
Kehancuran yang satu adalah kebangkitan yang lain. Ini bukan dongeng atau sejarah politik berbagai kerajaan di berbagai belahan dunia. Ini adalah “pernyataan saintifik” yang dapat ditarik dari penemuan-penemuan tanpa henti para ilmuwan, khususnya paleontolog, hingga hari ini yang mempelajari kehidupan purba di bumi berdasarkan fosil yang ditemukan di bebatuan di banyak tempat.
Kira-kira 250 juta tahun yang lalu, lebih dari 90 persen spesies laut dan 80 persen hewan darat musnah. Penyebabnya, menurut Tim Survei Geologi Kanada yang dimuat dalam Nature Geoscience pada tahun 2011 dan dikutip oleh National Geographic, adalah kebakaran batu bara dahsyat yang terpicu oleh erupsi gunung berapi di wilayah yang belakangan kita kenal sebagai Siberia di Rusia. Abu beracun memenuhi atmosfer yang pada saat turun ke bumi meracuni laut dan mengubah kimiawi planet bumi.
Ini bukan peristiwa kebakaran biasa. Sebuah peristiwa yang sulit terbayangkan oleh manusia modern. Prosesnya berlangsung hingga ratusan ribu bahkan jutaan tahun yang menyebabkan berakhirnya sebuah periode geologi yang dinamakan Permian – yang berlangsung selama kurun waktu 47 juta tahun. Dibutuhkan jutaan tahun lagi hingga ekosistem di bumi bisa kembali pulih akibat kebakaran tersebut.
Berakhirnya periode Permian (yang berada di ujung Era Paleozonic), menandai dimulainya Era Mesozoic, yang terdiri dari 3 periode – Triassic, Jurassic dan Cretaceous – yang tak lain adalah masa kebangkitan, kejayaan dan kehancuran dinosaurus. Era setelahnya, Cenozoic, atau “hidup baru”, merupakan masa kejayaan kelas mamalia, yang termasuk di dalamnya spesies kita, homo sapiens, penguasa bumi hingga hari ini.
Dinosaurus tidak langsung bisa merebut tahta kekuasaan sebagai pemuncak rantai makanan di bumi saat memasuki Era Mesozoic. Di periode Triassic, mereka harus berbagi kekuasaan dengan saudara-saudaranya dari clade archosaurus atau group besar reptil – termasuk di dalamnya buaya, pterosaurus (reptil terbang), burung dan dinosaurus sendiri. Populasinya kala itu baru sekitar 20 persen dibandingkan berbagai clade yang ada.

Dinosaurus pun tidak langsung bertumbuh besar seperti yang bisa kita saksikan dalam film Jurassic Park. Hingga sekitar 246 juta tahun lalu, ketika masih berada dalam clade dinosauromorpha, ukurannya masih sebesar serigala namun sudah dapat berlari dengan kedua kaki belakangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk menangkap mangsanya.
Jejak-jejak mereka tersebar di berbagai benua, di wilayah-wilayah yang sekarang menjadi negara Polandia, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Argentina dan Brazil serta di bagian timur Afrika. Mereka tersebar luas karena hingga periode Permian di Era Paleozonic, belum ada pembagian benua seperti yang kita kenal sekarang. Yang ada hanya sebuah daratan maha luas yang dikenal dengan Pangea.
Namun, kelak ketika dinousaurus berada di puncak kejayaannya, Pangea telah terbelah menjadi beberapa benua yang diakibatkan proses pergeseran tektonik yang terjadi terus-menerus hingga berjuta-juta tahun lamanya.
Hingga memasuki pertengahan periode Triassic, dinosaurus telah berkembang menjadi kelompok (clade) paling dominan di planet bumi. Mereka menempati posisi ini setidaknya hingga 135 atau 150 juta tahun lamanya, yang meliputi tak hanya periode Triassic tapi juga Jurassic dan Cretaceous atau hampir sepanjang era Mesozoic.
Bandingkan situasi ini dengan era setelahnya, Cenozoic, yang merapakan masa kejayaan kelas Mamalia yang “baru berlangsung” antara 66 hingga 68 juta tahun lamanya…
Dalam rentang sejarah itu, spesies kita, homo sapiens, mahluk modern yang bisa berpikir dan berkolaborasi, baru mulai naik tahta sekitar 300 ribu tahun yang lalu. Masih sangat-sangat jauh untuk bisa mengimbangi masa kekuasaan dinosaurus.
Berada di Puncak Kekuasaan
Alam selalu menjadi sahabat dan musuh para penguasa bumi. Itu juga yang terjadi dengan dinosaurus. Peran alam sangat krusial dalam masa kebangkitan dinosaurus. Di pertengahan periode Triassic, gunung-gunung berapi kembali meletus dan melenyapkan sebagian besar clade yang menjadi saingan dinosaurus.
Jika sebelumnya populasi dinosaurus hanya sebesar 20 persen, pasca letusan berbagai gunung berapi itu, beragam jenis dinosaurus bermunculan dan menjadikannya kelompok penghuni bumi yang paling dominan. Ketika bumi sedang kacau, mereka justru tampil sebagai pihak yang mampu maju dan mengambil keuntungan. Mereka tidak hanya beragam, tapi juga berlimpah dan bertumbuh menjadi lebih besar.

Pun tak semua dinosaurus adalah pemakan daging. Beberapa di antaranya berubah menjadi vegetarian. Umumnya mereka bergerak dengan cepat, bertumbuh pesat, dan sangat aktif dibandingkan dengan saudara-saudaranya para reptil dan kaum amfibi.
Steve Brusatte, paleontolog yang menulis buku best-seller, “The Rise and Fall of the Dinosaurs” berhipotesa bahwa karakter dinosaurus yang dapat berjalan sambil berdiri, merupakan faktor penting yang menyebabkan mereka – dan saudara-saudara archosaurusnya – relatif lebih cepat pulih dan bangkit setelah terjadi kehancuran hebat di akhir periode Permian.
“Tidak hanya bertahan, mereka juga berkembang maju. Dari asal-usulnya yang sederhana dari dunia yang traumatis di periode awal Triassic, mereka tumbuh beragam dalam banyak spesies yang mengejutkan. Awalnya, mereka terpecah menjadi dua garis keturunan utama, yang kemudian akan saling bergelut dalam perlombaan kekuatan hingga berakhirnya periode Triassic,” ungkap Brussate.
Hebatnya, kedua garis keturunan ini bertahan hingga hari ini: “Yang pertama, pseudosuchian, yang kemudian memunculkan buaya. Kelompok ini seringkali disebut sebagai ‘archosaurs garis buaya’. Yang kedua, avemetatarsalis, yang berkembang menjadi pterosaurus (reptil terbang yang sering disebut pterodactyl), dinosaurus, dan burung. Kelompok ini disebut ‘archosaurus garis burung’.”
Apa persisnya yang menyebabkan dinosaurus bisa bertahan dari bencana alam yang terjadi – sedangkan sebagian besar saingannya tidak – masih menjadi pertanyaan sampai sekarang. Para paleontolog hanya bisa berspekulasi.
“Apakah mereka tumbuh lebih cepat, bereproduksi lebih cepat, memiliki metabolisme yang lebih tinggi, atau bergerak lebih efisien? Apakah mereka memiliki cara yang lebih baik untuk bernapas, bersembunyi, atau mengisolasi tubuh mereka selama panas ekstrem dan kedinginan?” tanya Brusatte, retoris.
“Mungkin,” katanya. “Tetapi fakta bahwa begitu banyak dinosaurus dan pseudosuchian (yang tak seberuntung dinosaurus kala terjadi bencana) terlihat dan berperilaku sama menjadikan ide-ide seperti itu lemah.”
“Mungkin dinosaurus hanya beruntung,” katanya lagi. “Mungkin aturan-aturan normal evolusi hancur ketika bencana global yang datang begitu tiba-tiba dan dahsyat itu terjadi. Bisa jadi dinosaurus adalah seperti mereka yang berjalan jauh dari kecelakaan pesawat tanpa terluka, selamat karena keberuntungan, ketika begitu banyak yang lain mati.”
Lalu, mengapa mereka tumbuh menjadi sangat besar? Ini pertanyaan intuitif yang pastinya tak hanya diajukan oleh para paleontolog. Sauropod, salah satu varian dinosaurus yang mulai dikenal di periode awal Jurrasic, adalah yang paling menonjol. Mereka memiliki leher dan ekor yang panjang, empat kaki berbentuk pilar yang tebal, namun dengan kepala yang kecil.
Kelompok mereka, termasuk Brachiosaurus, Diplodocus, Apatosaurus, Brontosaurus dan Mamenchisaurus adalah hewan terbesar yang diketahui pernah hidup di bumi. Namun belakangan, dalam periode Cretaceous, terdapat versi “supersize” seperti Dreadnoughtus, Patagotitan, Argentinosaurus – yang merupakan anggota dari sub-kelompok yang disebut titanosaurs – dengan berat lebih dari 50 ton, lebih besar daripada pesawat Boeing 737.
Untuk menjadi besar, tentu saja dinosaurus membutuhkan ketersediaan makanan yang cukup banyak. Selain itu mereka perlu untuk bertumbuh cepat agar tak mudah dimangsa oleh predator, mudah terserang penyakit atau rentan dihajar oleh bencana alam yang diperkirakan terus-menerus terjadi di masa kehidupannya.
Selanjutnya dinousaurus harus bisa bernafas secara efisien agar bisa mengambil cukup oksigen untuk menyalakan reaksi metabolik pada tubuhnya yang besar. Mereka juga harus punya struktur tulang yang kokoh, kuat namun tak terlalu tebal agar bisa tetap bergerak dengan leluasa. Terakhir, mereka juga harus bisa mengelola panas tubuhnya yang berlebihan agar tak mudah mati di suhu rata-rata bumi yang cukup panas saat itu.
Alam dan keberuntungan tampaknya memang berpihak cukup lama pada dinosaurus sehingga, dengan posisi mereka yang dominan dan dengan ketersediaan makanan (termasuk sesama dinousaurus) yang cukup, mereka bisa memiliki berbagai fitur yang dapat membuatnya bertumbuh jadi raksasa – yaitu, leher yang panjang, pertumbuhan yang cepat, paru-paru yang efisien, sistem tulang yang baik dan memungkinkan terjadinya proses pendinginan tubuh.
Dengan ukuran yang besar dan varian yang beragam, maka jelas bahwa “penguasa tertinggi” saat itu pun pasti berasal dari golongan yang sama. Siapa lagi kalau bukan Tyrannosaurus rex (T-rex) atau “raja para dinosaurus”.

Sebelum ditahbiskan menjadi raja, sekitar 100 juta tahun sebelumnya, tyrannosaurus tak begitu mengesankan. Ukurannya masih sebesar manusia. Mereka baru benar-benar mengambil-alih kekuasaan di 20 juta tahun terakhir periode Cretaceous – ketika Pangea telah terbelah menjadi beberapa benua seperti yang kita kenal sekarang.
Saat itu, mereka sudah sangat beragam (setidaknya terdapat 20-an spesies yang sudah ditemukan hingga beberapa tahun lalu) dan telah menjadi besar, kuat dan ganas, dengan ciri-cirnya yang khas: kepala besar, badan atletis, lengan kecil, kaki berotot dan ekor panjang. T-rex dewasa memiliki panjang sekitar 13 meter dengan berat sekitar 7 atau 8 ton.
Tak terbantahkan lagi, mereka adalah hewan pemakan daging murni terbesar di darat, yang pernah ada di planet bumi. Mereka memang tumbuh sangat cepat namun menjalani hidup yang sangat keras pula, sehingga para paleontolog belum menemukan T-rex yang berusia lebih dari tiga puluh tahun ketika meninggal.
Di masa kejayaannya T-rex memerintah di wilayah lembah sungai, tepi danau, dataran banjir, hutan, serta gurun di Amerika Utara dan Asia. Permukaan air laut yang saat itu sudah tinggi tak memungkinkan mereka menguasai benua lainnya. Apalagi selama proses evolusinya, T-rex tak sempat mengembangkan kemampuan untuk berenang dan berkuasa di wilayah perairan.
Salah satu kekuatan T-rex adalah gigitannya yang sangat keras dan bisa mengunyah tulang-tulang mangsa mereka – ini dibuktikan dari tumpukan kotoran fosil yang ditinggalkan T-rex seringkali dipenuhi dengan potongan-potongan tulang. Mengunyah tulang bukanlah sesuatu yang normal – beberapa mamalia, seperti hyena, melakukannya, tetapi kebanyakan reptil modern tidak. T-rex adalah satu-satunya dinosaurus yang mampu melakukannya.
Dengan ukuran dan kekuatannya, T-rex pun membutuhkan asupan makanan yang luar biasa besar. Dari perilaku dan fisiologinya, mereka diperkirakan membutuhkan sekitar 111 kilogram daging setiap hari. Itu setara dengan puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu kalori, jumlah yang dibutuhkan oleh tiga atau empat singa jantan berukuran besar.
Akhir Sebua Era
Tak ada yang kekal di muka bumi. Tidak juga bagi dinosaurus. Alam yang membantu mereka berjaya, alam pula yang mengakhiri kejayaan mereka.
Enampuluh enam juta tahun lalu itu, T-rex sedang berada dalam puncak kekuasaannya ketika asteroid selebar 12,1 kilometer menghujam ke samudera di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Chicxulub, Meksiko. Meluluhlantakkan bumi, menghancurkan dinosaurus dan sepertiga kehidupan di bumi (penelitian saintifik tentang asteroid dan kehancuran dinosaurus ini bisa dilihat dalam video ini).

Asteroid itu meluncur dari langit, lebih dari 40 kali kecepatan suara, dan ketika menghantam bumi, menghasilkan ledakan setara dengan 100 triliun ton TNT – kira-kira tujuh miliar kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima.
Tabrakan itu merobek dasar laut dengan kedalaman hingga 500 meter, lalu memicu Tsunami dengan ketinggian 100 hingga 300 meter di Teluk Meksiko. Gempa bumi hebat kemudian menghacurkan garis pantai, dan udara panas meratakan hutan hingga ribuan kilometer. Terakhir, berton-ton batu berhamburan dari langit, mengubur sisa kehidupan.
Meskipun peristiwa ini terjadi di Amerika Utara bagian barat, berbagai belahan dunia lain juga turut mengalami bencananya sendiri. Gempa bumi, hujan batu-kaca, dan angin topan – meskipun tidak separah di Amerika Utara. Di Eropa pun demikian, gempa bumi, kebakaran hutan dan hawa panas yang hebat. Kematian terjadi di mana-mana.
Sebagian besar pantai Atlantik tengah dihantam oleh mega tsunami, dua kali lebih tinggi dari Empire State Building, yang menyapu bangkai plesiosaurus dan reptil raksasa penghuni laut lainnya hingga jauh ke daratan. Gunung berapi pun memuntahkan sungai lava di India.
Dan di zona Amerika Tengah dan Amerika Utara bagian selatan — segala sesuatu dalam radius sekitar enam ratus mil (seribu kilometer) dari Semenanjung Yucatán musnah. Menguap. Ketika akhirnya, bencana mereda, sebagian besar dinosaurus, di seluruh bagian dunia, telah mati.
Mereka yang masih hidup, berada dalam situasi yang sangat sulit. Beberapa tahun setelah itu, bumi menjadi dingin dan gelap karena jelaga dan debu masih melekat di atmosfer dan menghalangi matahari. Kegelapan selain menimbulkan hawa dingin juga menyulitkan tanaman untuk bertahan hidup – mereka membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis untuk menghasilkan makanan mereka.
Saat tanaman mati, rantai makanan pun turut bertumbangan sebagai dampak dari efek domino, membunuh banyak hewan yang mampu menahan dingin. Hal yang sama terjadi di lautan. Matahari akhirnya menembus kegelapan, karena jelaga dan kotoran lainnya tersapu dari atmosfer akibat air hujan. Namun, hujan yang turun kali ini sangat asam dan mampu melepuhkan sebagian besar permukaan bumi.
Hujan ini pun tidak mampu menghilangkan sekitar sepuluh triliun ton karbon dioksida yang telah terlanjur memenuhi langit dengan jelaga – CO2 adalah gas rumah kaca jahat yang memerangkap panas di atmosfer. Lalu segera setelah musim dingin nuklir, pemanasan global telah menanti.
“Semua hal ini seolah bersekongkol untuk melenyapkan dinosaurus yang masih mampu lolos dari serangan awal gempa bumi, belerang, dan kebakaran,” ungkap Steve Brusatte.
Beberapa ratus tahun setelah hari yang mengerikan itu — atau paling tidak beberapa ribu tahun kemudian — Amerika Utara bagian barat masih menunjukkan sisa-sisa lukanya, dalam bentuk lanskap bencana maha dahsyat.
“Apa yang dulunya merupakan ekosistem hutan yang beragam, hidup berdampingan dengan tapak kaki Triceratops dan berada di bawah perintah T-rex, selanjutnya berubah tenang dan sebagian besarnya kosong. Di sana-sini, kadal aneh berkeliaran di semak-semak, beberapa buaya dan kura-kura mendayung di sungai, dan mamalia seukuran tikus secara berkala mengintip dari liang mereka.”
Selain mereka, terdapat burung-burung yang berhasil menemukan tempat perlindungan yang aman…
Kecil itu indah.
Itu yang tampaknya terjadi ketika bencana dahsyat datang menghampiri. Tidak ada yang namanya too big too fail – seperti bank-bank besar yang kerap mendapatkan suntikan dana dari bank sentral setipa kali terjadi krisis finansial. Hewan berukuran besar seperti dinosaurus, kalaupun ada yang berhasil hidup, akan mati kelaparan ketika rantai makanannya telah hilang. Dari mana lagi T-rex bisa mendapatkan ratusan kilogram makanan yang ia biasa konsumsi setiap hari?
Beda dengan mamalia, yang bisa makan dalam porsi yang lebih sedikit, dan apalagi jika tidak bergantung pada satu jenis makanan saja. Mereka menjadi lebih resilien. Mereka kemudian terbukti bisa mengolah makanannya, sehingga memberi mereka lebih banyak pilihan untuk bertahan hidup.
Besar dan rakus sungguh berbahaya – alam telah mengajarkan pada kita.
Kelompok dinosaurus yang selamat dari bencana besar ini pun tampaknya enggan untuk mengikuti jejak saudara-saudara raksasanya, sauropods. Kelompok dinosaurus yang selamat ini adalah burung.
Ya, burung adalah keturunan langsung dinosaurus dan sekaligus sepupunya. Seperti telah diceritakan sebelumnya, di masa jayanya – dalam pertengahan periode Triassic, Jurassic dan Cretaceous – dinosaurus berkembang dengan banyak sekali varian. Beberapa di antara mereka, dalam proses yang berlangsung selama puluhan juta tahun, ternyata bisa menumbuhkan sayap.
Tadinya, sayap tersebut tidak dapat dipakai terbang, tapi lebih untuk melindungi diri sendiri. Namun, perlahan-lahan ia mulai dapat digunakan untuk melompat jauh dan meluncur, hingga akhirnya memampukannya untuk terbang. Kemampuan “dinosaurus terbang” ini diikuti dengan perubahan bentuk tubuh yang semakin mengecil, namun dengan rentang sayap yang lebih ideal untuk mengangkasa.
Sekarang mereka hidup berdampingan dengan kita. Sebagian berada di bawah kekuasaan kita. Malah ada yang terkurung dalam sangkar. Sebagian besar, dalam varian yang sedikit berbeda dan tidak lagi bisa terbang, kita jadikan santapan sehari-hari: ayam goreng atau ayam panggang!
Mereka yang gemar membentuk otot tubuh, menjadikan daging dan telurnya sebagai sumber protein utama – mungkin tanpa sadar ingin mempunyai otot-otot sangar seperti T-rex, leluhur ayam yang perkasa…
Catatan Penutup: Sains dan Pernyataan Saintifik
Kisah dinosaurus yang kita peroleh sekarang ini bisa terdengar “utuh” dan koheren bukan karena penemuan satu-dua orang saja. Para saintis, dalam kurun waktu ratusan tahun, hingga hari ini, “bekerjasama”, dan tak jarang saling berbantahan, untuk mengajukan keping demi keping cerita untuk kita. Tanpa kerja-kerja saintifik seperti ini, kita takkan pernah tahu bagaimana dinosaurus bangkit dan hancur dan memberi jalan bagi kita untuk menjadi penguasa bumi berikutnya.
Niels Stensius atau Nicolas Steno, rohaniwan merangkap saintis (1638-1686) adalah yang pertama membangun “infrastruktur” bagi penemuan-penemuan geologi dan paleontologi. Ia menunjukkan bahwa susunan bebatuan yang terdapat di berbagai lapisan permukaan bumi dapat menjadi basis untuk mengetahui sejarah geologi planet kita. Lapisan paling atas menunjukkan sejarah yang termuda, sedangkan yang paling bawah adalah yang tertua.
Dalam penemuannya yang pertama kali dipublikasikan tahun 1669, Steno mengungkapkan bahwa bentuk lapisan permukaan yang memperlihatkan diskontinuitas adalah penanda bagi sebuah era yang berbeda. Jika lapisan tersebut terlihat patah, terlipat atau pecah, itu menunjukkan bahwa telah terjadi “gangguan”, yang bisa jadi merupakan rekaman atas sebuah bencana besar yang pernah terjadi.
Bermula dari penemuan Steno, lalu dengan perkembangan teknik radiometrik yang berkembang sejak abad ke-20, para saintis bisa memperkirakan usia dari berbagai fosil dinosaurus yang mereka temukan. Saat ditemukan, fosil-fosil tersebut posisinya “terjepit” bagaikan “kue lapis” dari berbagai pola bebatuan yang berbeda-beda. Dengan membaca umur bebatuan yang berada di atas dan di bawah fosil, maka usianya pun bisa diperoleh. Jadi, bukan sekedar tebak-tebak buah manggis.
Saat ini dengan telah berkembangnya teknologi seperti CT (computerized tomography) atau CAT (computerized axial tomography) yang banyak digunakan dalam dunia kedokteran, kita mengetahui bahwa berbagai data hasil X-ray scanning bisa menghasilkan gambaran detil tentang struktur bagian dalam tubuh manusia. Teknologi yang sama juga digunakan oleh Steve Brusatte dan rekan-rekan paleontolognya untuk mempelajari otak dan indera dinosaurus.
Lebih dari itu, menurut Brusatte, “permodelan komputer bisa memberitahu kita bagaimana mereka bergerak. Dengan bantuan mikroskop berkemampuan tinggi, kita bahkan bisa mengetahui warna-warni apa saja yang mereka miliki, dan seterusnya.”
Dalam rekonstruksi kehancuran dinosaurus, penemuan yang paling mengesankan adalah hasil kerjasama ayah-anak, Walter dan Luiz Alvarez. Walter, sang anak, pertama kali menemukan kejanggalan dalam lapisan bebatuan di periode Cretaceous yang dalam pandangan awam hanya terlihat seperti garis tipis tanah liat. Penemuannya itulah yang ia sampaikan pada Walter senior, fisikawan peraih Nobel yang juga berperan penting dalam Manhattan Project (yang menghasilkan bom atom AS yang pertama).
Lapisan tipis tadi ternyata memiliki muatan-muatan metal yang biasanya terdapat di angkasa luar – seperti iridium. Singkat cerita, setelah melalui proses penelitian yang panjang, kerjasama geolog dan fisikawan ini, pun siap diungkapkan ke publik. Tahun 1980, Luiz dan Walter Suarez, bersama-sama dengan koleganya dari Berkeley, Frank Asaro dan Helen Michel mempublikasikan teorinya dalam jurnal ilmiah Science – Asteroid adalah penyebab punahnya dinosaurus.
Teori yang menggemparkan ini tidak langsung bisa diterima kalangan paleontolog. Berbagai sanggahan bermunculan – mungkin juga karena mereka belum bisa menerima fakta bahwa penemuan seperti itu bukan datang dari kalangan paleontolog sendiri. Namun perdebatan itu terhenti di tahun 1990-an, ketika para geolog menemukan sebuah lubang selebar 180 kilometer yang disebut sebagai kawah Chicxulub di Meksiko. Salah satu kawah terbesar di dunia yang terbentuk pada sekitar 66 juta tahun lalu – bertepatan dengan berakhirnya “era dinosaurus”.
“Ketiadaan bukti tak selalu berarti bukti bahwa sesuatu itu tidak ada (absence of evidence is not always evidence of absence)”, kata Brusatte.
“Para paleontolog yang baik harus terus-menerus mengingatkan diri mereka sendiri.” Bukan hanya untuk paleontolog sebetulnya, tapi untuk semua saintis, dan juga untuk kita – terutama yang meminati sains. Dengan cara seperti itulah sains berkembang dan kemanusiaan terus melangkah maju.
Kita perlu mengingat-ingatkan diri, karena dalam perspektif cognitive psychology, setiap kita punya dua kecenderungan berpikir yang bisa saling bertentangan satu dengan yang lain – yang pertama, untuk cepat-cepat menyimpulkan, dan yang kedua, memberikan pertimbangan kritis dengan hati-hati dan lamban. Ini yang disebut Sistem 1 dan Sistem 2 oleh Daniel Kahneman (lihat tulisan sebelumnya tentang “Seni Mengambil Keputusan: Berguru Pada Daniel Kahneman, Satu-satunya Psikolog Peraih Nobel Ekonomi”).
Sejumlah saintis, dan terutama peminat sains, mungkin karena overexcited ada juga yang membuat pernyataan-pernyataan yang tidak saintifik – terjebak hanya menggunakan Sistem 1. Namun, semua rasanya pernah begitu, termasuk saya juga.
Ketika Richard Dawkins bicara tentang “Selfish-Gene”, misalnya, ia sedang membuat pernyataan saintifik. Tapi ketika ia bicara tentang “God delusion”, ia tidak sedang membuat pernyataan saintifik, tapi sedang beralih-profesi, mungkin untuk sementara waktu, menjadi filsuf. Boleh-boleh saja, tentunya. Biarlah pembaca yang menilai kualitas filsafatnya.
Saya tidak sedang membela siapapun – saya mencintai sains, filsafat dan spiritualitas sekaligus. Ketiganya tidak harus saling bertentangan. Orang yang mengatakan bahwa dia percaya pada Tuhan (agamawan, spiritualis) atau pada kekuatan di luar dan di dalam diri manusia (filsuf), memang tidak sedang membuat pernyataan saintifik. Tapi, sebuah pernyataan tidak saintifik, tidak identik dengan ketidakbenaran – tidak berarti pernyataan itu salah.
Ingat kata Brusatte: “absence of evidence is not always evidence of absence.”
Sains, bagi saya, bukanlah alat untuk menemukan kebenaran. Saya tidak yakin otak manusia – yang belakangan mulai terlihat kurang superior dibandingkan Artificial Intellingence – bisa melakukannya. Sains, secara praktis, bisa membantu kita menjalani hidup lebih baik, membuat keputusan-keputusan penting, termasuk kebijakan publik, secara lebih tepat.
Lebih dari itu, sains adalah metode untuk memperluas cakrawala kehidupan yang sangat luas. Menyingkap sedikit demi sedikit, rahasia alam semesta yang tak terbatas ini. Misteri yang hingga akhir hayat pun, takkan pernah terungkap seluruhnya – saya sadar betul ini bukan pernyataan saintifik (I’m just a blogger, by the way).
Bayangkan betapa membosankannya hidup tanpa misteri. Semua serba pasti. Tak ada lagi yang tersisa untuk kita ketahui. Tak ada lagi debat “agama, sains dan filsafat”.
Itu saja.
Akhir kata, semoga dengan mempelajari kisah dinosaurus, kita bisa menjadi lebih bijaksana. Menjadi lebih kuat seperti kaum Stoic, tapi tidak pongah. Mau berbagi kehidupan dengan organisme yang lain. Sehingga, jika terjadi letusan gunung berapi hingga ratusan ribu bahkan jutaan tahun yang mengakhiri periode Permian, atau jika asteroid kembali menghantam bumi seperti yang terjadi di penghujung periode Cretaceous, siapapun yang kelak menguasai bumi takkan dendam pada kita atau keturunan kita, homo sapiens.
…lalu, mengurung kita dalam sangkar.
Tentu saya juga berharap spesies kita tidak hancur atau punah. Sayangnya, belum ada seabad yang lampau kita menyaksikan bahwa homo sapiens juga bisa menghasilkan tokoh seperti Adolf Hitler. Prasangka rasial masih terus terjadi, dan keserakahan kita mengeksploitasi alam untuk meraih keuntungan ekonomi – meskipun telah berdampak nyata pada pemanasan global – tampaknya masih sulit untuk direm.
Mungkin Pandemi Covid-19 ini bisa sejenak menghentikan kita? Sampai berapa lama?
Ya, semoga bisa. Semoga kita bisa menjadi spesies yang lebih baik.
Sampai di sini saja, karena saya sudah lapar dan ingin menyantap dino, eh ayam panggang…