
Masihkah akan ada perang besar di masa depan? Tak ada yang dapat memastikan. Tapi sejumlah pemikir modern, termasuk Yuval Noah Harari (dalam bukunya, 21 Lessons for the 21st Century) cenderung tak percaya hal itu.
Perspektif ekonomi yang sangat dominan mempengaruhi alam pikir para pemimpin dunia tampaknya menjadi alasan utama, tak ada yang mau terjebak dalam perang yang saling meluluhlantakkan (annihilation war). Perang selalu mensyaratkan biaya yang besar, dan kehancuran akibat perang menyebabkan hilangnya peluang untuk menjadi pemimpin ekonomi dunia. Kira-kira demikian alasannya.
Masuk akal memang. Bagaimana dengan perspektif sejarah?
Lawrence Freedman dalam buku Strategy: A History (2014) menggambarkan strategi perang mengalami evolusi dari masa ke masa. Perkembangan teknologi maupun pemikiran dan teori tentang perang telah mengubah banyak hal di dalam peperangan. Mulai dari tujuan, strategi hingga taktik.
Selama ratusan tahun hingga abad XVIII perang seringkali dilakukan dengan tujuan untuk menghabisi lawan (annihilation). Namun “Perang Tujuh Tahun” (1756-1763) yang legendaris menjadi salah satu pembuka mata bahwa perang tidak harus dilakukan dengan cara yang demikian.
Frederick yang Agung dari Prussia memperkenalkan “Strategi Melelahkan Lawan” untuk menahan gempuran Perancis, Austria, Russia dan Swedia. Memanfaatkan penguasaan terhadap wilayah pertempuran, Frederick memfokuskan serangan pada satu lawan dari titik yang menguntungkannya dan kemudian berpindah ke lawan lainnya jika posisinya kembali menjadi lebih baik.
Ia memang tidak bermaksud memenangkan perang secara keseluruhan, tapi strateginya juga tidak membuatnya harus menderita kekalahan. Pada akhirnya kemudian terjadi solusi diplomatik yang menjadikan dia memperoleh “kemenangan” yang dia inginkan.
Strategi ini mengingatkan kita pada perang kemerdekaan Indonesia yang juga diraih dengan cara mengkombinasikan antara perang gerilya dan diplomasi.
Perang Dunia II yang ditandai dengan kemenangan besar sekutu, terutama yang ditandai dengan penggunaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, menunjukkan betapa kemajuan sains dan teknologi telah kembali mengubah wajah perang dan konstelasi politik global.
Kemenangan perang melalui strategi meluluhlantakkan kembali terjadi. Kali ini, tidak dalam wilayah-wilayah pertempuran yang terbatas. Melainkan bisa dilakukan dari jarak jauh, menggunakan pesawat terbang, kapal perang dan mesin-mesin perang yang dapat dikendalikan dari jarak jauh.
Amerika Serikat dan Uni Soviet, pemenang Perang Dunia II yang sama-sama memiliki kekuatan sains dan teknologi kemudian membawa dunia pada sebuah situasi baru yang dikenal dengan “Perang Dingin” antara blok komunis dan blok kapitalis karena keberhasilan mereka mengembangkan senjata nuklir.
Perang Dingin tidak sampai membawa dunia dalam perang nuklir, sampai dengan bubarnya Uni Sovyet pada tahun 1991. Namun Perang Dingin sesungguhnya adalah sebuah perang strategi yang berbahaya. Masing-masing pihak tahu persis jika mereka menekan peluru kendali berhulu ledak nuklir, yang terjadi adalah situasi zero sum game. Sama-sama akan hancur.
Kekuatan nuklir, oleh karena itu, dipertahankan oleh masing-masing negara adi daya tersebut sebagai upaya untuk “menggertak” (deterrent) pihak lawan agar tidak berupaya lebih dahulu melakukan penyerangan. Yang kemudian terjadi adalah situasi damai yang mencekam.
Perang pengaruh terus dilakukan agar berbagai negara lain menjadi satelit pendukung salah satu kekuatan besar itu. Selain itu, negara manapun yang berusaha mengembangkan nuklir di luar kedua kekuatan tadi, akan dengan segala cara dihentikan. Utamanya dengan operasi intelejen ala James Bond.
Pasca perang dingin, Amerika Serikat lantas menunjukkan diri sebagai kekuatan dominan yang dengan mudah dapat meluluhlantakkan lawan-lawannya.
Mereka memang sempat kalah dalam perang asimetris di Vietnam, karena tidak menguasai medan perang gerilya di wilayah hutan di negara itu dan akhirnya mengalami keruntuhan moral pada pasukannya. Namun, dengan pengaruh ekonominya, Vietnam yang sudah tidak punya kepentingan apapun untuk bersatu dalam blok komunis Uni Sovyet yang kemudian bubar, akhirnya bisa menjadi “sekutu ekonomi” Amerika Serikat.
Kecanggihan mesin-mesin perang AS, pasca perang dingin dapat dilihat dari Perang Teluk di Kuwait pada awal tahun 1990-an.
Supremasi Amerika Serikat menjadi makin kokoh dan sepertinya dapat dengan mudah bisa kembali memenangkan perang dengan cara yang meluluhlantakkan. Sekitar 10 tahun setelah Perang Teluk, Amerika Serikat diguncang oleh serangan teroris pada tanggal 11 September 2001. Hal ini memberikan pasukan-pasukan perangnya legitimasi moral untuk menunjukkan tajinya.
Irak menjadi sasaran empuk apalagi setelah adanya tuduhan bahwa negara itu telah mengembangkan senjata pemusnah massal yang kemudian tak jelas keberadaannya. Dalam waktu singkat Irak ditaklukkan dan pemimpinnya Saddam Hussein dieksekusi.
Akan tetapi… Kecanggihan mesin-mesin perang Amerika Serikat itu, nyatanya tidak sepenuhnya berhasil memenangkan hati banyak pihak di Irak dan di berbagai negara lain di sekitarnya. Dengan bantuan dinosaurus pun tidak bisa.
Persepsi “ketidakadilan” berkembang secara senyap melalui teknologi informasi yang juga merupakan dampak dari kemajuan teknologi yang terjadi di Amerika Serikat. Ketidakpuasan ini salah satunya muncul melalui gerakan terorisme yang menggunakan identitas agama.
ISIS (Islamic State) menjadi salah satu simbolnya. Mereka melakukan aksi teror dengan menghidupkan sel-sel jaringannya dengan mengandalkan komunikasi melalui internet di berbagai negara. Para pelaku bom bunuh diri bisa berasal dari mana saja, termasuk dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Betapa sulit menghadapi perlawanan seperti ini.
Saat ini, era perang baru sudah terjadi. Mesin-mesin perang canggih menjadi sangat menakutkan dan efektif ketika berhadapan dengan musuh yang jelas posisi titik koordinatnya. Tapi menghadapi musuh yang bergerak cepat di antara masyarakat sipil dan menyebarkan ide melalui internet ke ruang-ruang percakapan pribadi, alat-alat perang itu tak bisa berbuat apa-apa.
Medan pertempuran yang berbeda membutuhkan persenjataan yang berbeda. Kemenangan dalam perang fisik tidak lagi cukup. Kemenangan sesungguhnya baru bisa diraih ketika persepsi masyarakat dapat turut “dimenangkan”.
Inilah perang persepsi. Perang untuk menguasai alam pikir sekelompok manusia yang dijadikan target untuk ditaklukkan.
Penerapannya semakin berkembang dan canggih seperti yang terlihat dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016 lalu.
Dalam perang seperti ini, batas-batas wilayah negara menjadi kabur. Perang terjadi di antara para pihak yang sedang berebut pengaruh. Bisa di antara kandidat pemimpin politik, di antara kekuatan bisnis, namun kelak bisa juga di antara negara atau aliansi negara.
Mereka bisa bersatu atau berseteru karena adanya persinggungan kepentingan.
Menggunakan big data yang diperoleh dari jejak digital kelompok masyarakat yang dijadikan target untuk dipengaruhi, preferensi sikap politik pemilih dari kelompok masyarakat tersebut bisa “diarahkan”. Ini hasil kerja tim pemenangan yang dibantu oleh konsultan-konsultan dengan bayaran sangat tinggi.
Yang dilakukan merupakan gabungan analisa data sosial dari kelompok masyarakat yang menjadi target dan ilmu tentang otak atau neuroscience.
Dalam perang persepsi, menjadi netral seringkali bukanlah sebuah pilihan. Sebab semburan informasi bagaimana pun akan menembus ruang-ruang pembicaraan yang paling pribadi sekalipun. Diam bisa berarti secara tidak sadar menjadi korban dari upaya pihak tertentu untuk mempengaruhi persepsi komunitas di mana kita berada.
Mau tidak mau kita harus memiliki “perlengkapan perang” yang memadai. Senjata terpenting tentulah penguasaan terhadap data.
Dalam perang persepsi, yang paling bernilai sekaligus paling berkuasa adalah mereka yang memiliki data yang paling komprehensif. Tak usah heran jika perusahaan-perusahaan paling besar saat ini adalah yang memiliki data yang paling lengkap atas umat manusia – di antaranya Facebook, Google, Amazon dan sebagainya.
Oleh karena itu, strategi paling tepat untuk menghadapi perang persepsi, tentu harus bermuara pada penguasaan data. Pada upaya untuk membangun “kedaulatan digital”.
Mungkin, itu bisa kita bahas lain kali.
Mas Wandy kalau nulis begini ini, isi nya seperti buku pengetahuan untuk kelas anak kuliahan tapi dibacanya enak, karena disajikan secara ringan, gampang dicerna, engga bosenin.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terimakasih Om Agus atas apresiasinya… 🙏
SukaSuka