
Photo by Willi Filz, Brandeins from www.lietaer.com
Tak bisa dipungkiri lagi, pandemi Covid-19 sudah mulai mengarah pada krisis ekonomi dan sosial. Pembatasan sosial untuk menahan laju kecepatan penyebaran virus Corona mau tak mau berakibat langsung pada terhentinya banyak aktivitas ekonomi, dan akhirnya berdampak pada penghentian produksi, penurunan permintaan, hingga hilangnya penerimaan serta pemutusan hubungan kerja.
Akses terhadap uang, terutama di kelompok masyarakat yang miskin dan rentan, makin tertutup.
Pendekatan konvensional yang dilakukan pemerintah di banyak negara, tentunya adalah memompa sirkulasi uang menuju ke masyarakat bawah, meskipun terbatas, melalui inisiatif program “jaring pengaman sosial”, seperti bantuan langsung tunai, dan sebagainya, dengan risiko tidak tepat sasaran – yang tentu saja harus menguras kas negara, dan akibatnya, meningkatkan beban utang negara.
Tidak ada yang salah dengan itu. Pertanyaannya adakah solusi lain yang lagi yang bisa dilakukan? Simak kisah berikut ini…
Pada saat Jaime Lerner diangkat menjadi walikota Curitiba di tahun 1989, ia punya segudang masalah dengan sampah. Mayoritas dari 500,000 penduduk Curitiba hidup dalam kota penuh sampah, sampai-sampai truk-truk pengangkut sampah pun sulit masuk ke sana. Tingkat risiko terjangkitnya berbagai penyakit jangan ditanya lagi, sudah sedemikian tinggi. Solusi klasik untuk persoalan ini idealnya adalah program jaminan sosial secara komprehensif. Sayangnya, sang walikota tak punya pilihan ini mengingat terlalu sedikitnya orang kaya di Curitiba, sementara anggaran kota tak tersedia untuk itu.
Oleh karena keadaan, Jaime berpikir keras mencari jalan lain dan menemukan cara yang sederhana. Ia memutuskan untuk “membayar” atau memberikan kupon transportasi publik bagi setiap orang yang mau memilah dan membuang sampahnya pada tempat-tempat pengolahan di sekitar gunungan sampah.
Hasilnya, orang-orang menggunakan kupon tersebut untuk pergi dan kembali dari pusat kota – termasuk untuk mendapatkan pekerjaan. Tak lama kemudian, kupon itu juga mulai diterima di berbagai pasar setempat untuk ditukarkan dengan makanan.
Dalam 3 tahun, 70 persen warga Curitiba terlibat dalam program ini. Sekitar 62 kampung kumuh aktif menukarkan 11 ribu ton sampah untuk mendapatkan hampir sejuta kupon bus dan 1200 ton makanan. Dari sana program ini berkembang – bukan hanya untuk membersihkan sampah – menjadi restorasi gedung-gedung bersejarah, membangun ruang hijau, dan menyediakan rumah tanpa harus membebani anggaran kota.
Ketika Lerner kemudian terpilih sebagai gubernur Parana selama 2 periode (1994-1998 & 1998-2002), ia pun menjalankan program yang serupa tanpa harus berutang. Salah satunya, adalah bagaimana membersihkan pantai yang kotor. Yang ia lakukan adalah membuat perjanjian dengan para nelayan, jika mereka sedang tidak bisa melaut karena alasan cuaca dan sebagainya, mereka diminta “menangkap” sampah-sampah di pantai dan laut sekitar dengan imbalan kupon yang bisa ditukarkan dengan makanan – dan karena lautnya bersih, ikan-ikan pun banyak berdatangan.
Untuk keluarga para pengemis, ia juga memberikan bantuan makanan bulanan, asalkan mereka mau menjaga anaknya untuk tetap bersekolah. “Daripada harus mengeluarkan uang untuk membeli makanan, mereka kini bisa mengalokasikannya untuk kebutuhan penting lainnya dan saat yang bersamaan merasa lega karena anak-anaknya tetap bisa bersekolah,” kata Lerner.
Karena alat tukar komplementer inilah, di tahun 1990 Curitiba mendapatkan penghargaan lingkungan tertinggi dari United Nations Enviromental Program’s (UNEP) dan pada tahun 2010 memperoleh The Globe Sustainable City Award.
“Di atas segalanya, rasa bangga dan ikatan komunitas yang kuat telah bertumbuh di tempat yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya,” ungkap Bernard Lietaer yang menuturkan kisah ini dalam “Community Currencies: A New Tool for the 21st Century”.
Itu tadi cerita tentang bagaimana inisiatif “di luar kotak” seorang kepala daerah untuk mengatasi dua masalah sekaligus, masalah sosial dan keterbasan anggaran (yang juga terjadi dalam situasi krisis) dengan menggunakan alat tukar komplementer.
Ada juga cerita serupa dalam konteks yang berbeda. Kali ini para pelopornya adalah sekumpulan pebisnis, pada saat krisis besar melanda dunia di awal paruh pertama abad ke-19.
Dua orang pebisnis di Swiss, Werner Zimmermann dan Paul Enz, suatu waktu mengumpulkan rekan-rekan pebisnis mereka untuk memutuskan apa yang dapat mereka lakukan untuk menghadapi depresi besar di tahun 1930. Mereka semua telah mendapatkan pemberitahuan dari bank bahwa, pagu kredit mereka telah dikurangi dan bahkan dihilangkan. Kebangkrutan sudah di depan mata.
Entah bagaimana mulanya, mereka sampai pada sebuah gagasan untuk melakukan semacam “multilateral barter” (mutual credit) dengan mengajak para klien dan pemasoknya untuk turut terlibat. Cara bekerjanya, secara sederhana, kira-kira demikian:
Pembuat roti yang membutuhkan tepung dan telur mengeluarkan debit atau mencatatkan utang dari seorang petani setempat sebagai imbalan atas kedua kebutuannya tadi; lalu dengan kredit yang baru dimilikinya, petani mendapatkan perkakas dari pemasok lokal untuk gudang yang sedang dia perbaiki; kemudian tukang roti memasok makanan hasil panggangannya pada pemilik toko perkakas untuk keluarganya, sehingga neraca keuangannya pun kembali nol. Semua proses transaksi ini terjadi tanpa dimediasi oleh uang konvensional.
Untuk memfasilitasi proses ini, kumpulan pebisnis ini mendirikan koperasi dengan anggota-anggota dari mereka sendiri untuk mengelola proses tadi dengan difasilitasi alat tukar komplementer yang mereka namakan WIR.
Nilai WIR ditetapkan sama dengan Swiss franc (1 WIR = 1 Swiss franc), namun tidak bisa ditukarkan ke dalam Swiss franc. Artinya, utang yang diterima dalam WIR harus diselesaikan dengan WIR pula. Para anggota bisa juga meminjam, dengan bunga sangat rendah antara 1 hingga 1,5% yang harus didukung jaminan persediaan produksi atau aset lainnya.
Yang menarik, selama resesi berlangsung, penggunaan WIR mengalami peningkatan. Namun ketika ekonomi normal, sirkulasi WIR pun mengalami penurunan. Dampaknya adalah perekonomian Swiss, secara nasional, menjadi relatif lebih stabil – begitu kesimpulan Profesor James Stodder dari Rensselaer Polytechnic Institute dalam penelitiannya untuk mengetahui rahasia di balik stabilitas ekonomi negara itu dengan judul “Complementary Credit Networks and Macro-Economic Stability: Switzerland’s Wirtschaftsring” dalam Journal of Economic Behavior and Organization 72 (October 2009).
Hingga tahun 2010, Bank WIR mempekerjakan 205 orang di kantor pusatnya di Basel serta di tujuh kantor regional. Sementara keanggotaan individu tidak lagi ada sejak akhir 1950-an, sekitar 60.000 pebisnis, atau 16 persen dari semua perusahaan Swiss, berdagang dengan WIR. Para pesertanya sebagian besar adalah usaha kecil dan menengah, namun lebih dari sepertiga dari semua perusahaan konstruksi di Swiss — sebagai sektor padat modal yang besar — menggunakan WIR. Volume perdagangan WIR per tahun adalah 1,6 miliar WIR, atau hanya sedikit di bawah $2 miliar.
Kedua cerita di atas adalah contoh yang sering digunakan oleh Bernard Lietaer untuk menunjukkan bukti efektivitas alat tukar komplementer dibandingkan mata uang konvensional ketika berhadapa dengan krisis, yang intinya adalah kelangkaan sirkulasi mata uang. Kedua cerita itu juga disampaikan secara lebih detil dalam buku yang ditulisnya bersama Jacqui Dunne, “Rethinking Money: How New Currencies Turn Scarcity Into Prosperity” yang diterbitkan pada tahun 2013.
Gagasan utama Lietaer didasarkan pada pandangannya bahwa relasi-relasi dalam sebuah sistem yang berkelanjutan, harus mencerminkan proses yang dinamis antara “efisiensi” dan “resiliensi”. Contoh gampangnya, adalah relasi manusia dengan pangan sebagai kebutuhan pokoknya.
Di masa lalu, karena alasan efisiensi, produksi beras ditingkatkan sehingga menjadi makanan utama semua orang. Asumsinya beras lebih mudah diproduksi dan didistribusikan serta menguntungkan bagi produsen. Namun, efisiensi semacam ini menjadi berbahaya (baca: tidak resilien) ketika terjadi gagal panen dan sebagainya. Padahal, kebanyakan orang sudah tergantung pada beras.
Seandainya aspek resiliensi dipertimbangkan, maka yang diproduksi sejak awal, tidak mesti hanya beras tapi juga bahan pangan lainnya. Artinya harus ada “diversifikasi” dan “kesalingterhubungan” antara berbagai produk pangan dengan masyarakat yang mengkonsumsinya di berbagai wilayah dalam sebuah sistem berkelanjutan.
Dalam sistem transportasi pun demikian. Jika sebuah kota terlalu bergantung pada infrastruktur jalan raya, maka ketika terjadi kemacetan yang kian parah, mobilitas kota akan lumpuh. Oleh karena itu, penting untuk memiliki “diversifikasi” serta “kesalingterhubungan” infrastruktur transportasi dengan masyarakat penggunanya. Perlu busway, MRT dan juga ojek – selain taksi dan mobil pribadi.
Begitu pula halnya dengan alat tukar. Jika sistem keuangan, bukan hanya di sebuah negara tapi juga seluruh dunia, terlalu bergantung pada model mata uang fiat atau konvensional yang kita kenal sekarang ini (yang hanya dikeluarkan oleh Bank Sentral), maka ketika muncul persoalan dalam sirkulasinya dengan berbagai alasan, risikonya adalah keseluruhan sistem pun bisa kolaps.
Dalam catatan Lietaer, antara tahun 1970 hingga 2010, telah terjadi 145 krisis perbankan dan 208 kehancuran moneter!
Kendati demikian, mata uang konvensional, tidak usah diragukan lagi telah terbukti sangat efisien bersirkulasi secara global dan berhasil mendorong kemajuan di berbagai bidang. Namun, mata uang yang sama pun memiliki berbagai keterbatasan. Di antaranya, lebih banyak bersirkulasi di perkotaan dan yang terutama terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Situasinya sama, di seluruh belahan dunia.
Kehadiran alat tukar komplementer sebagaimana dalam kedua cerita di atas, seperti namanya, menjadi pelengkap terhadap mata uang konvensional. Ibarat konsep “Yin-Yang” dalam filosofi Tiongkok, alat tukar komplementer mewakili aspek “Yin” yang lebih feminin untuk mengimbangi mata uang konvensional yang mewakili aspek “Yang” atau maskulin.
Lalu, apa yang menyebabkan alat tukar komplementer bisa berfungsi?
Menurut Lietaer, prinsip dasarnya adalah bagaimana mempertukarkan antara unused resources (sumber daya yang berlebih) dengan unmet needs (kebutuhan yang tak terpenuhi). Masing-masing pihak yang melakukan pertukaran memiliki kedua hal ini.
Dalam kasus di Curitiba, unused resources-nya adalah waktu dari masyarakat kota tersebut yang berlimpah dan kapasitas bus pemerintah kota yang diberikan dalam bentuk kupon. Inilah yang dipertukarkan dengan unmet needs berupa kebutuhan untuk membersihkan dan mengolah sampah dari sisi pemerintah, dan kebutuhan transportasi bagi warga.
Dalam evaluasinya, Jamie Lerner kemudian mengidentifkasi bahwa mereka ternyata punya unused resources lain, yaitu persediaan makanan yang berlimpah, yang lantas dipertukarkan dengan unmet needs kota yang lain lagi, seperti kebutuhan untuk membangun area hijau, gedung bersejarah, tingkat pendidikan warga miskinnya dan sebagainya.
Sedangkan dalam kasus di Swiss, masing-masing pihak, yang adalah sesama pebisnis, memiliki “kelebihan sumberdaya” dan “kebutuhan yang tak terpenuhi” yang hampir serupa. Unused resources-nya adalah hasil produksi atau inventory yang dimiliki para pebisnis itu yang kemudian dipertukarkan dengan unmet needs berupa bahan baku atau kebutuhan makanan bagi masing-masing mereka.
Abrakadabra!
Pertukaran barang dan jasa, yang tak lain adalah dasar dari perdagangan atau aktivitas ekonomi pun terjadi. Begitu sederhana.
Dengan memahami prinsip dasar yang diajukan Lietaer tadi, maka sebetulnya kita bisa lebih mudah untuk mengidentifikasi apa saja contoh dari unused resources dan unmet needs.
Contoh unused resources:
- Waktu setiap orang untuk bekerja (dalam perspektif ini, pengangguran pun bisa dilihat sebagai sumber daya)
- Hasil panen yang berlimpah (terutama jika berada di desa)
- Hasil laut (di wilayah pesisir)
- Kursi bioskop yang kosong di hari-hari tertentu (di perkotaan)
- Barang-barang hasil sitaan aparat penegak hukum
- Dan seterusnya…
Contoh unmet needs:
- Kebutuhan mengatasi banjir
- Kebutuhan membersihkan sampah
- Kebutuhan merawat orang tua di panti jompo
- Kebutuhan meningkatkan kualitas pendidikan anak sekolah
- Kebutuhan melakukan penghijauan
- Dan seterusnya…
Silakan menambah panjang kedua daftar tersebut.
Upaya mempertemukan kedua hal ini, dalam eksperimen dan penelitian yang dilakukan Lietaer tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau pebisnis. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pun bisa menginisiasinya. Hal ini misalnya yang dilakukan oleh Creation Development Trust di sebuah kota kecil Blaengarw di Wales Selatan.
Di bekas kota tambang yang miskin ini, LSM tersebut memperkenalkan TimeBanking, alat tukar komplementer yang mengandalkan waktu kerja perjam setiap orang sebagai unit alat tukar. Inti programnya adalah mendorong setiap orang menyumbangkan waktunya (unused resources) supaya bekerja bagi komunitas untuk membangun berbagai fasilitas bersama dan menolong mereka yang membutuhkan (unmet needs).
Mereka yang tidak bisa menyumbangkan waktunya, bisa saja “membeli” TimeBanking menggunakan mata uang konvensional sebagai kompensasi atas ketidakhadirannya.
Prinsip pertukaran seperti ini, sesungguhnya dapat menjadi jawaban untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Dalam skala nasional misalnya, pemerintah bisa menerapkan kuota atau pembatasan tertentu bagi setiap warganya untuk mengeluarkan emisi karbon. Pemilik pabrik atau pengguna kendaraan bermotor yang polutif, harus membayar “pajak karbon” yang harus diberikan kepada mereka yang melakukan kegiatan penghijauan.
Dalam skala desa, kegiatan pertukaran sebagaimana yang terjadi di Curitiba tentu lebih mudah untuk diaplikasikan. Umpama seorang kepala desa mengajak warganya bergotong royong setiap minggu untuk menanam pohon di lahan desa yang tandus. Setiap kali warganya menanam pohon, mereka kemudian mendapatkan kupon dengan nilai yang disepakati untuk ditukarkan makanan atau sumber daya apapun yang banyak tersedia di desa itu.
Sementara mereka yang tidak bisa atau tidak sempat menanam pohon bisa menyumbangkan kue, beras, kopi atau jasa lain seperti mencukur rambut, atau bisa juga membeli kupon tersebut dengan nilai yang setara dengan kupon yang diberikan bagi yang menanam pohon. Dengan begitu, kupon itu pun menjadi alat tukar yang bernilai.
Mengingat tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang masih tinggi di pedesaan di Indonesia (sebesar 12,6 persen dibandingkan di perkotaan yang sebesar 6,56 persen, berdasarkan data BPS 2019), maka menjadi penting kiranya untuk mendesain alat tukar komplementer untuk digunakan dalam ruang lingkup masing-masing desa atau kumpulan beberapa desa.
Alasannya, tentu karena mata uang konvensional sangat mudah untuk “tersedot” ke perkotaan dan meninggalkan kelangkaan mata uang di desa. Hal ini terutama, karena mereka harus mengkonsumsi banyak barang kebutuhan yang diproduksi di kota, dan terutama karena penetrasi mini market yang berkantor pusat di perkotaan pun telah menembus ke sana. Sekian persen dari uang yang mereka bayarkan tentu akan disetorkan ke kota.
Kita beruntung karena kemajuan teknologi digital, sesungguhnya menawarkan kemudahan untuk mendesain alat tukar komplementer dalam betuk digital. Kita bisa membayangkan aplikasi yang kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh OVO atau GoPay atau LinkAja. Bedanya adalah, poin yang tercatat dalam aplikasi tersebut – sebut saja aplikasi GotongRoyong atau GR – tidak semata-mata dihasilkan dari pembelian dengan menggunakan mata uang konvensional, tapi dari hasil menanam pohon, membersihkan sampah atau mengajarkan matematika pada adik kelas.
Pengelola aplikasi ini, yang bisa saja dibuat dengan sistem opensource, adalah komunitas desa yang hendak dilayaninya. Jadi, bukan monopoli perusahaan-perusahaan dari ibukota – mereka tentu saja tetap bisa mempunyai aplikasi dengan keunggulannya sendiri, sebagai bagian tak terpisahkan dari diversifikasi alat tukar.
Penelitian Lietaer menyebutkan bahwa setidaknya sudah ada 4000-an alat tukar komplementer dengan berbagai nama dan bentuk yang sudah dan masih beroperasi. Ini menunjukkan kekuatan alat tukar komplementer dari segi resiliensi dan karenanya sangat mungkin untuk dioperasionalisasikan di Indonesia.
Malah menurut Lietaer, “catatan tertulis tertua dari sistem kerjasama operasional yang masih digunakan saat ini ditemukan di Bali, Indonesia. Sistem ini pertama kali didokumentasikan pada tahun 826 Masehi, ketika tulisan pertama kali diperkenalkan di daerah itu, dan diyakini sistem ini telah berkembang pesat selama berabad-abad sebelum tanggal tersebut.” (hal 73, Rethinking Money)
Yang dimaksud Lietaer sesungguhnya adalah “gotong royong”, yang sebetulnya juga dapat ditemukan di berbagai daerah lain di Indonesia. Di Bali, sistem ini disebut Ngayah, yaitu kewajiban sosial yang biasa dilakukan secara bersama-sama di banjar (sejenis Rukun Tetangga) ataupun di tempat suci (Pura). Mereka yang terlibat dalam Ngayah tidak dibatasi oleh latar belakang pendidikan, pekerjaan maupun status sosial. Semua adalah sama.
Bagi Anda yang ingin mendapatkan ilustrasi bagaimana langkah-langkah menerapkan alat tukar komplementer, bisa mengunjungi kursus yang diselenggarakan oleh Sarafu Network -yang juga didukung oleh Lietaer – bekerjasama dengan Grassroots Economics, sebuah LSM yang berbasis di Kenya melalui link berikut (https://www.grassrootseconomics.org/mooc).
Terakhir. Tak adil jika saya tak memperkenalkan Bernard Lietaer, yang gagasannya sangat sentral dalam tulisan ini. Saya mengutipnya dari situs miliknya sendiri (www.lietaer.com).
Sebagai mahasiswa di MIT pada akhir 1960-an, Bernard memperoleh perhatian karena tesisnya mengupas tentang cara mengoptimalkan pengelolaan mata uang untuk perusahaan multinasional. Penelitiannya adalah yang pertama yang menjelaskan “nilai tukar mengambang”, yang mengubah nilai mata uang berdasarkan penawaran dan permintaan di pasar.
Tak lama setelah publikasi tesisnya, Presiden Nixon mengeluarkan mata uang dolar AS dari standar emas, dan memulai perubahan global ke nilai tukar mengambang. Penelitian Bernard menjadi sangat berharga, sampai-sampai sebuah bank besar AS menegosiasikan hak eksklusif untuk mendapatkan metodologinya.
Bernard kemudian menjadi kepala Departemen Organisasi dan Komputer di Bank Sentral Belgia, di sana ia juga menjadi salah satu arsitek utama Unit Mata Uang Eropa (ECU). ECU didasarkan pada “keranjang” berbagai mata uang nasional, masing-masing tertimbang sebagai persentase yang sejalan dengan kontribusi negara itu dari PDB negara-negara yang tergabung dan perdagangan internalnya. Fitur utama ECU memungkinkan masing-masing negara untuk mendevaluasi mata uang mereka jika terjadi penurunan – alat yang menghilang setelah Euro diperkenalkan pada tahun 1999. Sebuah makalah pada tahun 2015 yang meneliti penggantian ECU oleh Euro menyimpulkan bahwa “ECU merupakan pendekatan yang lebih superior bagi kesatuan mata uang” yang tidak terlalu merugikan secara politik maupun ekonomi dibandingkan Euro.
Bernard pernah menulis:
“Butuh waktu beberapa tahun, dan percakapan yang paling terbuka dengan Presiden BIS saat itu (Bank of International Settlement yang berkantor di Basel adalah “Bank Sentralnya” berbagai Bank Sentral, yang mengkoordinasikan kegiatan moneter dari sebelas negara moneter utama dunia), untuk memahami bahwa Bank Sentral ada untuk menjaga sistem berjalan sebagaimana adanya, bukan untuk memperbaikinya dan oleh karena itu inisiatif reformasi apa pun harus berasal dari sektor swasta. “
Dia meninggalkan Bank Sentral Belgia pada tahun 1987 untuk meluncurkan GaiaCorp, salah satu perusahaan perdagangan mata uang internasional berskala besar yang pertama. Perusahaannya dengan cepat bertumbuh menjadi salah satu perusahaan manajemen mata uang terbesar dan paling sukses di dunia, menyebabkan majalah Business Week menyebutnya sebagai “The World’s Top Trader” pada tahun 1990.
Di pertengahan 1990-an, Bernard meninggalkan perusahaan perdagangan mata uang yang ia dirikan dan memulai misi selama beberapa dekade untuk mengajar dan memberikan konsultasi di seluruh dunia mengenai kelebihan dan kekurangan sistem moneter yang berbeda, sebagai upaya membantu masyarakat membuat pilihan yang lebih sadar untuk membangun arsitektur keuangan yang bisa menciptakan kerjasama secara kolektif.
Bernard Lietaer meninggal dunia pada tanggal 4 Februari 2019 di rumahnya di Hoherhagen, Jerman. Hanya 3 hari menjelang ulang tahunnya yang ke-77 (ia lahir pada 7 Februari 1942).
“Masalah sebenarnya bukanlah apakah perubahan secara meluas akan terjadi atau tidak, tetapi seberapa banyak kesadaran tentang ke mana perubahan ini akan membawa kita. Pertanyaan sebenarnya adalah apakah kita bahkan sadar bahwa kita sebenarnya memiliki pilihan untuk mengatasi masalah ini.”
Semoga semakin banyak yang sadar akan pilihan ini. Terimakasih Bernard! Rest in Virtue…
Tautan untuk tulisan lain dalam serial ini: