
“Engkau harus seperti batu karang, yang dapat menghadapi ombak yang menghantam berulangkali, namun yang tetap kokoh berdiri, dan setelah itulah ombak yang besar menjadi diam dan tenang.” – Marcus Aurelius, “Meditations”, Buku 4, XL
Banyak berada di rumah (kadang bekerja, kadang tidak) belakangan ini membuat saya punya kesempatan untuk melirik kembali karya-karya pemikiran klasik yang masih relevan dengan situasi saat ini. Salah satunya, tentang Stoicism (di-Indonesia-kan menjadi Stoikisme).
Ini adalah aliran pemikiran filsafat atau barangkali lebih tepat jika dikatakan sebagai “metode untuk mempraktekkan filsafat dalam kehidupan sehari-hari”. Sangat praktis. Semua orang pun bisa mencobanya.
Stoikisme penting, bagi saya, karena dalam perspektif strategi, ia mengandung nilai-nilai dan kepemimpinan yang notabene adalah elemen-elemen penting dalam strategi. Sebagaimana pernah saya tuangkan dalam tulisan sebelumnya tentang 15 elemen strategi Sun Tzu, strategi yang baik harus berdasarkan nilai-nilai utama dan dieksekusi oleh pemimpin yang mumpuni atau bijaksana.
Stoikisme juga penting, karena bisa menjadi pemandu bagi siapapun ketika berhadapan dengan kesulitan atau tantangan hidup, sebagaimana yang sekarang kita hadapi dengan merebaknya Covid-19.
Asal kata Stoik sendiri berasal dari Stoa Poikile, atau teras yang dicat, sebuah pasar terbuka di Athena, tempat Kaum Stoa awal bertemu dan berbincang tentang filsafat dan kebijaksanaan.
Menggunakan definisi dari Cambridge Academic Content Dictionary, Stoik (atau Stoic) mengacu pada sikap yang tidak menunjukkan perasaan atau emosi, terutama ketika menghadapi situasi yang biasanya emosional.
Zeno, pedagang asal Venezia yang menjadi perintis Stoikisme 300 tahun sebelum Masehi, beserta Kaum Stoa yang memperkenalkan ajaran ini, pada umumnya mengedepankan tentang “kebajikan sebagai hal tertinggi” (Summum Bonum) yang harus terus diupayakan manusia.
Seneca dan Epictetus menekankan bahwa “kebajikan sudah cukup untuk mencapai kebahagiaan”. Seorang yang bijaksana dianggap akan memiliki ketahanan emosional ketika menghadapi musibah.
Ada banyak topik yang diminati oleh Kaum Stoa, namun karena sifatnya yang praktis, “etika” menjadi yang paling sering dibahas. Bagi mereka, pengendalian diri sangat penting untuk bisa menghasilkan prilaku yang bijaksana. Mereka meyakini dengan cara itu, seseorang bisa terlepas dari berbagai emosi negatif dan nafsu yang membuat kebijaksanaan dalam dirinya tertutupi.
Kaum Stoa berpandangan bahwa indikator terbaik untuk mengukur tingkat kebajikan seseorang bukanlah dengan melihat apa yang dia katakan, tetapi dari perilakunya – betapa relevannya hal ini di era banjir informasi dan hoax saat ini.
Kaum Stoa juga percaya bahwa alam adalah sumber kebijaksanaan dan bahwa untuk mencapai kebajikan manusia harus selaras dengan alam. Bersama alam manusia berkembang, dan kepada alam pula jasad manusia akan kembali.
Inti ajaran etika Stoikisme, menurut Massimo Pigliucci, penulis buku “How to Be a Stoic?” terdiri dari 2 pilar:
Pertama, “kebajikan-kebajikan utama”, yang terdiri dari: kebijaksanaan dalam hidup sehari-hari, keberanian, keadilan dan sikap tidak berlebihan atau moderat. Ini merupakan nilai-nilai universal yang harus selalu kita wujudkan dalam setiap situasi.
Kedua, “pemilahan kendali”, yaitu bahwa ada hal-hal yang bergantung pada kita atau yang dapat kita kendalikan dalam kehidupan kita, dan ada hal-hal yang tidak bergantung pada kita atau berada di luar kendali kita.
Pemahaman terhadap pilar kedua ini, dapat membantu kita untuk “berstrategi”, misalnya dalam menghadapi berbagai situasi yang pelik. Mencoba menolong orang lain yang kesulitan di hadapan kita, masih berada dalam kendali kita. Namun, memastikan bahwa orang tersebut bisa selamat, sama sekali bukan bergantung pada kita.
Ada outcome atau tujuan yang berada dalam jangkauan kita. Namun, ada yang di luar jangkauan kita. Memahami ini saja seharusnya dapat membuat kita lebih tenang.
Jadi, tak usah terlalu khawatir dengan tujuan yang bukan dalam kendali kita, kita hanya perlu fokus pada upaya maksimal apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan itu. Kebahagiaan tetap dapat kita raih karena kita telah melakukan upaya terbaik, yang berada dalam jangkauan kita.
Kita harus berupaya untuk menjadi sempurna, tapi hasil yang sempurna sebetulnya bukan urusan kita. Dalam berstrategi, ini mirip dengan langkah-langkah untuk mencapai Nash Equilibrium dalam Game Theory (lihat tulisan sebelumnya tentang “Bagaimana Membangun Kekuatan dan Mengelola Kekuasaan Menurut Game Theory”).
Cara pandang seperti ini yang digambarkan dengan sangat baik oleh Epictetus, seorang budak dan tokoh penting dalam Stoikisme:
“Aku harus mati. Jika waktunya sekarang, baiklah maka aku mati sekarang; jika nanti, maka sekarang aku akan makan siang lebih dulu, karena jam untuk makan siang telah tiba – dan kematian biar dihadapi nanti saja.” (Discourses I.1.32)
Banyak tokoh penting dalam Stoikisme, namun salah satu yang paling berpengaruh adalah Marcus Aurelius Antoninus (26 April 121 – 17 Maret 180). Kaisar Roma yang bijaksana.
Lord Acton pernah berkata, “kekuasaan cenderung koruptif, kekuasaan yang mutlak mengkorupsi secara mutlak pula.” Adagium ini berlaku, bagi hampir setiap orang. “Tapi Marcus Aurelius adalah pengecualian, meskipun dengan kekuasaan absolut yang dimilikinya”. Begitu pendapat, Prof. Michael Sugrue dari Ave Maria University, Florida, dalam salah satu kuliah tanpa teksnya yang sangat memikat tentang Sang Kaisar.
Marcus Aurelius, memberikan pengaruh besar, selain karena dia adalah seorang penguasa tertinggi pada jamannya, juga karena persoalan-persoalan besar yang dihadapi semasa kepemimpinannya. Pertama karena perang dengan Kekaisaran Parthia dan kemudian dengan bangsa Jerman sepanjang tahun 160-an.
Di tahun 175, ia juga harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan Jenderal Avidius Cassius, pahlawan perang yang diangkatnya menjadi Gubernur Syria. Namun, Marcus Aurelius tak harus berhadapan dengan Avidius, yang akhirnya dibunuh oleh tentaranya sendiri.
Persoalan terberat yang dihadapinya, tak lain adalah Wabah Antoninus (The Antonine Plague), yang diambil dari nama keluarga Marcus Aurelius pada tahun 165 hingga 180. Wabah yang berasal dari para prajurit Roma yang kembali dari perang ini diperkirakan memakan korban hingga 5 juta jiwa, dan diduga menjadi penyebab kematian Lucius Verus, Wakil Kaisar yang juga saudara angkat Marcus Aurelius pada tahun 169.
Berada di antara peristiwa-peristiwa besar yang menggetarkan, menjadikan permenungan Marcus Aurelius menjadi sangat bermakna: Bagaimanakah menjalankan kebajikan dalam situasi yang demikian?
Koleksi pemikiran Marcus Aurelius dapat dilihat dari karyanya yang diberi judul “The Meditations”. Buku tersebut tadinya berjudul “Ta Eis Heauton” yang berarti “untuk dirinya sendiri” dalam Bahasa Yunani. Penerjemahan ke berbagai bahasa kemudian turut mengubah judulnya menjadi “meditasi” atau perenungan.
Tidak mudah untuk membaca buku klasik ini – meskipun harganya sangat terjangkau (saya membelinya dengan harga kurang dari 1 dolar AS dalam versi Kindle). Setiap bab ditulis dengan banyak anak kalimat. Lalu, sama sekali tidak ada penjelasan konteks spesifik kapan dan di mana masing-masing renungan yang ditulis di setiap bab dalam buku ini.
Di bagian-bagian awal dari buku yang terdiri dari 12 Bab besar ini, saya cenderung sependapat dengan Rachana Kamtekar dari Stanford Encyclopedia of Philosophy yang menganjurkan untuk membaca karya ini dalam konteks “therapeutic”, yaitu dengan bertanya: apa dampak moral dan psikologis yang hendak dicapai Marcus Aurelius dengan tulisan-tulisan perenungannya itu?
Ketika dia hendak mengatakan ‘A’, tidak berarti bahwa is sedang mencerminkan keyakinannya terhadap pandangan ‘A’. Dia seperti sedang melatih dirinya untuk menjadi A. Dia tak mengaku sempurna, tapi sedang berusaha menuju ke sana melalui buku yang memang dia tujukan untuk dirinya sendiri itu.
Setidaknya, itu terlihat di bagian awal dan pertengahan buku ini.
Sejalan dengan pemikiran Stoikisme, “The Meditations” membicarakan tema besar tentang bagaimana manusia menempatkan diri dalam keseimbangan alam, dan bagaimana tetap berbuat kebajikan dalam segala situasi, terutama di saat krisis.
Di bagian awal, ia kerap menyebut nama sejumlah orang hebat yang mempengaruhi dirinya, termasuk Epictetus dan mertuanya Antoninus Pius, yang juga adalah kaisar yang mendahului dirinya. Marcus Aurelius mempersepsikan dirinya tidak sehebat para pemikir Stoik, karena ia harus menjalani kehidupan sebagai seorang Kaisar dengan berbagai kesibukannya.
Secara keseluruhan, saya mendapatkan kesan bahwa alur pencarian kebijaksanaan yang dilakukan oleh Marcus Aurelius bermula dari (1) mencontoh atau belajar “konsep kebajikan” dari orang-orang hebat tadi, lalu (2) merenungkan atau berkontemplasi mengenai berbagai peristiwa penting yang ia hadapi dan kemudian (3) mengamati perkembangan jiwanya sendiri. Hingga akhirnya, ia (4) menemukan pencerahan, untuk sepenuhnya “menerima kehendak Tuhan”.
Degan begitu buku ini pun merefleksikan perjalanan jiwanya hingga menjadi seorang Stoik Sejati.
Ada banyak kutipan dan tema spesifik dalam buku ini, namun karena keterbatasan ruang saya hanya menampilkan beberapa saja. Inilah hasil perenungannya, dan sebagian mungkin penerimaannya, yang relevan dengan situasi kita saat ini:
- Bahwa berbagai gelombang naik-turun kehidupan adalah hal biasa;
“Mengapa hal-hal yang terjadi secara eksternal, begitu mengganggumu? Berikan waktu luang untuk mempelajari hal-hal yang baik, dan berhenti menjelajahi dan berkeliaran ke sana kemari.” – Buku 2, IV
- Bahwa alam sudah memberikan yang terbaik, kita hanya perlu cara pandang lain untuk melihatnya;
“Cobalah amati hal ini, apapun yang secara alami terjadi di alam ini, terdapat sesuatu di dalamnya yang mengasyikkan dan menyenangkan” – Buku 3, II
- Bahwa hidup adalah perjalanan untuk bertumbuh menjadi lebih baik;
“Lalu bagaimana menerangkan hal ini (kematian para tokoh-tokoh terpandang)? Engkau telah mengambil kapal, engkau telah berlayar, engkau akan berlabuh, keluar, di kehidupan yang lain, di sana pun engkau akan menemukan para dewa, mereka ada di mana-mana.” – Buku 3, III
- Bahwa Tuhan meliputi seluruh kehidupan termasuk, di dalam dan di luar diri manusia;
“Selain itu, biarlah Tuhan yang berada dalam dirimu mengendalikan dirimu, temukanlah dia, dia yang bekerja dalam diri manusia, dalam diri orang tua, dalam diri orang yang ramah, dalam diri seorang Romawi, dalam diri seorang pangeran.” – Buku 3, V
- Bahwa manusia harus tetap bergembira apapun yang terjadi;
“Tetaplah gembira, tak bergantung pada apapun, pada pertolongan atau kehadiran orang lain, atau dari kebutuhan untuk istirahat dan ketenangan, yang (justru) harus engkau perhatikan untuk orang lain.” – Buku 3, VI
- Bahwa kebajikan sudah cukup bagi dirinya;
“Jika engkau hidup pada saat ini, mengikuti aturan dengan benar dan bernalar dengan hati-hati, solid, patuh, dan tidak mencampuradukkan berbagai urusan, tetapi belajar untuk menjaga pikiranmu tidak tercemar, dan tetap murni, dan menjaganya tanpa harapan atau ketakutan akan apa pun, dalam segala hal yang akan kamu lakukan atau katakan, memenuhi dirimu dengan kebenaran heroik, kamu akan hidup bahagia; dan di sini, tidak ada manusia yang dapat menghalangi engkau.” – Buku 3, XIII
- Bahwa jiwa lebih besar dan mulia dibandingkan hal-hal di luar diri;
“Kapan pun engkau mau, merupakan kekuatanmu berdiam dan masuk ke dalam dirimu, dan untuk beristirahat, dan bebas dari semua urusan. Seorang manusia tidak bisa mencari tempat beristirahat lebih baik dibandingkan di dalam jiwanya sendiri” – Buku 4, III
- Bahwa kematian bukan sesuatu yang harus ditakuti;
“Kematian adalah berhentinya persepsi inderawi, tirani nafsu, kekeliruan pikiran, dan perbudakan tubuh.” – Buku 6, XXVI
- Bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika sepenuhnya menerima kehendak Tuhan.
“Betapa bahagianya manusia dalam kekuatannya yang telah diberikan kepadanya: bahwa ia tidak perlu melakukan apa pun kecuali apa yang akan Tuhan restui, dan bahwa ia dapat merangkulnya dengan sukacita, apa pun yang dikirimkan Tuhan kepadanya?” – Buku 12, VIII
Demikianlah, jaman senantiasa berubah (di era dinousaurus pun begitu), dari tradisional menjadi modern dan menjadi pasca modern, dan seterusnya. Namun, persoalan-persoalan manusia, ada yang tidak berubah.
Sumbangan pemikiran dan metode yang ditawarkan Marcus Aurelius dan Kaum Stoa, sebagai salah satu pendekatan untuk menghadapi samudera kehidupan yang dinamis, sangat layak untuk dicoba karena sesungguhnya masih terasa relevan.
Semoga bermanfaat.