Menyingkap Kepentingan di Balik “Framing” atas Informasi

Photo by Khaleed Reese from Pexels

Dua saudara bisa melihat satu fakta yang sama dengan cara berbeda. Ini contoh favorit yang sering saya gunakan:

“Yah, kok airnya tinggal setengah gelas?!” kata seorang yang pesimistik. “Asyik, airnya masih ada setengah,” kata yang optimistik.

Kalau fakta yang sedemikian jelas di depan mata pun kita bisa berbeda kesimpulan, lalu bagaimana data yang membutuhkan verifikasi atau penelitian lanjutan? Sehebat apa pun data yang kita sajikan, jika berhadapan dengan orang yang memiliki cara pandang berbeda dari sono-nya, data tersebut tak bisa berbuat apa-apa untuk mempengaruhi persepsinya.

Jadi tak perlu heran jika melihat para pengamat berbeda pandangan dalam melihat angka pertumbuhan ekonomi. Pengkritik pemerintah akan bilang, “angka 5% itu masih di bawah target yang dijanjikan.” Sementara yang pro-pemerintah akan menjawab, “angka itu jauh lebih baik dibandingkan negara-negara lain lho, apalagi dalam situasi ekonomi global yang masih lesu.”

Itulah framing. Yaitu bagaimana sebuah informasi, diarahkan atau diinterpretasikan sesuai dengan cara pandang atau pengalaman pihak yang menyajikan informasi.

Teori tentang framing merupakan bagian dari ilmu sosial dan pertama kali diperkenalkan oleh Antoropolog Gregory Bateson di tahun 1972 dalam bukunya Steps to an Ecology of Mind. Menurut Bateson, framing terjadi karena adanya batasan “ruang dan waktu” ketika berbagai pesan diinteraksikan.

Analisis yang menggunakan teori framing belakangan berkembang di dunia komunikasi massa, terutama untuk menyingkap berbagai kepentingan di balik penyajian berita-berita media. Dalam teori komunikasi massa, framing mengacu pada bagaimana media membungkus dan menampilkan informasi pada publik.

Cara media melakukan framing adalah dengan menekankan peristiwa-peristiwa tertentu dan menempatkannya dalam konteks tertentu untuk menyokong atau menolak interpretasi tertentu (yah, bahasa teoritik memang begitu, mau bagaimana lagi?).

Peran media dalam melakukan framing memang perlu menjadi perhatian karena kemampuannya untuk menjangkau orang dalam jumlah yang sangat besar. Proses framing dalam media berjalan sebagai berikut:

  1. Jurnalis memilih topik yang akan diangkat dan memutuskan bagaimana cara menyajikannya. Di sini sebetulnya, publik telah diarahkan atau dipilihkan untuk memikirkan isu-isu tertentu saja dan dipilihkan bagaimana cara memikirkannya.
  2. Publik kemudian menginterpretasikan informasi tersebut ke dalam kerangka berpikir mereka sendiri. Kerangka berpikir atau perspektif publik ini bisa sejalan atau bisa juga bertentangan dengan yang ditampilkan media.
  3. Kerangka berpikir tersebut akan memenuhi ruang publik setiap kali diangkat dan dibicarakan, baik secara positif maupun negatif.
  4. Proses pembentukan kerangka berpikir ini terjadi secara sistematik dalam waktu yang lama.

Nah, seperti itulah media mencoba mempengaruhi bagaimana masyarakat memandang realitas.

Teori tentang framing penting untuk kita pahami terutama untuk mengetahui bahwa ada berbagai kepentingan di balik setiap informasi. Tidak ada yang bebas kepentingan. Seseorang yang mengaku bebas kepentingan pun tak lepas dari kepentingan – setidaknya kepentingan supaya “diakui” bahwa dia tak punya kepentingan, dan juga kepentingan “nilai” (bisa agama, moral atau lainnya) di balik sikapnya itu.

Di balik berita yang tersaji di media, ada kepentingan pemilik media dan mungkin partai politik yang dekat dengan media tersebut. Bisa juga media tersebut telah dimiliki oleh politisi tertentu – seperti siapa hayo? Sangat mungkin media tersebut dimiliki oleh kelompok bisnis tertentu – sehingga kepentingan bisnisnya, secara umum, akan selalu dilindungi melalui pemberitaan medianya sendiri.

Selain di media, kepentingan di balik penyajian informasi secara informal pun selalu ada. Sama saja.

Jika dalam sebuah rapat pengadaan di sebuah perusahaan ada salah satu staf senior yang mempromosikan pembelian AC dengan merek “Komisinyaokehpunya”, misalnya, maka patut diduga ada kepentingan spiritual di baliknya. Who knows? 

Ada kepentingan untuk dianggap hebat oleh boss. Dianggap keren oleh sekretaris yang baru. Dianggap punya jaringan orang-orang hebat, dan sebagainya.

Lalu, pertanyaannya, mana yang benar? Jadi harus bagaimana?

Pertama, barangkali memang tidak ada yang paling benar. Yang penting adalah menyadari bahwa semua orang, termasuk kita sendiri, memiliki bias. Kesadaran ini penting, sebab ini akan menyiapkan diri kita untuk terbiasa mendengarkan berbagai perspektif dari beragam framing.

Baik untuk diri sendiri, maupun untuk kepentingan kolektif, perspektif yang beragam justru memperkaya diri sendiri dan memperkokoh demokrasi. Peradaban yang lebih baik, hanya bisa dicapai dengan adanya kebaruan terus-menerus dalam perspektif.

Jika tidak ada perspektif baru, tidak ada disrupsi. Jika tidak ada disrupsi, kita tidak akan mengenal internet. Kita tidak akan punya alternatif transportasi murah seperti Gojek atau Grab.

Kedua, keputusan harus tetap diambil meskipun tidak ada yang paling benar atau sempurna. Sebab, tidak mengambil keputusan sama saja tidak bergerak ke mana pun. Lebih baik mengambil keputusan yang salah, yang bisa kita perbaiki kemudian, dari pada tidak mengambil keputusan sama sekali.

Intinya adalah, selalu belajar dan bertindak atau sebaliknya bertindak dan belajar. Aksi-refleksi, refleksi-aksi.

Cobalah perhatikan. Pada level organisasi atau perusahaan, kita sering melakukan kesalahan ini: “terlalu banyak bertindak, lupa belajar” – tiba-tiba disrupsi sudah terjadi dan semua sudah terlambat. Pada level individual, umumnya juga demikian. Kerja keras mengandalkan satu kemampuan, tiba-tiba muncul robot dan algoritma.

Terlalu mengandalkan kekuatan fisik seperti dinosaurus, tiba-tiba muncul homo sapiens yang mulai pakai otak.

Di Indonesia, khususnya, hanya ada sedikit kasus orang yang “terlalu banyak belajar, lupa bertindak”. Mereka orang-orang yang sangat menjengkelkan – tapi sudahlah, itu pengalaman pribadi.

Tinggalkan komentar