Mengerti Pondasi & Menavigasi Organisasi Di Kala Pandemi

Photo Of People Near Wooden Table
Photo: fauxels/Pexels

Sedari dulu saya suka berorganisasi. Mulai dari Pramuka, group vokal sampai organisasi aktivis dan pers mahasiswa. Dari organisasi saya belajar lebih cepat dan lebih banyak hal, termasuk soft skill, ketimbang belajar sendiri atau belajar di “organisasi kelas” yang formal dan konvensional.

Baru belakangan saya sadari, tak ada kemajuan umat manusia tanpa organisasi. Yuval Noah Harari, pemikir-selebriti yang menulis buku best-seller, “Homo Sapiens” mengatakan, “rahasia kesuksesan (Homo) Sapiens adalah kerjasama fleksibel dalam skala besar. Inilah yang menyebabkan kita menjadi penguasa bumi.”

Asal tahu saja, manusia modern belum lama berkuasa di bumi – baru sekitar 200 ribu tahun lalu. Masih jauh dari rekor dinosaurus yang pernah jadi penguasa selama 175 juta tahun, sebelum dibombardir oleh asteroids sekitar 65,5 juta tahun silam.

Kerjasama yang fleksibel ini adalah esensi manusia sebagai mahluk sosial. Sedangkan bentuknya, adalah berbagai macam organisasi – mulai dari lingkungan terkecil, yaitu organisasi keluarga, kemudian makin membesar dalam bentuk organisasi usaha, komunitas, hingga negara.

Jadi, sebagai mahluk sosial, yang memiliki hasrat untuk maju dan berkembang, kita perlu sekali belajar berorganisasi – kalau tidak mau tahta kekuasaan kita diambil kembali oleh sejenis dinosaurus modern atau, yang mungkin lebih futuristik, cyborg yang dikendalikan artificial intelligence.

Hasta la vista, baby!

Persoalannya adalah, sejarah menunjukkan bahwa eksperimen manusia dalam berorganisasi tak jarang mengalami kegagalan, terutama di masa krisis. Organisasi keluarga bisa bubar, perusahaan bisa bangkrut dan, bahkan, negara adikuasa seperti Uni Sovyet pun bisa tercerai berai di tahun 1991 – setelah sekian lama berada dalam “Perang Dingin” menghadapi Amerika Serikat, tak ada yang pernah menyangka sebelumnya bahwa hal itu bisa terjadi.

Tulisan ini hendak menjawab dua pertanyaan mendasar yang cukup sering mengusik benak saya:

  1. Apa elemen mendasar dari sebuah organisasi yang baik – mulai dari organisasi keluarga hingga negara – yang dapat berjalan efektif dalam segala situasi?
  2. Apa atau bagaimana strategi sebuah organisasi dalam menghadapi krisis, atau yang sekarang lagi tren, era “new normal” (yang saya artikan sebagai perubahan-perubahan tak terkira yang bisa menjadi kebiasaan baru)?

Pondasi

Sedih dan kecewa adalah momen yang tepat untuk merenung. Itu yang terjadi ketika klub sepakbola favorit saya, Liverpool FC, tumbang 2-0 di tangan Chelsea di Anfield, pada bulan April 2014. Peristiwa yang ditandai dengan terpelesetnya Kapten Steven Gerrard, yang kemudian memberikan kesempatan pada Demba Ba untuk mencetak gol pertama bagi tim biru-biru itu, membuyarkan ambisi Liverpool untuk kembali menjuarai liga Inggris yang terakhir mereka rasakan pada musim 1989-1990.

Photo: Carl Recine/Action Images

Nasib, oh nasib.

Sahabat saya, pecinta “Setan Merah”, entah sudah berapa “ratus” kali menggunakan peristiwa ini sebagai bahan bullying. Tapi itu bukan masalah bagi Liverpudlian yang mentalnya sudah teruji. Beberapa fans kami dari generasi milenial terbukti tetap setia meskipun belum sekalipun melihat tim kami mengangkat trophy Premiere League – termasuk tahun ini yang juga belum jelas akhirnya gara-gara pandemi.

Tapi, para motivator mestinya menyukai cerita ini. Sebab, saya berhasil mengubah energi kekecewaan menjadi hal yang positif. Renungan di bulan April itu tidak hanya membawa saya bertanya mengapa kekalahan itu bisa terjadi, tapi juga tentang bagaimana sebetulnya sebuah organisasi sepak bola yang efektif dibangun. Lalu, apa perbedaan dan persamaannya dengan organisasi-organisasi lain, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.

Berbagai buku dan artikel tentang organisasi dan manajemen modern, meskipun memberikan inspirasi, namun belum bisa memberikan jawaban memuaskan (bagi pertanyaan nomor 1 di atas). Banyak jawaban kompleks untuk organisasi yang juga kompleks, tapi tak ada jawaban sederhana tentang pondasi yang dapat dikenakan untuk semua jenis organisasi.

Salah satu yang sangat membantu, adalah pemikiran klasik dari “Management Guru”, Peter F. Drucker saat membahas tentang struktur organisasi. Dalam karya seminalnya “Management” (1974), Drucker mengatakan bahwa “desain organisasi dan penyusunan strukturnya memerlukan pemikiran, analisis dan pendekatan sistematik”.

Struktur adalah hal terakhir yang harus dihasilkan.

“Struktur mengikuti strategi,” kata Drucker. Meskipun tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang dia maksud dengan strategi (karena di tahun 60-an hingga 70-an pengertian strategi perusahaan pada umumnya masih terbatas pada perencanaan dan diversifikasi usaha), namun berdasarkan pengalaman kita berorganisasi selama ini, apa yang disampaikan Drucker tampaknya valid.

Gampangnya, atau idealnya (karena ternyata tak semua kita berorganisasi dengan sistematik) begini:

Sekelompok orang yang hendak berorganisasi, memulai dengan menyepakati tujuan bersama (misalnya, mencari keuntungan, memberikan pelayanan sosial, dan sebagainya). Setelah ada tujuan, barulah dipikirkan bagaimana cara (melalui jenis usaha atau program, atau singkatnya, ragam pekerjaan) untuk mencapai tujuan itu.

Di sinilah strategi (atau lebih tepatnya, perencanaan strategis ala Drucker) berperan merumuskan metode yang dianggap jitu untuk mencapai tujuan. Perencanaan srategis menentukan berapa banyak perkiraan sumber daya (manusia maupuan finansial) yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Jika semua itu sudah diperhitungkan, barulah struktur dibuat.

Mau buat klub sepakbola di tingkat RW misalnya. Tetapkan dulu tujuannya – misalnya, mau jadi juara sekecamatan. Lalu ragam pekerjaan apa saja yang diperlukan, mulai dari pelatih, pemain (depan, tengah dan belakang), petugas administrasi hingga keuangan. Juga berapa banyak orang dan dana yang dibutuhkan dan terakhir, seperti apa pembagian tugas atau struktur kepengurusan klub.

Sumbangan terbesar Drucker di sini adalah, jangan memulai organisasi dari struktur. Tapi, mulailah dengan tujuan, dan, menurut dia, strategi atau perencanaan strategis. Ini penting untuk tidak mengulang kesalahan yang banyak terjadi.

Pernahkah Anda masuk ke dalam organisasi yang strukturnya sudah terbentuk – biasanya ada ketua, sekretaris, bendahara plus divisi litbang plus divisi organisasi dll – tapi tujuannya belum jelas? Jangan khawatir, kita semua mungkin pernah: Tak tahu harus bagaimana, sambil menunggu petunjuk pimpinan yang juga sama gagapnya dengan kita. 

Kendati demikian, mengikuti para pemikir organisasi modern seperti Michael E. Porter, penulis esai strategi klasik “The Five Competitive Forces That Shape Strategy” dari Harvard Business School, yang membuat fatwa bahwa upaya mengefektifkan operasi organisasi bukanlah strategi, saya pun tak kuasa membuat fatwa tandingan dan menyimpulkan bahwa rencana strategis (yang merupakan bagian dari operational effectiveness), belumlah bisa disebut strategi.

Maaf, Opa Drucker.

Strategi memang bisa dimulai di fase perencanaan. Tapi, saat organisasi sudah berjalan, strategi memungkinkan untuk dimodifikasi (lihat “The Art of War: Membedah dan Mengadopsi 15 Elemen Strategi Sun Tzu”). Justru adaptasi dan perubahan adalah salah satu ciri strategi.

Kembali ke organisasi…

Selain dari Drucker, pandangan psikolog organisasi Edgar Schein juga turut mempengaruhi pandangan saya tentang pondasi organisasi. Schein mengajukan empat elemen organisasi, yaitu: (1) Tujuan bersama, (2) Upaya yang terkoordinasi, (3) pembagian kerja, dan (4) hirarki kewenangan.

Sintesa berbagai gagasan itu mulai mendapatkan bentuk yang bisa dioperasionalkan ketika di tahun 2015-2018, saya dipercaya memimpin Tim Penataan Organisasi dan Pengelolaan SDM di Kantor Staf Presiden, sebuah unit lintas-kedeputian di bawah Kepala Staf Kepresidenan yang bertugas membenahi dan memitigasi berbagai tantangan organisasi dan SDM di lembaga “Balita” yang baru untuk pertama kalinya berdiri di Republik Indonesia itu.

Awalnya, saya hanya menggunakan empat elemen paling mendasar, yang disesuaikan dengan kebutuhan kebijakan internal penataan organisasi dan pengelolaan SDM, yang kemudian juga saya adopsi sebagai basis analisis ketika memimpin tim ad hoc yang ditugaskan menyusun rekomendasi kelembagaan bagi Kantor Staf Presiden jilid II di pertengahan tahun 2019 lalu – yaitu, (1) kewenangan, (2) struktur/pembagian kerja, (3) SDM, dan (4) Keuangan.

Belakangan, biar kelihatan lebih “spiritual” dan “mistis”, empat elemen tersebut sudah beranak-pinak jadi sembilan elemen. Iya gaes, nambahnya nggak nanggung-nanggung – lima elemen. Well, karena waktu berubah, pemikiran boleh berkembang jugalah.

Kesimpulannya, sembilan elemen mendasar yang wajib ada dalam setiap organisasi efektif itu adalah:

  1. Nilai – adalah hal yang terutama dan menjadi dasar eksistensi organisasi, seperti “kesejahteraan”, “keadilan”, “kerjasama”, “kemajuan”, “kesetiaan” dll.
  2. Tujuan bersama – adalah yang hendak diraih bersama, bisa dalam jangka panjang, menengah atau pendek.
  3. Kewenangan – adalah kekuasaan atau hak yang diberikan untuk mengambil keputusan dan/atau mengendalikan sebagian atau keseluruhan organisasi.
  4. Kepemimpinan – adalah posisi dan tindakan untuk menggerakkan, mengarahkan atau memasilitasi berbagai aktivitas dalam organisasi.
  5. Rencana – adalah usulan atau keputusan tentang hal-hal atau program kerja yang akan dilakukan ke depan.
  6. Upaya Terkoordinasi – adalah berbagai pekerjaan atau usaha yang menggerakkan berbagai bagian dari organisasi untuk mencapai tujuan bersama.
  7. Struktur – adalah pembagian kerja atau tugas dan kewenangan di para antara tim atau anggota tim, secara informal ataupun formal bahkan kompleks (tergantung ukuran organisasinya).
  8. Orang (anggota atau pekerja) – adalah subyek dan aset terpenting dalam sebuah organisasi, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, sehingga perlu perspektif yang kaya untuk mengelolanya.
  9. Keuangan (atau sumber daya penunjang lain) – adalah sumber daya material yang dibutuhkan untuk mendukung upaya organisasi mencapai tujuan.

Ada yang pernah bertanya, “bagaimana dengan kultur?” Kultur adalah hasil, yang muncul belakangan, dari pengelolaan organisasi secara efektif. Ia adalah akibat, bukan sebab.

Satu saja dari elemen ini absen, maka secara organisasi secara keseluruhan menjadi tidak efektif. Di masa normal, maupun “abnormal”. Untuk mengevaluasi apakah sebuah organisasi efektif atau tidak, saya sekarang menggunakan elemen-elemen ini – cara paling mudah adalah dengan memberikan skor 1 sampai 5, atau 1 sampai 10 untuk menilai kualitas tiap-tiap elemen yang dievaluasi.

Sembilan elemen ini bisa menghindarkan kita dari kekeliruan yang sering terjadi, yaitu: mengganti pimpinan dan berharap bahwa persoalan organisasi bisa langsung menjadi baik. Kebanyakan organisasi pemerintah, persoalannya justru terletak di kewenangannya yang tumpang tindih. Sehingga mencopot pimpinan saja, takkan menyelesaikan masalah.

Andaikan di tahun 2024, Anda menjadi Presiden dan mau mewujudkan janji kampanye untuk membentuk “Kementerian Urusan Pandemi”. Kemungkinan besar, ide brilyan anda itu akan mandeg, karena kewenangannya hampir pasti bersinggungan dengan Kementerian Kesehatan atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (jika kelak belum dibubarkan).

Tantangan kewenangan yang demikian itu, ada banyak gaes. Tapi, jangan berpikir ini persoalan khas Indonesia – ini persoalan birokrasi di seantero jagad. Salah satu agenda reformasi birokrasi paling penting, karenanya, adalah menata ulang kewenangan berbagai lembaga di berbagai tingkatan. Ini butuh design dan waktu eksekusi yang panjang, yang berarti perlu konsensus politik nasional – agar tak berubah tiap kali berganti Presiden.

Atau, jika Anda memiliki perusahaan – dalam bidang apapun – yang menurut Anda tidak berjalan efektif, bisa jadi penyebabnya karena adanya tabrakan kewenangan di tingkat direksi atau manager. Bisa juga karena rencana yang tidak matang, program yang tidak relevan, pembiayaan yang menipis atau salah satu dari elemen-elemen di atas. Buat saja check list untuk mudahnya.

Dalam organisasi keluarga pun kesembilan elemen ini berlaku. Banyak orang menikah dengan modal nilai kasih sayang atau kebersamaan, tapi tak punya tujuan jangka panjang yang terdeskripsikan dengan baik. Sehingga, yang terjadi, “tujuan keluarga sejahtera dan bahagia”, serta “pembagian kerja” menuju ke sana dirumuskan sambil berjalan. Jatuh-bangun – kok tahu? Iyalah, pengalaman pribadi.

Faktanya, sejumlah hal penting lain perlu disepakati. Kewenangan dalam mendidik anak atau mengelola keuangan. Rencana membangun rumah atau menyekolahkan anak. Komunikasi yang efektif. Peningkatan “kapasitas SDM” (kursus berbicara dengan tenang dan tidak emosional, kursus minta maaf, dll), serta menambah sumber penghasilan.

Masih menganggap enteng pelajaran berorganisasi? Jangan, tapi juga tak perlu khawatir. Semua yang mengaku ahli pun masih terus mengembangkan ilmu ini. Saya juga masih belajar – apalagi Liverpool FC masih belum juara.

Strategi di Era “New Normal” (atau apapun definisinya)

Lantas, bagaimana seharusnya kita berorganisasi di era perubahan dan ketidakpastian?

Siapapun juaranya, eh apapun situasinya, sembilan elemen organisasi tadi, relevan untuk kita gunakan sebagai panduan. Bedanya, konten akan berubah dan masih bisa terus berubah. Meminjam istilah Profesor Dutch Leonard dan Profesor Bob Kaplan dari Harvard Business School saat merumuskan problem statement krisis Covid-19 adalah bahwa yang kita hadadapi saat ini “berada di luar kapasitas, sumber daya dan pengetahuan kita.”

Artinya, kita harus belajar ulang, bahkan harus terus-menerus belajar. Belajar beradaptasi, belajar pengetahuan baru dan ketrampilan baru. Dalam perubahan yang cepat, kita juga dituntut untuk mengambil keputusan dengan cepat, terutama untuk mengatasi berbagai masalah baru yang muncul secaara bersamaan.

Tantangannya adalah, belajar banyak hal baru dan menyelesaikan berbagai hal pelik pada saat yang bersamaan itu menguras energi.

Setiap kali kita belajar hal baru, maka terbentuk synapse atau sinapsis baru yang merupakan penghubung antara miliaran sel saraf atau neuron di dalam otak manusia. Sinapsis ini yang memungkinkan kita mengingat kembali memori yang kita pelajari.

Proses pembuatan sinapsis inilah yang membuat kita merasa stress. Wajar saja, karena sebagian besar energi di otak manusia memang dikonsumsi oleh sinapsis. “Di sana, sel-sel secara teratur memompa ion ke dalam celah di antara sel – menukar kalium dan natrium untuk menghasilkan muatan listrik. Tindakan memompa ini sangat penting untuk operasi sirkuit otak, tetapi sangat intensif energi,” itu kata Michael W. Richardson dalam artikel “How Much Energy Does the Brain Use”.

Jadi, kalau Anda seorang pembelajar, sesungguhnya Anda adalah seorang Satria Anti-Stress… 

Intinya, tidak ada kemajuan tanpa pengorbanan dan tanpa stress. Mau bagaimana lagi? Memang inilah kunci sebuah organisasi yang resilien.

Dalam situasi “normal”, kita hanya perlu belajar hal-hal yang sudah terbukti efektif dari sekolah, kampus atau langsung dari para pakar yang telah menguasai ilmu tertentu yang sudah terbukti berhasil. Kita hanya perlu menirunya – ini namanya efisiensi!

Sayangnya, sekarang kita berada dalam situasi “new normal”, ketika hal-hal yang dulu efektif sudah tidak berlaku lagi. Kita perlu menyesuaikan diri dengan ilmu-ilmu baru yang masih perlu waktu untuk dieksperimentasikan dan dibuktikan tingkat keberhasilannya. Ada yang berhasil, ada juga yang gagal – tapi inilah resiliensi!

Tidak ada jalan lain. Organisasi yang selama ini terlalu efisien, kini harus menjadi lebih resilien.

Sains pun sudah menunjukkan bahwa “keseimbangan antara efisiensi dan resiliensi” merupakan kunci untuk bertahan dalam jangka panjang, dan bahkan merupakan strategi dari berbagai ekosistem untuk menjadi lebih sempurna dalam perjalanan evolusi. Itu dikatakan Ella Jamsin PhD, periset dari Ellen MacArthur Foundation dalam artikelnya yang berjudul “Balancing Efficiency and Resilience: A Recipe for the System that Last”.

Sekarang, bagaimana memulainya?

Rekomendasi Proses Pengelolaan Krisis yang diusulkan oleh Profesor Leonard dan Profesor Kaplan masih relevan untuk digunakan (selengkapnya bisa dilihat di artikel “Harvard Business School tentang Manajemen Krisisi Covi-19: Tak Ada Jawaban Terbaik, Yang Ada Proses Terbaik” di sini). Intinya, sebagai berikut:

  1. Bentuk Tim Khusus Pengelolaan Krisis yang akan mengawal Proses (yang akan mengidentifikasi masalah hingga memformulasikan jalan penyelesaiannya).
  2. Kumpulkan Orang-Orang yang Tepat (gabungan dari orang yang memahami organisasi, komunikasi dan juga, bila perlu, soal pandemi dan konsekuensinya)
  3. Lakukan Pembahasan Berulang (Iterasi) dengan Pendekatan Agile Problem-Solving (penyelesaian masalah secara dinamis)
  4. Ciptakan Berbagai Kondisi untuk Mendukung Agile Problem-Solving yang Sukses
  5. Eksekusi Aksi yang Disepakati, Tapi Perlakukan Itu Sebagai Sesuatu yang Tentatif dan Eksperimental
  6. Tentukan Ekspektasi-Ekspektasi yang Masuk Akal (sadari tidak semua yang dijalankan akan memberikan hasil memuaskan, dan bahwa tim harus terus bekerja untuk mendapatkan hasil terbaik)

Mengingat strategi (bukan taktik jangka pendek) adalah sebuah kerangka kerja, 15 elemen strategi Sun Tzu yang pernah ditampilkan di blog ini bisa dijadikan sebagai panduan untuk mendapatkan kontennya – “apa” dan “bagaimana”-nya. Poin 11 dari elemen strategi tersebut, sangat penting – bahwa “strategi harus berbasis pada pengetahuan serta analisa, dengan informasi dan data yang baik” – yang menjadi menantang di era ketika pengetahuan serta analisa yang baik sangat terbatas. Itu sebabnya perlu kerja tim.

Clear Light Bulb
Photo: Pixabay

Gagasan yang baik dan inovatif seringkali muncul sebagai hasil dari pertemuan berbagai macam perspektif. Oleh karena itu, diskusi internal yang dapat menstimuli gagasan baru, dengan mendatangkan narasumber dari luar organisasi, perlu dipertimbangkan. Begitu juga dengan berbagai forum diskusi pakar dalam bentuk webinar yang sekarang sedang nge-trend.

Bagi organisasi pemerintah di berbagai tingkatan, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjalankan pendekatan participatory governance. Dengan cara memfasilitasi berbagai pihak – mulai dari pakar, dunia usaha hingga masyarakat sipil – untuk turut serta memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Dalam situasi tak menentu, ketika “pengetahuan, kemampuan dan kapasitas terbatas”, pendekatan program yang melulu government-driven, jelas tidak memadai dan mudah jadi sasaran ketidakpuasan publik.

Kita belum tahu, sampai kapan situasi seperti ini akan terus terjadi. Tapi saya masih percaya bahwa kemajuan umat manusia masih akan ditentukan oleh bagaimana kita bertukar informasi dan gagasan, serta bekerjasama, sebagaimana dikatakan oleh Harari.

Evolusi terkini dari kerjasama manusia, dalam bentuk organisasi, saat ini sedang mengalami “ujian”. Kita dipaksa beradaptasi dengan cepat dan juga harus terus mencari cara mengatasi tantangan jaman ini. Saya masih yakin kita bisa melaluinya, sebab tampaknya baru kita saja, homo sapiens, yang bisa belajar dari masa lalu dan membuat abstraksi tentang visi ke depan – “Spesies mana lagi yang mau merenungkan berapa umur alam semesta, atau kapan ia akan musnah?” ujar Melissa Hogenboom dalam artikelnya “The traits that make human beings unique”.

Keyakinan yang entah dari mana dasarnya itu pun, salah satu kekuatan kita.

Semoga Liverpool FC jadi juara tahun ini.

Demikian.