Dua Strategi Menciptakan Kesejahteraan Ala Daniel Kahneman

Daniel Kahneman/Talks at Google

Pimpinan dalam organisasi apapun, selalu dituntut untuk menciptakan kesejahteraan anggota, karyawan atau warganya. Banyak cara yang dilakukan untuk itu, mulai dari menaikkan gaji, memberikan fasilitas hingga memberikan jaminan sosial (BPJS kesehatan, misalnya). Tapi, apakah itu cukup?

Selama masih hidup di dunia, umumnya manusia tidak akan pernah merasa puas – kecuali ada yang bisa membuktikan sebaliknya. Semua orang selalu ingin lebih, dan, yang lebih rumit, memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang kesejahteraan. Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mengelola hal ini? Di sinilah pentingnya kita mempelajari aspek psikologi dari kesejahteraan (well-being).

Untuk itu, saya ingin meminjam pandangan dari psikolog asal Princeton, Daniel Kahneman. Dalam bukunya, “Thinking, Fast and Slow”, yang merupakan salah satu favorit saya, Kahneman mendedikasikan sebuah bab khusus yang membahas tentang kesejahteraan dan kebahagiaan (hal yang belum saya masukkan dalam tulisan saya sebelumnya tentang Kahneman di blog ini, yaitu “Seni Mengambil Keputusan: Berguru pada Daniel Kahneman, Satu-Satunya Psikolog Peraih Nobel Ekonomi”).

Intinya, menurut Kahneman, terkait dengan kesejahteraan, manusia memiliki “dua diri” (two selves) yang berperan penting untuk membuatnya “merasa puas”. Pertama, adalah yang ia sebut sebagai “diri yang mengalami” – selanjutnya akan saya sebut sebagai experiencing self (ES). Kedua, adalah “diri yang mengingat” – atau remembering self (RS).

Jika kita hendak memulai sebuah program peningkatan kesejahteraan dalam organisasi, kedua macam diri ini harus dilayani secara seimbang. Fokus pada salah satunya saja tidak cukup. Nah, sebelum kita masuk pada strategi untuk mencapainya, penting untuk memahami mengapa dan bagaimana Kahneman bisa menyimpulkan bahwa manusia memiliki “dua diri” dalam melihat kebahagiaan.

Tirani “Remembering Self”

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan bersama koleganya, Kahneman mencoba mengukur bagaimana umumnya manusia mempersepsikan rasa sakit. Yang ia lakukan adalah membuat sebuah wadah yang berisi air dingin dengan temperatur tertentu – yang menyebabkan rasa sakit bagi yang menyentuhnya, tapi dalam batas yang masih dapat dikendalikan.

Para partisipan dalam penelitiannya diminta untuk memasukkan salah satu tangannya ke dalam wadah tersebut. Sementara tangan lainnya diminta untuk meng-input dan merekam sendiri, melalui tombol yang disediakan, berapa lama ia sanggup bertahan. Sewaktu-waktu, para partisipan bisa mengeluarkan tangannya yang berada dalam wadah tadi (namun tidak ada yang melakukannya selama berlangsungnya percobaan).

Percobaan itu dilakukan dua kali untuk masing-masing partisipan. Percobaan pertama adalah memasukkan tangan pada air dengan suhu 14 derajat Celsius selama 60 detik. Di akhir percobaan, setiap partisipan diminta menarik tangannya dan diberikan sebuah handuk hangat.

Percobaan kedua berlangsung selama 90 detik. Bedanya adalah, setelah melewati 60 detik, suhu dalam wadah air tadi dinaikkan satu derajat Celsius – yang cukup membuat para partisipan merasa adanya penurunan rasa sakit.

Ini bagian menariknya: Setelah dua percobaan tersebut dilakukan, para peserta diberitahu bahwa mereka masih akan melalui percobaan ketiga (yang sebetulnya tidak akan pernah terjadi) dan mereka diminta untuk memilih, jika ada percobaan ketiga, apakah lebih menyukai percobaan pertama atau percobaan kedua. Hasilnya: 80% partisipan memilih percobaan kedua.

Jika ditimbang secara obyektif, kita tahu bahwa percobaan kedua (90 detik) sebetulnya lebih menyiksa ketimbang percobaan pertama (60 detik). Tapi, mengapa para partisipan lebih menyukai percobaan kedua?

Di sinilah Kahneman memperkenalkan peran “diri yang mengingat” (RS) dari kebanyakan manusia. RS seolah tidak peduli dengan durasi percobaan yang lebih lama, karena ia lebih menyukai sensasi menurunnya rasa sakit pada 30 detik terakhir di percobaan kedua. Ingatan itu membuatnya melupakan fakta yang obyektif yang dialami oleh “diri yang mengalami” (ES).

Kahneman lantas menyimpulkan: “Remembering self kadang-kadang salah, tapi ia yang membuat penilaian dan mengatur apa yang kita pelajari dari kehidupan, dan ia pula yang membuat berbagai keputusan. Apa yang kita pelajari dari masa lalu adalah untuk memaksimalkan kualitas ingatan kita agar terjadi di masa depan, jadi bukan pengalaman yang kita kehendaki. Inilah tirani dari remembering self.

La Traviata

Sebetulnya, kita mengenal dan mengakui konsep RS ini secara intuitif. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar peribahasa ini: “Kemarau setahun terhapus oleh hujan sehari” atau “nila setitik rusak susu sebelanga”. Keduanya, sama seperti percobaan yang dilakukan Kahneman, menekankan pentingnya sensasi yang terjadi di akhir sebuah masa atau periode – sebab itulah yang tertancap secara kuat dalam ingatan kita.

Hal ini juga yang tercermin dari berbagai karya seni pertunjukan hingga serial televisi, dari opera hingga telenovela. Mayoritas penonton menghendaki sebuah lakon yang happy ending – meskipun 80 hingga 90 persen durasinya berisi fragmen-fragmen tentang penderitaan.

Kahneman menggunakan lakon karya Giuseppe Verdi, “La Traviata” untuk menunjukkan kencenderungan psikologis seperti ini. Opera atau pertunjukan musikal ini menceritakan tentang cinta antara seorang aristokrat muda dengan Violetta yang berasal dari kalangan masyarakat bawah.

Ayah sang aristokrat yang tidak menyetujui hubungan percintaan itu mendekati Violetta dan meyakinkannya untuk meninggalkan anaknya demi mempertahankan kehormatan keluarga. Violetta pun berkorban dan berpura-pura menolak cinta dari sang aristokrat.

Violetta semakin menderita karena kemudian mengidap tuberculosis yang pada saat itu menjadi penyakit yang sangat mematikan. Di akhir pertunjukan, Violetta terbaring lemah dan dikelilingi oleh para sahabatnya. Sang aristokrat yang mengetahui keadaannya berusaha keras untuk menemui Violetta di Paris.

Berita itu saja sudah membuat Violetta dipenuhi harapan, meskipun pada saat yang sama keadaan fisiknya terus memburuk. Menurut Kahneman, “tak peduli berapa kali Anda menonton adegan ini, Anda akan terbawa suasana ketegangan dan kekhawatiran: Apakah kekasihnya akan tiba pada waktunya? Ada semacam perasaan yang membuat kita merasa bahwa sangat penting baginya untuk bertemu Violetta sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.”

Dan memang, pada akhirnya sang pemuda berhasil bertemu kekasihnya. Lagu-lagu cinta yang indah pun dinyanyikan untuk mewarnai momen tersebut. Sepuluh menit kemudian, Violetta meninggal dunia.

“Dalam perjalanan pulang dari opera, saya bertanya-tanya: Mengapa kita begitu peduli dengan adegan 10 menit terakhir itu? Saya segera menyadari bahwa saya sama sekali tak peduli dengan berapa panjang umur Violetta. Jika saya diberi tahu bahwa dia meninggal pada usia 27, bukannya 28 seperti yang saya yakini, berita bahwa dia melewatkan satu tahun hidup dengan bahagia tidak akan menggerakkan saya sama sekali, tetapi kemungkinan melewatkan 10 menit terakhir dari hidupnya itu bisa jadi masalah buat saya,” ungkap Kahneman.

“Selain itu, emosi yang saya rasakan terhadap reuni kedua sejoli itu tidak akan berubah jika saya mengetahui bahwa mereka sebenarnya memiliki waktu seminggu bersama, bukannya 10 menit. Namun, jika sang kekasih datang terlambat, La Traviata akan menjadi cerita yang sama sekali berbeda. Sebab cerita ini adalah tentang ‘peristiwa penting’ dan ‘momen tak terlupakan’, bukan tentang berapa banyak waktu yang berlalu.”

Durasi waktu menjadi tidak terlalu penting dalam sebuah cerita, yang lebih penting adalah akhir cerita akan seperti apa. Itulah yang akan diingat oleh penonton. Hal yang sama juga terjadi dalam setiap ingatan kita terhadap berbagai peristiwa dalam hidup, termasuk ketika mengalami pengalaman yang pahit (seperti dalam percobaan menyentuh air dingin tadi) atau ketika menjalani liburan.

“Beginilah cara bekerja remembering self: Ia menyusun cerita dan menyimpannya sebagai referensi di masa mendatang.”

Sekarang kita mengerti mengapa ketika berlibur, kamera menjadi perlengkapan wajib yang harus dibawa – karena kita juga menginginkan sebuah cerita yang berkesan dan sewaktu-waktu dapat dilihat kembali di masa mendatang. Foto-foto hasil dari kamera tersebut bisa menjadi penanda tentang cerita berlibur yang hendak kita susun.

Industri hiburan dan pariwisata yang telah berkembang maju sangat menyadari hal ini. Bagi mereka yang hendak “dijual” adalah “pengalaman yang tak terlupakan”. Saya pernah mengunjungi sebuah tempat wisata di wilayah Lembang, yang dipenuhi pengunjung yang rela bermacet-macet dan antri cukup lama cuma untuk bisa berfoto di beberapa spot yang instagrammable! 

Ada yang bilang ini adalah karakter dari generasi milenial yang lebih rela uangnya digunakan untuk merasakan “pengalaman” ketimbang berinvestasi (baca juga artikel Forbes berikut: “Nownership, No Problem: An Updated Look At Why Millenials Value Experiences Over Owning Things”). Penelitian Kahneman menunjukkan bahwa, mayoritas kita, sebetulnya juga menghendaki hal yang sama. Lebih dari itu, kita sendiri pun ingin agar perjalanan hidup kita berujung dengan sebuah peristiwa klimaks yang mengesankan.

Kita semua ingin menjadi pahlawan di akhir cerita.

Pendekatan Gabungan

“Perhatian terhadap orang lain, seringkali lebih merupakan bentuk kepedulian terhadap kualitas cerita mereka ketimbang perasaannya,” kata Kahneman. Terdengarnya sangat janggal memang. Tapi bukan tanpa alasan.

Inilah pendekatan yang perlu menjadi landasan dalam pembuatan kebijakan atau program kesejahteraan. Apakah itu berarti bahwa kita hanya perlu fokus pada upaya bagaimana agar anggota, karyawan atau warga terpuaskan RS-nya? Pilihan moral ada di tangan anda. Tapi, jika Anda ingin menjadi pemimpin yang bijaksana lakukan keduanya.

Lalu, bagaimana caranya?

Untuk memuaskan ES, kita memerlukan data. Eksperimen yang dilakukan oleh Kahneman dan para koleganya adalah dengan merekam emosi orang-orang yang menjadi subyek penelitiannya secara reguler untuk mendapatkan informasi dalam situasi seperti apa mereka merasa bahagia atau puas dan dalam situasi bagaimana mereka merasakan yang sebaliknya (stres atau tidak puas).

Melalui metode komprehensif yang ia sebut Day Reconstruction Method (DRM), Kahneman dan timnya bisa mengetahui secara lebih akurat durasi dari emosi orang-orang yang ditelitinya – yang artinya metode ini memang dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi tentang ES dan menghindar dari persepsi RS. Hasilnya, disebut dengan “U-Index”.

Seseorang yang menghabiskan waktu selama 4 jam (dari total 16 jam beraktivitas) dalam keadaan yang tidak menyenangkan akan memiliki U-Index sebesar 25%. Semakin tinggi U-Index seseorang, berarti semakin lama pula ES-nya mengalami bahagia atau sejahtera.

Contoh dari temuan Kahneman dan kawan-kawan adalah sekitar 1.000 perempuan di Amerika Serikat, memiliki U-Index sebesar 29% ketika menggunakan transportasi publik, 27% ketika bekerja, 24% ketika mengasuh anak, 18% ketika beraktivitas di rumah, 12% ketika bersosialisasi, 12% ketika menonton TV dan 5% ketika berhubungan seks. Angka U-Index juga lebih tinggi sekitar 6% ketika hari kerja dibandingkan pada hari libur.

Dengan sedikit melakukan “penggalian”, data-data tadi bisa menjadi harta berharga untuk mengetahui mengapa perempuan AS relatif merasa kurang puas, dan dengan begitu bisa menjadi masukan atau input bagi perbaikan kebijakan.

Hasil analisis Kahneman menunjukkan hal-hal yang menarik – misalnya mood negatif di tempat kerja tidak terlalu dipengaruhi oleh status dan fasilitas, tetapi yang lebih penting adalah kurangnya kesempatan bersosialisasi dengan sesama pekerja, tekanan waktu, ekspose terhadap kebisingan, serta kehadiran bos secara tiba-tiba.

Sebaliknya, rasa puas ditentukan oleh apa yang sedang kita hadiri dan apa yang sedang kita fokuskan pada saat sedang beraktivitas dan di lingkungan terdekat. “Saat sedang berbunga-bunga karena jatuh cinta, kita bisa merasakan kegembiraan meskipun sedang terjebak dalam kemacetan, dan ketika sedang kecewa, kita bisa tetap merasa tertekan meskipun sedang menonton film komedi,” kata Kahneman.

Dari data-data seperti ini, pengambil kebijakan dapat mengetahui arah kebijakan yang dapat dirumuskan agar ES bisa lebih baik. Jika hal itu lebih mungkin dilakukan pada tingkat individu, maka pengambil kebijakan bisa mengusulkan sebuah kampanye agar seluruh masyarakat bisa melakukannya. Sebaliknya, jika lebih mudah dilakukan secara kolektif, tentu bisa melalui proses perumusan kebijakan secara konvensional.

Pada tingkat individu, hal yang bisa direkomendasikan dari temuan-temuan di atas misalnya, adalah: Bagaimana agar para komuter menghabiskan lebih sedikit waktu dalam perjalanan dan lebih banyak melakukan hal-hal yang mereka sukai; Bagaimana agar mereka yang banyak menghabiskan waktu secara pasif dengan menonton TV bisa beralih melakukan kegiatan aktif seperti bersosialiasi dan berolahraga.

Secara sosial, rekomendasi kebijakan bisa berupa: Peningkatan kualitas transportasi untuk angkatan kerja, ketersediaan penitipan anak untuk perempuan yang bekerja, pelayanan BPJS kesehatan yang lebih baik dan peningkatan kesempatan bersosialisasi bagi para lansia yang mungkin merupakan cara yang relatif efisien untuk mengurangi U-Index secara umum – “bahkan penurunan sebesar 1% pun merupakan sesuatu yang sangat signifikan, karena dapat menghindari jutaan jam penderitaan.”

Dalam konteks organisasi, survei serupa dalam ruang lingkup yang lebih terbatas, tentu saja dapat kita lakukan untuk merekam U-Index para anggota atau karyawan. Dari situ kita bisa membuat program-program yang dapat meningkatkan pengalaman kepuasan mereka selama menjadi bagian dari organisasi kita.

Tergantung dari data yang kita peroleh, berbagai perubahan bisa dilakukan di tingkat organisasi – bisa jadi hal itu dilakukan, misalnya, dengan membuat ruangan khusus untuk Ibu menyusui, mempersilakan para karyawan untuk bekerja secara jarak jauh (yang sudah terjadi di masa pandemi sekarang ini), mengatur jam kerja yang lebih fleksibel atau melakukan kegiatan sosial bersama atau memberikan insentif untuk transportasi dan sebagainya – jika memungkinkan.

Bagaimana dengan RS?

Penjelasan Kahneman di bagian-bagian awal tulisan ini sebetulnya sudah cukup memberikan bekal bagi kita untuk memuaskan remembering self. Intinya adalah memfasilitasi agar anggota, karyawan atau warga bisa merasakan sesuatu yang mudah mereka kenang. Bagi organisasi pemerintah, itu bisa berarti menghidupkan kembali program-program yang bersifat kepramukaan, atau bisa juga melalui pembangunan monumen serta arsitektur kota yang akan membuat warga dan pendatang merasa terkesan, atau membuat program-program seni-budaya yang penuh warna. Pemberian penghargaan terhadap para warga yang berjasa dan sebagainya.

Dalam konteks organisasi sosial atau perusahaan, pemberian penghargaan terhadap anggota atau karyawan bisa menjadi alternatif program. Kegiatan outbond masih sangat relevan untuk dilakukan. Bisa juga dengan membuat buku atau laporan tahunan untuk “mengingatkan kembali berbagai kebaikan dan prestasi” yang telah dijalani sebuah organisasi. Silakan membuat dan mendiskusikan secara rinci berbagai gagasan yang mungkin diwujudkan.

Yang jelas, anggota, karyawan atau warga harus mengalami “peningkatan durasi atau pengalaman kepuasan sehari-hari” dan juga “memiliki momen-momen paling berkesan dalam hidup” – sejauh yang dapat kita fasilitasi. Sekian dan terimakasih telah berkunjung ke rawanda.blog.