Bagaimana Mempresentasikan Gagasan Secara Efektif Tanpa Bergantung Pada PPT?

Barack Obama, Potret Resmi, Presiden Amerika Serikat
Barack Obama Sedang Berpidato oleh Janeb13/Pixabay

Sejak pertama kali dikembangkan oleh Robert Gaskins dan Dennis Austin pada tahun 1987, Microsoft PowerPoint (PPT) – yang tadinya dinamakan Presenter dan diirilis pertama kali untuk Apple Macintosh sebelum diakuisisi oleh Microsoft pada tahun yang sama – telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan profesional hampir semua orang dalam berbagai bidang. Pelajar, akademisi, pebisnis hingga pejabat negara, semua menggunakannya.

Tapi tak semua menggunakannya secara efektif. Entah sudah ada penelitiannya atau belum, yang saya perhatikan ada tiga macam kelompok pengguna PPT yang hingga kini sepertinya masih setia dengan metode pilihannya: pertama, mereka yang senang memindahkan seluruh teks dalam word document-nya ke dalam PPT; kedua, mereka yang senang menumpukkan berbagai gambar dan/atau diagram (kadang-kadang berisi data, kadang tidak) ke dalam slide, dan; ketiga, yang lebih jarang, mereka yang mampu menggabungkan atau menjaga keseimbangan antara teks dan diagram.

Kalau dipikir-pikir, dari pengalaman pribadi, peralihan dari kelompok pertama menuju kelompok ketiga, bagaikan perjalanan panjang evolusi saya sebagai profesional. Sewaktu pertama kali mengenal PPT di pertengahan tahun 1990-an, saya masuk dalam kategori kelompok pertama (terutama ketika baru pertama kali menggunakan PPT). Lalu, setelah mulai bisa menggunakan fasilitas “bulkonah” (bulat, kotak dan panah) dan screen capture, saya mulai jadi anggota fanatik kelompok kedua. Baru belakangan saja, saya mulai belajar dan beralih ke kelompok ketiga.

Meskipun sudah lebih dari 30 tahun dikembangkan (dan sekarang sudah banyak perangkat lunak serupa dari berbagai pengembang yang berbeda), tak semua orang bisa menggunakannya secara efektif. Duapuluh tahunan yang lalu, mayoritas pengguna PPT adalah mereka yang masuk dalam kategori kelompok pertama – bisa dimaklumi karena seperti saya pada saat itu, tidak terlalu bisa membedakannya dengan word processor, terutama Microsoft Word. Kalau sampai sekarang pun Anda menemukan masih ada pengguna PPT yang demikian, maka mudah diduga mereka berasal dari generasi yang sama dengan saya atau bahkan lebih tua. Ya dimaklumi saja.

Sekarang ini, yang sering saya jumpai adalah pengguna PPT dari kelompok kedua. Mereka ini, hebatnya, berasal dari kelompok umur yang sangat lebar – mulai dari milenial hingga kolonial…

Anda mungkin juga pernah berada berada dalam sebuah forum atau webinar seperti ini: Presenter atau pembicara menyampaikan pokok-pokok pikirannya dengan menampilkan banyak diagram, ditambah dengan berbagai kutipan dan foto – pokoknya ramai; isi pembicaraannya sebetulnya menarik, namun di akhir sesi diskusi, kepala anda pusing karena berusaha keras menyimpulkan apa yang baru saja disampaikan, lalu karena orang-orang lain sepertinya mengangguk-angguk, Anda ragu kalau hendak mempertanyakan inti atau substansi pesan pembicara, Anda akan terlihat bodoh?

Jangan khawatir, Anda tidak sendirian. Saya juga berulangkali berada dalam situasi demikian – hingga hari ini. Bedanya, sekarang, karena sudah tidak punya malu, saya sering menanyakan apa kesimpulan dan rekomendasinya secara singkat pada pembicara. Amazingly, kadang-kadang pertanyaan itu tak langsung dapat dijawab secara lugas oleh si pembicara.

Pengakuan dosa: Di masa awal menjadi konsultan, terus terang saja saya pun senang menampilkan presentasi yang canggih-canggih dan masuk ke dalam kategori kelompok kedua – itu sebabnya, saya menyebut proses perpindahan kategori kelompok pengguna PPT adalah semacam evolusi. Waktu itu – dan rasanya sampai sekarang pun masih banyak yang begitu – format PPT para konsultan yang rata-rata didominasi oleh warna biru tua selalu dipenuhi dengan diagram di setiap slide.

Kalau Anda pernah belajar ilmu tentang branding, ini adalah bagian dari itu. Warna biru memberi kesan intelijensia yang kuat dan dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Lalu, data-data dan diagram yang ditampilkan – terlepas dari kredibilitas dan framing subyektif terhadap data yang digunakan – secara psikologis akan mengirimkan sinyal pada audiens dalam sebuah forum bahwa materi yang sedang disajikan telah dianalisis dan “dikunyah” secara cermat.

Dulu, saya sering berkelakar pada sesama kolega konsultan, “pokoknya kita harus membuat materi presentasi yang canggih, sehingga client akan berpikir bahwa masalah yang sedang mereka hadapi memang rumit dan hanya bisa diselesaikan oleh para konsultan.” Kalau tidak rumit, kesannya kita ini konsultan murahan begitu.

Saya tidak mengatakan bahwa semua konsultan mengada-ada ya – ada juga yang begitu memang, tapi kebanyakan yang saya perhatikan belakangan ini, mereka telah membuat “PR”-nya dengan baik sehingga diagram dan data yang mereka tampilkan pun terpercaya. Yang hendak saya katakan adalah, ada cara yang lebih efektif dan sederhana untuk menyampaikan pesan yang rumit sekalipun

Simplicity is the ultimate sophistication!

Ada yang bilang kutipan ini berasal dari Leonardo da Vinci, tapi kemudian ada yang membantahnya. Lepas dari siapa yang pertama kali mengucapkannya, saya sepakat dengan substansinya. Untuk menyampaikan pesan yang sederhana dan efektif, kita perlu belajar atau berlatih – jadi, tidak ada yang mudah. Setidaknya, hal-hal berikut ini harus menjadi pertimbangan:

  • Hasil yang diharapkan atau outcome yang hendak dicapai dari presentasi kita (konsep yang kita ajukan diterima? Client bersedia meng-hire? Dan sebagainya);
  • Koherensi atau keterkaitan antara inti pesan dengan bagian-bagian atau elemen-elemen pendukung inti pesan (supaya kita tidak berbicara melebar ke mana-mana);
  • Cara menyampaikannya (termasuk waktu penyampaian dan momentumnya);
  • Alat presentasi yang digunakan (dalam hal ini adalah bagaimana kita menggunakan PPT secara tepat).

Di antara berbagai hal yang perlu dipertimbangkan, hal terpenting bagi saya, adalah menentukan outcome yang hendak dicapai: Apakah kita ingin menunjukkan bahwa presentasi kita hebat dan canggih – dengan kata lain, mau menunjukkan kita pintar? Atau ingin menyampaikan substansi pesan secara efektif pada audiens? Well, bisa saja kita mencoba mencapai dua-duanya. Tapi pengalaman saya hasilnya tidak akan efektif.

Saat kita fokus pada upaya membuat presentasi terlihat canggih, kita akan mengorbankan efektivitas pesan. Sebaliknya, bila kita mengedepankan pesan yang efektif, kita takkan bisa memenuhi slide dengan macam-macam ornamen (berbagai jenis data dan diagram yang canggih-canggih itu, bisa saja dilampirkan sebagai dokumen referensi terpisah – untuk menunjukkan bahwa kita sudah bekerja keras –  jika kita mau melakukannya, tapi jangan mencampuradukkannya dengan bahan utama presentasi).

Prinsip Utama: “4 Plus 1”

Sebetulnya, menyampaikan gagasan secara efektif itu tidak harus pandai memainkan infografis – bahkan tidak harus menguasai PPT! Itu yang saya percaya dan praktekkan, dan itu juga pandangan dari Douglas Kruger, penulis buku “How To Make Your Points Without Powerpoints” dan pemegang rekor 5 kali juara Southern African Championships for Public Speaking.

“Tujuan presentasi, adalah menyampaikan pesan bukan fakta,” ungkap Kruger. Semua pidato terbaik yang disampaikan oleh pembicara terbaik, menyampaikan pesan bukan fakta. “Pernahkah Anda membayangkan Winston Churchil atau Barack Obama meyakinkan orang lain dengan menggunakan Powerpoint?”

Kruger bukan orang yang anti PPT – dan dia juga punya sejumlah saran bagi para pengguna PPT. Tapi menurut dia yang terpenting adalah pesan dan penyampai pesan. Alat atau instrumen adalah pendukung. Jangan sampai instrumen menenggelamkan pesan dan penyampai pesan.

Untuk menyampaikan pesan secara efektif, berikut adalah sejumlah prinsip yang saya gunakan (yang berasal dari pengalaman maupun referensi dari artikel ataupun buku yang pernah saya dapatkan):

Pertama: Selalu mulai dengan pendekatan problem-solving. Pada dasarnya setiap ide merupakan jawaban atas sebuah tantangan atau masalah yang dihadapi. Contoh: ide penggunaan masker di masa Pandemi COVID-19, merupakan jawaban atas masalah masih banyaknya orang yang tidak menggunakan masker yang berakibat mudahnya terjadi penularan virus SARS-CoV-2.

Coba saja Anda pikirkan ide apapun – pastilah ide itu adalah jawaban terhadap sebuah tantangan atau masalah. Jika tiba-tiba muncul ide dalam benak kita, sebelum menyampaikannya pada orang lain, tugas pertama kita adalah mengidentifikasi tantangan atau masalah apa – atau istilah kerennya problem statement apa – yang hendak dijawab oleh ide itu.

Kedua: Miliki satu pesan utama, namun dengan 3 hingga 4 komponen atau elemen untuk menjelaskannya. Dengan hanya memiliki satu pesan utama maka akan lebih mudah bagi audiens untuk mengingat ide yang hendak kita sampaikan pada saat presentasi berakhir. Tiga atau empat komponen yang kita gunakan adalah pilar yang membentuk pesan utama secara koheren.

Misalnya, jika Anda hendak menyampaikan presentasi tentang pentingnya penggunaan masker. Komponen yang kita gunakan misalnya, (1) mengapa penting menggunakan masker; (2) bagaimana cara menggunakan masker; (3) bagaimana memilih masker yang paling aman, dan (4) jenis-jenis masker yang tersedia di pasaran.

Ada juga yang menggunakan 5 hingga 10 komponen – tak ada yang melarang. Namun, jika ingin sebuah pesan mudah diingat, 4 adalah angka yang paling ideal dan sesuai dengan cara kerja otak, khususnya Prefrontal Cortex yang memang hanya efektif mengingat 3 hingga 4 hal secara bersamaan (lihat artikel sebelumnya “Mulai Berpikir Strategis dengan Mengenali Cara Kerja Otak” di blog ini).

Ketiga: Gunakan elemen story-telling atau metafora untuk membangun hubungan/kedekatan dengan audiens. Pada dasarnya kita semua mempunyai kisah jatuh-bangun dalam hidup, sehingga secara alami kita akan selalu merasa dekat dengan cerita atau drama kehidupan, baik yang sifatnya fiksi atau non-fiksi. Setiap orang dari berbagai latar belakang umur, cenderung tertarik dengan cerita. Bahan baku utamanya, biasanya, mengandung keharuan, kegembiraan, kekonyolan dan akhirnya kebahagiaan. Gunakan bumbu-bumbu tersebut dalam menyampaikan pesan, maka presentasi kita akan lebih mudah dikenang.

Ketika kita membuat metafora dengan menggambarkan bahwa organisasi yang sedang kita kelola ibarat “sebuah kapal yang sedang menerjang gelombang” (misalnya untuk menggambarkan situasi krisis yang sedang dihadapi), hal itu akan lebih mudah diingat dibandingkan dengan data-data tentang penurunan penjualan atau keanggotaan.

Dengan menggunakan cerita atau metafora, kita bisa menyisipkan emosi pada pesan. Tanpa cerita, fakta dan data akan terasa kering. Pernahkah ada yang bilang pada Anda, setelah selesai sebuah presentasi, “diagram tadi benar-benar membuat saya terharu lho.” Saya sih nggak.

Keempat: Gunakan data-data untuk mendukung ketiga hal di atas. Ketiga hal di atas penting untuk menyampaikan pesan inti secara efektif, sedangkan prinsip keempat ini penting untuk mengimbangi dan membuatnya menjadi lebih masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip-prinsip yang saya gunakan di sini, juga sejalan dengan pendekatan psikologi Daniel Kahneman, penulis buku “Thinking, Fast and Slow” dan peraih Nobel yang menggambarkan bahwa sistem berpikir manusia terdiri dari dua sistem operasi (baca juga “Seni Mengambil Keputusan: Berguru Pada Daniel Kahneman, Satu-Satunya Psikolog Peraih Nobel Ekonomi” di blog ini).

“Sistem 1 beroperasi secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau bahkan tanpa upaya dan juga tanpa bisa dikontrol,” kata Kahneman – itu yang coba dipengaruhi lewat prinsip pertama hingga prinsip ketiga. Sedangkan, “Sistem 2 befokus pada pada kegiatan-kegiatan mental yang membutuhkan upaya keras, termasuk untuk melakukan perhitungan yang kompleks” – yang kemudian diyakinkan oleh prinsip keempat.

Plus 1: Pentingnya Mengapresiasi Audiens. Selain keempat prinsip yang menyentuh aspek substansi pesan tadi, ada lagi prinsip tambahan yang sama sekali tidak terkait dengan substansi tapi memiliki bobot sangat penting dalam penyampaian pesan secara efektif, yaitu: memperlakukan setiap orang dalam sebuah forum sebagai “VIP” (baca juga tulisan “Semua Orang adalah VIP”). Caranya bisa dilakukan dengan menunjukkan rasa hormat atau apresiasi atas kehadiran mereka. Ucapan terima kasih dan menyebut nama mereka, sejauh memungkinkan, pun seringkali sudah memadai.

Intinya, kita mengakui keberadaan dan membangun “kedekatan” dengan mereka. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperlakukan sebagai orang penting, sehingga mereka pun menganggap kita musuh dan menabuh genderang perang di dalam hatinya, sambil menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan serangan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan tajam nan kejam.

Dengan mengandalkan prinsip “4 Plus 1” ini, kita bisa menyampaikan pesan secara efektif, dengan atau tanpa PPT. Saya mempraktekkan hal ini, terutama ketika diminta jadi pembicara secara mendadak tanpa sempat mempersiapkan bahan presentasi apapun…

Kurang dari setahun yang lalu, saya pernah mengalami situasi ini. Atasan saya, Kepala Staf Kepresidenan diundang untuk memberikan materi dalam sebuah forum nasional di Yogyakarta yang menghadirkan ratusan kepala sekolah SMK dari berbagai daerah. Namun, karena mendadak mendapat panggilan dari Presiden, beliau batal hadir. Deputi yang semestinya menggantikannya pun berhalangan, jadilah saya yang kebagian tanggung jawab menggantikannya.

Padahal, saya diberitahu sehari sebelum acara, dan kebetulan saat itu sedang ada deadline pekerjaan lain. Saya katakan pada panitia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa saya tidak punya waktu untuk menyiapkan materi dan saya hanya bisa menyampaikan pokok pikiran saya secara lisan. Tanpa PPT. Mereka setuju.

Pagi harinya, dalam perjalanan ke bandara, saya baru mulai mengembangkan pesan yang hendak saya sampaikan. Temanya adalah tentang pendidikan vokasi, jadi saya membaca ulang arahan umum Presiden tentang tema tersebut dan mengidentifikasi tantangan atau persoalan utama pendidikan vokasi di Indonesia. Inti soalnya: ada kesenjangan antara kebutuhan tenaga kerja di sektor industri dengan pasokan tenaga kerja dari berbagai lembaga pendidikan vokasi.

Solusinya, adalah membangun link and match antara lembaga pendidikan vokasi dengan industri. Namun, ini bukan sesuatu yang baru. Jadi, saya memilih untuk menyampaikan pesan yang lebih menekankan pada pentingnya “pengembangan kapasitas dan kapabilitas para pendidik dengan cara terus belajar lebih banyak hal baru, terutama yang terkait dengan teknologi informasi digital”. Itu pun sebetulnya bukan hal baru, tapi setidaknya itu pesan yang cocok untuk disampaikan oleh lembaga yang saya wakili.

Dalam waktu singkat, saya segera menemukan sejumlah data yang relevan melalui mesin pencari, terutama tentang berbagai jenis pekerjaan baru yang dibutuhkan di era disrupsi yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF). Aman. Pendekatan problem-solving sudah saya rumuskan, satu pesan inti “pengembangan kapasitas pendidik” sudah didapatkan, data-data penting juga sudah ada.

Tinggal membaginya dalam 3 elemen yang saya rumuskan sebagai pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) apa tantangan pendidikan vokasi saat ini?; (2) apa solusi atau kebijakan yang sudah dimulai pemerintah?; (3) bagaimana pendidik bisa mengoptimalkan perannya? (jawabannya adalah pesan inti: pengembangan kapasitas pendidik). Terakhir, mencari kisah yang bisa mengena dengan emosi peserta dan mengeksekusinya.

Dikarenakan alasan perbaikan landas pacu di Yogyakarta, membuat pesawat saya tak bisa langsung mendarat dan harus berputar-putar selama sekitar empat puluh menit. Namun, hal itu justru membuat saya lebih punya waktu untuk memikirkan kembali pesan dan struktur presentasi yang hendak saya sampaikan.

Sesampai di tempat acara, saya merasa cukup nyaman – meskipun jadwal presentasi saya terpaksa dimundurkan karena keterlambatan pendaratan pesawat yang tak terhindarkan. Pembawa acara mencoba meminta saya untuk langsung menyampaikan inti pesan melalui beberapa pertanyaan kunci yang telah ia siapkan. Tapi, saya menolak untuk langsung ke pokok masalah.

Saya ingin mereka mengenal saya terlebih dahulu…

Saya memilih mengambil kesempatan pertama menceritakan bagaimana peran ayah saya, seorang mantan guru yang beralih menjadi bankir profesional mendidik anak-anaknya – dan bahwa kesukaan saya untuk berbagi pengalaman dan perspektif, tampaknya tak lepas dari gen pendidik yang saya warisi dari ayah saya.

Pengantar untuk membangun kedekatan yang sepertinya cukup efektif. Air muka ratusan peserta mulai terlihat antusias. Tak ada yang saling berbicara di antara mereka. Dengan serius mereka menyimak cerita saya, dan dari dalam hati, muncul perasaan bahwa saya sepertinya sudah “disambut sebagai bagian dari keluarga besar guru”.

Setelah muncul perasaan itu, barulah saya sampaikan pokok-pokok pikiran yang sudah saya persiapkan dalam perjalanan.

Tak terasa saya berbicara dan bercerita hingga 40-an menit lamanya. Kemudian disambung dengan berbagai pertanyaan bertubi-tubi dari seluruh peserta, hingga total waktu yang disediakan untuk saya sebagai pembicara tunggal mencapai lebih dari 2 jam. Di akhir acara ada cukup banyak yang menyalami saya dengan sangat erat. Saya benar-benar terharu.

Ingin Jadi Pembicara Profesional?

Saya dengan sengaja membatasi ruang lingkup tulisan ini pada topik bagaimana menyampaikan pesan inti secara efektif. Sesuatu yang sangat mendasar dalam mengkomunikasikan gagasan dan dapat diterapkan di hampir semua profesi, dan terutama, organisasi. Tulisan ini bukanlah berisi pelajaran tentang bagaimana menjadi pembicara profesional – hal itu membutuhkan sejumlah skill tambahan dan saya sendiri bukanlah seorang pembicara profesional.

Tapi, jika Anda menguasai prinsip-prinsip yang disampaikan di atas, saya yakin akan lebih mudah – jika Anda mau – untuk beralih menjadi pembicara profesional. Cicero (106-43 SM), filsuf, politisi dan orator legendaris dari masa Romawi kuno menggunakan lima elemen penting untuk menjadi seorang pembicara yang memikat, yang sebetulnya diajarkan di sekolah-sekolah terbaik dari jaman Yunani kuno dan Romawi kuno  (“The Life and Times of Rome’s Greatest Politician: Cicero”, karya Anthony Everitt). Sebagian dari elemen itu memiliki kesamaan dengan prinsip “4 Plus 1” di atas:

  • Inventio: Menemukan berbagai gagasan yang akan digunakan sebagai argumen (bandingkan dengan pendekatan problem-solving yang saya sampaikan sebelumnya; pada dasarnya, gagasan yang kuat, menurut saya, harus merupakan jawaban atau penyelesaian atas suatu masalah atau tantangan).
  • Collocatio: Merupakan struktur dan pengorganisasian pesan (bandingkan dengan prinsip pentingnya memiliki 1 pesan utama dengan 3 hingga 4 komponen pendukung di atas).
  • Elocutio: Pentingnya pemilihan diksi dan gaya dalam penyampaian pesan (saya tidak memasukkan aspek ini dan memilih story-telling sebagai gantinya; tapi bagi pembicara profesional, diksi dan gaya menjadi sangat penting untuk mempersuasi secara lebih intensif).
  • Actio: Bahasa tubuh dalam penyampaian pesan (saya juga tidak memasukkan aspek ini sebagai sesuatu yang mendasar, karena sebagai pembicara non-profesional, kita bisa saja menyampaikan pesan sambil duduk misalnya; berbeda dengan pembicara profesional yang ibarat seorang aktor harus terlihat ‘hidup’ sikap dan gayanya).
  • Memoria: Menghapal materi atau pesan yang hendak disampaikan (orasi dalam tradisi Romawi kuno bisa berlangsung hingga berjam-jam dan tidak dibacakan, sehingga hal ini tak terlalu relevan untuk konteks manusia modern; kita bisa saja menggunakan bantuan catatan atau PPT untuk tetap fokus).

Kembali ke PPT

Fokus dari apa yang saya sampaikan di sini tak lepas dari problem statement yang saya temukan sebelum membuat tulisan ini, yaitu dalam melakukan presentasi terdapat kecenderungan cukup banyak orang untuk – meminjam istilah Kruger – melakukan “overuse” terhadap PPT dan melupakan “pesan inti” yang semestinya disampaikan secara efektif. Jadi, pesan inti tulisan ini adalah supaya kita kembali mengedepankan “pesan inti” dalam setiap presentasi. Anda mau jadi pembicara profesional atau tidak, cara menyampaikan pesan inti secara efektif adalah sebuah keharusan. Sesuatu yang mendasar.

Pada ekstrem yang lain ada juga orang-orang yang cenderung asyik berbicara sendiri (dengan atau tanpa PPT), sehingga membuat audiens tidak nyaman – dan dengan demikian, pesan intinya pun tidak tersampaikan secara efektif, karena audiens sudah tidak merasa terkoneksi dengan penyampai pesan. Ini pun harus dihindari.

Sebelum saya akhiri, berikut adalah sejumlah saran dalam mengembangkan PPT untuk melengkapi prinsip-prinsip dasar yang sudah disampaikan tadi:

  • Untuk menguji apakah Anda sudah memiliki satu pesan inti yang kuat, coba atau latihlah untuk menyampaikan substansi dari pesan tersebut dalam waktu kurang dari 1 menit (saya dan kolega sering membuat ‘lomba’ di antara kami untuk mencapainya dalam waktu 30 detik).
  • Setiap slide harus memiliki satu pesan saja. Pastikan bahwa pesan itu tercermin dari judul slide tersebut. Jika ada narasi yang hendak ditambahkan, pastikan itu disampaikan dalam bentuk kalimat pendek yang merupakan penjelasan dari judul slide – bukan hal baru yang tak terkait.
  • Slide yang baik harus terasa mudah dan nyaman bagi audiens yang melihatnya (ini pun sesuai dengan prinsip cara beroperasi Sistem 1 otak manusia sebagaimana diperkenalkan Daniel Kahneman). Misalnya, menggunakan warna atau simbol atau sentuhan desain yang berulang, judul dan teks utama yang jelas, pilihan kata yang mudah diingat serta gambar-gambar yang menyenangkan. Prinsipnya seperti di bawah ini:
REPEATED EXPERIENCE 
CLEAR DISPLAY 
PRIMED IDEA 
GOOD MOOD 
FEELS FAMILIAR 
FEELS TRUE 
EASE 
FEELS GOOD 
FEELS EFFORTLESS
Diambil dari “Thinking, Fast and Slow” karya Daniel Kahneman

Douglas Kruger pun memiliki beberapa saran yang dapat Anda pertimbangkan (terus terang saya hanya memiliih beberapa saja yang relevan dengan “pesan inti” yang hendak saya sampaikan lewat tulisan ini):

  • Desain slide sebaiknya mengikuti hirarki; paling penting ada di paling atas, yang paling tidak penting di paling bawah (yang paling penting adalah visual yang kuat, yang paling tidak penting adalah teks yang panjang).
  • Semakin banyak kalimat yang digunakan, semakin lemah slide yang kita gunakan.
  • Jangan menaruh semua hal dalam satu slide.
  • Pertimbangkan waktu yang akan dihabiskan dalam sebuah slide – jangan sampai overtime, risikonya kita terdiskoneksi dengan audiens.
  • Pusat perhatian adalah pembicara, bukan slide – itu sebabnya kita harus membangun koneksi dengan audiens.
  • Gunakan slide anda untuk memancing rasa ingin tahu.
  • Pastikan audiens mengingat kita, bukan mengingat slide-nya.

Itu saja yang bisa saya sampaikan. Jika memiliki bakat dan minat, Anda tentu bisa mengembangkan aspek seni dengan belajar dari seorang graphic-designer dalam rangka membantu memperjelas pesan inti. Terus terang saja, itu keahlian yang tidak saya kuasai. Terima kasih sudah menyimak. Semoga sukses.