Tawar-Menawar Tanpa “Baper” Ala Mantan Negosiator Pembebasan Sandera FBI (Seni Mengambil Keputusan II)

Photo: Gerd Altmann/Pixabay

Banyak di antara kita yang hebat berbicara di depan forum. Pandai merangkai kata-kata. Tapi, keok saat bernegosiasi. Padahal, setiap saat kita selalu bernegosiasi – terhadap anak, istri, dan terutama ketika berjual-beli. Saya sendiri terlambat belajar skill atau seni pengambilan keputusan yang satu ini.

Tahun 2000-an, setelah sekian lama jadi aktivis, saya diterima bekerja di salah satu lembaga internasional yang memiliki kantor perwakilan yang sedang berkembang di Jakarta. Berada dalam lingkungan kerja multi-bangsa, saya bekerja penuh semangat, menyerap ilmu dari para kolega dan berkembang secara profesional. Semua berjalan baik dan memuaskan.

Namun, menjelang selesai kontrak tahun pertama, saya mendapati bahwa dibandingkan dengan kolega-kolega dengan jabatan yang sama, penghasilan saya berada cukup jauh di bawah mereka. Rasa kecewa dan sinyal “tidak fair” langsung terstimuli dari amygdala saya – bagian otak yang secara otomatis mengatur mekanisme “fight or flight”.

Dalam keadaan jengkel, saya segera membuat lamaran kerja di salah satu lembaga PBB di Jakarta yang kebetulan sedang membuka lowongan untuk jabatan Communication Officer. Saya diterima.

Tak lama kemudian, ketika wakil pimpinan lembaga tempat saya bekerja menyodorkan perpanjangan kontrak kerja dengan kenaikan gaji – kalau tidak salah hampir 20 persen – saya malah memberikan surat pengunduran diri. Sama sekali tidak ada niat bernegosiasi. Tidak ada Plan B.

Kontan dia terkejut, dan pastinya kesal juga. Tak lama berselang, pimpinan lembaga tersebut yang sedang berada di luar negeri menelpon saya. Langsung menyemburkan kekecewaannya. “Bagaimana bisa kamu melakukan ini? Setidaknya kita berdiskusi terlebih dahulu…” Dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya benar-benar tak berkutik dan merasa serba salah. Tak menyangka menghadapi reaksi boss yang kecewa. Yang dia minta sebetulnya wajar, diskusi. Negosiasi untuk kepentingan sendiri – hal yang justru saya tidak bisa.

Saya bisa membela teman-teman dari kritik atau bernegosiasi dengan polisi dan tentara agar tidak membubarkan demonstrasi mahasiswa. Tapi, bernegosiasi gaji? Tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Saya waktu itu punya pandangan naif yang cenderung mengharapkan “agar orang lain yang semestinya mengerti dan memahami kebutuhan kita.” Di dunia persilatan, beruntung jika bertemu yang demikian.

Saya cukup beruntung punya boss yang baik hati, yang meskipun sangat jengkel masih mau bertanya “apa yang kamu butuhkan?”. Akhirnya, saya diberi kenaikan gaji 100% (rekor tertinggi yang pernah saya alami hingga saat ini).

Tapi, itu tadi, lebih karena saya beruntung. Sama sekali bukan karena kemampuan bernegosiasi. Saya melanjutkan bekerja di sana hampir empat tahun lamanya.

Dalam perjalanan karir berikutnya, saya kembali beruntung, karena hampir selalu disodori tawaran pekerjaan ketimbang harus melamar. Kalau saya tidak puas dengan remunerasi yang ditawarkan, saya biasanya tidak akan lama bekerja di tempat itu.

Kemampuan bernegosiasi baru belakangan saya pelajari, setelah menjadi konsultan. Mungkin karena usia yang terus bertambah, saya kian menyadari bahwa pendekatan “mengancam pergi” yang sering saya gunakan sebenarnya terlalu menguras energi dan berpotensi menciptakan hubungan yang buruk. Saya juga perhatikan, istri saya lebih luwes dalam bernegosiasi di pasar. Ia melakukannya sambil tersenyum dan tidak harus bersitegang.

Ada banyak ahli tentang persuasi dan negosiasi. Tapi, jarang yang punya kemampuan dan pengalaman lengkap seperti yang dimiliki Chris Voss – penulis buku best-seller, “Never Split The Difference: Negotiating As If Your Life Depended On It”.

Chris Voss adalah mantan negosiator sandera FBI. Memulai karir sebagai New York City Joint Terrorism Task Force di tahun 1986, ia memiliki pengalaman bernegosiasi hingga mencapai 150 kasus ketika pensiun dari FBI di tahun 2007. Saat ini ia memiliki perusahaan konsultan negosiasi Black Swan Group dan menjadi Profesor tamu di Georgetown University’s McDonough School of Business serta pengajar di Marshall School of Business di University of Southern California.

Salah satu kelebihan Chris Voss adalah karena ia mau melengkapi kemampuan dan pengalamannya dengan belajar teori tentang persuasi dan negosiasi dari para pakar dan akademisi. Sehingga ia mampu mentransfer ilmunya kepada orang-orang yang “berguru” padanya secara komprehensif dan juga dapat memberikan “jurus-jurus maut” yang sudah teruji keampuhannya.

Suatu waktu, saat sedang mengambil kursus tentang negosiasi di Harvard Law School, Chris tiba-tiba mendapat panggilan dari Profesor Robert Mnookin, Direktur Proyek Riset Negosiasi di kampus itu dan juga penulis buku “Bargaining with the Devil: When to Negotiate, When to Fight”. Di kantornya, Mnookin ditemani oleh Profesor Gabriella Blum, spesialis negosiasi internasional, konflik bersenjata dan kontra-terorisme dengan latar belakang sebagai anggota dari Israel Defense Forces (Angkatan Bersenjata Israel).

Kedua profesor itu, tanpa basa-basi langsung melakukan fait accompli, menjebak Voss dalam sebuah simulasi negosiasi: “Kami telah menculik anakmu, Voss. Berikan satu juta dolar atau dia mati,” kata Mnookin.

Sempat merasa panik – yang dianggap wajar oleh Voss sendiri, meskipun telah berpengalaman lebih dari 20 tahun, dan meskipun berada dalam situasi ‘permainan’ – Voss segera menenangkan diri. Sengaja berdiam, ia memandang ke arah Mnookin tanpa berusaha menekan balik. Ia malah sedikit tersenyum.

“Bagaimana caranya saya bisa memenuhi permintaanmu?” 

Mnookin bingung harus menjawab apa. Ia tak menduga mendapatkan reaksi yang demikian. Tak ada dalam teori yang dikembangkannya. “Jadi, kamu tak peduli jika kalau saya membunuh anakmu?” tanyanya lagi.

“Maaf, Robert, bagaimana saya tahu dia masih hidup?” Voss sengaja menggunakan permintaan maaf dan menyebut nama depannya. Ia membangun kehangatan ke dalam interaksi tersebut yang justru makin membuat Mnookin mati gaya. Chris secara persuasif kembali memberikan pertanyaan terbuka.

Mnookin tidak menyadari bahwa ia sedang dihadapkan pada salah satu jurus paling ampuh yang dikembangkan Voss dan FBI, yaitu “pertanyaan terbuka” itu.

“Jangan biarkan dia melakukan itu,” kata Profesor Blum pada rekannya. Namun, pendekatan “bulldozer” ala tentara Israel ternyata tak menggoyahkan Voss. Ia kembali mendapatkan jawaban serupa.

“Oke Bob, cukup ya,” kata Voss menghentikan negosiasi yang menghadapi jalan buntu itu. Mnookin mengangguk dan berujar, “Baiklah. Rasanya FBI mungkin punya sesuatu untuk diajarkan pada kita.”

Meskipun terkesan tak berdaya, apa yang baru saja “dipamerkan” Voss pada dua profesor Harvard itu adalah sebuah seni negosiasi kelas dewa. Langkah-langkahnya dilakukan secara sistematik dan terukur. Tidak terburu-buru dan tidak menciptakan situasi tegang atau emosional yang justru biasanya tidak produktif.

Ia sengaja menurunkan tensi lawan bicaranya dengan berusaha tersenyum – sangat penting dalam situasi negosiasi yang sesungguhnya. Lalu ia membangun empati, tidak berusaha menyerang, dan bahkan memberikan “kewenangan” pada lawannya untuk membantu dia mencarikan solusi atas kesulitan yang dihadapinya melalui “pertanyaan terbuka” tadi. Terakhir, ia mendorong untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Pertanyaan terbuka (open-ended question) adalah salah satu “pukulan mematikan” atau killing punch dalam seni negosiasi Voss. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang dapat ditanggapi pihak lawan, tetapi sebetulnya tidak memiliki jawaban tetap.

Bagi Voss, pertanyaan seperti itu memberikan kita waktu dan pada saat yang bersamaan “ilusi kontrol” pada lawan bicara. “Bahwa mereka adalah pihak yang sebetulnya memiliki jawaban dan kekuatan atas situasi yang sedang terjadi – tanpa menyadari bahwa betapa terkekangnya mereka dengan situasi itu.”

Profesor Robert Mnookin, sebagai “pakar negosiasi”, kemungkinan besar sudah memiliki script atau naskah untuk bernegosiasi dengan Voss. Tapi, semua menjadi buyar dengan pertanyaan terbuka dari Voss. Bukannya mengeksekusi rencananya ia malah terjebak memikirkan “bagaimana cara memecahkan masalah” Voss.

Penemuan

Photo: www_slon_pics/Pixabay

Butuh waktu cukup panjang dan banyak kegagalan sebelum FBI dan Voss mendapatkan pendekatan dan jurus maut negosiasi. Sebelumnya, hingga awal tahun 2000-an, para pakar negosiasi termasuk FBI sangat terpengaruh dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Roger Fisher dan William Ury dari Harvard Negotiation Project yang mereka berdua dirikan di tahun 1979.

Fisher dan Ury pada tahun 1981 menerbitkan buku “Getting to Yes” yang kemudian menjadi referensi utama dalam ilmu negosiasi. Intinya adalah bagaimana mencapai kesepakatan saling menguntungkan kedua belah pihak yang bernegosiasi dengan cara-cara rasional sejalan dengan analisis “Game Theory” yang sedang tren saat itu – dimulai dengan (1) memisahkan emosi para pihak dari masalah yang dibicarakan; (2) tidak terjebak pada “apa” yang diminta salah satu pihak, tapi fokusi pada “mengapa” mereka meminta; (3) bekerjasama untuk mencapai pilihan sama-sama untung, dan (4) bangun standar saling menguntungkan untuk mencapai solusi yang mungkin dicapai.

Setelah satu dekade, FBI menemukan kenyataan bahwa pendekatan rasional itu ternyata tidak efektif ketika berhadapan dengan orang-orang yang secara mental-emosional bermasalah. Misalnya ketika terjadi pengepungan berakibat fatal di lahan pertanian Ruby Ridge milik Randy Weaver di Idaho pada tahun 1992 dan di kompleks Davidian Branch-nya David Koresh di Waco, Texas, pada tahun 1993.

“Bagaimana bisa Anda menemukan solusi sama-sama menguntungkan dengan seseorang yang menganggap dirinya adalah ‘juru selamat’ – jelas bahwa “Getting to Yes” tidak efektif menghadapi para penculik,” ungkap Voss.

Sejak saat itulah, FBI mulai mencari pendekatan negosiasi yang lebih tepat yang berfokus bukan hanya pada aspek rasional, tapi juga aspek “kebinatangan, emosi dan irasionalitas”. Mereka juga mengembangkan apa yang oleh Voss disebut sebagai tactical empathy. Sebuah seni mendengarkan bak ilmu bela diri, yang harus dengan hati-hati harus menjaga keseimbangan antara kecerdasan emosional dan sikap asertif atau tegas agar bisa mempengaruhi alam pikir lawan bicara.

Jurus “pertanyaan terbuka” ditemukan belakangan oleh Voss ketika tak sengaja mendengarkan rekaman tentang pembicaraan dari pengedar narkoba di Pittsburgh yang menculik pacar dari pengedar narkoba lainnya. Saat sedang bernegosiasi, pengedar narkoba yang pacarnya diculik, mengajukan pertanyaan asal-asalan, “Hey, dog, bagaimana saya tahu kalau pacar saya baik-baik saja?” 

Lalu, terjadi hal yang lucu, dalam pengamatan Voss. Si penculik terdiam hampir selama sepuluh detik. Dia benar-benar terkejut. Lalu berkata, dengan nada suara yang tidak lagi konfrontatif, “Yah, saya akan kasih dia bicara di telepon.”

Pengedar narkoba aka negosiator amatir ini baru saja meraih kemenangan fenomenal dalam bernegosiasi. Untuk membuat seorang penculik rela menempatkan korban di telepon adalah capaian sangat-sangat luar biasa. Saat itulah Voss merasa mendapatkan “holy sh*t moment”-nya dan menyadari bahwa itu adalah teknik yang sudah lama ia tunggu-tunggu.

Alih-alih mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertutup untuk menggali satu jawaban yang benar, ia malah mengajukan pertanyaan terbuka, yang disampaikan dengan cara empatik. Sehingga memaksa lawan bicaranya berhenti sejenak dan benar-benar berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalah yang dibebankan padanya.

“Sempurna!” ujar Voss. Pertanyaan itu wajar dan alami. Pertanyaan “bagaimana” yang membangun hubungan, karena “bagaimana” juga berarti meminta bantuan. Yang terpenting, dari semua itu, dia tidak berutang budi pada si penculik. Lawan bicaranya secara sukarela menempatkan pacarnya di telepon: dia pikir itu idenya sendiri. Ia merasa sedang memegang kendali.

Pelajaran dan pengalaman yang didapatkan Voss membuatnya berkesimpulan bahwa negosiasi bukanlah soal bagaimana memamerkan kehebatan kita atau memaksakan alam pikir kita untuk menaklukkan orang lain – seperti para jagoan di film-film Hollywood. 

“Ini adalah tentang pihak lain yang hendak meyakinkan dirinya sendiri bahwa solusi yang Anda tawarkan adalah juga merupakan ide mereka sendiri. Jadi jangan menghantam mereka dengan logika atau kekerasan. Ajukan mereka pertanyaan-pertanyaan yang akan membuka jalan kepada tujuan Anda. Negosiasi bukanlah tentang dirimu,” tegas Voss.

Salah satu persoalan umum dalam bernegosiasi, sebagaimana yang saya alami dan ceritakan di atas, kita ingin memaksakan keinginan kita – yang didorong oleh perasaan tidak fair atau karena tidak mau jika sampai “dikerjai” oleh pihak lawan negosiasi. Ini yang menyebabkan negosiasi mudah terjebak dalam situasi “fight or flight” yang emosional.

Kendati kita tahu bahwa negosiasi mudah membuat kita tergelincir dalam situasi emosional, namun kita malah berpikir bahwa pendekatan terbaik dalam negosiasi adalah yang sepenuhnya rasional sebagaimana pernah dipraktekkan oleh Chris Voss dan FBI di masa lalu. Bagi Voss, negosiasi ibarat seni berjalan di atas tali. Terlalu memaksa atau terlalu “baper” sama-sama akan membuat kita berisiko tergelincir dalam pertengkaran yang tidak produktif.

Voss sendiri, dalam bukunya, menunjukkan bahwa dia sangat terpengaruh dengan pendekatan Daniel Kahneman tentang dua sistem berpikir manusia – Sistem 1 yang cepat, “sok koheren”, emosional dan bias; dan Sistem 2 yang lambat, rinci dan kritis (lihat tulisan sebelumnya untuk mengetahui cara beroperasi kedua sistem berpikir ini, dengan judul “Seni Mengambil Keputusan: Berguru Pada Daniel Kahneman, Satu-Satunya Psikolog Peraih Nobel Ekonomi”).

Jika dibuat ringkas, kunci negosiasi ala Voss pada dasarnya terdiri dari dua prinsip besar yang penting: Pertama, bagaimana menyasar Sistem 1 lawan bicara dengan pendekatan empatik dan emosional agar tidak terjebak dalam situasi “fight or flight”. Kedua, baru setelah itu, mempersuasi, atau memberi “tugas” pada Sistem 2 lawan bicara dengan berbagai pertanyaan terbuka.

Dalam bahasa Voss: “Jika Anda tahu bagaimana memengaruhi pemikiran Sistem 1 lawan anda, perasaannya yang tak terungkapkan, dengan cara melakukan framing dan menyampaikan pertanyaan dan pernyataan anda, maka Anda kemudian dapat memandu rasionalitas Sistem 2-nya, lalu mengubah respon-responnya.”

Eksekusi

Sebagai seorang praktisi, Voss cenderung memberikan tips, dengan sesekali menunjukkan beberapa prinsip yang menjadi pondasi ilmu negosiasinya. Ia banyak bercerita, tapi kurang sistematik dan terstruktur. Oleh karena itu, saya mencoba mensistematisasi pendekatan negosiasi ala Voss. Dimulai dari prinsip-prinsip dasarnya, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, dan diteruskan dengan berbagai taktik untuk eksekusinya.

Pertama, manusia bukanlah mahluk yang murni rasional. Oleh karena itu, dalam bernegosiasi, yang pertama kali harus ditaklukkan adalah sisi emosional dalam alam pikirnya (Sistem 1). Empati menjadi kata kunci. Semua orang memiliki sense of importance yang harus kita akui dan apresiasi – baca juga tulisan sebelumnya tentang hal ini “Semua Orang Adalah VIP”. Salah satu teknik untuk membangun empati adalah dengan “mengiyakan” berbagai pernyataan lawan bicara. Misalnya, “Betul, Pak. Memang itu juga yang saya alami…” atau “Saya sangat sependapat, Bu. Ternyata Ibu punya selera yang istimewa.”

Teknik penting lainnya untuk membangun rapport atau kesamaan dengan lawan bicara adalah dengan mirroring, yaitu dengan mengulangi beberapa kata atau frase yang digunakan lawan bicara.  Misalnya, dia mengatakan, “sudah lama saya merawat rumah ini”, tiru dan ulangi kata-katanya “sudah lama merawatnya ya”. Hal ini akan mempersuasi Sistem 1 lawan bicara untuk “mengkategorikan” kita sebagai kawan yang menyenangkan – bukan musuh.

Kedua, dalam situasi ketika lawan bicara sudah terlanjur masuk dalam suasana emosional, upayakan agar emosi itu “menguap” terlebih dahulu dengan berbagai taktik. Salah satunya adalah dengan apa yang disebut Voss sebagai “audit accusation”. Caranya adalah dengan mengenali dan mengeksplisitkan situasi emosional atau kejengkelan yang kita anggap sedang dialami lawan bicara. Misalnya, “saya mengerti bahwa Anda merasa kesal karena saya terlambat merespon email penawaran Anda minggu lalu…” atau “wajar jika kalian berpikiran kami tidak fair dalam mengambil keputusan di waktu yang lalu…” dan sebagainya.

Ketiga, ini adalah yang paling sulit: Kendalikan diri agar tidak terjebak menjadi emosional dan malah “menyerang” atau mengkritik lawan bicara. Bila ini terjadi dan tak segera dipadamkan, maka terdapat risiko proses negosiasi akan berjalan buntu. Voss juga tidak selalu berhasil – setidaknya, dalam bukunya, ia menceritakan tentang salah satu muridnya yang gagal bernegosiasi karena terjebak menyerang lawan bicaranya. Akibatnya Sistem 1-nya saling membentengi dan terjadi perdebatan dan sikap defensif yang tidak produktif. Dalam keadaan begini, minta maaf bisa jadi merupakan opsi terakhir yang bisa menyelamatkan negosiasi.

Keempat, dalam proses negosiasi yang berujung pada tawar-menawar harga, hindari untuk langsung berbicara tentang “berapa harganya” tanpa ada proses pembukaan (lagi-lagi untuk menjinakkan Sistem 1). Entah mengapa, jika langsung berbicara rupiah atau dolar, amygdala cenderung akan mengambil-alih kendali pikiran – akibatnya, lagi-lagi “fight or flight”. Cara paling bijak adalah dengan terlebih dahulu, mengapresiasi atau memuji kelebihan atau nilai dari produk atau jasa yang ditawarkan atau sekedar sikap dari lawan negosiasi. Baru kemudian dilanjutkan dengan mengangkat nilai atau kelebihan apa yang kita tawarkan. Dengan cara itu, Sistem 1 lawan bicara tidak akan reaktif.

Kelima, pada saat memasuki angka atau harga, siapapun yang mulai duluan akan cenderung diuntungkan. Ini yang dinamakan “anchoring effect” oleh Daniel Kahneman. “Jika Anda ditanya apakah Mahatma Gandhi berusia lebih dari 114 tahun ketika dia meninggal, Anda akan cenderung membuat perkiraan yang mendekat ke angka yang tinggi dibandingkan jika pertanyaannya adalah apakah Gandhi meninggal dalam usia di atas 35 tahun.” Begitu juga jika kita lebih dahulu memberikan tawaran harga – terutama jika harga pasarnya belum terbentuk – maka tawaran itu dengan sendirinya menghasilkan “anchoring effect” bagi lawan negosiasi di depan kita.

Keenam, dalam situasi tertekan – misalnya ketika lawan bicara memberikan “anchoring effect” yang menekan kita – maka jurus “pertanyaan terbuka” sekarang bisa digunakan. Dengan begitu, kita memperoleh waktu untuk melepaskan diri dari tekanan dan menyibukkan lawan bicara untuk menyelesaikan persoalan yang kita angkat. Teknik lain yang bisa digunakan dalam keadaan tertekan – tapi jika tidak digunakan dengan hati-hati bisa memancing emosi kita sendiri – adalah dengan mengatakan, “pada dasarnya yang saya kehendaki adalah fairness…” Kata fair, menurut Voss, bisa mengingatkan Sistem 1 lawan bicara agar bersikap adil (dan biasanya Sistem 1 tidak suka jika “dituduh” berlaku tidak adil).

Sebaliknya, jika lawan bicara yang menuduh kita “tidak fair“, cara menghadapinya adalah dengan meminta maaf dan meminta klarifikasi di bagian mana hal yang tidak fair itu terjadi. Cara ini menugaskan Sistem 2-nya untuk kembali bekerja.

Ketujuh, nikmati proses negosiasi, meskipun berjalan lambat. Cepat-cepat menyelesaikan pembicaraan akan berisiko membawa hasil yang tidak optimal. Lagi pula, cepat-cepat adalah karakter yang dimiliki oleh Sistem 1 yang tidak terlalu rasional. Terkait dengan hal ini, upayakan untuk tidak terlalu mendominasi pembicaraan dan tidak “memaksa” lawan bicara untuk segera mengambil keputusan. Sikap yang demikian berisiko membuat lawan bicara berdiam diri tapi sebenarnya tidak puas. Jika ini yang terjadi, kita malah akan kesulitan, terutama jika ia memilih menghindar – dengan berbagai alasan – untuk meneruskan pembicaraan.

Kedelapan, pada saat memasuki negosiasi angka terakhir, selalu baik untuk mengajukan angka ganjil. Misalnya, Rp1,197,000 ketimbang Rp1.100.000 atau Rp1.000.000. Efek yang ditimbulkan dari angka ganjil yang demikian adalah kesan bahwa kita mempertimbangkan dengan matang angka yang kita minta atau tawarkan. Hal ini biasanya akan mengundang apresiasi dari lawan bicara.

Agar terbiasa melakukan negosiasi, terutama jika akan memasuki proses negosiasi yang sangat penting – misalnya harus bernegosiasi dengan bangsa jin atau dinousaurus yang bisa berdampak pada nasib dan masa depan seluruh umat manusia di muka bumi – Voss menganjurkan kita berlatih menggunakan naskah. Menulis prinsip-prinsip dasar serta langkah-langkah yang mungkin kita gunakan saat “bertanding”.

Contoh outline atau kerangka naskah yang sederhana, misalnya seperti berikut ini:

  • BAGIAN I: TUJUAN. Pikirkan skenario terbaik/terburuk, tetapi hanya tuliskan tujuan khusus yang menunjukkan skenario terbaik.
  • BAGIAN II: RINGKASAN. Ringkas dan tulis hanya dalam beberapa kalimat fakta-fakta yang Anda ketahui yang akan memudahkan negosiasi.
  • BAGIAN III: LABELLING/ACCUSATION AUDIT. Siapkan tiga sampai lima labelling untuk melakukan “accusation audit” (sebagaimana sudah dijelaskan di atas).
  • BAGIAN IV: PERTANYAAN TERBUKA. Persiapkan tiga hingga lima pertanyaan terbuka untuk menghindari tekanan dan pada saat yang sama mengapresiasi nilai masing-masing pihak agar negosiasi tak terjebak menjadi emosional dan merugikan kita.
  • BAGIAN V: PENAWARAN NON-CASH. Siapkan daftar barang non-cash yang dimiliki oleh lawan negosiasi yang mungkin bisa dijadikan bagian dari negosiasi jika nilai yang sudah tak mungkin bergerak lebih jauh lagi.

Yang tak boleh terlewatkan, tetaplah penting untuk memiliki bargaining position atau posisi tawar – yang bisa berupa kemampuan atau apapun yang kita anggap sangat berharga dari produk atau jasa yang kita miliki. Ini modal yang seharusnya kita punyai, bahkan sebelum bisa bernegosiasi. Modal ini yang secara halus dapat “memaksa” lawan negosiasi untuk bersedia berunding dengan kita. Voss menyebutnya Positive Leverage.

Dengan memiliki hal ini, kita dengan sendirinya punya kemampuan – semacam senjata nuklir dalam Perang Dingin – untuk melakukan “ancaman” atau deterrent war. Tapi, sebisa mungkin jangan menggunakan hal ini agar tidak menggiring lawan negosiasi ke dalam situasi “fight or flight”. Masih ingat pendekatan “mengancam pergi” yang saya gunakan dalam cerita di atas? Ya, harus diakui itu sebuah kebodohan dan pemborosan energi. Voss menyebut ini Negative Leverage.

Terakhir, dengan sedikit upaya, melakukan riset atau investigasi, carilah “Black Swan” atau hal-hal yang sepertinya remeh-temeh, tapi merupakan faktor yang bisa mempengaruhi sikap lawan negosiasi kita untuk berubah atau menguntungkan kita. Hal itu bisa berupa agama, ideologi atau mungkin hobi yang sangat melekat dalam Sistem 1-nya…

Voss menceritakan bagaimana ia bisa membujuk seorang petani mantan tentara AS yang mengancam akan meledakkan mobil dan dirinya di tengah kota karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang dia anggap merugikan petani. Caranya, sungguh tak terduga. Setelah mengetahui bahwa si pengancam adalah seorang Kristen yang taat, Voss hanya mengingatkan bahwa sehari lagi peringatan Kebangkitan Yesus dari kubur harus dilakukan dan dia sebaiknya tidak melewatkan kebaktian di gereja.

Benar saja. Ia langsung menyerahkan diri. Ini yang disebut Voss sebagai Normative Leverage.

Terakhir dari yang terakhir: saya sebetulnya ingin menceritakan bagaimana hasil dari praktek atau eksperimen yang saya lakukan setelah mempelajari ilmu dari Chris Voss. Tapi lebih baik nggak usah. Nanti kesannya riya’. Jadi, semoga kita semua bijaksana menggunakannya. Supaya Indonesia cepat jadi Negara Maju – entah ada hubungannya atau tidak. Aamiin.

Tulisan sebelumnya tentang serial ini:

Seni Mengambil Keputusan: Berguru Pada Daniel Kahneman, Satu-Satunya Psikolog Peraih Nobel Ekonomi