yang masuk akal, adalah aksi puasa adalah simbol nyata perbuatan yang tidak mementingkan diri sendiri. Jauh dari sifat ingin memperkaya diri.

Dari sudut pandang saintifik, memang mulai muncul bukti-bukti manfaat puasa bagi psikologi empirik maupun kesehatan.

Sebuah studi atau lebih tepatnya eksperimen yang dilakukan hampir seratus tahun silam, 1925, menunjukan bahwa menjalankan puasa bisa sedikit menurunkan kemampuan mental, terutama ketika harus dalam jangka waktu yang lama. Namun, puasa dapat meningkatkan “kepekaan” terhadap indera penciuman, dan menurunkan gairah seksual karena berkurangnya asupan makanan (“Psychological Effects of Fasting”, John Arhur Glaze dalam The American Journal of Psychology, Vol. 40, No. 2 terbitan April 1928).

Sedangkan riset terbaru yang diterbitkan melalui artikel berjudul “A time to fast” yang dipublikaskan majalah Science, edisi 16 November 2018, yang disajikan oleh Andrea Di Fransesco, Clara Di Germanio, Michael Bernier, Rafael de Cabo, menyimpulkan dampak positif puasa bagi kesehatan:

“Praktik diet yang disertai dengan periode puasa yang panjang tampaknya merupakan strategi yang menjanjikan untuk menyasar berbagai parameter klinis yang membentuk fondasi bagi sindrom metabolik, penyakit kardiovaskular, kanker, dan bahkan penyakit neurodegeneratif. Meskipun mekanisme spesifiknya masih belum bisa sepenuhnya dipahami, terhentinya asupan energi secara berkala ini tampaknya memperbaiki beberapa faktor risiko dan, dalam beberapa kasus, membalikkan perkembangan penyakit pada tikus dan manusia. Dengan demikian, waktunya sudah tiba untuk menambah pemahaman kita terkait mekanisme aksi molekuler dan kemanjuran praktik diet ini sebagai landasan bagi uji klinis masa depan.”

Bahasanya cukup bikin keriting memang – apalagi kalau harus menerjemahkan sambil berpuasa…

Itu tadi dari sudut pandang sains. Yang cukup membuat penasaran sebenarnya, banyak tradisi agama dan budaya memandang puasa sebagai praktik yang penting.

Agama Baha’i mengatur tatacara berpuasa dalam Kitab-i-Aqdas, dengan mewajibkan penganutnya yang sudah berusia akil-balik untuk menjalankannya. Agama Kristen modern, banyak yang tidak lagi mewajibkan puasa, namun jika membaca kisah Musa, Daud dan bahkan Yesus Kristus, puasa jelas merupakan praktik penting yang dijalankan oleh mereka.

Agama Katholik hingga saat ini mewajibkan umatnya berpuasa pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Mereka yang berpuasa adalah semua orang yang berusia antara 18 hingga 60 tahun.

Jainisme memiliki sejumlah jenis puasa atau Upwas yang bertujuan untuk menurunkan nafsu dan keinginan. Agama Yahudi juga memiliki beberapa jenis puasa, puasa kecil dan puasa besar – saat Yom Kippur, yang merupakan hari besar agama ini, dan Tisha B’Av, yaitu puasa selama 25 jam untuk meratapi kehancuran pertama dan kedua Kuil Yahudi.

Masing-masing agama ini tentu punya penjelasan tentang mengapa puasa penting, dari sudut pandang keimanannya. Tapi, fakta bahwa agama-agama ini secara bersamaan memandang penting puasa, menyiratkan bahwa praktek puasa memiliki akar yang universal.

Kapan sih pertama kali ada praktek puasa itu? Waktu dinosaurus masih jadi penguasa bumi? Sebelum atau sesudah kemunculan agama-agama? Rasa penasaran ini, sepertinya belum bisa terjawab.

Para editor di Encyclopaedia Britannica, hanya menyebutkan bahwa puasa adalah praktik untuk mempersiapkan para imam dan pendeta wanita untuk mendekati para dewa. Menurut mereka, dalam agama-agama Hellenistik yang misterius, para dewa  mengungkapkan ajaran ilahi mereka melalui mimpi dan penglihatan hanya setelah menjalankan puasa yang mensyaratkan dedikasi total dari pengikutnya.

Disebutkan juga bahwa, di antara orang-orang pra-Kolombia di Peru, puasa sering menjadi salah satu syarat untuk penebusan dosa setelah seseorang mengaku dosa di hadapan seorang imam. Dalam banyak budaya di sana, praktik tersebut dianggap sebagai cara untuk meredakan dewa yang marah atau membantu membangkitkan dewa yang diyakini telah mati (misalnya, Dewa tumbuh-tumbuhan).

“Dalam agama-agama dari suku-suku penduduk asli Amerika, puasa dipraktikkan sebelum dan selama pencarian ‘visi’. Di antara Evenk di Siberia, Shamans (tokoh agama yang dianggap memiliki kekuatan untuk menyembuhkan) sering menerima visi awal mereka bukan dengan pencarian tetapi setelah menderita penyakit yang tak dapat dijelaskan.”

“Namun, setelah menerima visi awal, mereka berpuasa dan melatih diri untuk melihat penglihatan lebih lanjut dan mengendalikan roh-roh. Secara historis, masyarakat imam di antara suku Indian Pueblo di Amerika Barat Daya berpuasa selama retreat sebelum melakukan upacara besar yang terkait dengan perubahan musim.”

Yang jelas bagi kita, puasa sudah ada sejak dahulu kala. Untuk sementara, terima itu saja dulu.

Nah, tentu tidak adil membahas puasa dari berbagai perspektif tanpa menengok ke sejarah negeri sendiri. Untuk itu, saya mau mengandalkan sumbernya dari artikel di situs Historia.id yang berjudul “Puasa Jaman Gajah Mada”, yang ditulis oleh Risa Herdahita Putri.

Dalam artikel tersebut, kata pasa ditemukan dalam Kakawin Ramayana. “Menurut pakar sastra Jawa Kuno, Poerbatjaraka, Ramayana versi Jawa Kuno berasal dari masa sebelum pemerintahan Mpu Sindok di Medang abad 10. Di dalamnya terdapat istilah pasa-brata, yang berarti aktivitas pasa. Di sini, pasabrata diarahkan pada penyikapan atas kedurjanaan.”

Mengutip pandangan Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, pada Historia, puasa adalah upaya pengekangan diri untuk menghadapi kedurjanaan, “dalam konsep Ramayana, usaha ini butuh kekuatan diri yang sangat besar.”

“Konsep pengendalian hawa nafsu ini juga ditemukan dalam Kakawin Arjunawiwaha. Karya gubahan Mpu Kanwa ini ditulis pada era Airlangga, penguasa Kahuripan pada awal abad 11. Dikisahkan Arjuna melakukan tapa di Gunung Indrakila demi bisa membantu saudaranya Yudhistira merebut kerajaannya kembali.”

Lebih lanjut, “dalam karyanya itu, Mpu Kanwa juga menyelipkan pesannya. Katanya, lancang bagi orang yang memohon kesenangan dan kebahagiaan pada Tuhan tanpa pernah melakukan brata-yoga-tapa. Bukannya terkabul, justru yang akan diterima adalah penderitaan dan sakit hati.”

Selama berpuasa, Arjuna harus melawan segala macam godaan, bukan cuma soal tidak makan dan minum. Tapi juga nafsu marah, serakah dan seks. Ia harus mengendalikan diri dari rayuan bidadari-bidadari kiriman dari surga: Suprabha dan Tilottama yang sangat cantik.

Puasa juga diperlukan sebelum memasuki gelanggang politik. “Contohnya adalah Airlangga. Seperti diuraikan dalam Prasasti Pucangan (1042), raja itu juga memulai karier politiknya setelah lebih dulu hidup di kalangan pertapa. Sebelum dinobatkan sebagai raja pada 1009, Airlangga selama dua tahun melakukan latihan rohani di Gunung Pucangan yang ada di perbatasan Lamongan dan Jombang.” 

Itulah berbagai sudut pandang tentang puasa, dari berbagai bacaan yang ada.

Ada beberapa kesimpulan sementara: (i) puasa sejak dulu sudah dipraktekkan, dari berbagai tradisi budaya dan agama, (ii) puasa dipercaya bisa membawa “kekuatan” yang melampaui keadaan manusia ‘normal’ bagi beberapa orang yang mempraktekkannya, (iii) puasa bisa menjadi sarana perjuangan politik untuk mempengaruhi kebijakan dan memobilisasi dukungan, dan terakhir (iv) puasa bisa memberikan dampak yang positif bagi kesehatan, khususnya dari sudut pandang psikologi empirik dan kesehatan.

Begitu katanya…

Saya mulai mempraktekkan puasa, sekitar tahun 1994 selama berada di Rumah Tahanan Salemba, semasa menjadi tahanan politik. Salah satu pemicunya setelah membaca otobiografi Gandhi yang saya kutip di atas dan beberapa buku lain tentang sufisme dan spiritualitas Timur.

Yang sering saya jalankan, kadang secara tidak terlalu konsisten, adalah puasa Senin-Kamis. Tidak ada tujuan tertentu, selain meniru secara amatiran apa yang dilakukan para tokoh yang saya baca itu. Siapa tahu bermanfaat.

Sebagai orang yang terbiasa berpikir logis dan kritis – dan cenderung tidak percaya sebelum mengalami – pengalaman-pengalaman supranatural tampaknya secara sengaja menjauhi saya. Mungkin mereka berpikir, “hopeless kita sama yang begini nih.”

Tapi saya jalani saja. Beberapa minggu, hingga beberapa bulan.

Suatu saat, saya yang sedang menggemari rokok Djisamsoe ketika itu, mulai merasa ada yang tidak enak dengan tenggorokan saya. Saya coba beralih ke rokok Sampoerna yang lebih ringan. Tapi, sama saja. Saya tak bisa menikmatinya.

Lalu, saya coba tidak merokok sama sekali. Aneh juga, sebab saya merasa baik-baik saja. Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi kecanduan rokok. Sampai hari ini. Meskipun saya masih suku merokok kalau berada di lingkungan perokok, saya bisa berhenti kapanpun saya mau.

Apakah ini hanya kebetulan belaka – ada korelasi tapi tak ada kausalitas atau hubungan sebab-akibat? Saya tidak tahu.

Jadi, saya teruskan berpuasa, karena rasanya tidak ada yang salah dengan itu.

Setiap kali mengalami beban masalah, atau krisis, saya biasanya akan berpuasa. Mengapa?

Pengamatan saya, puasa membuat saya memiliki perspektif berbeda ketika melihat masalah. Masalahnya tetap ada – sampai hari ini pun demikian – tapi “bebannya” tidak seberat ketika tidak berpuasa.

Seperti sedang memegang api yang menyala, tapi rasanya tidak terlalu panas.

Untuk orang yang sejak muda sering terlibat masalah seperti saya, ini tampaknya sebuah sarana yang berguna…. Em, sesungguhnya, powerful!

Jadi, saya masih suka berpuasa. Itu saja.