Socrates: Hidup Yang Tak Teruji Tak Layak Dijalani

Patung Socrates di depan Academy of Athens. Karya Leonidas Drosis (1880)

“Untuk menuju Kejahatan, bagi orang kebanyakan, arahnya sudah ditetapkan,

Jalannya mulus, dan tempat yang dituju dekat;

Tapi ketinggian Kebajikan dicapai dengan keringat dan rasa sakit,

Karena dengan cara demikianlah para pahlawan keabadian ditahbiskan.

Pendakian panjang dan berat untuk mendekati gerbangnya,

Kerja keras tanpa henti hingga puncaknya tercapai”

Menuju tujuan yang sama dengan yang dikatakan Epicharmus: –

“Para dewa menganugerahkan berkah dengan harga yang mahal—”

Sebagaimana pernah disebutkan di tempat yang lain— “Engkau anak malas, hindari rayuan kemudahan,

Bahwa keberhasilan dapat dirah dengan mudah— ”

(Socrates, mengutip Penyair Yunani Kuno, Hesiod, dalam Memorabilia)

Siapa tak kenal Socrates (469/470-399 SM)? Bersama Plato (428-348 SM) dan Arisoteles (384-322 SM) murid dan “cucu murid”-nya – ketiganya dianggap sebagai peletak dasar Filsafat Barat. Sehingga Socrates pun layak disebut sebagai “Bapak Filsafat Barat”.

Selama lebih dari dua milenia lamanya, pemikiran filsafat lebih berkutat pada idealisme Plato (yang menganggap bahwa realitas pada dasarnya dibentuk oleh persepsi “di dalam” gagasan manusia) versus materialisme Aristoteles (yang berpandangan sebaliknya, bahwa realitas dibentuk oleh materi yang ada “di luar diri” manusia) – hingga muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang “mendamaikan” keduanya.

Tapi, meskipun pengaruh mereka sangat besar – salah satunya adalah betapa hingga hari ini kita masih menggunakan istilah “akademi” atau “akademisi” untuk menamai lembaga pendidikan dan profesi pendidik yang tak lain merupakan adopsi dari “The Academy “, sekolah yang didirikan Plato pada tahun 428/427 SM di luar kota kuno yang bernama Akademeia (yang juga meminjam nama pahlawan kuno, Akademos) – pemikiran Socrates, tak seperti murid dan cucu-muridnya, adalah yang paling sulit dikelompokkan pada aliran pemikiran manapun.

Kesulitan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena selama hidupnya, Socrates tak pernah menuliskan pandangan-pandangan atau gagasan-gagasannya. Kita hanya mengenal Socrates dari para muridnya atau mereka yang kemudian mencoba menulis tokoh yang hidupnya berakhir tragis – karena dipaksa meminum racun itu. Dua sumber utama yang sering digunakan sebagai referensi adalah Plato dan Xenophon.

Kedua, Socrates tak pernah menghasilkan teori. Yang ia kembangkan adalah sebuah metode untuk bertanya tentang hal-hal yang dianggapnya menarik – lalu dengan itu ia “mengajak” orang yang ia tanya untuk menguji berbagai asumsi yang sebelumya ia miliki atau percayai. Hasilnya, seringkali, mereka yang ditanyai oleh Socrates akan memiliki pandangan baru atau terpaksa merevisi pandangan sebelumnya. Metode ini dikenal sebagai metode “Socratic” atau “dialectical” – disebut demikian karena dalam prosesnya melibatkan dialog antara pandangan-pandangan yang saling berlawanan.

Memahami Socrates dari sumber tak langsung, bukan tanpa resiko. Pertanyaan gampangnya, “apa mungkin Socrates yang ditampilkan para penulis itu bisa ‘benar-benar’ mewakili Socrates yang sesungguhnya?” Jawabannya sudah jelas: tidak mungkin. Ini juga sudah disadari para peneliti sejarah, sehingga memunculkan apa yang kemudian disebut sebagai “socratic problem”. Meskipun ada upaya untuk mencari mana versi yang paling mendekati, namun tak pernah ada kesepakatan hingga hari ini.

Gambaran Plato tentang Socrates sebagaimana dapat dilihat dari “Dialogues” memberikan kesan kuat bahwa Socrates adalah sosok cerdas yang menggunakan senjata “Socratic-dialectical”-nya untuk menunjukkan keunggulan atau kekuatannya dari sisi intelektual. Dalam sebuah dialog panjang-lebar tentang kebajikan (“apakah kebajikan bisa diajarkan?”) bersama seorang tokoh sophist, Protagoras, meskipun tidak berakhir dengan kesimpulan yang jelas, namun framing yang terbaca mengindikasikan Socrates adalah “pemenang”.

Hal ini terlihat dari kutipan Plato terhadap ucapan terakhir Protagoras saat itu: “Saya tidak bisa tidak harus memuji energi dan cara Anda berargumen. Seperti sering saya katakan, saya mengagumi Anda di atas semua pria lain yang saya kenal, dan jauh di atas semua pria seusia Anda; dan saya percaya bahwa Anda akan menjadi sangat unggul dalam filsafat. Mari kita kembali membahas pokok pembicaraan tadi di lain waktu; saat ini lebih baik kami beralih mengurusi hal lain.”

“Socrates intelektual”, yang tampaknya memang juga valid ini, merupakan persepsi dominan yang berlaku dan diterima oleh publik, khususnya komunitas akademik hingga saat ini. Aspek kebajikan dalam kehidupan Socrates, termasuk bagaimana ia memandang etika serta cara hidup yang sederhana, memang tidak disangkal sebagai salah satu topik penting dalam dialog-dialognya, namun tak terlalu banyak mengemuka. Aspek ini yang kemudian pada tahun 281 SM dikembangkan oleh Zeno dari Citium menjadi apa yang dikenal sebagai Stoikisme (lihat tulisan sebelumnya tentang Seneca, Epictetus dan Marcus Aurelius).

Untuk mengimbangi “Socrates intelektual” versi Plato yang lebih mainstream, maka saya hendak menampilkan “Socrates bijaksana” yang berasal dari testimoni Xenophon, yaitu Memorabilia (atau dalam versi Bahasa Inggrisnya, “The Memorable Thoughts of Socrates”). Saya merasa tertarik untuk membahas karya Xenophon ini karena setelah selesai membaca, saya menemukan Socrates yang berbeda. Ia menggunakan “Socratic-dialectica” yang sama, tapi dengan tujuan yang berbeda.

Tujuannya bukan lagi untuk menunjukkan superioritas intelektual, tapi, kesan saya, itu menjadi metode untuk mempersuasi, dan kadang-kadang, “memprovokasi” lawan bicaranya untuk menjadi lebih baik. Menjadi manusia baru. Memorabilia menjadikan lawan bicara Socrates sebagai “subyek”. Buku ini adalah tentang lawan-lawan bicara, atau mungkin lebih tepatnya, teman-teman dialognya Socrates.

Socrates ditampilkan bukan sebagai intelektual, tapi lebih sebagai fasilitator dan, kadang-kadang, ibarat “bidan”, untuk melahirkan kesadaran baru dari orang yang sedang berdialog dengannya. Topik yang dibahas Socrates sangat luas, dari persoalan sehari-hari – tentang persahabatan, hubungan anak dan orang tuanya – hingga ke bagaimana mengelola negara dengan bijaksana.

Xenophon, penulis Memorabilia, bukan orang sembarangan. Selain menjadi murid Socrates, ia adalah komandan perang dan sejarawan terkemuka (hingga saat ini, saya masih terkagum-kagum dengan adanya perpaduan dua profesi yang seperti ini). Sebagaimana Plato, Xenophon dianggap sumber otoritatif untuk membaca dan memahami Socrates. Buku lain yang ia tulis tentang Socrates adalah “Apology of Socrates to the Jury”.

Berikut adalah beberapa topik menarik dalam Memorabilia:

Antara Kebajikan dan Kesenangan Duniawi

Suatu kali Socrates menceritakan tentang Hercules, tokoh dalam mitologi Yunani, yang sedang memasuki usia dewasa. Hercules harus memilih jalan seperti apa yang akan ia tempuh, apakah jalan kebajikan atau kejahatan. Untuk itu ia mencari tempat yang sepi untuk berkontemplasi. Dalam perenungannya, ia tiba-tiba didatangi oleh dua sosok perempuan dari kahyangan yang sama-sama berparas cantik.

Salah satu dari mereka mulai merayu Hercules:

“Aku memahami, Herculesku tersayang, engkau ragu jalan mana yang harus ditempuh. Jika, kamu mau menjadi temanku dan mengikutiku, aku akan menuntunmu ke jalan yang paling mudah dan paling menyenangkan, di sana engkau akan merasakan semua manisan kehidupan, dan kehidupan yang terbebas dari setiap masalah.”

“Kamu tidak akan terlibat dalam peperangan atau urusan dunia, tetapi hanya akan mempertimbangkan bagaimana memuaskan semua indera — seleramu dengan warna-warni terbaik dan minuman paling lezat, penglihatanmu akan benda-benda yang paling menyenangkan, aroma wewangian yang paling kaya, merasakan pelukan yang hangat, beristirahat di tempat tidur yang paling lembut, merasakan tidur yang nyenyak dan nyaman, dan menikmati, tanpa ada kepusingan sekecil apa pun, semua berkat yang mulia dan wah.”

Ia melanjutkan tawarannya tentang berbagai kemudahan yang bakal didapatkan Hercules jika mengikutinya. Ia juga meyakinkan Hercules bahwa tidak ada kerja keras yang diperlukan, bahkan Hercules bisa menikmati begitu saja hasil dari kerja keras orang lain.

Ketika Hercules menanyakan namanya, ia berkata, “teman-temanku, dan mereka yang sudah mengenalku dengan baik dan berjalan bersamaku, memanggilku ‘Kebahagiaan’. Tapi para musuhku, dan mereka yang ingin merusak reputasiku, menyebutku sebagai ‘Kesenangan Duniawi’.”

Sementara itu, sosok perempuan yang lain pun mendekat dan berkata pada Hercules, “Aku juga datang kepadamu, Hercules, untuk menawarkan bantuanku. Aku sangat mengenal benih keilahian dalam dirimu dan telah mengamati kemuliaan sifat-sifatmu, bahkan sejak masa kanak-kanak, dan karena itu berharap bahwa, jika engkau  mengikuti jalan yang mengarah ke tempat tinggalku, engkau akan memasuki perjalanan yang hebat dan meraih kemenangan yang mulia, dan dengan demikian aku pun akan merasa menjadi lebih terhormat dan termasyhur di antara kaumku.”

“Tetapi,” katanya, mewanti-wanti, “sebelum aku mengundangmu ke dalam lingkungan dan persahabatan denganku, aku akan bersikap terbuka dan jujur padamu, dan harus mengemukakan kebenaran yang sudah tak terbantahkan ini, yaitu bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar berharga yang dapat diperoleh tanpa rasa sakit dan kerja keras. Para dewa telah menetapkan harga bagi setiap kesenangan sejati nan mulia.”

Ia kemudian menjelaskan bahwa jika Hercules ingin mendapatkan nikmat dari para dewa, ia harus bersusah payah menyembahnya. Jika ingin dicintai oleh teman-temannya, ia harus mempelajari bagaimana bersikap loyal pada mereka. Jika ingin dihormati di kota manapun ia harus terlebih dahulu memberikan pelayanan, dan jika ingin dikagumi di seluruh Yunani, karena kejujuran dan keberaniannya, ia harus mengerahkan segenap kemampuan untuk memberikan pelayanan terbaik padanya.

Dalam pekerjaan di manapun tak terkecuali, jika ingin ladangnya berbuah, dan memanen jagung, ia harus bekerja keras untuk mengolah tanah yang sesuai. Begitu juga jika ingin menjadi kaya dengan mengandalkan ternak, perawatan yang tepat harus diberikan pada mereka.

Pun dalam peperangan. “Apakah engkau hendak memperluas kekuasaan dengan mengandalkan senjata, atau agar bisa membebaskan teman-temanmu yang tertawan, kemudian membuat musuhmu takluk – engkau tidak hanya harus belajar dari mereka yang berpengalaman dalam seni perang, tapi juga melatih diri sendiri dalam berbagai urusan militer. Lalu jika engkau ingin mengandalkan kekuatan tubuh, engkau harus melatih tubuhmu untuk tunduk pada pikiranmu, dan melatihnya dengan kerja keras dan rasa sakit,” ungkap perempuan yang ternyata adalah Dewi Kebajikan itu.

Tiba-tiba Dewi Kebahagiaan menyela, “Engkau lihat sendiri, Hercules, betapa panjang dan sulitnya jalan yang ditawarkan perempuan ini untuk bisa mencapai apa yang ia janjikan. Ikut jalanku saja dan aku akan membawamu melewati jalan pintas dan mudah menuju kebahagiaan.”

Dialog itu terus berlangsung dengan cukup panjang – dengan pola “Socratic-dialectical” yang khas. Melalui dialog itu, Socrates tidak menyimpulkan jalan seperti apa yang pada akhirnya diambil oleh Hercules. Namun, proses dialektika itu sendiri pada akhirnya membuat kita yang menyimak memiliki lebih banyak pertimbangan dan kebijaksanaan.

Jalan yang ditawarkan Dewi Kebajikan, terlihat menjadi lebih “superior” dalam prosesnya, terutama ketika berbicara tentang “dampak” pilihan hari ini pada hari tua nanti. Katanya, “mereka yang kekuatannya telah ‘dirampok’ ketika masih muda, tidak lagi memiliki kebijaksanaan ketika sudah menjadi tua. Di masa mudanya, mereka terbiasa dengan kelambanan dan segala macam kelezatan, sehingga harus menjalani hari tuanya dengan kesulitan dan kesusahan, penuh rasa malu atas apa yang telah mereka lakukan, dan dipenuhi beban yang harus mereka pikul, akibat pemborosan yang terjadi di masa muda, dan menimbun kesusahan di usia tuanya.”

Sebaliknya, ungkap Dewi Kebajikan, mereka yang mengikuti jalannya menjadi terhormat dan dihormati oleh orang-orang muda. “Mereka bisa melihat ke belakang dengan tenang atas berbagai tindakan mereka di masa lalu dan merasa berbahagia dengan pekerjaan mereka saat ini.”

“Melalui jalanku mereka disenangi oleh para dewa, dicintai teman-teman mereka, dan dihormati negaranya, dan ketika periode kehidupan mereka yang ditentukan telah tiba, mereka tidak tersesat di persimpangan jalan yang tidak terpuji, tetapi terus hidup dan berkembang dalam pujian umat manusia, bahkan oleh generasi berikutnya.”

Tentang hasrat berkuasa tanpa bekal yang cukup

Ini adalah dialog favorit saya: Ada seorang pemuda bernama Glaucon, anak dari Ariston, yang sangat ambisius. Meskipun belum berusia duapuluh tahun ia ingin sekali memperoleh jabatan publik dan dengan sengaja menghadiri berbagai diskusi tentang politik dan kenegaraan. Ia selalu berusaha tampil berbicara, meskipun sering ditertawakan dan kadang-kadang dipaksa meninggalkan forum.

Suatu hari Socrates dengan caranya, mempersuasi – atau mungkin lebih tepatnya menguji – Glaucon untuk mempertimbangkan kembali hasratnya. “Saya dengar kamu menginginkan jabatan dalam pemerintahan?” tanya Socrates. “Betul,” kata sang pemuda.

“Iya memang tidak ada yang lebih mulia daripada itu,” timpal Socrates. “Karena dengan memiliki jabatan publik, kamu bisa melayani teman-temanmu, mengangkat martabat keluargamu, kamu bisa dikenal di seluruh negeri, bahkan bisa juga hingga ke negeri-negeri barbar, seperti yang dilakukan Themistocles (jenderal dan politisi populis yang terkenal di Yunani). Intinya, kemanapun kamu pergi akan dihormati dan dipuja.”

Kata-kata Socrates membius Glaucon dan meredakan keangkuhannya, sehingga ia mau terus mendengarkan Socrates. “Namun, sudah pasti juga kawan, kalau kamu ingin dihormati, kamu harus bermanfaat buat Negara.”

“Oh tentu saja,” timpal Glaucon. “Jadi pelayanan seperti apa yang hendak kamu berikan untuk Negara?” Sebelum dijawab, Socrates melanjutkan, “sebagaimana jika hendak memakmurkan salah satu temanmu, tentu kamu harus membuatnya kaya terlebih dahulu, jadi mungkin kamu juga harus membuat Republik menjadi kaya.”

“Ya, saya bersedia,” kata Glaucon. “Bukankah cara untuk memperkaya Republik adalah dengan meningkatkan penerimaan negara?” lanjut Socrates. “Ya sepertinya memang harus begitu,” jawab Glaucon. “Kalau begitu, terdiri dari apa saja penerimaan negara kita, dan berapa besar kira-kira jumlahnya? Saya menduga kamu sudah mempelajari hal ini, sehingga jika terjadi kebocoran di salah satu sumber penerimaan yang ada, kamu akan mengetahui bagaimana meningkatkan di sisi yang lain, dan jika terjadi kegagalan secara tiba-tiba, kamu bisa segera mencarikan jalan keluarnya.”

“Sebentar,” potong Glaucon, “saya belum pernah memikirkan hal ini.” “Kalau begitu, katakan setidaknya berapa besar biaya Republik ini, karena tidak diragukan lagi kamu pasti akan memotong anggaran yang tak berguna.” “Saya juga belum pernah memikirkan ini,” kata Glaucon. “Kalau begitu, yang terbaik bagimu adalah menunda memperkaya Republik, di waktu lain, sebab kamu tidak akan pernah bisa melakukannya jika kamu tidak tahu penerimaan dan pengeluarannya.”

Dialog tidak berhenti di satu. Glaucon tak mau menyerah begitu cepat. Ia kemudian mengajukan pendapat bahwa ada cara lain untuk memperkaya sebuah negara – yaitu dengan menghancurkan kekuatan musuh dan merampas kekayaannya. Socrates pun meladeni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih rinci dengan menanyakan pengetahuan Glaucon tentang kekuatan perang Republik dan kekuatan musuh saat ini – sebab tanpa pengetahuan itu, apalagi mengetahui bahwa musuh berada dalam posisi yang lebih kuat, rakyat tentuk tak mau dibujuk untuk turut berperang.

Ketika Glaucon, menjawab bahwa ia tak tahu-menahu tentang kekuatan perang Republik, Socrates pun mengusulkan “jika Glaucon berkuasa” ia jangan memutuskan untuk cepat-cepat berperang, sebab konsekuensinya akan buruk bagi negara secara keseluruhan – padahal “ia baru saja memerintah.”

Meskipun kelihatannya Glaucon sudah tak berkutik, Socrates tidak menghentikan dialognya. Ia melakukannya bukan untuk mempermalukan Glaucon, tapi untuk “mendidiknya” tentang bagaimana konsekuensi mengelola negara. Dengan pertanyaan-pertanyaannya Socrates mengajak Glaucon berpikir lebih rinci tentang bagaimana angkatan perang harus dikelola, termasuk jika menemukan ada kelemahan di salah satu divisi, ia harus melaporkannya pada Senat dan seterusnya.

Ketika sepertinya dialog sudah tak bisa diteruskan, Socrates kembali mengingatkan topik awal pembicaraan tentang bagaimana cara memperkaya Republik. Socrates pun bertanya tentang pengetahuan Glaucon terkait pertambangan perak yang belakangan hasilnya tidak lagi memadai seperti sebelumnya. Namun, karena Glaucon pun tak tahu-menahu perihal pertambangan, Socrates mengajukan pertanyaan lain – sambil memberitahu tentang apa yang sedang terjadi – tentang pertanian negeri.

Merasa cukup memberikan pengetahuan pada Glaucon, Socrates mencoba menyampaikan harapannya. “Seperti yang kamu lihat, kota kita terdiri dari sepuluh ribu keluarga, dan sangat sulit untuk mengawasi semuanya sekaligus – mengapa kamu tidak mencoba, pertama-tama untuk mencoba membantu pamanmu di ladang? Setelah membuktikan perhatian, kesetiaan dan kemampuanmu untuk mengelola kepercayaan di ruang lingkup yang kecil, mungkin kamu bisa mendapatkan kepercayaan lebih besar.”

Dasar Glaucon keras kepala, ia malah memberi syarat sebelum melayani pamannya. “Saya akan melayaninya, jika ia mau menerima saranku.” Mendengar itu, Socrates justru menantang Glaucon, “jika kamu tidak bisa ‘mengelola’ pamanmu yang hanya seorang diri, apakah kamu bisa memerintah seluruh warga Athena, yang pikirannya selalu berubah-ubah dan tidak konsisten? Berhati-hatilah, anak muda, perhatikan, jangan sampai keinginanmu untuk mencapai kemuliaan yang terlalu besar membuatmu dibenci.”

“Pertimbangkan betapa berbahayanya berbicara dan melakukan hal-hal yang tidak kita pahami. Berapa banyak hal tersebut sudah dilakukan di dunia ini: kamu sendiri bisa menilai apakah mereka mendapatkan lebih banyak penghargaan ataukah malah dipersalahkan, apakah mereka lebih dikagumi daripada ditentang.”

“Sebaliknya, pikirkan betapa terhormatnya seorang pria yang memahami dengan sempurna apa yang dia katakan dan apa yang dia lakukan, dan kemudian kamu nanti bisa melihat bahwa kemasyhuran dan tepuk tangan selalu merupakan balasan atas perbuatan baik, dan dipermalukan adalah ganjaran bagi ketidakbecusan dan kecongkakan.”

“Oleh karenanya, jika, kamu mendapatkan kehormatan itu, jadilah orang yang benar-benar pantas, karena jika kamu masuk ke dalam pemerintahan Republik dengan pikiran yang lebih bijaksana daripada orang-orang pada umumnya, saya tidak akan heran jika kamu akan berhasil dengan rencana-rencanamu.”

Bagaimana membangkitkan kembali kejayaan bangsa

Ini adalah versi yang lebih pendek dari dialog Socrates dengan Pericles (anak dari tokoh besar dan negarawan Yunani yang juga bernama Pericles) tentang upaya untuk membangkitkan Republik.

“Saya berharap jika engkau menjadi komandan angkatan bersenjata Republik, engkau akan lebih suskses dan meraih lebih lebih banyak kemenangan dalam perang dibandingkan pendahulumu,” ujar Socrates memulai dialognya. “Saya tentu akan senang dengan itu,” kata Pericles. “Namun, saya lihat kecil kemungkinan itu terjadi.”

Selanjutnya, melalui pertanyaan-pertanyaannya, Socrates “mengajak” Pericles untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan musuh-musuh Athena. “Apakah mereka lebih berani? Apakah mereka selalu saling bersepakat dan tidak ada pertengkaran di antara mereka?” Mereka bersepakat bahwa di masa lalu, Athena lebih kuat dan berjaya. Namun, banyak terjadi perubahan setelahnya.

“Terlepas dari semua itu,” kata Pericles, “engkau tahu, setelah kekalahan Tolmides di Lebadia, ketika kita kehilangan seribu orang, dan setelah kemalangan lain yang terjadi pada Hippocrates di Delium, keagungan orang-orang Athena menurun begitu rendah, dan keberanian orang-orang Boeotian meningkat, sehingga mereka, yang bahkan di negara mereka sendiri tidak berani memandang wajah orang-orang Athena sebelumnya, sekarang bisa mengancam Attica dengan pasukan sendiri.”

Menghadapi arah pembicaraan yang bernada pesimistik, Socrates mencoba membangun narasi positif. “Dalam pandangan saya,” pancingnya, “seorang gubernur seharusnya senang menemukan republik dalam kondisi seperti itu, karena ketakutan membuat orang lebih berhati-hati, lebih patuh, dan lebih tunduk. Sedangkan situasi terlalu aman bisa menimbulkan kecerobohan, kemewahan, dan ketidakpatuhan.”

Socrates melanjutkan dengan pandangannya dengan mengatakan bahwa Athena saat itu bagaikan seseorang yang berpuas diri dengan berbagai keuntungan yang mereka peroleh dari lawan-lawannya, kemudian terlena dan, akhirnya menyadari bahwa mereka sudah tertinggal.

“Apa yang harus dilakukan sekarang?” tanya Pericles. “Mereka hanya perlu diingatkan,” jawab Socrates, “apa latihan dan disiplin yang pernah dijalankan leluhur mereka, dan jika mereka menerapkan praktik-praktik itu, mereka pasti akan mencapai kesempurnaannya; atau jika mereka kesulitan memerintah diri mereka sendiri dengan menggunakan teladan leluhur, biarkan mereka meniru bangsa-bangsa yang sekarang paling maju; biarkan mereka mengamati perilaku yang serupa, mengikuti kebiasaan yang sama, sampai merasa yakin bahwa mereka akan setara, bahkan melampauinya, jika mereka bekerja keras untuk mencapainya.”

Pericles, tampak masih ragu. Ia memberi contoh tentang pertengkaran yang terus terjadi dalam berbagai pertemuan di ruang publik maupun privat. Saling menyalahkan satu dengan yang lain. Belum lagi mereka yang memerintah lebih mementingkan diri mereka sendiri. “Saya sangat khawatir kerusakan yang sedang terjadi ini sudah sedemikian rupa sehingga pada akhirnya tidak akan ada obat untuk menyembuhkannya, dan Republik akan tenggelam akibat beban berbagai persoalannya.”

Socrates kembali meyakinkan Pericles bahwa masih ada harapan. Ia mengajak Pericles agar tidak melakukan generalisasi dan menunjuk beberapa fakta yang menimbulkan harapan. “Jangan percaya bahwa warga Athena sedang menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan. Tidakkah kamu perhatikan betapa terampil dan taatnya mereka di laut, bahwa dalam pertarungan untuk mendapatkan hadiah mereka benar-benar mematuhi perintah orang-orang yang memimpinnya, dan dalam berbagai peristiwa betapa mudah mereka mematuhi apa yang diminta untuk dilakukan?”

“Tapi dalam perang,” jawab Pericles, “banyak disiplin diperlukan, juga kerendahan hati dan kepatuhan, dan hal-hal inilah yang dibutuhkan Athena dalam situasi demikian.” Mendapat tanggapan demikian, Socrates membenarkan. Ia juga menambahkan pandangannya tentang faktor lain, yaitu pendidikan yang buruk yang terlanjur dijalani para pemimpin saat itu.

“Mungkin juga,” lanjut Socrates, “mereka yang memerintah hanya tahu sedikit tentang tugas-tugas mereka sendiri. Apakah engkau juga memperhatikan bahwa tidak ada orang yang mau mengatur para musisi, atau komedian, atau penari, atau pegulat, karena memang tidak mampu melakukannya; dan karena semua yang mau menerima pekerjaan seperti itu harus memberikan pertanggungjawaban, yang membutuhkan peningkatan kapasitas untuk bisa menguasainya? Kekalahan kita dalam perang pun, saya kira, pasti terjadi karena pendidikan yang buruk bagi para jenderal kita.”

Namun Socrates tahu bahwa Pericles memiliki potensi untuk menjadi pemimpin yang bijaksana – itu sebabnya ia ingin menyemangati sambil mendidik Pericles dengan cara yang sangat persuasif. Socrates tahu bahwa Pericles telah mempelajari seni perang dan berbagai keahlian yang lain. “Saya membayangkan juga, demi mengenang ayahmu, Pericles yang Agung, engkau telah belajar menghadapi berbagai tipu daya yang langka, dan dengan ketekunanmu, engkau juga telah belajar banyak hal yang lain.”

“Saat ragu-ragu akan sesuatu, engkau segera meminta bantuan kepada mereka yang mengetahuinya, dan tak berusaha memberikan hadiah dan tetap menjaga kesopanan agar mereka mau membantu dan mengajarimu hal-hal yang engkau tidak tahu.”

Menyadari dirinya disanjung, Pericles langsung menyela. “Oh Socrates, engkau menyanjung saya, untuk banyak hal yang saya khawatir, saya masih kurang – tapi dengan cara itu engkau sebetulnya sedang mengajarkan saya bagaimana cara menjalankan tugas.”

Itu adalah momen yang ditunggu Socrates – Pericles telah siap untuk menerima sarannya. “Saya akan memberimu masukan: Tidakkah engkau perhatikan bahwa di gunung-gunung tinggi, yang merupakan perbatasan Attica, yang membaginya dengan Boeotia, jalan-jalan yang harus kita lewati untuk pergi dari satu negara ke negara lain sangat kasar dan sempit?”

“Ya saya sudah melihatnya,” jawab Pericles. Socrates melanjutkan, “pernahkah kau mendengar perkataan orang-orang Mysians dan Pisidia, yang memiliki tempat-tempat strategis yang memudahkan mereka memasuki wilayah kekuasaan Raja Persia, hanya dengan persenjataan ringan, namun bisa membuat serangan terus-menerus ke provinsi-provinsi tetangga, dan dengan cara itu sangat menyusahkan musuh-musuhnya, dan pada saat yang sama mempertahankan kebebasan mereka sendiri?”

“Saya sudah mendengarnya,” ujar Pericles. “Mungkin saja,” lanjut Socrates, “jika warga Athena dapat menguasai pegunungan yang berada di antara Boeotia dan Attica, dan jika mereka bisa dengan berhati-hati mengirimkan beberapa pemuda dengan senjata yang tepat seperti untuk para pengembara, musuh-musuh kita tidak akan menduganya, dan pegunungan itu akan menjadi benteng besar untuk menutupi negara kita dari penghinaan mereka.”

Dari dialog ini kita bisa melihat bagaimana Socrates mampu memberikan saran tentang “taktik pertahanan” kepada orang yang tepat dan juga dengan cara yang tepat. Tanpa melalui proses dialog yang setara dan saling menghormati ini, rasanya sulit untuk menyampaikan berbagai pesan penting sebagaimana diutarakan Socrates.

“Saya percaya yang engkau katakan,” kata Pericles, “dan bisa menerima semua nasihat yang engkau berikan untuk menjadi lebih baik.”

“Jika engkau berpikir begitu,” timpal Socrates, “berusahalah, temanku, untuk mempraktikkannya; karena jika ada di antaranya yang berhasil, engkau akan menerima penghormatan, dan Republik pun mendapat keuntungan; dan meskipun upaya itu tak berhasil, Republik tidak akan dirugikan, dan engkau takkan dipermalukan.”

Relevansi Dialog-Dialog Socratik

Membaca Memorabilia benar-benar membawa pencerahan bagi saya. Betapa relevannya pendekatan ini untuk “menyelesaikan” atau, paling tidak, mempersuasi berbagai pihak agar mau mendiskusikan berbagai isu strategis – dari hal sehari-hari hingga topik politik kenegaraan – dengan cara yang elegan dan saling menghormati.

Dengan memulai dialog melalui cara bertanya, Socrates (versi Xenophon) tidak memunculkan rasa “terancam” bagi mitra dialognya – bayangkan jika kita bertemu dengan seorang jenderal seperti Pericles dan langsung memberitahu bagaimana cara melakukan perang gerilya? Namun, sambil bertanya, ia juga menggali pengetahuan mitranya dan pada saat yang sama, berbagi pengetahuannya sendiri (seperti yang ia lakukan pada Glaucon).

Tentunya tak mudah mempraktekkan dialog ini. Butuh kesabaran untuk menjalani – dan menikmatinya. Proses “dialog socratic” memang bisa berlangsung cukup panjang, dan karenanya, juga butuh kerendahan hati untuk untuk tidak memproklamirkan diri sebagai pihak yang lebih superior secara intelektual, agar tidak terjebak menjadi debat kusir yang seringkali penuh dengan argumentasi “ad hominem” (saling menyerang pribadi) – dinosaurus saja tidak begitu.

Dalam Memorabilia, sebetulnya ada sejumlah dialog lain yang juga sangat indah dan menarik – seperti ketika ia mencoba meyakinkan Charmidas, yang menurutnya berpengalaman dan mampu, untuk memegang jabatan publik; atau ketika mempersuasi Eutherus agar mengambil pekerjaan yang cocok untuknya supaya tak menjadi miskin di masa tuanya; juga ketika ia menasihati anak tertuanya Lamprocles agar menghormati ibunya. Namun, dengan keterbatasan ruang, tak mungkin saya tampilkan di sini.

Catatan lain adalah, bahwa Socrates menggunakan cara yang berbeda-beda untuk menghadapi orang-orang yang berbeda. Untuk orang yang rendah hati seperti Pericles, ia tak segan-segan memberikan pujian – mungkin karena ia tahu Pericles takkan menjadi lupa diri karenanya. Namun, untuk orang seperti Euthydemus, pemuda berkemauan keras namun arogan yang selalu mengikutinya, Socrates tak segan-segan melakukan provokasi secara gamblang.

Oleh sebab itu, saya juga bisa menerima, Socrates versi Plato – terutama ketika ia menunjukkan superioritas intelektualnya terhadap Protagoras. Ia bisa saja melakukan hal demikian (yang saya duga, untuk mendekonstruksi dan membongkar pandangan dan kebiasaan para pemikir sophist yang senang bermain kata-kata tapi seringkali tak memperdulikan manfaat bagi pendengarnya).

Socrates, dengan demikian, adalah seorang strategist. Ia tidak bisa ditebak – oleh karena itu, siapapun sulit untuk menyimpulkan ajaran-ajarannya. Tidak ada teori yang ia hasilkan, tidak ada “Socraticisme”. Ia bisa menjadi apa saja, tergantung konteks dan situasi yang ia hadapi.

Saya cenderung setuju dengan pandangan Profesor Michael Sugrue dari Departemen Sejarah di Ave Maria University (dalam “The Great Discourses: Plato, Socrates, and The Dialogues”) yang mengatakan bahwa Socrates adalah the living voice. Dia hadir untuk mengingatkan kita bahwa filsafat bukanlah dogma. Filsafat adalah sebagaimana artinya, adalah kecintaan terhadap kebijaksanaan.

Kebijaksanaan diraih tidak dengan meniru Socrates tapi menjadi diri sendiri, menemukan sendiri kebijaksanaan itu seperti apa. Menurut Sugrue, keberhasilan Socrates adalah ketika kita pada akhirnya menolak atau setidaknya mengkritisi pandangan-pandangan Socrates, karena dengan demikian berarti kita telah memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan kita sendiri.

Setiap kali kita tersesat dalam keruwetan pemikiran untuk membangunkan kemanusiaan kita bisa kembali membaca Socrates. Mungkin itu akan membuat kita merasa lebih baik – sebab seperti dalam “dialog-dialog Socratic” Socrates akan terus bertanya hingga kita terinspirasi untuk menemukan sendiri kebijaksanaan kita.

Terakhir, satu pertanyaan yang sayangnya tak bisa kita tanyakan langsung pada Socrates: mengapa ia tidak bisa melepaskan diri dari hukuman meminum racun karena dituduh “merusak pemikiran para pemuda di Athena”, jika ia memang hebat? Saya hanya bisa menduga bahwa, justru dengan menjalani hukuman itu, Socrates membuktikan anjurannya agar warga Athena menjalani “hidup yang teruji”.

Sebab hanya hidup yang demikian yang layak dijalani. The unexamined life is not worth living…

Kematian Socrates (1787) karya Jacques-Louis David