
Krisis sudah tiba. Sekarang bagaimana? Lebih mudah berbicara tentang teori dalam keadaan normal, ketika logika dan rasionalitas dapat bekerja dengan baik. Namun dalam keadaan tidak normal (baca: krisis), apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang umumnya didorong oleh emosi – atau lebih tepatnya, emosi negatifnya.
“Logika membuatmu berpikir, emosi membuatmu bertindak”, begitu kata Alan Weiss, solo konsultan ternama dalam bukunya “Threescore and More: Applying the Assets of Maturity, Wisdom, and Experience for Personal and Professional Success” yang baru selesai saya baca.
Thomas Oppong menjelaskan hal ini lebih gamblang dalam artikelnya “Psychologists Explain How Emotions, Not logic, Drive Human Behaviour: Increasing your emotional self-awareness is key to making the best decisions”. Ia mengutip penjelasan psikolog Paul Eckman di tahun 1970-an yang mengidentifikasi peran penting enam emosi dasar yang ada dalam tiap tradisi kebudayaan – yaitu bahagia, sedih, jijik, takut, terkejut dan marah – yang menjadi pendorong utama berbagai tindakan manusia.
Setelah membandingkan dengan sejumlah riset lainnya Oppong menyimpulkan bahwa, emosi positif seperti kebahagiaan, kenyamanan, kepuasan dan kesenangan membantu kita membuat berbagai keputusan dan memungkinkan kita mempertimbangkan berbagai pilihan serta mengambil keputusan dengan cepat.
Namun sebaliknya, emosi negatif seperti kesedihan yang mendalam mencegah kita untuk mengambil keputusan. Begitu pula, rasa takut untuk ditolak membuat kita sulit untuk melangkah keluar dari zona nyaman. Kemarahan dan rasa malu membuat kita rentan mengambil keputusan yang berisiko tinggi, namun dengan hasil yang biasanya tidak memuaskan.
Intinya, emosi negatif yang intens, cenderung membuat kita kehilangan kendali diri.
Bahkan dalam keadaan tidak krisis pun, jika emosi sudah terlanjur negatif, kecenderungan alami pikiran kita adalah mencari-cari informasi yang sejalan dengan keadaan emosional kita. Hal ini dikonfirmasi oleh Rasmus Hougaard, Jacqueline Carter dan Moses Mohan dalam artikel terbaru mereka “Build Your Resilience in the Face of a Crisis” yang diterbitkan oleh Harvard Business Review.
“Pikiran kita makin terjebak dalam pemikiran yang obsesif, serta perasaan takut dan tidak berdaya. Itu sebabnya kita sering mendapati diri membaca berbagai cerita menyeramkan terkait para penumpang yang dikarantina di kapal pesiar mewah, meskipun kita sebenarnya tidak pernah masuk atau berencana masuk ke dalam kapal pesiar itu.”
Faktanya, banyak teman dan saudara atau kita sendiri yang terjebak dalam hysteria karena terus membaca berbagai berita bernada negatif yang ditulis oleh mereka yang juga terkungkung dalam emosi negatif.
Jelaslah, meskipun kita mengaku mahluk rasional, tapi sangat sering kita terjebak dalam prilaku irasional karena kuatnya dorongan emosi-emosi negatif tadi.
Saya menulis sejumlah artikel tentang strategi di blog ini – pertanyaannya, adakah ruang untuk berstrategi dalam keadaan krisis, ketika ruang untuk mengambil keputusan rasional sangat terbatas?
“Ada.” Itu pendapat saya pribadi. Tapi kita harus melatihnya.
Kunci untuk “mengalahkan” emosi negatif adalah menciptakan rasa percaya diri, bahwa kita bisa mengendalikan diri, dengan cara melatihnya terus-menerus. Sama seperti saya sendiri yang akhirnya bisa mengatasi glossophobia atau ketakutan untuk berbicara di depan umum sejak kecil, karena dilatih dan “dibenturkan” oleh para senior di kampus untuk menjadi moderator, pemateri bahkan fasilitator.
Anda mungkin bisa mencoba pendekatan yang ditawarkan oleh Paul Gantt dan Ron Gantt dari Safety Compliance Management dalam materi presentasi mereka yang tersedia secara daring dengan judul “Disaster Psychology: The Myth of Panic”.
Dua pendekatan yang mereka tawarkan bersifat “taktikal dan strategis” sekaligus. Yang taktikal, adalah bagaimana mengendalikan diri secara situasional, yaitu dengan tertawa atau mencari alasan untuk tertawa serta melakukan berbagai teknik pernafasan untuk membuang kecemasan – teknik ini banyak terdapat di youtube, yang intinya adalah dengan membuang nafas lebih lama daripada menarik nafas, selama lima hingga 10 menit.
Sedangkan pendekatan yang strategis adalah “mengadakan pelatihan” dan “membuat perencanaan” (bahkan membuat rencana secara mental pun sangat penting, menurut duo Gantt tadi).
Ada banyak contoh, pelatihan untuk mengendalikan diri dan menghadapi emosi negatif, khususnya ketakutan. Manajemen di gedung-gedung bertingkat, seringkali mengajak para tenant atau penyewa ruangan kantor untuk berlatih menghadapi gempa dan kebakaran. Anda yang berkantor di gedung-gedung bertingkat mungkin sudah beberapa kali mendengar sirene yang tiba-tiba berbunyi kencang diikuti dengan perintah dari pengeras suara yang ada untuk beramai-ramai keluar gedung, tidak menggunakan elevator dan menuju titik kumpul yang sudah ditentukan di lapangan.
Saran saya, meskipun mengejutkan dan melelahkan, latihan seperti itu harus Anda ikuti. Sebab, itu adalah salah satu latihan untuk mengendalikan emosi negatif ketika benar-benar terjadi krisis atau bencana. Latihan semacam itu membuat otak kita membuat referensi mental, tentang apa-apa saja yang harus dilakukan jika terjadi situasi serupa.
Dalam keadaan bencana yang sesungguhnya, mereka yang memiliki referensi atau pengalaman latihan semacam itu bisa bersikap lebih responsif dibandingkan mereka yang tidak punya pengalaman apa-apa. Anda tentu tidak ingin menjadi pihak yang panik sendirian.
Ini juga menjelaskan mengapa, tentara di mana pun di dunia, selalu berlatih tempur dan menghadapi situasi-situasi tak terduga, termasuk ketika menghadapi serangan mendadak dari musuh. Sebab, hanya dengan melakukan berbagai macam simulasi, mereka akan punya alternatif taktis untuk melakukan counter-attack maupun melindungi diri dan pasukannya.
Hal yang sama juga berlaku di dunia sepakbola. Tim sepakbola kelas dunia seperti Liverpool, Barcelona, Juventus dan sebagainya tentu tidak hanya berlatih bagaimana menyerang. Mereka harus mensimulasikan berbagai macam alternatif pertahanan ketika mendapatkan serangan dari tim lawan.
Dengan begitu mereka bisa lebih rasional, serta dapat meredam emosi negatifnya karena sudah terbiasa dan mampu mengendalikan dirinya.
Lantas, seperti apa membuat rencana menghadapi krisis akibat Covid-19 ini?
Kebetulan dalam tulisan sebelumnya saya telah membahas 15 elemen strategi “The Art of War” (Lihat link-nya di sini) dalam konteks organisasi. Mari kita coba berencana sekaligus belajar berstrategi – sebab tidak semua rencana bisa disebut strategi – secara mental dengan bantuan Sun Tzu.
Anggaplah Anda adalah seorang pimpinan dari sebuah lembaga pendidikan atau kampus di Jakarta, yang saat ini memiliki mahasiswa/mahasiswi yang telah positif menjadi pasien Covid-19…
1. Strategi harus memiliki tujuan yang jelas
Dalam situasi ini, Anda perlu menetapkan tujuan yang jelas untuk mengatasi krisis ini. Tujuan yang baik harus dirumuskan berdasarkan tantangan atau persoalan yang dihadapi. Misalnya, persoalannya adalah mahasiswa-mahasiswa yang menjadi panik, mahasiswa dan orang tua yang menuntut tanggung jawab pihak kampus (meskipun pihak kampus belum mengetahui asal-usul mengapa ada mahasiswa yang terjangkit) dan kekhawatiran persepsi publik bahwa kampus anda sudah tidak aman lagi.
Tujuannya yang bisa Anda pertimbangkan untuk menjawab problem statement yang dihadapi, misalnya: (1) menenangkan mahasiswa dari kepanikan, (2) memunculkan persepsi bahwa pihak kampus sangat responsif terhadap peristiwa ini, dan (3) menjaga persepsi publik bahwa kampus anda kredibel meskipun dalam situasi krisis.
Penetapan tujuan ini sangat penting untuk didiskusikan di antara pimpinan. Sebab, semua program atau upaya yang anda dan pihak manajemen kampus akan lakukan, haruslah mengarah pada tujuan ini. Jika ada upaya yang tidak relevan dengan tujuan tersebut, harus dianggap sebagai kurang prioritas.
2. Strategi harus dimulai dengan perencanaan yang baik
Tidaklah mudah membuat rencana dalam situasi krisis. Namun, jika sudah ada tujuan, perencanaan pada dasarnya adalah merumuskan agenda program dan kegiatan apa saja yang harus dilakukan secara sistematik untuk mencapai tujuan. Perencanaan yang baik, adalah yang specific, measurable, achievable, realistic & timely (SMART, silakan diriset lebih jauh di mesin pencari).
3. Strategi harus dijalankan oleh Pemimpin yang Bijaksana dan memiliki Otoritas
Peran pemimpin sangat krusial dalam situasi krisis, terutama karena karyawan dan mahasiswa berada dalam situasi baru yang disruptif. Akan muncul kegagapan, dan pada saat yang sama harapan terhadap inisiatif dari pihak kampus. Jika Anda merasa mampu, ambil tanggung jawab untuk berinisiatif dan menunjukkan bahwa Anda in charge atau memegang kendali. Jika tidak, tunjuk seseorang yang cukup dihormati oleh berbagai pihak untuk menjadi pelaksana operasionalnya.
4. Strategi harus memiliki dasar Nilai-Nilai Utama, yang diyakini bersama
Nilai-nilai yang dianggap penting dalam situasi krisis, terutama adalah trust, kerjasama atau gotong-royong serta rela berkorban. Jika bisa mencerminkan hal ini dalam program dan upaya yang Anda pimpin, tujuan akan lebih mungkin dan bisa jadi lebih cepat tercapai.
5. Strategi harus memperhitungkan Lingkungan Strategis
Apapun yang Anda lakukan tak mungkin hanya mempertimbangkan faktor-faktor internal di kampus anda. Anda perlu mengetahui big picture-nya. Misalnya bagaimana strategi penanganan yang sedang dijalankan pemerintah pusat dan daerah. Dari situ, Anda bisa menyesuaikan program dan upaya agar sinkron, efektif dan efisien.
6. Strategi harus berdasarkan Penguasaan Lapangan atau Geografi
Penguasaan lapangan bisa berarti memahami kesulitan yang akan terjadi bila misalnya Anda hendak melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pihak-pihak yang akan keluar-masuk kampus. Bagaimana sebaiknya alur yang efektif dan tidak menimbulkan kemacetan atau masalah baru lainnya dan sebagainya.
7. Strategi harus mempertimbangkan Takdir
Dalam konteks Covid-19, terdapat risiko bahwa mereka yang terkena penyakit ini bisa meninggal dunia. Oleh karena itu, jangan menciptakan harapan yang terlalu tinggi dan tak perlu bagi keluarga mahasiswa yang terkena penyakit ini. Yang dapat dilakukan, jika memungkinkan, adalah membangun komunikasi bagi kelompok pendukung agar bisa menghadapi situasi krisis ini dengan setenang mungkin.
8. Strategi harus didukung oleh Metode, Taktik serta Pemikiran yang baik
Untuk mencapai tujuan-tujuan tadi, salah satu yang penting adalah merumuskan metode komunikasi yang baik kepada para pihak di kampus, terutama mahasiwa dan orangtua. Untuk itu misalnya, perlu disusun protokol komunikasi via perangkat digital untuk memberikan informasi secara berkala pada mahasiswa, orang tua dan mungkin publik yang ingin mengetahui tentang langkah-langkah pihak manajemen kampus.
9. Strategi harus mengandalkan Keterampilan dan Profesionalisme Tim
Pilihlah orang-orang terbaik yang berpengalaman untuk menjadi tim inti – jika tak punya kemewahan itu, tingkatkan kemampuan tim dalam prose belajar kolektif. Mereka yang akan mengendalikan program dan upaya yang sudah direncanakan. Selebihnya, biasanya hanya akan mengikuti inisiatif-inisiatif tim inti. Syukur jika mahasiswa-mahasiswa Anda secara kreatif memunculkan inovasi yang sejalan dengan tujuan tadi. Itu artinya sudah muncul trust di antara mereka.
10. Strategi harus berlandaskan Kekuatan dan Kelemahan
Semua strategi lahir karena kesadaran akan kekuatan dan kelemahan. Intinya adalah menyadari hal-hal tersebut dan mengoptimalkan kekuatan yang organisasi anda miliki. Jika, kampus anda kuat di bidang teknologi informasi, pastikan hal tersebut tercermin dalam program dan upaya yang anda rancang. Misalnya, aplikasi-aplikasi untuk mempermudah belajar bersama, berkomunikasi dan sebagainya, jelas merupakan hal wajib dalam konteks ini.
11. Strategi harus berbasis pada Pengetahuan serta Analisa, dengan Informasi dan Data yang baik
Dengan mengandalkan data dan analisa, Anda bisa menentukan kapan misalnya harus melakukan karantina dan kapan harus mengembalikan proses belajar-mengajar dalam situasi normal. Data, dan bukan sekedar asumsi, adalah pondasi bagi analisa untuk setiap pengambilan keputusan – ini kita sebagai manusia modern dibandingkan dengan dinosaurus.
12. Strategi harus mempunyai unsur Kejutan, termasuk Perubahan rencana, dan Kerahasiaan
Jika Anda menghadapi “lawan” atau pihak yang tidak menghendaki Anda berhasil mengatasi krisis, maka hal-hal ini sangat penting – dalam sepakbola misalnya. Dalam konteks krisis Covid-19, perubahan rencana dan kerahasiaan juga sangat penting dengan mengikuti dinamika situasi serta data yang Anda miliki. Jika data menunjukkan bahwa penyebaran penyakit telah mencapai puncak dan segera mereda di wilayah anda, tentu rencana harus diubah atau disesuaikan lagi.
13. Strategi harus didukung oleh Pembiayaan atau Sumber Daya yang memadai
Dalam situasi krisis, pembiayaan operasional dapat sangat terbantu jika telah muncul trust dan solidaritas dari semua pihak untuk bahu-membahu mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Mereka yang bisa menjadi relawan adalah sumber daya yang sangat berharga dan seringkali tak dapat dinilai dengan materi.
14. Strategi harus memanfaatkan Teknologi dan Peralatan
Ketika social distancing atau pembatasan sosial dilakukan, teknologi dan peralatan penunjang seperti masker dan sebagainya jelas memiliki nilai yang sangat penting.
15. Strategi harus dieksekusi secara Efektif dan Efisien, dengan mempertimbangkan Waktu dan Momentum
Ekspektasi publik yang tinggi karena kecemasan dan ketidakpastian yang mereka rasakan, dengan sendirinya menuntut kecepatan pemimpin untuk bertindak. Menunda aksi terlalu lama, bisa menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan distrust yang justru bertentangan dengan tujuan tadi. Untuk bisa bertindak cepat ataupun terencana, momentum dan waktu adalah variabel penentunya.
Anda mungkin bukan seorang pemimpin di kampus seperti dalam simulasi tadi. Apapun profesi anda, cobalah melakukan perancanaan mental seperti di atas, dalam konteks situasi yang anda hadapi. Imajinasi anda bisa jadi lebih kaya dan kreatif daripada yang saya sampaikan di atas. Ini akan membantu memperkuat ketahanan mental emosional Anda, sekaligus melatih berpikir dan bertindak strategis pada saat dibutuhkan.
Bagi Sun Tzu, strategi adalah seni. Di masa krisis seperti sekarang ini, dengan banyaknya ketidakpastian dan hal-hal baru yang menguras emosi, kita harus “berlatih” dan membuat “rencana” menghadapinya. Sebab, tak ada pilihan yang lebih baik daripada itu.
Semoga kita semua dilindungi, dan menjadi sebaik-baiknya manusia.