Miliki Agenda Perubahan Sendiri Jika Tak Mau Dijejali Kepentingan Pihak Lain

Photo by Ann H from Pexels

Ruang publik mirip seperti kanvas atau sebuah bidang kosong. Kalau diisi dengan gambar-gambar yang suram dan menakutkan, hasilnya juga akan terasa demikian. Kalau hanya dibiarkan kosong, memang tidak akan suram dan menakutkan tapi juga tidak memiliki nilai apa-apa.

Tapi kalau dipenuhi dengan gambar-gambar tentang kota atau desa yang makmur dan sejahtera, penuh dengan pepohonan yang hijau, bunga berwarna-warni serta wajah-wajah yang gembira, hasilnya juga akan berdampak pada munculnya emosi yang menyenangkan.

Di era banjir informasi yang sedang terjadi saat ini, sesungguhnya kita punya beberapa pilihan sikap:

Pertama, membiarkan kita mengkonsumsi informasi apapun yang diberikan pada kita, tanpa peduli agenda setting pihak tertentu yang mungkin sedang dijejalkan ke kepala kita.

Kedua, memilih informasi macam apa yang kita mau konsumsi, juga tanpa peduli tentang agenda setting.

Ketiga, memilih informasi tertentu yang kita mau konsumsi, tapi dengan agenda setting kita sendiri.

Keempat, ikut menjadi produsen informasi dan mendiseminasinya sesuai dengan agenda-setting  yang kita kembangkan.

Dalam prakteknya, kita mungkin akan dan pernah mengambil keempat pilihan itu. Tetapi dengan menyadari bahwa kita masih punya “pilihan” saja, itu sudah merupakan sesuatu yang berarti. Kalau ingin lebih mandiri dalam menentukan, tentunya pilihan ‘ketiga’ dan ‘keempat’ layak untuk kita ambil lebih sering.

Tinggal bagaimana kita mengisinya dengan agenda setting seperti apa? Yang membuat emosi kita mengarah pada ketakutan, ketidakpastian, keragu-raguan atau FUD (Fear, Uncertainty, Doubt), atau yang membuat emosi kita terasa menyenangkan dan optimistik?

Pilihan saya, jelas emosi yang menyenangkan. Kebanyakan orang pun sepertinya akan berpikir demikian, apalagi jika sudah kapok dengan serbuan berbagai berita hoax dalam pemilu beberapa waktu lalu.

Nah, sekarang, apa agenda setting yang kita punya untuk ditawarkan ke ruang publik? Agenda perbincangan seperti apa yang sebetulnya perlu kita tawarkan bersama?

Pertanyaan mendasar seperti ini, seringkali tak dapat dengan mudah dijawab. Ini pertanyaan yang mirip dengan fenomena “kebebasan pers”. Kita mudah mengatakan bahwa kita perlu “pers yang bebas dari represi”. Tapi kita seringkali sulit untuk mengatakan bahwa kita perlu “pers yang bebas untuk… (ya, untuk apa?)”

Idealnya kita memerlukan konsensus, agar lebih kolektif dan partisipatif. Tapi sambil menunggu hal itu terjadi – entah berapa lama lagi – tak ada salahnya untuk mengajukan agenda perbincangan yang barangkali bisa mempercepat terjadinya konsensus itu.

Saat ini, ketika informasi bergerak begitu cepat dan sudah terlanjur mempengaruhi persepsi dan sikap kita terhadap berbagai isu, ada baiknya mengajukan sebuah pertanyaan penting tentang tujuan kita ke depan dan bagaimana mencapainya.

Indonesia sudah memiliki Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berisi tentang: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan; Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Namun perlu menghadirkan kembali perbincangan tentang itu di ruang publik, dengan konteks yang berbeda dan lebih canggih di abad ke-21 ini, serta bagaimana strategi mencapainya.

Tentu dengan memperhitungkan berbagai tantangan yang dulu mungkin belum terbayangkan oleh para pendiri bangsa, termasuk mitigasi isu pemanasan global. Sehingga tujuan besar tersebut tidak menjadi terlalu abstrak dan normatif, tetapi menjadi lebih mudah untuk dibayangkan.

Sebab, jika tujuan mudah dibayangkan, niscaya akan lebih mudah dicapai. Seperti halnya ketika kita sedang berkendara untuk menuju tempat yang baru, jika menggunakan google maps tentu lebih mudah mencapai tujuan dibandingkan hanya bermodalkan secarik kertas bertuliskan alamat yang dituju.

Sosialisasi hasil karya para pemenang sayembara desain Ibu Kota Negara (IKN) baru akhir 2019 lalu, karenanya, patut diapresiasi. Karya-karya mereka yang umumnya menunjukkan aspek futuristik, ramah lingkungan serta kental dengan budaya Nusantara merupakan upaya penting membangun imajinasi dan harapan bahwa Indonesia sedang bersiap-siap menjadi negara maju.

China menjadi besar ekonominya pun karena mereka mempunyai tujuan untuk mencapai kemajuan dan mengatasi kemiskinan yang dialami ratusan juta penduduknya. Mereka membuka pasarnya, terutama untuk mengimpor mesin-mesin dari Jepang dan negara-negara Barat, serta membuka diri terhadap investasi dari luar, namun pada saat yang sama memperkokoh pondasi ekonomi melalui pembangunan sejumlah sektor yang dianggap strategis.

Kebijakan yang diambil adalah Reform and Opening Up di masa kepemimpinan Deng Xiaoping sejak tahun 1978 dan secara bersamaan meluncurkan konsep pembangunan mereka yang dinamakan Four Modernization (Empat Modernisasi: Pertanian, Industri, Pertahanan Nasional serta Sains dan Teknologi).

Meskipun bukan sebuah konsep yang baru, karena sudah diperkenalkan oleh Zhou Enlai sejak tahun 1963 dalam Conference on Scientific and Technological Work di Shanghai, namun Deng Xiaoping memberikannya konteks baru dan menjadikannya sebagai tujuan yang lebih kongkrit.

Four Modernization didesain untuk membawa China modern masuk ke tingkat dunia pada tahun 2000 dan menjadikan negara tersebut sebagai kekuatan besar ekonomi dunia di awal abad ke-21. Empat puluh tahun setelah peluncurannya, terbukti kemudian China menjadi raksasa ekonomi dengan nilai perdagangan terbesar di dunia yang mencapai US$2,263 trilyun di tahun 2017.

Pelajaran lain bisa dipetik dari pengalaman Israel. Negara ini dikenal sebagai “The Start Up Nation” karena kemampuannya mengembangkan talenta dan inovasi secara massif. Di tahun 2009, Israel sanggup memunculkan sekitar 6000 perusahaan start up yang rata-rata bergerak di bidang teknologi.

Salah satu faktor penting yang mendorong kemajuan yang terjadi di sana, adalah sense of purpose. Perasaan tentang “pentingnya tujuan” ini merupakan motivasi utama yang mendorong masyarakatnya untuk mewujudkan berbagai inovasi teknologi.

Dalam pandangan sejarawan Barbara Tuchman, Israel memang tidak memiliki kekayaan alam seperti minyak dan gas sebagaimana yang dipunyai negara-negara Arab di sekitarnya, namun Israel justru memiliki “motif”. Sebagai negara yang  harus bertahan dari ancaman perang serta serangan dari berbagai tetangganya, Israel memiliki motif untuk menjadi resilient dari segi pertahanan. Ini kemudian menjelaskan mengapa banyak inovasi yang terjadi di Israel dipelopori oleh mereka yang pernah ditempa di Israel Defence Forces (IDF).

Dari segi ekonomi, Israel harus mampu menghasilkan produk yang dapat diterima, diperdagangkan dan sekaligus kompetitif dengan negara-negara yang letaknya jauh secara geografis. Sehingga menjadi masuk akal jika pilihannya adalah inovasi dalam teknologi informasi, termasuk pembuatan komponen chip komputer yang sangat strategis sifatnya.

Agar Indonesia menjadi salah satu kekuatan negara maju di tahun 2045, maka sense of purpose ini pun perlu dirumuskan menjadi sebuah arah tujuan bersama. Visi sebagai “Poros Maritim Dunia” sesungguhnya cukup ideal dan bisa kembali direvitalisasi, karena pada dasarnya Indonesia memang memiliki modal sumber daya alam dan kultur yang dibutuhkan untuk menuju ke sana.

Langkah berikutnya adalah menurunkannya dalam pilar-pilar pembangunan sebuah negara maritim yang kuat. Misalnya, melalui pembangunan infrastruktur kelautan, industri kemaritiman, industri perikanan, pusat riset dan pengembangan kemaritiman, pertahanan berbasis maritim, pendidikan kemaritiman bertaraf internasional, budaya maritim dan sebagainya.

Apapun itu, imajinasi publik harus terus dibangun. Dengan begitu agenda setting menjadi efektif. Berita-berita negatif bakal jadi tak menarik. Pemikiran dan ideologi masyarakat kita pun tak mudah dibawa mundur ke belakang hingga jaman dinosaurus belum berubah jadi burung merpati.

Di manapun kita berada, organisasi apapun yang kita pimpin, pasti akan turut diuntungkan jika secara kolektif berada dalam ekosistem masyarakat yang semangatnya sedang membara.

Tinggalkan komentar