
Pertarungan antar dua legenda itu akhirnya benar-benar terwujud. Tanggalnya telah ditetapkan, 13 April 1612. Bertempat di pulau kecil yang sunyi, Funajima, di antara Honshu dan Kyushu.
Sasaki Kojiro adalah ahli pedang dari klan Hosokawa. Tidak pernah kalah. Ia dikenal karena teknik tsubame gaeshi-nya yang kira-kira berarti “memutar pedang dengan kecepatan tak terduga” dan juga karena pedang panjangnya yang dinamakan “Galah Pengering”.
Reputasinya dikenal di seluruh Jepang dan bahkan ia mendapat julukan “Iblis Provinsi Barat.” Dia sendiri lebih suka menggunakan nama Ganryū – yang berarti “Batu Besar” – saat bertempur.
Lawannya adalah Samurai Pengelana atau ronin yang saat itu tak memiliki tuan, Miyamoto Musashi. Ia pun tak pernah kalah dalam berduel. Musashi memiliki penampilan yang kontras dibandingkan lawannya yang selalu berpakaian rapi.
Meskipun berstatus sebagai penantang, beberapa saat menjelang hari pertarungan yang telah ditentukan, Musashi tiba-tiba meninggalkan Hosokawa. Kontan hal itu menimbulkan desas-desus dan spekulasi bahwa Musashi sebetulnya takut dan tak benar-benar menginginkan pertarungan dengan Kojiro.
Namun, tak sampai berkepanjangan, Musashi lantas memberikan klarifikasi: Bahwa kepergiannya itu dilakukan karena, dengan menantang Kojiro, ia juga telah berada dalam keadaan perang dengan klan Hosokawa. Sehingga perlu mengambil jarak.
Kelak, ketika pertarungan telah berakhir, menjadi jelas bahwa tindakan Musashi itu tak lain merupakan bagian dari strategi pertarungan yang telah dipersiapkannya. Pertarungan adalah seni bagi Musashi – bukan saja pertarungannya yang ia rancang, tetapi segala aspek lainnya, termasuk perang urat syaraf untuk mengganggu konsentrasi dan persiapan lawan.
Dalam buku strategi yang ia tulis di masa tuanya “The Book of Five Rings”, ia menjelaskannya dengan gamblang:
“Dalam strategi skala besar, ketika musuh gelisah dan menunjukkan kecenderungan untuk terburu-buru, sedikitpun jangan terpengaruh. Tunjukkan ketenangan sepenuhnya, dan musuh yang justru akan terpengaruh dan lengah.”
Bagi Musashi, hal yang sama juga dapat berlaku dalam skala kecil: “Dalam pertarungan satu lawan satu, Anda dapat menang dengan menenangkan tubuh dan semangat Anda dan kemudian, pada saat musuh lengah, menyerang dengan kuat dan cepat, dan mencegahnya bereaksi.
“Apa yang dikenal sebagai taktik ‘membuat seseorang mabuk’ mirip dengan ini. Anda juga dapat menciptakan situasi untuk membuatnya bosan, ceroboh, atau lemah. Hal ini harus dipelajari dengan baik.”
Benar saja. Di hari yang bersejarah itu, Musashi bangun terlambat, membersihkan diri dan menyantap sarapan tanpa merasa terburu-buru. Ia lalu naik perahu menuju ke Funajima.
Dalam perjalanan, legenda menyebutkan bahwa Musashi mengambil salah satu dayung yang ada di perahu itu dan membentuknya menjadi bokken – pedang kayu panjang. Lebih panjang dari Galah Pengering milik Kojiro.
Musashi tiba antara pukul 9 hingga 11 pagi. Cukup untuk membuat kesal Kojiro dan para pendukungnya yang telah bersiap-siap sejak pukul 8 pagi. Kedatangan Musashi disambut Kojiro yang dengan emosional langsung melemparkan sarung pedangnya ke air.
“Kamu sudah kalah Kojiro. Hanya orang kalah yang tidak memerlukan sarung pedang,” ujar Musashi sambil tersenyum. Ia terus saja mempermainkan emosi lawannya.
Tanpa basa-basi, Kojiro menerjang dengan pukulan mematikan yang diarahkan langsung ke dahi musuhnya yang makin menjengkelkan. Serangan itu memang dahsyat. Meskipun bisa mengelak, ikat kepala Musashi sempat sobek tapi tak sampai terpotong.
Musashi membalas cepat dengan mendorong musuhnya ke arah pedangnya mengayun. Kojiro terjatuh ke pasir dan dengan lihai masih melancarkan tsubame gaeshi – berniat menebas Musashi secara horizontal. Serangan cukup jitu itu meninggalkan luka sebesar tiga inci di paha Musashi.
Namun, tak terpengaruh, Musashi secepat kilat menyerang balik – mendahului Kojiro yang hampir pasti bermaksud memojokkan lawannya yang terluka. Kali ini serangan Musashi telak menghujam rusuk kiri lawannya.
Sasaki Kojiro roboh seketika. Versi fiksi Eiji Yoshikawa menggambarkan adegan pemuncak itu dengan puitik. Sasaki Kojiro mati tersenyum – menyangka ia telah mengalahkan Sang Samurai Pengelana.
Tak pelak lagi, duel Musashi dengan Sasaki Kojiro adalah puncak pencapaiannya sebagai seorang Samurai. Ia memang masih akan menjalani beberapa pertarungan berikut yang tak lagi dapat dikenang karena tak ada lawan yang sepadan. Hingga akhir hayatnya, Musashi mencatatkan rekor 61 kali pertarungan tanpa kalah.
Apa yang harus dia pelajari dalam “Jalan Pedang” telah dipelajarinya. Pilihannya untuk menggunakan bokken dalam pertarungan itu – dan bukannya dua pedang, panjang dan pendek, yang menjadi ciri khasnya – adalah penanda penting tentang betapa tinggi tingkatan ilmu pedangnya.
Ia tidak lagi tergantung pada pedangnya. Ia mengandalkan dirinya sendiri untuk berdaptasi dan menggunakan apa yang disediakan alam untuknya. Ia telah menyatu bersama ritme alam. Hal ini yang belakangan dijelaskannya dalam “The Book of Five Rings”:
“Anda seharusnya tidak memiliki senjata favorit. Menjadi terlalu terbiasa dengan satu jenis senjata sama salahnya dengan tidak mengetahui sebuah senjata dengan cukup baik.”
Ia juga menjelaskan bahwa, “Jalan strategi adalah Jalan alam. Ketika Anda menghargai kekuatan alam, mengetahui ritme semua situasi, Anda akan dapat mengenai musuh secara alami, dan menyerang secara alami.”
Meskipun demikian, bukan pertarungannya dengan Sasaki Kojiro saja yang menjadikan Musashi sebagai Kensei atau “Dewa Pedang”. Ia justru dikenal sebagai pemikir strategi dan seorang yang bijaksana setelah memasuki masa tuanya – terutama setelah menulis dua karya utamanya, “The Book of Five Rings” (Go Rin No Sho) dan “The Path of Aloneness” (Dokkodo).
Kesetiaannya terhadap “ritme alam” jugalah yang membuat Musashi tak pernah berhenti bergerak dan berkarya. Ia sadar bahwa secara alami, kekuatan dan kelenturan fisiknya akan melemah, dan hanya soal waktu baginya untuk melepaskan pedang.
Hingga ajal menjemputnya, Musashi terus memanfaatkan apa yang masih disediakan alam baginya. Akal pikirnya untuk mengajar dan menulis buku, serta tangannya – yang meskipun tak lagi cekatan mengibaskan pedang – namun masih dapat diandalkan untuk menghasilkan karya-karya seni, dalam bentuk lukisan dan kaligrafi.

Sikap hidup dan cara pandang yang demikian bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba ketika ia mau memasuki masa pensiun. Dalam pengakuannya, perenungannya secara serius dimulainya ketika pengalamannya sudah cukup matang.
“Ketika berusia 30 tahun saya baru menengok ke belakang. Kemenangan-kemenangan di masa lalu itu bukanlah karena penguasaan strategi. Mungkin karena kemampuan alami, atau atas kemurahan surgawi, atau mungkin juga karena sekolah-sekolah strategi yang ada memang masih tertinggal.”
“Baru setelah itu saya belajar siang dan malam, mencari hal-hal yang prinsipil, dan akhirnya menyadari Jalan Strategi saat sudah berusia 50 tahun. Sejak saat itu saya tidak lagi mengikuti aliran tertentu,” kata Musashi dalam Pengantar Go Rin No Sho.
Kualitas perenungan Musashi ini diakui oleh William Scott Wilson dalam “The Lone Samurai: The Life of Miyamoto Musashi”:
“Pada saat ia mengembara sendirian, ke seluruh penjuru negeri, ia pasti telah memikirkan secara mendalam tentang hal-hal yang ada dalam pikiran lawan-lawannya, sebagaimana yang ada dalam pikirannya sendiri. Justru karena kemampuannya yang mendalam untuk merenung, rasa ingin tahunya yang alami, dan pencariannya yang terus-menerus yang menjadikan Musashi jauh melampaui lawan-lawannya.”
Meskipun mengaku baru mulai melakukan perenungan setelah berusia 30 tahun, namun lingkungan keluarga Musashi tampaknya turut berjasa menanamkan benih-benih pemikiran yang baik sejak ia kecil. Ayahnya, Shinmen Munisai, sudah dikenal sebagai ahli pedang dan jutte (senjata berukuran pendek yang digunakan oleh polisi di jaman itu) di Distrik Yoshino di Provinsi Mimasaka.
Sementara melalui pamannya, Dorin, Musashi dibawa ke kuil Shoreian pada saat berusia tujuh tahun. Dorin dan Tasumi, paman Musashi yang lain (karena ikatan perkawinan), mendidiknya dalam tradisi Buddhisme dan membekalinya dengan keterampilan mendasar, yaitu membaca dan menulis.
Perlu diketahui bahwa Musashi lahir di masa ketika Buddhisme Zen sudah mulai kental pengaruhnya di Jepang. Meskipun ajaran ini sudah masuk ke Jepang dalam periode Kamakura (1192-1333), namun pengaruhnya mulai menguat pada periode Muromachi terutama dalam masa keshogunan Ashikaga (1338-1573).
Buddhisme Zen menjadi menarik bagi para samurai, karena bisa berjalan harmoni dan bahkan mampu memberikan landasan filosofis dan spiritual bagi Jalan Pedang. “Sifat paradoks Zen – melalui disiplin dan upaya mengosongkan alam pikiran sehingga dapat melampaui diri – membuat ajaran ini sangat dihargai para samurai,” ungkap William Scott Wilson.
Buddhisme Zen berbeda dengan Buddhisme esoterik yang cenderung dianut oleh kaum aristokrat dan Buddhisme Tanah Murni (Pure Land Buddhism) yang dipraktekkan oleh rakyat kebanyakan. Buddhisme Zen mengandalkan diri sendiri (jriki) untuk mengalami pencapaian spiritual tertinggi. Sedangkan, jalan Buddhisme di luar itu cenderung bergantung pada “yang lain” (tariki) atau hal-hal di luar diri.
Intisari The Book of Five Rings
Bukan hal mudah untuk membuat intisari Jalan Pedang Musashi yang ditulis tidak dengan struktur dan sistematika yang sama dengan buku-buku modern. Lebih sulit lagi jika harus mengekstraksi strategi dan pendekatan yang relevan dengan kebutuhan manusia ataupun organisasi kontemporer yang tidak lagi meniti Jalan Pedang, tapi “Jalan Pena” atau “Jalan Keyboard”. Namun tentu terdapat sejumlah mutiara yang dapat digunakan sebagai bahan perenungan.
Perlu juga disadari bahwa Musashi tidak membedakan antara strategi skala besar (dalam perang) dan taktik yang digunakan dalam pertarungan satu lawan satu. Ia mengkategorikan semua itu sebagai strategi. Lalu, ada cukup banyak bagian buku ini yang membahas taktik pertarungan yang sangat agresif – termasuk untuk menebas dan menghabisi lawan – yang secara sengaja saya tidak tonjolkan dalam tulisan ini.
Berikut adalah prinsip-prinsip Jalan Pedang Musashi yang saya anggap cukup universal dan masih relevan untuk masa kini:
- Belajar dengan sungguh-sungguh. Ini adalah kata-kata yang terus berulang dalam setiap akhir bab buku Musashi. Belajar dari alam, belajar dari teknik sekolah-sekolah yang ada. Belajar menguasai diri. Belajar menggunakan pedang dengan satu tangan. Belajar untuk tidak tergantung pada satu senjata. Belajar menggunakan apapun yang disediakan alam. “Rasanya akan sulit untuk pertama kali, tapi segala sesuatunya juga sulit di saat pertama kali.”
- Sembilan anjuran kedisiplinan. (1) Jangan berpikir tidak jujur; (2) Jalan ada dalam berlatih; (3) Biasakan diri mengenal setiap seni; (4) Kenali Jalan dari setiap profesi; (5) Bedakan antara keuntungan dan kerugian dalam hal-hal duniawi; (6) Kembangkan penilaian secara intuitif dan pemahaman atas berbagai hal; (7) Kenali hal-hal yang tak terlihat; (8) Amati hal-hal yang sepertinya remeh-temeh; (9) Jangan melakukan hal-hal yang tak berguna.
- Empat Jalan dalam hidup. Setiap orang harus belajar untuk menjadi satria, petani, seniman dan pedagang selama hidupnya. Dengan menjadi petani, kita mengenal alam. Dengan menjadi pedagang kita bertahan hidup di dunia dan meraih keuntungan material. Dengan menjadi satria kita dapat mempertahankan Jalan dan kehormatan. Dengan menjadi seniman kita dapat merasakan dan mewujudkan keindahan.
- Mendesain dan memimpin. Jalan Strategi mensyaratkan perencanaan yang teliti. Ibarat seorang arsitek (Musashi mencontohkan tukang kayu) yang harus memahami bagaimana rencana induk sebuah bangunan. Ia harus mampu memilih kualitas bahan bangunan yang diperlukan dan tahu persis kemampuan anak buahnya dalam bekerja. Tahu kekuatan dan kelemahan mereka. Semangat dan moralnya – serta bagaimana menyemangati mereka.
- Mengerti waktu. Segala sesuatu ada waktunya. Kapan harus menyerang, kapan harus bertahan. Kapan sesuatu akan berkembang maju dan kapan akan mengalami kemunduran. Kapan sebuah kota akan berjaya dan kapan akan hancur. Kapan kemampuan seseorang akan mencapai puncaknya dan kapan akan menurun. Juga ada waktu untuk memasuki Kekosongan (Void).
- Penguasaan dan ketenangan diri. Dalam segala situasi belajar untuk bersikap tenang. Jangan biarkan emosimu dipengaruhi tubuhmu, atau sebaliknya tubuhmu mempengaruhi emosimu. Jangan sampai kekurangan semangat atau terlalu bersemangat. Jangan membiarkan lawanmu membaca semangatmu. Sebaliknya, dengan menguasai diri, kita punya peluang mengendalikan emosi lawan.
- Memiliki variasi manuver. Jangan membiarkan lawan mudah membaca pola serangan atau gaya bertarung kita. Bertahan atau menyerang harus sama bobotnya. Dalam pertempuran atau pertandingan berskala besar, menggunakan formasi yang sama terus-menerus adalah pilihan yang buruk.
- Bergerak maju ke titik-titik strategis. Hanya setelah menimbang kekuatan-kelemahan lawan dan diri sendiri, kita baru bergerak maju ke titik-titik strategis atau posisi yang menguntungkan. (Dalam konteks kehidupan modern, ini bisa diartikan sebagai membangun posisi tawar yang strategis).
- Memahami cara berpikir lawan. Dalam setiap pertarungan, sangat penting untuk memahami cara berpikir lawan. Sebab, dengan demikian kita bisa mengantisipasi hal-hal tak terduga yang mungkin dia lakukan, dan sebaliknya, menciptakan kejutan-kejutan untuknya.
- Menciptakan kejutan atau kebingungan. Khususnya, dalam pertarungan kalah-menang, perlu untuk membingungkan lawan agar ia sibuk menebak-nebak apa yang akan kita lakukan. Hal itu saja sudah akan menguras energi. Pada saat itu, serangan kejutan dapat dilakukan.
- Melakukan pembaruan. Pembaruan harus dilakukan ketika situasi yang kita hadapi tidak berubah dan bisa berakibat pada kemunduran moral. Raih ide-ide baru atau teknik-teknik baru. Lakukan penelitian dengan serius terhadap hal ini.
Bagian paling akhir dari buku ini, Musashi seperti hendak merefleksikan perjalanan hidupnya dengan berbicara tentang Jalan Kekosongan yang telah mulai dimasukinya. Bagi Musashi, Kekosongan tidak bisa begitu saja dimasuki tanpa terlebih dahulu menyelami kehidupan sehari-hari yang “nyata”.
“Dengan mengetahui hal-hal yang ‘nyata’, Anda dapat mengetahui hal-hal yang ‘tidak nyata’. Itulah Kekosongan.”
Hal ini menjelaskan mengapa Musashi begitu berdedikasi menjalankan disiplin di Jalan Pedang. Rupanya bagi Musashi, tidak ada jalan pintas menuju Kekosongan.
“Banyak orang di dunia ini menyalahpahami dan berpikir bahwa apa yang tidak mereka pahami pastilah Kekosongan. Ini bukanlah kekosongan sejati. Itu namanya kebingungan.”
“Untuk mencapai Jalan Strategi sebagai satria, Anda harus mempelajari sepenuhnya seni bela diri lainnya dan tidak menyimpang sedikit pun dari Jalan Samurai. Dengan jiwa yang tenang, teruslah berlatih hari demi hari, dan jam demi jam. Asah semangat dan pikiran agar semakin berkembang, dan pertajam persepsi dan penglihatanmu atas segala hal.”
Kemudian ia melanjutkan, “Ketika jiwa Anda semakin tak terhalang awan pikiran, ketika awan-awan kebingungan mulai menghilang, di sanalah Kekosongan sejati.”
“Sampai Anda menyadari Jalan Sejati, baik melalui jalan Buddhisme ataupun dengan menggunakan akal sehat, Anda mungkin berpikir bahwa segala sesuatu sudah benar dan teratur.”
The Path of Aloneness (Dokkodo)
Buku ini boleh dibilang merupakan cermin lanjutan “pengembaraan” atau “perjalanan batin” Musashi – bukan lagi Jalan Pedang atau Samurai Pengelana, tapi Jalan Kesendirian atau hanya “Jalan”. Menerima hidup seutuhnya, sebagaimana adanya. Ditulis seminggu sebelum ia meninggal dunia pada tahun 1645 dan hanya terdiri dari 21 sila berbentuk kalimat-kalimat pendek:
1. Terima semua hal sebagaimana adanya.
2. Jangan mencari kesenangan untuk kepentingan sendiri.
3. Dalam situasi apa pun, jangan bergantung pada perasaan sesaat.
4. Pikirkan diri Anda secukupnya, namun mendalam terhadap dunia.
5. Lepaskan diri dari berbagai nafsu sepanjang hidup Anda.
6. Jangan menyesali apa yang telah Anda lakukan.
7. Jangan pernah cemburu.
8. Jangan pernah membiarkan dirimu sedih dengan perpisahan.
9. Kekesalan dan keluhan adalah tidak pantas untuk dirimu sendiri atau orang lain.
10. Jangan biarkan diri terhanyut oleh perasaan nafsu atau asmara.
11. Dalam semua hal jangan terikat pada pilihan tertentu.
12. Tidak usah persoalkan di mana tempat tinggal Anda.
13. Jangan mengejar makanan-makanan yang lezat.
14. Jangan terikat pada harta yang tak lagi Anda butuhkan.
15. Jangan bertindak mengikuti kepercayaan umum.
16. Jangan mengumpulkan senjata atau berlatih dengan senjata di luar yang dibutuhkan.
17. Jangan takut mati.
18. Jangan tergiur untuk menguasai barang atau tanah di usia tua Anda.
19. Hormati Buddha dan para dewa tanpa berharap bantuan mereka.
20. Anda bisa mengabaikan tubuh sendiri tetapi harus menjaga kehormatan Anda.
21. Jangan pernah menyimpang dari Jalan.
Catatan Penutup
Perjalanan hidup Musashi, yang tercermin dari kedua bukunya, seperti hendak menunjukkan bahwa dari manapun seseorang mulai berjalan – di Jalan Pedang sekalipun – pada akhirnya, berujung pada Jalan Kesendirian atau Jalan Sejati (dalam perspektif Buddhisme Zen). Di jaman modern ini, Jalan Pedang mungkin bisa kita paralelkan sebagai Jalan Pengembangan Diri atau Perjuangan Kolektif atau Usaha Bersama dalam Organisasi (bisnis, sosial atau politik).
Hal ini sebetulnya sudah dijelaskan oleh Musashi di bab awal Go Rin No Sho (The Ground Book): “Ada berbagai Jalan yang tersedia. Ada Jalan keselamatan oleh hukum Buddha, Jalan Konfusius yang mengatur bagaimana belajar, Jalan penyembuhan sebagai dokter, sebagai penyair yang mengajarkan Jalan Waka, melalui teh, memanah, dan banyak seni dan keterampilan lain. Setiap orang bisa melatih diri dengan hal-hal yang sesuai baginya. Sedangkan seorang Samurai disebutkan perlu memahami Jalan Pedang dan Pena, ia harus mengerti kedua jalan itu.”
Saat ini, Jalan Pedang atau Samurai yang dijalani Musashi dalam pengertian yang harafiah sudah tidak ada lagi. Dunia berubah, itu juga bagian alami kehidupan sebagaimana yang diterima secara tanpa syarat oleh penganut Buddhisme Zen (Buddhisme Zen sendiri merupakan hasil evolusi dari ajaran Buddha yang berkembang di India, yang terlebih dahulu masuk ke China melalui Jalan Sutra dan mengalami perjumpaan dengan kebijaksanaan lokal, Taoisme).
Mulai berkembang dan berperan penting dalam sejarah bangsa Jepang sejak abad ke-12, peran Samurai memudar sejak Restorasi Meiji di tahun 1868. Sempat direkrut untuk mengisi berbagai posisi dalam birokrasi di masa keshogunan Tokugawa, peran mereka benar-benar menghilang ketika feudalisme secara resmi dihapuskan pada tahun 1871.
Para samurai sempat melakukan beberapa kali pemberontakan di tahun 1870-an, namun tentara nasional yang telah dilengkapi persenjataan modern dengan cepat meredam. Pedang terpanjang sekalipun, tentu tak kuasa menahan gempuran mesiu yang bisa menghajar lawan dari jarak jauh. Perubahan memang tak terelakkan – sejak era dinosaurus sudah begitu.
Andai masih hidup, Musashi mestinya merasa beruntung – karena telah bertransisi dari Jalan Pedang menuju Jalan Kesendirian. San Kyuー ( サンキュー )