Bagaimana “Mengakali” Otak untuk Memimpin secara Efektif?

Pic by Peggy und Marco Lachmann-Anke from Pixabay

Pemahaman tentang otak manusia, sebagaimana telah sempat dibahas dalam tulisan sebelumnya di blog ini (terkait Prefrontal Cortex), dapat mengubah cara kita bersikap dan mengelola kehidupan sehari-hari yang penuh dinamika. Semakin bertambah pengetahuan kita tentang otak – tentang kelebihan maupun keterbatasannya – maka kita pun dapat merancang “strategi” dalam membangun hubungan sosial, termasuk ketika memimpin organisasi.

Kali ini, kita akan membahas salah satu rahasia penting tentang otak dan bagaimana menggunakannya secara cerdik.

Namun sebelum lebih jauh berbicara strategi (yang dalam tulisan ini menggunakan definisi yang sangat longgar, dan dapat dipertukarkan dengan taktik), kita perlu memahami konsep mendasar tentang “aspirasi otak”.

Ya, otak manusia memiliki aspirasi, atau “tujuan intrinsik” bila menggunakan istilah David Rock dalam buku “Your Brain At Work: Strategies for Overcoming Distraction, Regaining Focus, and Working Smarter All Day Long” “. Mungkin otak dinasaurus juga demikian.

Hasil penelusuran David terhadap ratusan penelitian dan wawancara dengan para pakar neuroscience, membawanya pada kesimpulan bahwa otak manusia secara umum memiliki kecenderungan untuk memenuhi kelima hal ini:

Status, Certainty (Kepastian), Autonomy (Otonomi), Relatedness (Keterhubungan secara sosial) dan Fairness (Adil, Jujur), yang dapat disingkat menjadi SCARF.

Apabila salah satu atau lebih dari kelima hal itu terpenuhi, maka otak akan memberi reward berupa perasaan yang menyenangkan di dalam tubuh (melalui mekanisme neurotransmitters seperti dopamine, serotonin dll). Sebaliknya, jika salah satu atau lebih dari SCARF tidak terpenuhi atau terancam, maka otak akan memunculkan perasaan tidak nyaman atau ketakutan (melalui pelepasan hormon kortisol yang menjadi penyebab stress).

SCARF yang terpenuhi merupakan primary reward bagi otak. Sementara jika tidak terpenuhi merupakan primary fear. Singkat kata, SCARF yang terpenuhi membawa kebahagiaan. SCARF yang terancam membawa kesengsaraan.

Bila otak mendeteksi SCARF-nya akan terpenuhi, maka ia akan bergerak mendekat (towards) ke sumber pemenuhannya. Sebaliknya bila SCARF terancam ia akan bergerak menjauh (away).

Secara individu maupun secara sosial, kehidupan manusia adalah drama untuk meraih SCARF dalam berbagai konteks yang berbeda. Waktu dan tempat bisa berlainan tetapi tujuan intrinsiknya sama.

Status selalu diinginkan setiap orang – status sebagai pemenang, sebagai orang pintar, sebagai yang benar, sebagai pejabat, sebagai pemimpin, sebagai kelompok elit dan sebagainya. Status tidak hanya diperebutkan pada kelas sosial yang tinggi, dalam perdebatan di warung kopi pun status “paling berwawasan” atau “paling kuat” bisa membawa konflik yang fatal.

Mencap lawan bicara sebagai “pembohong” merupakan contoh serangan langsung terhadap statusnya. Cara yang tidak langsung – misalnya dengan mengatakan “kalau saya sih berani memarahi pacar saya” – juga dapat dipersepsikan sebagai serangan terhadap status seseorang apabila orang itu merasa dirinya dianggap terlalu mudah menuruti kemauan pacarnya.

Certainty atau kepastian juga merupakan aspirasi terpenting dari otak manusia. Kata kematian menciptakan ketakutan karena ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi setelah kematian. Peserta rapat akan merasa lebih nyaman apabila pimpinan rapat mengatakan bahwa “rapat kita akan berlangsung maksimal setengah jam”, walaupun topik yang dibicarakan belum begitu jelas. Orang tua akan khawatir jika anak perempuannya memiliki pacar yang tidak bekerja, selain karena adanya persoalan status, juga karena ancaman ketidakpastian dari sisi ekonomi.

Autonomy atau otonomi dikehendaki setiap orang atau kelompok orang karena otak memang memiliki aspirasi itu. Kita bisa saja mempunyai solusi yang tepat terhadap persoalan rekan kerja kita di kantor atau anak di rumah, tetapi jika kita menyampaikannya dengan cara bernada menginstruksikan, solusi itu bisa jadi takkan pernah diikuti karena adanya ancaman terhadap otonomi. Sebaliknya kita bisa mempengaruhi sekelompok orang jika menyampaikan gagasan dengan cara terlebih dahulu bertanya, “bagaimana pendapat kalian kalau…?” atau “bolehkah kita menyelesaikan konsep proposal kita malam ini?”

Relatedness atau keterhubungan sosial merupakan aspirasi otak manusia, sehingga manusia pun disebut sebagai mahluk sosial. “Kawan” atau “lawan”? Itu pertanyaan bawah sadar kita ketika bertemu orang-orang baru atau dalam situasi yang sama sekali baru. Dalam sebuah pertemuan dengan orang-orang yang sama sekali belum pernah kita temui, kita bisa menjadi begitu bersemangat setelah mengetahui ternyata salah satu pesertanya berasal dari SMA yang sama dengan kita, meskipun jarak angkatan yang cukup jauh. Kita mengkategorikannya sebagai kawan.

Sebaliknya, kita akan secara instingtif memagari diri dan merasa terasing bila tak ada yang memiliki kesamaan atau keterkaitan dengan kita. Jangan-jangan kita berhadapan dengan lawan. Perasaan kesamaan penderitaan bisa memunculkan solidaritas dan persatuan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia, meskipun berasal dari suku dan agama yang berbeda-beda. Tapi perasaan keterhubungan berbasis SARA juga dapat terjadi karena aspirasi keterhubungan sosial ini.

Fairness adalah aspirasi otak manusia yang sangat universal dan kuat. Sebuah kelompok bisa menanggung penderitaan secara bersama, asalkan ada persepsi “sama rata, sama rasa”. Namun, situasi bisa berubah jika kelompok yang sama ini kemudian membentuk sebuah usaha bersama dan mulai membedakan jabatan (status) dan penghasilan.

Persepsi tentang keadilan menjadi mudah terganggu, sehingga menciptakan ketidakpuasan dan konflik. Kita bisa mendapatkan kenaikan gaji yang lumayan besar, namun jika mengetahui bahwa rekan kita mendapatkan kenaikan yang lebih besar lagi perasaan ketidakadilan akan dengan mudah menguasai. Politik identitas keagamaan pun dapat mengeras jika ada persepsi ketidakadilan yang dimunculkan, secara sengaja atau tidak sengaja. Sehingga mereka yang mengidentifikasi diri dengan kelompok itu (relatedness) kemudian mengadakan perlawanan untuk mewujudkan keadilan.

Dari sini kita bisa melihat bahwa SCARF sungguh powerful untuk mendorong perubahan seseorang dan kelompok. Bila mempertimbangkan SCARF secara sadar dalam perencanaan strategi, maka kita bisa mencapai hasil yang seharusnya lebih optimal. Kita bisa menggunakan sebagian atau seluruh aspek dalam SCARF, baik untuk membangun teamwork, memperbaiki kemampuan komunikasi secara personal maupun kelompok, menyusun proposal periklanan, mempersuasi calon mertua, maupun membangun visi bersama bagi Indonesia Maju.

Para pendiri Republik Indonesia, secara sadar ataupun tidak, sesungguhnya telah mempraktekkan SCARF ketika menyusun Pancasila.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, jika diperhatikan esensinya telah mengandung aspek Status (sebagai bagian dari masyarakat yang ber-Tuhan) dan Certainty (karena mereka yang percaya Tuhan pada dasarnya percaya pada adanya kekuatan absolut yang melampaui manusia).

Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, telah mengandung esensi Relatedness (karena adanya nilai-nilai kemanusiaan universal yang mempersatukan manusia) dan sekaligus Fairness (karena adanya hak-hak yang sama tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan).

Sila Persatuan Indonesia, pun telah mengandung esensi Status (sebagai bagian dari identitas  Keindonesiaan) dan Relatedness (karena telah dipersatukan atau memilih bersatu dalam negara bangsa Indonesia).

Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat-Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sudah mengandung esensi Autonomy bagi rakyat (dengan adanya pengakuan terhadap musyawarah dan perwakilan).

Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, cukup jelas mengandung esensi Fairness (karena mengedepankan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia).

Pancasila dapat menjadi pemersatu bangsa karena sifatnya yang universal dan karena memang sejalan dengan aspirasi otak manusia.

Bukan hanya itu, dalam konteks pengorganisasian pendekatan SCARF juga bisa diimplementasikan untuk mencapai tujuan secara lebih efektif.

Pemimpin dalam sebuah organisasi formal ataupun informal dapat menerapkan esensi Status tidak hanya dengan memberikan peran, tanggungjawab atau jabatan pada para anggota atau pekerja dalam organisasinya. Ia juga harus senantiasa mengapresiasi pekerjaan, karya atau prestasi orang-orang di sekitarnya dengan mengatakan terimakasih dan bila perlu memuji mereka – ini sudah merupakan penghargaan yang positif pada orang yang menerimanya.

Pemimpin organisasi dapat menerapkan esensi Certainty dengan memberikan kejelasan tentang hak dan kewajiban dari seluruh anggota timnya. Dari segi pekerjaan, ia perlu membuat perencanaan dengan target yang jelas (meskipun dapat direvisi sesuai dengan dinamika yang terjadi) untuk memunculkan keyakinan bahwa organisasi berada di jalur yang benar.

Untuk menjalankan esensi Autonomy, para pemimpin harus berperan sebagai fasilitator bagi munculnya gagasan-gagasan dari anggota timnya. Ia juga perlu mendelegasikan kewenangan pada mereka yang dianggap mampu mengemban tanggung jawab agar rasa memiliki terhadap organisasi semakin tinggi.

Untuk mewujudkan esensi Relatedness, pemimpin dalam organisasi harus membangun hubungan antar pribadi dengan anggota timnya. Pertemuan-pertemuan informal menjadi bagian penting untuk mempererat soliditas tim. Begitu juga kegiatan-kegiatan di luar kantor bersama keluarga yang bermanfaat untuk menyegarkan energi kolektif tim.

Sedangkan untuk merealisasikan esensi Fairness, pendekatan meritokrasi merupakan sebuah keniscayaan – yaitu dengan memberikan kepercayaan, penghargaan atau insentif bagi mereka yang berprestasi baik dan, bila perlu, memberikan sanksi bagi yang melakukan kesalahan.

Nah, siapa yang mau Anda akali? Eh…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s