
Berminggu-minggu di rumah membuat saya sering terkenang dengan masa lalu. Masa ketika menjadi aktivis mahasiswa, hampir 30 tahun lalu.
Salah satu fragmen penting ketika itu adalah saat kami, 21 mahasiswa yang tergabung dalam Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) ditangkap dan dipenjarakan antara tahun 1993 hingga 1994 karena aksi “Seret Presiden ke Sidang Istimewa MPR-RI” di gedung DPR/MPR tanggal 14 Desember 1993.
Kami dianggap melanggar pasal 134 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentang penghinaan terhadap Kepala Negara, yang sejak era reformasi sudah tidak ada lagi dalam KUHP.
Bukan peristiwa politik saat itu yang hendak saya ceritakan, tapi bagaimana kami menghadapi “lockdown” dalam arti yang sesungguhnya. Terkunci dan tidak bisa keluar sel dan lingkungan penjara.
Sejauh ingatan saya, masa-masa itu justru banyak menghadirkan bayangan peristiwa yang “menyenangkan”. Ya, seriously.
Mungkin karena kami memang sadar dan sengaja memilih untuk menjadi aktivis mahasiswa. Saya membaca buku “Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran” sejak kelas 2 di SMADA, Banjarmasin, dan sejak saat itu sudah membayangkan betapa kerennya menjadi aktivis mahasiswa.
Bohong kalau kami tidak mengalami kesulitan selama di dalam penjara. Misalnya, pada saat interograsi berlangsung intensif, selama 30 hari penuh, kami tidak boleh dikunjungi dan hanya makan “nasi cadong” di ruang tahanan polisi.
Sekedar ilustrasi, nasi cadong adalah nasi kualitas terendah yang disajikan dengan sayuran dan tempe rebus, yang kadang-kadang bercampur ulat yang sudah matang, dengan pilihan 2 macam rasa: hambar atau terlalu asin. Jadi, pilihannya buat kami juga cuma 2: makan atau tidak ada makanan sama sekali.
Mudah ditebak, kami memilih tetap makan, sambil bernanyi-nyanyi, meledek rekan-rekan lain di sel sebelah yang nasibnya sebetulnya sama saja.
Situasi menjadi lebih baik, ketika kemudian, setelah 60 hari berada di ruang tahanan polisi, kami dipindahkan ke Rumah Tahanan (Rutan) Salemba yang lebih luas. Kami tidak lagi dikurung dalam ruang sempit selama 24 jam, tapi sekarang berada dalam kompleks dengan lapangan yang luas, memiliki taman dan gazebo tempat bercengkerama di setiap blok.
Para keluarga yang menjenguk, awalnya datang dengan wajah yang sedih. Padahal, di Rutan, hidup kami lebih “mewah” dan relatif lebih senang dibandingkan sewaktu masih disekap di ruang tahanan polisi. Sehingga, lama-kelamaan mereka juga ikut gembira.
Di tempat baru ini, tiap hari kami makan nasi padang yang kami beli dari warung di dekat gerbang dalam Rutan. Good bye nasi cadong.
Salah satu rekan kami, Hendrik “Iblis” Sirait (sekarang menjadi Komisaris di BUMN PGN-LNG) membuka warung kopi dan mie instan di ruang selnya, dan karena punya pasar yang tetap, bisa punya tabungan yang lumayan banyak ketika dibebaskan di bulan Oktober 1994.
Hendrik sempat membuka warung kopi selepas dari penjara, tapi kurang lama bertahan. Mungkin dia lupa, bahwa selama di Rutan Salemba dia mendapatkan lisensi khusus dan sedang mempraktekkan memonopoli pasar.
Kami bersyukur karena sejak dari ruang tahanan polisi, para penjahat kambuhan sudah memberikan kami “nasihat kebijaksanaan”, tentang bagaimana bisa survive di penjara. “Pokoknya, jangan banyak mikir yang nggak-nggak bang. Entar bakalan lumpuh kayak dia…” kata salah dari mereka, sambil menunjuk seorang tahanan baru yang hanya duduk diam di pojok sel.
Iya memang. Terbukti, orang yang terlalu banyak diam, berpikir sendirian, dan apalagi tidak mau bergerak di dalam penjara, setelah 2 atau 3 bulan kemudian menjadi lumpuh. Kakinya mengecil dan terlihat tidak proporsional. Betap kejamnya pikiran.
Tapi cukup sampai situ saja nasihatnya yang kami dengarkan. Nasihat-nasihat tentang keahliannya yang lain terlalu bersandar pada “filsafat pragmatisme-situasional” (saya juga nggak yakin ada aliran seperti ini) dan tak bermanfaat juga untuk pembaca.
Dan benar saja, kami benar-benar mengoptimalkan ruang dan waktu yang tersedia saat itu. Kami para mahasiswa yang menempati Blok K, membentuk klub sepakbola sendiri dan dalam kompetisi antar blok menjadi yang terbaik saat itu. Saya bersama beberapa tahanan dan narapidana asal Tanjung Priok membentuk vokal group dan berlatih setiap sore, untuk mengisi acara rutin di gereja dan kemudian di hari Kemerdekaan RI – serasa kami adalah kelompok vokal terbaik di dunia.
Malam hari, ketika masing-masing kami harus masuk sel, saya mengisi waktu dengan membaca buku-buku kiriman Romo Franz-Magnis Suseno SJ dan beberapa teman di luar, serta pesanan saya sendiri. Di antaranya, yang sangat berkesan adalah “Long Walk to Freedom”-nya Nelson Mandela serta tiga jilid buku “Sam Kok” tentang ahli strategi perang legendaris Zhuge Liang, setebal kaleng biskuit Khong Guan yang mungkin tidak akan pernah saya selesaikan jika tidak berada di dalam penjara.
Membaca buku-buku itu membuat pikiran dan imajinasi berkelana, keluar dari batas-batas ruangan isolasi dengan dimensi 2 x 1,5 meter yang setiap malam saya tempati. Dari biografinya, saya mengetahui bahwa pejuang anti-apartheid Nelson Mandela yang mendekam dalam penjara selama 27 tahun, mengisi hari-harinya dengan perenungan, yang mengubah karakter dan pendekatannya dalam memperjuangkan keyakinan politiknya. Sehingga kelak ia bisa menjadi Presiden yang bijaksana.
Mengingat-ingat pengalaman di masa itu, membuat saya bersyukur karena telah, secara “tak sengaja”, mendapatkan “nasihat kebijaksanaan” dari para narapidana kambuhan, mendapatkan pelajaran hidup dari tokoh sekelas Mandela dan berpikir strategis serta out of the box dalam situasi yang tidak menguntungkan seperti yang dipraktekkan Zhuge Liang.
Hal itu membuat saya makin yakin bahwa, dalam setiap situasi, termasuk pada saat krisis sekalipun, kita bisa mengubahnya menjadi peluang. Kalau mau.
Menggunakan definisi dari Webster, krisis adalah “titik krusial atau situasi yang menentukan; titik balik”. Nah, jika kita fokus pada frase “titik balik” ini, kita tentunya bisa bertanya pada diri sendiri, “titik balik ke arah mana yang hendak kita tuju?”
“Ketika dituliskan dalam karakter China, kata ‘krisis’ terdiri dari dua bagian – yang satu mewakili bahaya, dan yang satu lagi mewakili kesempatan,” demikian ungkap Presiden AS John F. Kennedy pada tahun 1959 di Indianapolis, dalam salah satu pidatonya yang paling sering dikutip para motivator MLM.
Meskipun menurut sinologist Victor H. Mair dari University of Pennsylvania, ungkapan Presiden Kennedy itu merupakan persepsi yang keliru yang terlanjur dipercayai oleh publik, namun secara filosofis, saya menangkap esensi kebajikan yang hendak disampaikannya.
Sebagaimana definisi dari Kamus Webster tadi, krisis senantiasa memberikan kita pilihan. Bukan sesuatu yang sudah given atau tidak bisa diapa-apakan lagi. Dan menurut tokoh Stoikisme, Epictetus, manusia selalu bisa membuat pilihan, setiap saat dalam kehidupannya – tidak hanya dalam situasi krisis.
“Di manakah letaknya kebaikan? ‘Dalam pilihan’. Di manakah letaknya kejahatan? ‘Dalam pilihan’. Dan di manakah letaknya yang bukan kebaikan dan bukan kejahatan? ‘Pada hal-hal di luar ruang kendali pilihan’.” (Discourses 2.16, 1)
Kemampuan untuk memilih ini sebetulnya adalah bukti “kebebasan hakiki manusia”, sekaligus kunci untuk mengubah krisis menjadi peluang.
Apa yang dialami Nelson Mandela selama puluhan di penjara adalah contoh bahwa dalam situasi yang dipersepsikan sulit oleh kebanyakan orang, ia masih bisa “memilih” untuk (1) mengisi hari-harinya dengan penuh ratapan dan penyesalan atau (2) dengan perenungan atau pembelajaran. Sejarah menunjukkan bahwa ia memilih yang kedua.
Ketika kita tidak mendapatkan promosi sebagaimana teman kita yang lebih muda usianya di tempat kerja, kita punya “pilihan”, apakah (1) akan terus-menerus mengotori jiwa kita dengan iri hati dan amarah, atau (2) mengoptimalkan ruang yang ada di depan kita untuk belajar hal-hal baru yang dapat meningkatkan posisi tawar kita di masa depan.
Bahkan jika harus menghadapi kematian – tak ada seorang pun yang akan luput dari peristiwa ini – kita juga masih bisa memilih apakah (1) akan menyusahkan atau (2) menginspirasi orang lain. Saya berdoa untuk kelak menghadapinya dengan tenang, berhikmat dengan segala kebaikan yang masih mungkin terjadi – mumpung masih punya pilihan untuk berdoa.
Kita tentu tidak bisa memilih “bebas secara fisik” dari penjara, kalau sudah diputuskan untuk menjalani hukuman penjara. Tapi, seperti kata Epictetus, dalam ruang kendali pilihan kita sendiri, kita punya kebebasan untuk memilih menjadi kreatif dan inspiratif.
Bukankah justru itulah seni hidup di dunia ini? Bukankah hidup di dunia ini memang sudah dengan sendirinya dibatasi oleh ruang dan waktu, sehingga sejak dari lahir pun, hal-hal eksternal memang bukan berada dalam kendali kita? Yang kita bisa kendalikan, adalah pilihan yang berada dalam sphere of choice kita. Di ruang kendali pilihan kita sendiri.
Makna kebebasan hidup dan kebahagiaan dunia ini, karenanya adalah “memilih untuk bebas” dan “memilih untuk bahagia”. Dalam ruang kendali pilihan kita. Itu justru kebebasan dan kebahagiaan yang paling hakiki, karena kita tidak sejengkalpun memberikan ruang kebebasan kita pada orang lain atau hal-hal di luar diri kita sendiri.
Bukankah itu luar biasa?
Memilih dalam situasi demikian membutuhkan dua hal: “Kesadaran” untuk memilih dan “keberanian” untuk memilih. Pada saat itu kita harus benar-benar menjadi diri sendiri. Sebuah keputusan eksistensial yang sangat penting.
Kalau kita bisa menjalani hal ini secara konsekuen dari waktu ke waktu, siapa tahu penguasa alam semesta akan memberikan kita berkah. Saya percaya bahwa kehidupan adalah tempat belajar maha luas yang penuh berbagai ujian. Mereka yang lulus ujian akan mendapatkan ganjaran yang setimpal – tapi sekali lagi, hal tersebut tentu berada di luar ruang kendali pilihan kita. That is God’s sphere of choice, not us!
Selain Mandela, kita memiliki banyak contoh tokoh besar atau kontemporer yang mampu mengubah krisis yang mereka hadapi menjadi peluang. Ada Steve Jobs yang mungkin sempat merasa jadi korban setelah dipecat dari Apple tahun 1985, meskipun ia yang mendirikan perusahaan itu bersama Steve Wozniak. Tapi dia kemudian memilih menjadikannya peluang.
Ia memulai sebuah perusahaan animasi kecil dan mengubahnya menjadi raksasa yang sekarang bernama Pixar. Pada saat The Walt Disney Company membeli Pixar di tahun 2006, Steve Jobs segera menjadi salah satu pemegang saham terbesarnya. Kita tahu bahwa Steve Jobs kemudian kembali ke Apple tahun 1996 dan memulai kebangkitan kembali perusahaan yang menghadirkan sejumlah produk laris seperti iPod, iPhone dan iPad itu.
Dari negeri sendiri kita memiliki contoh terbaik dalam diri seorang Soekarno. Sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, ia terlebih dahulu dipenjarakan dan diasingkan jauh dari pergerakan politik di Pulau Jawa. Tapi Soekarno justru mampu melahirkan pemikiran-pemikiran terbaiknya ketika dibuang ke Pulau Ende, di Flores, Nusa Tenggara Timur pada tahun 1934-1939. Ia melukis, menulis naskah drama pementasan, dan merenungkan dasar negara Indonesia Merdeka, Pancasila.
Kita juga mengenal Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar peraih 12 penghargaan internasional (termasuk Ramon Magsaysay Award di tahun 1995) yang melahirkan karya monumental “Bumi Manusia” ketika ia berada dalam pembuangan di Pulau Buru (1969-1979). Meskipun dilarang menulis selama masa penahanannya, Pramoedya justru melahirkan “Bumi Manusia” dan tiga novel lain (“Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”) yang kemudian dikenal sebagai “Kuartet Karya Pulau Buru”, yang menceritakan situasi awal dari perkembangan nasionalisme Indonesia.
Memang betul, bahwa kemampuan mengubah krisis menjadi peluang, bukan hal mudah untuk dilakukan. Perlu latihan dan menjadikannya kebiasaan, sehingga kelak itu bisa menjadi karakter yang tidak terpisahkan dari jiwa kita. Jer basuki mawa beya – keberhasilan dicapai melalui pengorbanan.
Dalam situasi “normal”, ketika kita hidup dalam jaman yang mengukur keberhasilan sebagai pemenuhan hal-hal material yang eksternal, latihan untuk membangun karakter seperti Mandela, Soekarno atau Pramoedya barangkali lebih sulit dilakukan. Namun sekarang, ketika Pandemi Covid-19 sedang melanda dunia, bukankah inilah saatnya?
Berikut ini contoh beberapa hal yang kita bisa pelajari secara daring dari rumah untuk mengubah krisis jadi peluang – di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang baru ditetapkan di Jakarta 10 April 2020 ini:
- Filsafat – supaya jadi lebih bijaksana
- Psikologi atau psikoterapi- supaya bisa memahami emosi atau dorongan alam bawah sadar kita
- Manajemen Krisis – supaya bisa mengelola organisasi dalam situasi krisis
- Pemasaran Digital – supaya bisa berbisnis dari rumah
- Olahraga, khususnya Calisthenic – supaya terjadi keseimbangan antara gerak mulut (ngemil) dan gerak anggota tubuh yang lain
- Penulisan – supaya bisa jadi seperti Pramoedya Ananta Toer, atau paling tidak bisa jadi terapi untuk menuangkan berbagai sampah emosi dan pikiran
- Sejarah Dinosaurus – supaya saya ada temannya
- Jadi hacker – supaya mampu membobol bank juga bisa… Asalkan sadar konsekuensinya, bahwa kamu percaya “kebahagiaanmu diperoleh dengan mengambil hak orang lain” – sehingga suatu saat ketika kamu berada dalam situasi yang tidak lagi memungkinkan melakukan hal itu (dipenjara, pensiun dll) hidupmu akan menderita.
Sudah mulai keluar topik. Jadi cukup ya.