

“You’ll never walk alone. In the darkest moment you’re not alone.” Jurgen Klopp
Penalti pemain asal Brazil, Willian, di menit ke 78 Kamis malam itu (25 Juni 2020, waktu setempat) menandai kekalahan Manchester City dalam pertandingan yang digelar tanpa penonton di markas Chelsea, Stamford Bridge. Skor akhir, 2-1. Namun, meskipun laga kedua raksasa Premiere League itu sangat menarik untuk disaksikan, namun perhatian penggemar sepakbola justru lebih banyak tersita pada dampak yang terjadi karena pertandingan itu.
Sebab, kekalahan Manchester City berarti bahwa mereka tak mungkin lagi mengejar posisi Liverpool yang memiliki selisih 23 poin di atasnya. Liverpool menjadi jawara liga paling kompetitif dan bergengsi di dunia setelah menanti 30 tahun lamanya (Liverpool menjadi juara terakhir kali pada musim 1989-1990 ketika itu Mohamed Salah, salah satu penyerang andalan mereka, bahkan belum lahir).
Jurgen Klopp berusaha menahan air matanya. Berbicara kepada Sky Sports, ia pertama-tama malah “berbagi” kebahagiaannya dengan para legenda klub, Kenny Dalglish, Steven Gerrard dan Graeme Souness – dua di antaranya, Kenny dan Graeme, diwawancarai di tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan.
“Saya tidak punya kata-kata, ini tidak bisa dipercaya… untuk menjadi juara bersama klub ini. Mengetahui seberapa banyak Kenny mendukung kami… ini juga untuk Anda, Kenny. Anda harus menunggu 30 tahun agar klub anda bisa memenangkannya.”
“Ini untuk Stevie (Gerrard), yang harus menunggu lama dan sekarang… untuk semuanya. Mudah bagi saya untuk memotivasi tim karena sejarah kami yang hebat dan itu sangat sulit dipercaya. Benar-benar menegangkan…”
“Tetapi ini merupakan pencapaian para pemain saya, apa yang telah mereka lakukan selama dua tahun terakhir adalah luar biasa. Sukacita murni bagi saya untuk melatih mereka.”
Sebuah perjalanan dan perjuangan yang panjang. Meskipun setahun sebelumnya telah didahului dengan meraih gelar Liga Champions untuk keenam kalinya, namun harapan Liverpool untuk menjadi juara sempat diwarnai ketidakpastian dengan merebaknya Pandemi COVID-19 yang menyebabkan terhentinya seluruh pertandingan di Premiere League selama 3 bulan.
Banyak faktor bisa disebutkan sebagai penentu keberhasilan Liverpool dalam beberapa tahun terakhir – tidak hanya dari sisi prestasi, tapi juga finansial yang tercermin dari peningkatan nilai komersial Liverpool sebesar 122% (sekitar 1,9 milyar dolar AS) sejak kedatangan Klopp di tahun 2015: Para pemain yang berbakat, fans yang luar biasa, manajemen yang modern, serta kultur yang telah terbangun selama puluhan tahun – adalah beberapa di antaranya. Namun faktor Jurgen Klopp, sebagai pelatih, barangkali merupakan salah satu yang terpenting.
Menggunakan perspektif organisasi, kita dapat mengetahui peran Jurgen Klopp sebagai aktor penting, sebagai pemimpin, yang menggunakan “people strategy” untuk mengangkat moral tim. Secara konsisten, ia selalu memberikan apresiasi dan menempatkan timnya, orang-orang di sekitarnya, agar percaya bahwa mereka semua bisa memainkan peranan penting (Lihat juga pembahasan tentang pentingnya “feeling of importance” ini di dalam tulisan sebelumnya yang berjudul, “Semua Orang adalah VIP”).

Tapi, sebelum ke sana, barangkali ada baiknya untuk sejenak melihat perkembangan sepakbola modern sebagai ajang beradu strategi. Tidak hanya soal taktik dalam pertandingan, sepakbola sebagai olahraga dengan jumlah penggemar paling besar di dunia, mencapai sekitar 3,5 milyar orang ini adalah laboratorium bagi management strategyst untuk memenangkan persaingan bisnis.
Sepakbola telah menjadi industri dengan nilai puluhan milyar dolar AS. Sekarang ini bahkan ada jurusan pendidikan khusus untuk industri sepakbola, yaitu Football Industri MBA (FIMBA). Penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan, yaitu sport science, sudah menjadi lumrah. Sir Alex Ferguson, pelatih legendaris dari Manchester United – musuh bebuyutan Liverpool – sudah lebih dulu mempraktekkan hal ini.
Dalam “Ferguson’s Formula” (diterbitkan Harvard Business Review), Sir Alex adalah yang pertama mensyaratkan konsumsi vitamin D yang disediakan di ruang ganti pemain untuk mengkompensasi kekurangan cahaya matahari di Manchester. Ia juga yang memulai penggunaan rompi khusus dengan sensor GPS untuk menganalisis performa pemain setelah 20 menit berlatih.
Salah satu kunci keberhasilan Sir Alex di masa keemasannya, adalah karena perspektif strategi yang ia terapkan (dan diijinkan oleh pemilik klub) telah melampaui taktik di lapangan. Ia terlibat dalam keputusan-keputusan strategis, termasuk memperbarui program jangka panjang klub sebagai center of excellence, untuk pembinaan talenta-talenta muda – yang salah satu hasilnya, adalah Class of 92 yang legendaris.
Dalam sepakbola modern, sebagai sebuah industri, strategi untuk menjadi kompetitif adalah membangun sistem yang komprehensif. Sistem tersebut membutuhkan pemimpin yang visioner. Dalam kasus Sir Alex, ia sendiri telah terlanjur melekat dan identik dengan sistem klub. Sehingga, ketika ia lengser, Manchester United sebagai sebuah klub pun turut goyah dan harus bersusah-payah membangun kembali sistem yang baru.
Barcelona, Real Madrid, Bayern Munich dan Juventus, dan berbagai klub modern lainnya, tampaknya telah saling belajar bagaimana membangun sistem pengelolaan klub sepakbola yang kompetitif. Semuanya menerapkan sistem organisasi yang solid, dan mungkin, belajar dari “kesalahan” Manchester United, tak mau bergantung pada satu tokoh sentral.
Itu dari sisi sistem pengelolaan organisasi secara menyeluruh. Dari sisi taktik (sistem permainan), semua klub dan pelatih pun telah saling belajar dan menggali kekuatan dan kelemahan berbagai “jurus permainan” yang pernah ada. Dari kick and rush hingga tiki-taka, semua pernah mengalami era kejayaan, dan perlahan-lahan, kemunduran.
Dengan teknologi dan big data, hal-hal yang tak terekam dengan kasat mata, bisa dianalisis oleh komputer dan diberikan rekomendasi. Tak ada taktik yang tak bisa dibedah kekuatan dan kelemahannya. Sampai-sampai sebuah video yang dibuat Deutsche Welle, membuat pertanyaan retorik: Apakah kita sudah berada di penghujung sejarah sepakbola?
Lantas, apalagi yang tersisa dalam strategi di dunia sepakbola, ketika semua klub sepakbola modern telah mengadopsi sistem dan menjadikannya “operational effectiveness” (meminjam istilah Business Strategy Guru, Michael E. Porter), serta menguasai semua taktik terhebat yang pernah ada? Bukankah strategi yang sudah bisa ditiru bukan lagi sebuah strategi – karena sudah tak punya unsur kejutan dan telah menjadi lembaran administratif belaka dalam bentuk formulir check-list?
Jawabannya, mungkin tak bisa lagi hanya dicari di dalam sistem, tetapi pada “orang”. Aktor.
Bagaimana mereka berinteraksi dan bekerjasama mengatasi berbagai tekanan tinggi yang datang setiap saat, dari berbagai pihak. Lawan bermain, penonton, kritikus di media hingga pemegang saham di perusahaan.
Kualitas itu tampaknya yang ada dalam diri Jurgen Klopp saat ini. Ia mungkin dikenal karena pendekatan taktikal gegenpressing atau counterpressing, yang dipraktekkan para pemainnya dalam melakukan transisi cepat untuk menekan lawan ketika kehilangan bola. Tapi, dengan teknologi dan analisis data, rasanya tak sulit bagi para pesaingnya untuk mencari antidot dari taktiknya itu.
Dari berbagai sumber dan wawancara yang dilakukan terhadap Klopp, terdapat sebuah benang merah gaya kepemimpinan yang khas dari pelatih berkebangsaan Jerman ini. Klopp, sebagaimana telah disebutkan di bagian awal tulisan ini, adalah pelatih yang mengandalkan People Strategy. Para legenda Liverpool yang mengenalnya pun mengkonfirmasi hal ini.
Dalam ungkapan “King” Kenny Dalglish kepada BT Sport, manajer terakhir yang menjadi juara bersama Liverpool 30 tahun lalu, Jurgen “menghargai dan menghormati semua orang yang bekerja di klub, mereka semua punya tempat. Jadi, apa pun yang mereka raih saat ini, memang pantas untuk mereka.”
Sementara Steven Gerrard, kapten Liverpool selama 12 tahun, memberikan testimoni melalui The Athletic:
“Aku tahu seperti apa dia, dia rendah hati dan penuh hormat. Ketika Anda melihat skala pekerjaan yang telah dia lakukan, dia jelas layak disandingkan bersamaan dengan para manajer ikonik yang pernah ada.”
Hasil pekerjaannya luar biasa. “Yang perlu Anda perhatikan adalah ketika Jurgen mengambil alih Liverpool, mereka berada dalam posisi bukan tim terbaik di negara ini, mereka bahkan tidak masuk empat besar,” kata Gerrard lagi.
Namun yang terjadi setelah kedatangan Jurgen sangat mengesankan. “Untuk datang ke Liverpool saat dia melakukannya… mencapai jumlah final yang dia capai, meraih Piala Eropa keenam dan kemudian memberikan gelar liga pertama setelah 30 tahun …”
Jurgen Klopp bukan tidak percaya pada sistem, karena Liverpool adalah klub modern yang tidak hidup di masa dinosaurus masih jadi penguasa bumi. Kehebatan Klopp dalam “seni manajemen” modern – bagaimana ia membangun tim manajemen di sekitarnya, mulai dari direktur olahraga, direktur transfer, analis taktik, ahli gizi dan ahli kebugaran, dan bagaimana idenya menerapkan teknologi untuk memonitor permainan sejak masih di Mainz 05 – dapat disaksikan dalam video produksi Athletic Interest ini: “How Jurgen Klopp Transformed Liverpool into a Billion Dollar Club”.
Tapi, ia memberikan bobot yang sangat besar dalam menjaga hubungan baiknya dengan orang-orang di sekitarnya, dengan menanamkan kepercayaan diri pada mereka semua untuk meraih keberhasilan bersama-sama.

Berikut adalah sejumlah kualitas Klopp, yang menunjukkan filosofinya akan People Strategy:
- Meskipun memiliki gaya yang sangat ekspresif dan terkesan emosional di lapangan, Klopp jauh dari sikap pemimpin yang otoriter. Ia mengelilingi dirinya dengan para ahli dan mempercayai penilaian mereka.
“Itulah kepemimpinan: miliki orang-orang hebat di sekitarmu dengan pengetahuan yang lebih baik di berbagai departemen dibandingkan dengan dirimu sendiri. Jangan bertindak seolah-lah Anda tahu segala hal. Bersiaplah untuk mengakui: ‘saya memang tak tahu apa-apa saat itu, beri saya waktu dan mungkin saya bisa menjadi tahu’. Itulah yang saya pahami, tapi itu bukan semacam filosofi. Itulah cara saya,” ujar Klopp dalam sebuah wawancara dengan Liverpoolfc.com.
- Klopp membangun trust dan hubungan yang baik di antara tim di dalam dan di luar lapangan.
Bersama seluruh timnya, Klopp memiliki perhatian yang besar terhadap apa yang sedang terjadi di luar lapangan. “Jurgen membangun sebuah keluarga. Bagi kami, 30 persen adalah taktik, 70 persen adalah membangun tim,” ujar Asisten Manajer Pepijn Lijnders kepada koran berbahasa Belanda De Volkskrant.
“Apa yang seorang pesepakbola bisa lakukan pada saat menguasai dan kehilangan bola, mudah untuk dibangun. Namun hal yang lebih mendalam – siapa mereka, apa yang mereka percayai, bagaimana mereka sampai pada titik ini, apa yang mendorong mereka, apa yang mereka inginkan ketika berangkat untuk berlatih – itulah detil yang sesungguhnya.”
Itu sebabnya Klopp sangat jengkel ketika salah seorang anggota stafnya tak tahu-menahu ketika Andy Robertson yang waktu itu baru saja dikontrak bakal segera menjadi seorang ayah. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu soal itu? Itu adalah hal terbesar dalam hidupnya saat ini. Come on!” ungkapnya seperti dikutip oleh Goal.com dalam artikel berjudul “Inside The Mind of Jurgen Klopp”.
Ketik baru mulai bekerja di Liverpool, Klopp merasa terganggu dengan adanya jarak antara para pemain dengan para karyawan. Sejak itu ia mengingat satu persatu nama dari 80 petugas yang bekerja melayani keperluan berbagai pemain, dan mengumpulkan mereka bersama agar terjadi keakraban.
- Klopp tidak membiarkan timnya terpengaruh “persepsi” yang berkembang di luar, khususnya dari media digital.
Klopp menyadari bahwa para pemainnya, adalah generasi millenial yang tidak bisa lepas dari dunia digital. Persepsi mereka pun sangat tergantung dengan hal tersebut. Sekuat tenaga ia berusaha menjaga pemain-pemainnya tidak mudah terpengaruh atas berbagai opini tentang mereka yang berkembang dan berseliweran di internet.
“Ketika saya mendengar atau membaca berbagai hal tentang kami, saya tahu saya 100 persen tidak akan terpengaruh. Tapi, oh my god, semua yang lain mendengarkan dengan serius. Sehingga terpaksa kami harus menutup diri dan fokus pada diri kami dan cara kami sendiri.”
“Misalnya, pada Roberto Firmino, orang mengatakan dia tidak cukup membuat gol.”
“What?! Dia adalah pemain terbaik tanpa harus mencetak gol karena begitu baiknya dia membaca permainan untuk kepentingan tim. Luar biasa! Tapi bagaimana jika dia mulai berpikir ‘oh, saya perlu lebih banyak membuat gol’ dan mulai menembak dari semua tempat, padahal dia biasanya memainkan bola dengan cerdas dan sering berlari untuk membuka ruang?”
- Klopp membangkitkan semangat juang dan tidak pernah menyerah, meskipun gagal berkali-kali (di Mainz 05 dan juga di Liverpool).
Sebelum Liverpool menjadi juara Liga Champions di Madrid tahun 2019, Klopp dan timnya kalah di final pada tahun sebelumnya di tangan Real Madrid, di Kiev. Tapi, di malam itu, dia justru menyemangati timnya dengan bersama-sama menyanyikan lagu…
We saw the European Cup
Madrid had all the f**king luck
We swear we’ll keep on being cool
We’ll bring it back to Liverpool
(Silakan terjemahkan sendiri ya. Kan ada google translate…)
Ini bukan hal baru, kegigihan seperti ini sudah ia miliki ketika menangani Mainz 05 di Jerman. “Masalahnya bukan karena kalah. Masalahnya adalah berapa lama hingga akhinya bisa menang,” ujarnya tak lama setelah mendapati klubnya saat itu tak berhasil promosi ke Bundesliga karena kurang satu nilai.
Tahun berikutnya, Mainz 05 gagal promosi lagi. Kali ini karena kalah selisih satu gol. Dalam keadaan demikian, ia berbicara di depan 10.000 ribu fans yang kembali kecewa dan mengatakan pada mereka bahwa jika mereka telah mengalami gagal dua kali, mereka harus mencoba untuk yang ketiga kali.
Setahun kemudian ia berhasil membawa Mainz 05 promosi ke Bundesliga untuk pertama kalinya dalam sejarah klub itu. Selebihnya adalah sejarah. Di Borussia Dortmund, kemudian kini bersama Liverpool.
Apa yang akan terjadi musim depan? Seperti apa “People Strategy” berkembang? Bagaimana para manajer dan klub lain akan bereaksi setelah ini? Kita belum tahu dan tak bisa memastikan. Analisa hari ini cukuplah untuk hari ini.
Ini saatnya merayakan, bagi yang mau merayakan.
Disclaimer: Tulisan ini dibuat oleh seorang penggemar Liverpool.