Kaitan Antara Pengendalian Emosi dan Kesuksesan Material

Photo by Ryan McGuire from Pixabay

Background checking (pengecekan latar belakang) di media sosial sudah jadi praktek umum dalam merekrut tenaga kerja atau eksekutif di berbagai organisasi. Saat memimpin Tim Penataan Organisasi dan Sumber Daya Manusia (PO&SDM) di Kantor Staf Presiden sekitar tahun 2015-2017 hal itu pun sudah kami lakukan.

Yang menarik diketahui terutama adalah, bagaimana calon tenaga ahli yang akan direkrut mampu mengendalikan emosinya. Apakah dia sering memaki atau terlalu mudah meluapkan kemarahan? Apakah dia bisa menjaga rahasia dan tak mudah mengumbar meskipun di akun pribadinya?

Itu jauh lebih penting ketimbang CV dan berbagai lampiran pencapaiannya yang sudah pasti bagus-bagus semua – mana ada yang mau bilang bahwa dia tidak bisa apa-apa.

Pengendalian emosi itu penting sekali untuk kerjasama tim dan terutama ketika mengalami tekanan dalam pekerjaan. Hampir tidak ada organisasi yang saya tahu, yang sepanjang tahun, bisa bekerja dengan rileks dan sama sekali bebas dari stres – lagi pula untuk maju dan berkembang kita pun sesekali butuh stres, supaya berbagai sinaps yang menyimpan informasi di otak kita akan terbentuk dan membuat kita lebih pintar.

Banyak orang pintar dan ahli, tapi sulit bekerjasama dengan orang lain. Sehingga, kepintarannya hanya untuk diri sendiri dan tidak terlalu bermanfaat untuk organisasi yang mensyaratkan koordinasi dan komunikasi.

Di sinilah pentingnya Emotional Intelligence atau kecerdasan emosional, untuk menjadi pendamping yang setara dengan kecerdasan intelektual. Fakta dan berbagai riset terbaru pun mendukung bahwa kecerdasan emosional menjadi penentu karir dan kesuksesan, termasuk penghasilan, seseorang.

TalentSmart menemukan bahwa, di antara 33 kecakapan penting lain yang dibutuhkan di tempat kerja, kecerdasan emosional adalah yang paling bisa digunakan untuk  memperkirakan kinerja seseorang. Mereka bahkan menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional berperan hingga 58% dari kinerja setiap orang. Juga bahwa 90% orang-orang berkinerja terbaik memiliki kecerdasan emosional yang tinggi.

Yang paling menarik, mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi rata-rata memiliki penghasilan tahunan 29 ribu dolar AS lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang kecerdasan emosionalnya rendah. Dalam analisis yang dilakukan TalentSmart, setiap kenaikan poin kecerdasan emosional akan meningkatkan hingga 1.300 dolar AS penghasilan tahunan. Ini berlaku untuk setiap sektor industri, di semua tingkatan pekerjaan, dan di setiap wilayah di bumi ini.

“Kami belum menemukan satu bidang pekerjaan pun di mana kinerja dan penghasilan tidak terkait secara langsung dengan kecerdasan emosional.”

Masuk akal. Cobalah sekarang temui boss Anda dan teriak, “hey a**hole, cepat naikin gaji saya.” Pasti penghasilan anda akan berubah… Selamanya.

High emotional intelligence equals top performance. People who work to increase their emotional intelligence, or EQ, get results both on the job and in their personal lives. Everything we say and do each day is driven by our emotions. Those that understand their emotions are able to respond to them effectively and are able to keep their emotions from hijacking their behavior and derailing otherwise good intentions. Once you begin to understand the power of emotional intelligence and how you can use this skill to your advantage, you will realize potential in yourself that you never even knew you possessed.

Tapi, apa sebenarnya kecerdasan emosional itu?

“Kecerdasan emosional adalah tingkat kemampuanmu untuk mengerti orang lain, memahami apa yang memotivasi mereka dan bagaimana bekerjasama dengan mereka,” begitu kata Howard Gardner, seorang pakar dari Harvard University.

Setidaknya, terdapat lima kategori atau kualitas dari mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini teridentifikasi dari berbagai riset yang ada:

  1. Kesadaran Diri. Kemampuan untuk mengenal emosi pada saat ia “muncul” adalah kuncinya. Pengembangan kesadaran diri semacam ini memerlukan kepekaan untuk “melihat” ke dalam diri dan mengenali berbagai emosi kita sendiri. Seseorang yang bisa mengenali emosinya, lebih mudah untuk mengelolanya.
  2. Pengendalian Diri. Kebanyakan orang memang sulit mengontrol emosinya. Itu sebabnya, berbagai teknik dikembangkan untuk itu. Mulai dari pendekatan fisik, seperti olahraga, yang bertujuan untuk merangsang endorphin yang merupakan penenang alami dalam tubuh, hingga ke berbagai praktek spiritual dari berbagai macam tradisi.
  3. Motivasi. Mereka yang termotivasi, biasanya memiliki tujuan yang jelas dan mengembangkan prilaku yang positif untuk mencapai tujuannya itu. Mereka terpacu untuk mencapai standar yang lebih tinggi, penuh komitmen, berinisiatif tinggi dan optimistik.
  4. Empati. Yaitu kemampuan mengenali, atau kepekaan atas perasaan orang lain. Namun tidak berarti tenggelam dalam perasaan orang lain. Sebaliknya, pengenalan tersebut adalah modal penting untuk melakukan penyelasaran dengan pihak lain agar bisa bersama-sama menuju tujuan yang sama.
  5. Kemampuan Sosial. Yaitu kemampuan untuk mengelola hubungan antar manusia, seperti bagaimana mempengaruhi orang lain, bagaimana berkomunikasi, bagaimana memimpin yang lain, bagaimana menjadi katalisator perubahan, bagaimana mengelola konflik, bagaimana menyatukan tim, bagaimana berkolaborasi dan bekerjasama, serta bagaimana membangun kemampuan tim.

Memilki kecerdasan emosional, tidak berarti meninggalkan kecerdasan intelektual dan menjadi emosional. Hal itu justru bertolak belakang dengan “kecerdasan”. Daniel Goleman dari Harvard University, penulis buku Emotional Intelligence yang selama satu setengah tahun berada di daftar buku terlaris versi The New York Times, mengakui bahwa masih terdapat kesalahpahaman sebagian orang terhadap konsep yang ia populerkan ini.  Ia pun merasa harus melakukan klarifikasi.

Pertama, menurut Goleman, kecerdasan emosional bukan berarti semata-mata menjadi “baik hati”. Ada waktunya kita harus tegas dan menyampaikan sesuatu yang tidak menyenangkan orang lain, tapi merupakan pilihan yang paling baik saat itu.

Kedua, kecerdasan emosional tidak berarti menyerahkan kendali sepenuhnya pada perasaan. Sebaliknya, kecerdasan emosional adalah seumpama seni untuk mengekspresikan perasaan secara tepat dan efektif, yang justru mendorong terjadinya kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan bersama.

Ketiga, tidak berarti bahwa perempuan lebih “cerdas” dalam urusan kecerdasan emosional, atau laki-laki lebih superior. Analisis yang dilakukan terhadap ribuan laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa kualitas empati misalnya, dimiliki secara merata antara kedua kategori gender ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam mengekspresikan emosi antara laki-laki dan perempuan, namun secara total kecerdasan emosional tidak mengenal perbedaan gender.

Terakhir, kecerdasan emosional bukan merupakan bawaan secara genetika. Juga bukan merupakan kemampuan yang dikembangkan di masa kecil sebagaimana intelektual atau IQ. Berbagai studi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dapat terus dikembangkan selama kita hidup. Ada sebuah kata yang tepat untuk menunjukkan perkembangan kualitas kecerdasan emosional seseorang yaitu: kematangan (maturity).

Oleh karena itu, sungguh bukan hal gampang untuk memiliki kematangan emosi seperti ini. Orang yang pernah berkali-kali gagal dan bangkit, kemungkinan besar punya kecerdasan emosional yang lebih baik dibandingkan orang yang hidupnya terus-menerus sukses dan tidak pernah gagal.

Sungguh mudah percaya diri dan bahkan pongah ketika berada di puncak kejayaan. Tapi, jelas sulit untuk berdiri ketika terjatuh, apalagi berulangkali. Butuh energi batin yang besar untuk bangkit. Energi batin itu mungkin yang menjadi elemen penting dalam kecerdasan emosional.

Dalam perspektif kesehatan, kecerdasan emosional juga dapat diajarkan untuk mempercepat pemulihan tubuh dari penyakit.

Orang yang mengembangkan keterampilan kecerdasan emosional mereka selama perawatan, pulih lebih cepat dari berbagai penyakit, termasuk dari dua penyakit mematikan terbesar di Amerika – penyakit jantung dan kanker. Melatih kecerdasan emosional kepada orang-orang dengan penyakit tersebut terbukti mengurangi tingkat kekambuhan, mengurangi waktu pemulihan, dan menurunkan angka kematian.

Para peneliti di Ohio State University telah mempelajari 227 wanita yang didiagnosis dengan kanker payudara dan melihat efek luar biasa dari pelatihan kecerdasan emosional selama pemulihan

Hasilnya sangat nyata, yaitu pengurangan tingkat stres, pola makan yang lebih baik, dan sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat. Penelitian yang dipresentasikan kepada American Heart Association ini menunjukkan hasil yang sama untuk pria dan wanita penderita serangan jantung, yang telah belajar keterampilan kecerdasan emosional dalam proses pemulihan.

Kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang kuat pada kesehatan karena mengurangi stres dalam situasi-situasi yang penuh tekanan. Kecerdasan emosional memperkuat kemampuan otak untuk mengatasi tekanan emosional. Ketahanan inilah yang membuat sistem kekebalan kita lebih kuat dan melindungi kita dari penyakit.

Syukurlah, dinosaurus, di jaman dulu, belum pernah belajar soal ini. Mungkin ya.

Tinggalkan komentar