
Penjelasannya bisa diperoleh dari teori yang dinamakan dengan Cognitive Dissonance, yang dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Menurut Festinger, manusia memiliki kecenderungan di dalam dirinya untuk menjaga prilaku dan tingkah lakunya agar tetap berada dalam harmoni dan selalu berusaha menghindari ketidakharmonisan (atau dissonance).
Festinger mengembangkan teorinya ini ketika mempelajari sebuah sekte yang percaya bahwa bumi akan dihancurkan oleh banjir pada waktu tertentu. Ia kemudian mengamati bagaimana sikap mereka, yang telah meninggalkan pekerjaan dan bahkan menjual rumah mereka, ketika ternyata pada akhirnya banjir itu tidak pernah terjadi.
Ia menemukan bahwa para pengikut yang tidak terlalu fanatik bisa menyimpulkan bahwa mereka telah berlaku bodoh dan menganggap pandangan mereka sebelumnya tentang petaka banjir itu ternyata keliru. Tapi, mereka yang fanatik justru mencari pembenaran bagi pandangannya, dan membuat narasi baru bahwa petaka banjir tidak terjadi justru karena “keimanan” mereka yang kuat.
Jika diperhatikan, kedua kubu pengikut itu, sama-sama berusaha menciptakan harmoni dalam dirinya. Yang pertama dengan menganggap bahwa ramalan yang tadinya mereka percaya ternyata bohong. Yang kedua, dengan melakuan framing bahwa ramalan tersebut tetap benar adanya, tapi telah terjadi perubahan yang tak terduga.
Artinya, bahwa “bukti” pun tak dengan sendirinya dapat mengubah pandangan mereka – jika mereka sendiri tidak mau berubah.
Coba diingat-ingat, seberapa sering kita menemukan gejala seperti ini di lingkungan sekitar kita. Orang yang beragama dan tidak beragama bisa saja terjebak dalam situasi yang demikian. Mungkin kita sendiri pun seperti itu, ketika terdesak, terjebak dalam adu argumentasi sehingga berusaha menghindari disonansi dalam diri dan bersikap defensif.
Lalu, di mana salahnya sikap seperti ini? Memang tidak ada yang salah, selama kita merasa tidak salah. Hanya saja sikap demikian membuat kita kehilangan peluang untuk mendapatkan perspektif baru yang mungkin dapat membuat hidup kita berubah atau lebih bermakna.
Sikap seperti itu pun bisa memunculkan antipati, karena dengan mudah kita dicap hanya mementingkan diri sendiri oleh lingkungan sekitar.
Bayangkan jika kita sedang memimpin organisasi yang harus belajar memahami prilaku anggota atau pasar yang dinamis. Lalu, sebagian besar staf senior dalam organisasi kita cenderung bersikap keras kepala. Lebih keras daripada dinosaurus.
Tak usah heran jika beberapa perusahaan yang dulunya terhebat di dunia, sekarang sudah tak jadi penguasa pasar lagi. Ada Nokia, Blackberry. Mudah saja menyebut nama-namanya.
Lantas apa antidotnya? Yang mudah diucapkan tapi sulit dijalankan tentunya, adalah, selalu bersikap terbuka terhadap perubahan, terutama atas gagasan atau ide-ide baru. Carilah teman atau orang yang bisa memberikan perspektif yang berbeda dalam melihat sebuah masalah.
Bukan yang selalu mengiyakan pandangan kita. Carilah mereka yang bisa membuat kita makin maju dan tangguh. Semacam sparring partner yang kritis, obyektif, rasional.
Lebih paten lagi jika analitik dan berbasis data.
Saat ini, bisnis konsultan manajemen secara global, memiliki nilai 274,86 milyar dolar AS pada tahun 2018 dan diperkirakan sebesar 284,56 milyar dolar AS tahun lalu. Penyebabnya karena perusahaan-perusahaan kelas dunia itu, ingin memilliki sparring partner.
Mereka sengaja mencari pil pahit yang mereka yakini bisa membawa mereka menjadi lebih baik. Lebih sehat.