
Dunia berkembang tak selalu berarti tercapainya kemajuan. Benar bahwa teknologi membawa banyak kemudahan bagi kita – internet, misalnya. Namun, di ranah demokrasi dan kebudayaan, rasanya masih menyisakan banyak “PR” untuk kita tingkatkan. Pola serba “instan”, dalam konteks efektivitas dan efisiensi yang dihasilkan teknologi, memang penting dan perlu. Tapi, dalam konteks demokrasi? Nanti dulu.
Teknologi memang bisa membantu, melalui bantuan big data yang mengandalkan platform media sosial, bisa “menyulap” persepsi publik dan mempengaruhi hasil pemilu. Itu yang terjadi dalam referendum Brexit di Inggris Raya tahun 2016 dan Pemilihan Presiden AS di tahun yang sama – terutama dengan keterlibatan konsultan super canggih macam Cambridge Analytica.
Banyak politisi lantas berpikir, “ah, itulah cara terampuh dan tercepat menjadi pemimpin.” Mengandalkan kekayaannya, atau yang mungkin disediakan oleh pihak sponsor, mereka pun mulai mendominasi panggung politik. Yang tampil bisa mereka sendiri, anaknya atau bahkan istrinya. Siapa saja bisa, asalkan punya modal.
Lalu, ketika badai krisis menerpa tiada ampun, kita hanya bisa berdoa agar mereka diberi kekuatan dan petunjuk untuk mengarahkan kemudi kapal, menghindari karang dan sampai pada tujuan dengan selamat…
Krisis mengingatkan kita pada kebijaksanaan orang-orang tua dulu, bahwa untuk mencapai kebaikan dibutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Jer basuki mawa beya. Ksatria yang hebat dan berbakat harus melalui kawah candradimuka sebelum ditahbiskan menjadi pemimpin yang bijaksana. Bagaimana bisa memimpin orang banyak, jika nafsu dan angkara murka, belum berhasil ia taklukkan?
Berbagai kisah dan tradisi di masa lalu menunjukkan bahwa para calon pemimpin seringkali harus menjalani laku prihatin, umumnya dengan cara berpuasa, sebelum mencapai kesuksesan. Mahatma Gandhi melakukannya, banyak tradisi agama dan budaya sejak lama menganjurkannya (baca tulisan tentang “Kuasa dan Puasa” di sini).
Untungnya, pengalaman dan kebijaksanaan dari masa lalu itu masih dapat kita akses melalui berbagai literatur yang masih tersedia – bayangkan jika dalam suatu masa di kehidupan kita, ada penguasa gila yang menyuruh membakar atau menghilangkan semua jejak sejarah dan pemikiran ini, demi mengutamakan pemikirannya semata. Semoga takkan pernah!
Stoikisme
Salah satu cabang filsafat yang dapat menjadi panduan bagi para calon pemimpin, dalam berbagai bidang, yang hendak mencapai kebijaksanaan adalah Stoicism atau Stoikisme yang dikembangkan oleh para bijak dari Yunani lebih dari 2000 tahun lampau.
Berbeda dari pemikiran filsafat Yunani dan Barat pada umumnya, Stoikisme tidak berhenti pada intellectual exercise, yang bertujuan untuk memiliki pandangan atau konstruksi pengetahuan terhadap berbagai fenomena kehidupan. Stoikisme lebih tepatnya merupakan metode, yang membutuhkan kedisiplinan dan pengorbanan, untuk mencapai kebajikan atau “kebebasan sejati”.
Sebagaimana pernah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya di blog ini (Pelajaran dari Marcus Aurelius dan Kaum Stoa Ketika Badai Krisis Tiba), Stoik (atau Stoic) mengacu pada sikap yang tidak menunjukkan perasaan atau emosi, terutama ketika menghadapi situasi yang biasanya emosional.
Stoikisme yang dirintis oleh Zeno, pedagang asal Venezia 300 tahun sebelum Masehi bersama-sama Kaum Stoa yang memperkenalkan ajaran ini, mengedepankan “kebajikan sebagai hal tertinggi” (Summum Bonum) yang harus terus diupayakan manusia. “Kebajikan sudah cukup untuk mencapai kebahagiaan”.
“Etika” adalah tema yang paling sering dibicarakan Kaum Stoa. Bagi mereka, pengendalian diri sangat penting untuk bisa mencapai kebajikan. Dengan pengendalian diri, seseorang bisa terlepas dari berbagai emosi negatif dan nafsu yang membuat kebajikan dalam dalam dirinya terbenam.
Indikator terbaik untuk mengukur tingkat kebajikan seseorang bukanlah dengan melihat apa yang dia katakan, tetapi dari perilakunya sehari-hari. Kebajikan tidak bisa “dipalsukan”. Tak bisa hanya jadi pencitraan. Ia merupakan hasil dari disiplin dan pengendalian diri yang memerlukan proses yang tak singkat.
Tiga tokoh utama Stoikisme: Seneca, Epictetus dan Marcus Aurelius sebetulnya hendak mengembalikan filsafat sebagaimana ketika ia diperkenalkan oleh Socrates – filsafat sebagai “jalan” untuk mencapai kebijaksanaan. Philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan).
Siapa Epictetus?
Epictetus, yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini, memiliki sejumlah keunikan dan pengaruh yang luar biasa. Melampaui jamannya. Meskipun ia tidak pernah menulis buku apapun selama hidupnya – berbeda dengan Seneca, negarawan yang menulis banyak surat berisi kebijaksanaannya pada sahabatnya atau Marcus Aurelius, pemimpin tertinggi di jamannya, yang menuliskan buku perenungan untuk dirinya sendiri – Epictetus adalah satu-satunya guru tentang Stoikisme dibandingkan dengan dua tokoh lainnya.
Dalam pengantar untuk kumpulan buku Epictetus “Discourses, Fragments, Handbook” hasil terjemahan baru Robin Hard yang diterbitkan Oxford World’s Classic (2014), diceritakan bahwa Epictetus terlahir sebagai budak di Hierapolis pada tahun 50 Masehi, kota penting berjarak ratusan mil dari Ephesus yang sekarang berada di bagian barat daya Turki.
Ia diketahui, dimiliki oleh Epaphroditus, mantan budak yang merupakan orang berpengaruh dan menjadi Sekretaris untuk Kaisar Nero (54 – 69 Masehi) dan Domitian (81 – 96 Masehi) di Roma. Atas perkenan Epaphroditus ia mengenal dan belajar tentang Stoikisme dari Musonius Rufus (30 – 101 Masehi).
Tak lama setelah kematian Nero, Epictetus akhirnya memperoleh kebebasannya dari Epaphroditus, dan mulai mengajar di Roma – barangkali setelah mendapatkan rekomendasi dari Musonius Rufus. Tahun 89 Masehi, Epictetus terpaksa berpindah ke Nicopolis di sebelah timur Yunani, setelah Kaisar Domitian melarang semua filsuf di Italia, yang dianggapnya beroposisi terhadap kepemimpinannya.
Di tempat barunya, ia mendirikan sekolah filsafat yang kemudian menjadi terkenal dan menarik banyak murid dan pengunjung, termasuk di antaranya Hadrian (Kaisar Roma pada tahun 117 hingga 138 Masehi). Nicopolis, sebuah kota besar dan makmur, serta mudah untuk dikunjungi orang-orang dari Italia maupun Yunani, tampaknya memang cocok untuk Epictetus. Ia jarang bepergian keluar kota, hingga ajal menjemputnya pada tahun 135 Masehi.
Epictetus tidak menikah namun dikabarkan mengadopsi seorang anak di masa tuanya, serta seorang wanita sebagai pasangan hidupnya untuk merawat anak asuhnya itu. Ia hidup dengan sederhana, tak punya banyak harta.
Pandangan hidup Epictetus menjadi berpengaruh berkat tulisan-tulisan muridnya yang terkenal, Arrian (kelahiran 108 Masehi). “Discourses” dan “Enchiridion” (atau “Handbook”, atau “Buku Pegangan”) juga merupakan rekaman Arrian atas pelajaran-pelajaran yang disampaikan Epictetus di sekolahnya.
Arrian menggambarkan Epictetus sebagai seorang pembicara yang berpengaruh yang dapat membuat para pendengarnya terlena dan “merasakan apa yang hendak Epictetus inginkan” bagi pendengarnya untuk dirasakan. Nama aslinya tidak pernah diketahui, Epictetus sendiri berarti “seseorang yang telah mengalami pencapaian” – mencerminkan sebuah pengakuan terhadap tingkat kebijaksanaan yang mungkin diraih dari seorang Stoa.
Inti Ajaran
Pesan mendasar dari ajaran Epictetus, adalah bahwa (1) untuk mencapai kebahagiaan dan kebaikan dalam hidup merupakan keputusan kita sendiri – terserah kita – dan manusia sudah dibekali dengan kapasitas untuk mencapai hal ini, terlepas dari konteks sosial maupun karakter setiap individu.
Lalu, untuk mencapai hal tersebut (2) membutuhkan kombinasi antara perenungan yang terus-menerus dan kerja keras, terutama untuk menanamkan prinsip-prinsip utama dalam hidup di setiap konteks tindakan dan relasi sosial kita.
Apa yang diajarkan Epcitetus sesungguhnya memiliki kesamaan dengan pandangan Kaum Stoa pada umumnya. Massimo Pigliucci, penulis buku “How to Be a Stoic?” menyebut 2 pilar ajaran Kaum Stoa itu:
Pertama, “kebajikan-kebajikan utama”, yang terdiri dari: kebijaksanaan dalam hidup sehari-hari, keberanian, keadilan dan sikap tidak berlebihan atau moderat. Ini merupakan nilai-nilai universal yang harus selalu kita wujudkan dalam setiap situasi.
Kedua, “pemilahan kendali”, yaitu bahwa ada hal-hal yang bergantung pada kita atau yang dapat kita kendalikan dalam kehidupan kita, dan ada hal-hal yang tidak bergantung pada kita atau berada di luar kendali kita.
Pilar kedua ini, secara khusus, menjadi tema yang berulang dalam ajaran Epictetus – ia menggunakan istilah “sphere of choice” atau “ruang kendali pikiran” yang disebut hingga 76 kali dalam “Discourses”. Yang artinya sama saja, yaitu bahwa hal-hal yang dapat kita kendalikan adalah yang berada dalam ruang kendali (pikiran) kita sendiri.
Berbuat baik, ada dalam ruang kendali pikiran kita. Meskipun kita menghadapi kematian sekalipun, kita masih bisa memilih: mau mati dengan tenang, atau mau mati dengan cemas. Hal ini dia gambarkan cara yang sedikit “angkuh” dalam “Discourses”:
“Aku harus mati. Jika waktunya sekarang, baiklah maka aku mati sekarang; jika nanti, maka sekarang aku akan makan siang lebih dulu, karena jam untuk makan siang telah tiba – dan kematian biar dihadapi nanti saja.” (Discourses I.1.32)
Ketika pada umumnya orang takut akan kematian atau penderitaan atau krisis, Epictetus mengatakan bahwa sebetulnya kita punya “pilihan” untuk menghadapinya dengan cara yang bijaksana. Namun, dia tidak mengatakan bahwa semua orang akan bisa dengan mudah melakukannya – dan justru di sinilah, “buah” dari proses pengendalian diri itu…
Buah itu tidak bisa didapatkan dengan cara-cara instan. Tidak ada dispensasi untuk itu. Tidak bisa dibeli dengan kekayaan, tapi dengan kedisiplinan dan pengalaman.
Kata Epictetus:
“Tetapi untuk mencapai hal ini, seseorang harus menerima kesulitan yang tidak kecil, dan pengorbanan yang tidak sedikit. Anda tidak dapat berambisi menjadi petinggi dan pada saat yang sama mengikuti jalan ini; Anda tidak bisa terobsesi untuk membeli tanah dalam jumlah besar dan mengikuti jalan ini; Anda tidak bisa mengkhawatirkan budak yang Anda punyai dan bahkan diri Anda sendiri.”
Namun, mereka yang mampu menjalaninya adalah orang-orang yang spesial. Mereka adalah jenis yang berbeda. Mereka yang layak menjadi pemimpin.
“Siapakah orang yang paling hebat? Dia yang tidak bisa terganggu oleh apapun yang berada di luar ruang kendali pikirannya.”
Bagi Epictetus hal-hal yang berada di ruang kendali pikiran itu, termasuk tubuh kita sendiri, istri, anak, harta dan jabatan serta semua hal yang bersifat eksternal. Kita harus memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya – karena berbuat baik berada dalam kendali kita. Namun, jika suatu saat Tuhan menghendaki untuk “mengambilnya” dari kita, semua itu harus direlakan.
Sejatinya hal-hal tersebut bukanlah milik kita. Hal-hal eksternal itu, dalam perkataan Epictetus, dikategorikan sebagai “impresi” yang tidak abadi.
Oleh karena itu, cara menjalani hidup, ia simpulkan seperti dalam percakapan ini:
“Katakanlah hai Epictetus, apa saja hal yang kau anggap sebagai ‘kebaikan’?”
“Latihan untuk membuat pilihan yang benar, dan juga, bagaimana menggunakan impresi secara tepat.”
“Lalu untuk apa kita harus seperti itu?”
“Untuk mengikuti Tuhan.”
Epictetus dan Kaum Stoa, pada umumnya, memang menyakini bahwa Tuhan sudah mengatur alam ini secara sempurna. Sehingga kita hanya perlu “menerima” dan hidup menyesuaikan diri dengan alam. “Yang lebih penting adalah (menerima) hukum kehidupan yang menyatakan bahwa kita harus melakukan hal-hal yang sesuai dengan alam.”
Terdengarnya gampang. Tapi, para bijak dari berbagai tradisi agama dan budaya, mungkin akan bersepakat bahwa sikap nrimo serta “sabar, tawakal dan ikhlas” ini adalah hal yang mungkin paling sulit dijalankan manusia pada umumnya. Pikiran yang liar dan emosi yang masih meluap-luap akan berusaha keras menghalangi kita mencapai keadaan ini.
Butuh jihad akbar untuk mencapainya.
Pengaruh
Di samping kisah hidup dan ajarannya, Epictetus menjadi tokoh yang sangat menarik karena pengaruhnya yang melampaui jaman, hingga dua milenium – terutama bagi para pemimpin dan tokoh-tokoh penting dunia. Pengaruh awal yang paling nyata terlihat pada Marcus Aurelius, yang terang-terangan menyebutkan nama Epictetus sebagai orang yang dikaguminya dalam buku “Meditations” yang ditulis sendiri oleh Sang Kaisar Roma yang Bijaksana ini.
Pada pengantar kumpulan karya Epictetus – “Discourses, Fragments, Handbook” terbitan Oxford World’s Classic (2014) – yang digunakan sebagai referensi utama untuk tulisan ini, juga menyebutkan bahwa pandangan-pandangan moral Epictetus berpengaruh pada tokoh-tokoh awal Kristen seperti Clement, Origen dan John Chrysostom. Pemikirannya tentang “pilihan” dan keputusan rasional dianggap mempengaruhi munculnya pemikiran Kristen tentang “kehendak” dan “kebebasan”, terutama oleh Origen dan Agustinus (abad ketiga dan keempat Masehi).
“Pada abad keenam, Simplicius menulis komentar yang substansial tentang Buku ‘Handbook’, dan menempatkannya sebagai teks pengantar filsafat dan cara hidup Neoplatonis. Buku Pegangan ini juga diadopsi, dengan beberapa modifikasi (termasuk mengganti nama Socrates dengan Santo Paulus), oleh para biarawan Kristen, dan digunakan selama berabad-abad oleh Gereja Timur (Ortodoks Yunani).”
“Melalui para sarjana Kristen Syria, pemikiran Epictetus juga menyebar ke peradaban Islam, misalnya, ajaran tentang ‘menghilangkan sengsara’ oleh al-Kindī, seorang tokoh utama yang melakukan studi teks-teks Yunani di Baghdad pada abad kesembilan.”
“Di akhir abad kelima belas dan seterusnya, terjemahan dan edisi karya Epictetus tersedia secara luas di sebagian besar Eropa. Hal ini memicu kemunculan filsafat Neostoik, yang secara selektif mengadopsi tema-tema pokok Stoa, oleh Justus Lipsius (Belanda, 1547–1606) dan Guillaume de Vair (Prancis, 1556–1621).”
Pascal (1623-62) dan Descartes (1596–1650), dua pemikir besar di awal abad ketujuh belas pun terpengaruh oleh Epictetus. Keduanya merespon positif pandangan Epictetus tentang ‘agensi rasional’ sebagai dasar bagi sifat manusia serta pentingnya daya tahan emosional. Descartes, dalam metodologi rasionalitasnya menekankan tentang pentingnya ‘memeriksa impresi-impresi’ sebelum ‘mengiyakan’ mereka.
Sedangkan di Amerika Serikat, pengagum Epictetus adalah para tokoh seperti John Harvard (pendiri Harvard University) dan Thomas Jefferson, Presiden ketiga dan juga pencetus Deklarasi Kemerdekaan AS, atau salah satu pendiri bangsa AS, hingga Ralph Waldo Emerson dan Henry David Thoreau, dua pemikir besar di negeri itu.
Presiden AS ke-26, Theodore Roosevelt, yang meraih Nobel Perdamaian di tahun 1905 karena mendamaikan Rusia dan Jepang yang sedang berperang, diketahui membawa-bawa buku “A Selection from the Discourses of Epictetus with the Enchiridion” selama melakukan ekspedisi ilmiah menyusuri “River of Doubt” di Brazil.
Di tanah Amerika juga, ajaran Epictetus mendapatkan pengaruh luas, khususnya di kalangan Angkatan Laut AS, setelah Laksamana Madya James Bond Stockdale (1923 – 2005) menuliskan testimoni mengharukan bagaimana hasil perenungannya terhadap ajaran Epictetus di Stanford University telah memampukannya bertahan dari tekanan psikologis ketika menghadapi penyiksaan berkepanjangan selama menjadi tahanan perang Vietnam.
Pesawat Stockdale tertembak jatuh di Vietnam pada tahun 1965 dan dia menjadi tahanan perang selama 7 setengah tahun – di antaranya, ia harus menjalani 4 tahun berada dalam ruang tahanan isolasi dan berulangkali disiksa. Kisah Stockdale dapat dibaca dalam berbagai karyanya – di antaranya “Courage Under Fire: Testing Epictetus’s Doctrines in a Laboratory of Human Behavior” dan “Thoughts of a Philosophical Fighter Pilot”. (Lebih jauh tentang kepemimpinan Stockdale dapat dilihat dalam artikel “Lessons in Stoic Leadership” yang dipublikasikan oleh United States Naval Institute pada link di sini).

Pada tahun 1993, dalam sebuah pidato yang disampaikan di Great Hall, King’s College, London, Stockdale menggambarkan pikirannya segera setelah pesawatnya tertembak:
Setelah berhasil keluar dari pesawat… saya berbisik pada diri saya sendiri: Saya meninggalkan dunia teknologi dan memasuki dunia Epictetus… saat keluar dari pesawat muncul pemahaman bahwa seorang Stoic selalu menyimpan file-file secara terpisah dalam pikirannya untuk (A) hal-hal yang “terserah dia” dan (B) hal-hal yang “tidak terserah padanya.”
Cara lain untuk mengatakannya adalah (A) hal-hal yang “di dalam kekuatannya” dan (B) hal-hal yang “di luar kekuatannya.” Masih ada cara lain untuk mengatakannya, yaitu bahwa (A) adalah hal-hal yang berada dalam jangkauan “Kehendaknya, Kehendak Bebasnya” dan (B) adalah hal-hal yang berada di luarnya.
Semua dalam kategori B adalah “eksternal,” di luar kendali saya, yang akhirnya membuat saya takut dan cemas jika saya menginginkan mereka.
Sedangkan semua dalam kategori A, terserah saya, dalam kekuatan saya, dalam kehendak saya, dan subyek yang tepat untuk menjadi perhatian dan keterlibatan total saya. Itu termasuk pendapat saya, tujuan saya, keengganan saya, kesedihan saya sendiri, kegembiraan saya sendiri, penilaian saya, sikap saya tentang apa yang sedang terjadi, kebaikan saya sendiri, dan kejahatan saya sendiri.
Stockdale mengakhiri pidatonya yang mengharukan dengan sebuah cerita tentang catatan dari seorang tahanan yang ia terima selama cobaan panjang yang dilaluinya:
Saat kembali ke sel, setelah penjaga mengunci pintu, saya duduk di atas jamban – yang akan memungkinkan saya membuang catatan diam-diam jika lubang pengintip sel bergerak – lalu membuka lipatan kertas toilet berkualitas rendah milik Hatcher yang di atasnya, dengan sangat hati-hati, telah ia tuliskan, tanpa tambahan komentar atau tanda tangan, ayat terakhir dari puisi Ernest Henley, ‘Invictus’:
Bukan masalah gerbang yang sempit itu,
Seberapa berat keputusan hukuman yang dikenakan,
Akulah sang penguasa nasib:
Akulah kapten jiwaku sendiri.
Catatan Penutup
Saya tidak hendak membuat analisis tambahan tentang betapa pentingnya ajaran Epictetus bagi para pemimpin. Berbagai catatan sejarah di atas sudah cukup membuktikannya. Saya hanya ingin berterimakasih Anda telah membaca tulisan ini, karena itu adalah salah satu hal dalam “ruang kendali pikiran” saya sendiri, yang dapat saya lakukan.
Hal lain yang masih berada dalam kendali saya adalah menyajikan pada Anda semua, terjemahan dari “Enchiridion” atau “Buku Pegangan” yang sudah menginspirasi banyak pemimpin dunia, sebagai tulisan berseri setelah ini. Meskipun singkat (hanya terdiri dari 53 bab pendek) – dan karena itu disebut sebagai “Buku Pegangan” – Anda tidak harus cepat-cepat membacanya hingga tuntas.
Simpan saja ke dalam memori di komputer atau handphone anda, dan jadikan ia teman untuk merenung di manapun Anda berada. Semoga Anda bisa menjadi pemimpin yang baik, di lingkungan Anda sendiri, dalam konteks yang berbeda-beda. Sekian.
Tautan untuk membaca “Enchiridion” atau “Buku Pegangan”:
Belajar Kepemimpinan dari Epictetus II: Membaca Enchiridion (1-21)
Belajar Kepemimpinan dari Epictetus III: Membaca Enchiridion (22-33)
Belajar Kepemimpinan dari Epictetus IV: Membaca Enchiridion (34-53) – Selesai