
Kemajuan teknologi di era digital sekarang ini sudah cukup banyak memakan korban. Media cetak, yang pada masa jayanya merupakan representasi pers yang bebas dan dianggap sebagai pilar penting demokrasi, satu demi satu bertumbangan. Digantikan oleh media daring.
Bukan itu saja ancaman yang datang dari era ini. Banjir informasi yang terjadi saat ini pun membuat kita kewalahan mengelola dan memilah informasi. Sebuah studi yang dilakukan oleh University of California-San Diego beberapa tahun yang lampau menunjukkan bahwa manusia modern rata-rata dibombardir dengan informasi sebanyak 34 gigabytes per hari.
Bayangkan jika kita mempunyai handphone dengan kapasitas penyimpanan 64 gigabytes. Dalam waktu dua hari saja, sudah akan overloaded jika informasi tersebut kita simpan.
Menurut para periset tadi, dampak dari informasi yang tumpah-ruah seperti ini adalah kemampuan penerima informasi untuk memfokuskan diri pada hal-hal tertentu menjadi sering terganggu. Akibatnya adalah menurunnya kemampuan untuk berpikir reflektif atau mendalam.
Memang ada juga pandangan yang beranggapan bahwa, dengan kapasitas otak yang diperkirakan mencapai 2,5 petabyte (cukup untuk menampung 3 juta jam acara TV), maka cuma soal waktu saja sampai masyarakat modern terbiasa dengan gempuran informasi yang sedang terjadi.
Tapi, sampai hal itu terjadi, entah dalam waktu berapa lama, masyarakat kita masih sangat rentan atau mudah dipengaruhi dengan rekayasa informasi atau hoax.
Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017 menunjukkan 44,3% responden yang diwawancarai menerima hoax setiap hari dan 17,2% responden menerimanya lebih dari satu kali dalam sehari. Sekitar 34,9% responden mendapatkan hoax dari situs web, 62,8% dari aplikasi chatting (seperti Whatsapp, Line dan Telegram) serta 92,4% mendapatkannya dari media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path).
Eksperimen kontroversial yang dilakukan Facebook pada tahun 2014 juga membuka mata kita, karena mengungkap fakta bahwa emosi manusia ternyata dapat dikontrol dan diarahkan. Caranya, dengan cara memperbanyak konten negatif atau positif di lini masa masing-masing pengguna platform tersebut.
Mereka yang menerima banyak konten negatif – seperti kemarahan dan kebencian – akan cenderung jadi negatif, dan sebaliknya, yang banyak menerima konten positif akan jadi lebih positif. Ini terlihat dari posting atau komen serta emoticon yang mereka tampilkan.
Facebook reveals news feed experiment to control emotions
Author: Booth, Robert
https://www.theguardian.com/technology/2014/jun/29/facebook-users-emotions-news-feeds
Fenomena banjir informasi ini, telah membuat kita sulit membedakan mana informasi yang benar dan yang salah. Mengandalkan teknologi, big data, pemahaman tentang emosi dan bagaimana otak manusia bekerja, kita pun mudah dijebak masuk ke dalam kepentingan-kepentingan sempit di balik rekayasa informasi yang terjadi.
Bagi organisasi, dampaknya tak bisa dianggap remeh. Bayangkan jika perusahaan atau organisasi Anda yang mungkin telah lama berinvestasi pada nilai-nilai profesionalisme dan kesetaraan, tiba-tiba memiliki staf atau karyawan yang terpapar hoax atau sikap yang eksklusif dan intoleran? Bukankah hal ini akan merusak kultur yang susah payah sudah dibangun?
Trust yang sudah bertumbuh mendadak rentan. Hanya butuh pemicu kecil, dan dalam sekejap bisa hancur.
Mengubah keadaan yang demikian tentu bukan perkara mudah. Mana bisa lagi kita membatasi internet dan sosial media di kantor. Semua orang bisa mengaksesnya dengan berbagai cara.
Lantas, kita bisa apa?
Bukan berarti tak ada lagi yang bisa dilakukan. Sebagaimana hoax bisa menular, akal sehat pun dapat berkembang dengan cara yang sama. Tentu tak bisa instan. Sejarah mengajari kita bahwa kehancuran lebih mudah terjadi ketimbang membangun peradaban.
Lihat saja dampak perang. Dominasi dinosaurus selama ratusan juta tahun pun bisa mendadak lenyap karena serangan asteroids.
Satu eksperimen sederhana yang sering saya inisiasi dalam berbagai organisasi adalah mentradisikan knowledge sharing secara berkala. Dalam diskusi kecil, berbagi pengetahuan secara bergantian yang melibatkan staf senior dan yunior dalam sebuah organisasi, seringkali menghasilkan outcome yang sangat bernilai tinggi.
Pertama, tentu saja, adalah peningkatan pemahaman kognitif atas isu-isu tertentu – sekaligus membentengi dari berbagai informasi sampah. Kedua, peningkatan skill (setidaknya terkait public speaking atau kemampuan memfasilitasi), terutama jika dilakukan secara bergiliran. Ketiga, munculnya sikap apresiatif terhadap sesama anggota tim. Keempat, adanya kesamaan persepsi antar tim dalam melihat sebuah isu atau persoalan.
Kesemua itu, memiliki andil sangat signifikan dalam terciptanya trust di antara anggota tim. Keharmonisan tim, kemudian menjadi dampak utama sekaligus “aset” yang sangat berharga bagi organisasi untuk mencapai tujuan serta target-target yang telah ditetapkan.
Ini merupakan investasi yang murah, dan pada saat yang sama, merupakan sumbangsih kita untuk menjaga akal sehat bangsa.