
Ada sebuah riset menarik yang dilakukan Profesor David Dunning, psikolog dari Cornell University beberapa tahun lalu. Ia menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kompeten pada dasarnya tak mampu menilai kompetensi orang lain atau kualitas dari ide-ide orang lain.
Menurut Profesor Dunning, “Ide-ide yang sangat cemerlang akan sulit untuk diterima banyak orang, sebab umumnya publik tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui betapa baik sebuah gagasan.”
Kaitkan hal ini dengan demokrasi pada hari ini, maka kita akan menjadi maklum menyaksikan betapa proses politik, di berbagai tempat, belum dapat menghasilkan para pemimpin yang mampu menciptakan perdamaian dunia.
Lebih jauh, Profesor Dunning dan koleganya, Profesor Justin Kruger, menyimpulkan bahwa kebanyakan orang menganggap kemampuan intelektualnya berada di atas rata-rata. Hal ini mereka temukan ketika menguji kemampuan sejumlah orang dalam menilai kelucuan sebuah humor, ketepatan tata bahasa dan bahkan kehandalannya bermain catur.
Bahkan, orang-orang yang kemampuannya di level paling bawah pun menganggap diri mereka cukup hebat.
Yang lebih menarik lagi, dalam eksperimen tersebut, kedua profesor itu menemukan bahwa orang-orang sangat mudah mengenali mereka yang berkinerja paling buruk. Tapi tak bisa mengetahui yang paling baik.
Berdasarkan penelitian ini, seorang sosiolog asal Jerman, Dr Mato Nagel kemudian menerapkan teori dari Profesor Dunning dan Profesor Kruger ini ke dalam simulasi komputer terhadap pemilu yang bebas. Hasilnya, kandidat yang kemampuan kepemimpinannya sedang-sedang saja selalu memenangkan pemilu.
Dr Nagel lantas menyimpulkan bahwa demokrasi, sangat jarang atau bahkan tidak pernah memilih pemimpin terbaik.
Tentu saja ini tidak berarti bahwa sistem yang anti-demokrasi, seperti monarki dan teokrasi yang tidak memungkinkan terjadinya perimbangan kekuasaan adalah pilihan lebih baik – justru lebih buruk.
Tapi, hasil penelitian Profesor Dunning dan Profesor Kruger ini membuka mata kita bahwa ada “PR” besar yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu demokrasi, yaitu menghasilkan lebih banyak orang pintar. Sebab orang-orang pintar dalam jumlah yang besar, semestinya lebih memungkinkan untuk memilih pemimpin terbaik.
Caranya? Tentu dengan memperluas penggunaan ilmu pengetahuan. Sebab, kepintaran membutuhkan input pengetahuan yang terus-menerus.
Dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, yang saya maksudkan, tidak terbatas pada peningkatan pendidikan formal. Tapi meningkatkan tradisi penggunaan ilmu pengetahuan dalam berbagai dimensi.
Bisa dalam diskusi sehari-hari, dalam bentuk studi-studi untuk perbaikan kualitas kebijakan. Penggunaan data dan analisis yang baik untuk mempertajam program, di organisasi atau perusahaan.
Juga, dan terutama, untuk mempengaruhi ruang publik agar mengadopsi agenda-setting yang membahas berbagai isu strategis untuk memajukan kemanusiaan…
Betul. Kita tidak sekedar membicarakan tentang ilmu pengetajuan, tapi lebih besar dari itu: Pemajuan Kebudayaan.
Hanya dengan demikian, SDM unggul akan dapat benar-benar diwujudkan. Dan hanya dengan SDM unggul, kualitas demokrasi akan lebih baik. Pemimpin yang kita pilih pun akan lebih baik.
Sekali lagi, penelitian Profesor Dunning dan Profesor Kruger telah mengingatkan kita…
Saat kita, maaf, bodoh, kita tidak sadar bahwa kita bodoh. Hanya ketika kita tercerahkan, barulah kita sadar bahwa sebelumnya kita hidup dalam kegelapan. Tak beda dengan dinosaurus.
Reblogged this on ABHISEKA CARAKA NUSANTARA.
SukaSuka