
Di penghujung abad ke-19, sekitar tahun 1880-an, penemuan-penemuan besar sedang terjadi. Jangan bandingkan dengan situasi hari ini. Saat itu adalah dunia yang sama sekali berbeda, semangat jaman sedang menerangi dunia barat. Dimulai dengan kebangkitan rasionalitas, ratusan tahun sebelumnya, lalu diikuti dengan perkembangan sains dan kemudian teknologi.
Thomas Alva Edison sedang menjadi bintang. Ia adalah jenius yang menemukan fonograf – yang memungkinkan orang-orang merekam suaranya dan memutarnya kembali sehingga menjadi awal mula pertumbuhan dan perkembangan dunia musik – selain kamera film dan mencatatkan ratusan paten atas namanya. Namun, penemuan terbesarnya adalah lampu pijar yang saat itu sangatlah fenomenal.
Bayangkan, sepanjang sejarah kala itu, manusia hanya mengenal api sebagai alat penerangan di malam hari. Lalu, tiba-tiba, Edison, setelah melakukan ratusan kali percobaan bisa memberikan solusi yang lebih efisien. Dampaknya sungguh tak terkira bagi industri dan kehidupan masyarakat modern yang menjadi makin aktif dan produktif.
Namun, justru ketika ia hanya butuh selangkah lagi untuk menancapkan dominasinya sebagai penyedia penerangan di setiap rumah warga Amerika Serikat yang sedang bangkit menjadi kekuatan dunia pada saat itu, ia mendapatkan tantangan terberat dari seorang jenius lainnya, Nikola Tesla – yang saat itu sudah bermitra dengan George Westinghouse dari Westinghouse Electric.
Edison terlanjur mengembangkan Direct Current (DC), sebagai sistem penghantar energi bagi lampu pijarnya. Dengan kejeniusannya, mudah saja baginya untuk meyakinkan para investor agar membiayai proyeknya. Ia memandang enteng saran Tesla, ketika masih bekerja untuknya, untuk menggunakan sistem yang berbeda, yaitu Alternating Current (AC).
Ketika pertama kali datang ke AS dari Serbia di tahun 1884, Tesla bekerja di kantor pusat Edison Electric, milik Edison, di Manhattan, New York. Dikabarkan bahwa Edison pernah menawarkan hadiah sebesar 50.000 dolar AS jika Tesla bisa memperbaiki desain dari dinamo untuk sistem DC-nya. Setelah bekerja keras selama berbulan-bulan, Tesla berhasil melakukannya. Namun, ketika ia menanyakan hadiah yang dijanjikan, Edison hanya mengatakan, “Tesla, kamu tidak mengerti humornya orang Amerika.” Tesla pun berhenti tak lama setelah peristiwa itu.
Dalam kenyataannya, sistem AC terbukti lebih efisien. Westinghouse Electric perlahan tapi pasti mampu mengembangkan sistemnya untuk menjadi yang terdepan di AS. Dengan adanya perkembangan transformer di Eropa, menjadi memungkinkan bagi Westinghouse dan Tesla untuk mentransmisikan AC dalam jarak jauh dengan menggunakan kabel yang lebih murah dan tipis, lalu mendistribusikannya ke berbagai pengguna – termasuk untuk pebisnis kecil dan perumahan.
Sementara itu, sistem DC milik Edison ternyata hanya bisa digunakan di daerah yang padat penduduk, terutama di kota-kota besar. Sistem tersebut pun tidak bisa menjangkau konsumen yang berjarak lebih dari satu mil dari stasiun penyedia listriknya. Kota kecil dan daerah pinggiran menjadi wilayah yang tidak tersentuh oleh sistem DC. Hal inilah yang dengan sigap dimasuki oleh Westinghouse dan Tesla dengan sistem AC-nya.
Hingga akhir tahun 1887, telah terlihat indikasi bahwa Edison Electric mulai kehilangan pangsa pasarnya. Meskipun telah membangun 121 stasiun berbasis DC, namun dalam kurun waktu relatif lebih cepat, Westinghouse mampu membangun 68 stasiun AC. Di samping itu, muncul pula saingan lainnya, Thomson-Houston Electric Company dari Lynn, Massachusetts, yang membangun 22 stasiun AC.
Tak hendak kehilangan muka, Edison tak menerima kenyataan bahwa sistemnya lebih inferior. Ia menabuh genderang perang sejak awal – yang kemudian dikenal sebagai “The Current War” (difilmkan tahun 2019 dengan sutradara Alfonso Gomez-Rejon, yang menampilkan Benedict Cumberbatch sebagai Edison). Bahkan, sejak pertama kali sistem AC dibangun di tahun 1886, ia sudah memberi ultimatum, “Westinghouse akan membunuh kustomer dalam 6 bulan sejak ia menggunakan sistem dalam ukuran apapun (Maury Klein, “The Power Makers: Steam, Electricity, and the Men Who Invented Modern America”, 2008 sebagaimana dikutip oleh wikipedia).
“Perang Arus” ini berlangsung sangat seru. Kendati belum ada media sosial seperti sekarang, saling serang terjadi dengan sengit. Media menjadi perantaranya. Ketika terjadi sejumlah kasus kematian di tahun 1888 yang dikaitkan dengan tingginya voltase sistem AC, Edison mengambil kesempatan untuk bersikap lebih agresif. Ia memperkuat persepsi bahwa AC berbahaya dengan mendukung propaganda yang dilakukan tokoh anti AC, Harold P. Brown, yang mendemonstrasikan pembunuhan binatang menggunakan sistem AC. Ia juga mendukung legislasi untuk mengendalikan atau membatasi pemasangan dan voltase AC karena alasan berbahaya itu.
Puncaknya, Edison berkolaborasi dengan Thomson-Houston Electric Company – yang sebetulnya adalah perusahaan yang mendukung sistem AC – untuk sama-sama mengalahkan Westinghouse melalui pengembangan kursi listrik hukuman mati sebagai upaya untuk menggambarkan betapa mematikannya sistem AC milik Westinghouse. Untuk memperkuat efek dramatiknya, kursi listrik itu mereka sebut sebagai “Kursi Westinghouse”.
Meskipun Westinghouse dan Tesla berada dalam posisi tersudut, namun dalam kacamata bisnis sistem yang mereka kembangkan lebih meyakinkan bagi para investor. Efisiensi dan kecepatan dalam instalasinya juga berarti bahwa keuntungan bagi para pemodal bisa datang lebih cepat. Dari sudut pandang yang berbeda, keuntungan Edison Electric lebih kecil dibandingkan dengan saingannya.
Tahun 1892, Edison, Sang Legenda didepak dari kursi pengendali perusahaannya sendiri. Investor utamanya, JP Morgan, telah merekayasa terjadinya merger antara Edison Electric dengan Thomson-Houston – dan menempatkan para direksinya sebagai pengendali dalam perusahaan baru yang dinamakan General Electric Company – agar bisa bersaing dengan Westinghouse Electric untuk sama-sama memperebutkan pangsa pasar sistem AC.
Saat itu, keberuntungan lebih berpihak pada Westinghouse dan Tesla. Tahun berikutnya, Westinghouse Corporation memenangkan penawaran untuk menerangi The Chicago World’s Fair, atau yang dikenal juga sebagai “The Columbian Exposition” (untuk mengenang 400 tahun penemuan Amerika oleh Columbus), pameran listrik pertama dalam sejarah. Mereka berhasil mendapatkan nilai kontrak sekitar 500 ribu dolar AS – setengah dari yang ditawarkan oleh General Electric, kompetitor utamanya.
The Columbian Exposition resmi dibuka pada 1 Mei 1893. Malam itu, Presiden Grover Cleveland menekan tombol dan seratus ribu lampu pijar menerangi gedung-gedung neoklasik di area pameran. Kilauan cahaya itu dinamakan “City of Light” sebagai mahakarya Tesla, yang didukung oleh Westinghouse, dengan dua belas unit stasiun AC baru berkekuatan ribuan tenaga kuda yang terletak di Hall of Machinery.
Di Aula Besar (Great Hall of Electricity), sistem pembangkit dan transimisi berbasis AC yang dikembangkan Tesla dipertontonkan kepada publik. Bagi dua puluh tujuh juta orang yang menghadiri pameran itu, sangat jelas bahwa masa depan listrik akan seperti apa. Sejak saat itu, lebih dari 80 persen perangkat listrik yang diproduksi di Amerika Serikat mengandalkan arus bolak-balik atau Alternating Current.
Narator dalam mini seri TV, American Genius, edisi “Edison vs Tesla” (2015) pun menyimpulkan bahwa pemenang dalam “Perang Arus” ini adalah: Nikola Tesla.
Benarkah Edison Kalah?
John Steele Gordon, dalam artikel “Pioneers Die Broke” yang dimuat Forbes tahun 2002 menceritakan betapa banyak inventor, para jenius yang meskipun telah memberikan sumbangan besar bagi modernisasi dan kemajuan peradaban, namun di akhir hidupnya justru tidak beruntung. Tak jarang mati dalam keadaan prihatin. Di antaranya adalah Gary Kildall yang pertama kali menciptakan sistem operasi untuk komputer pribadi hampir satu dekade sebelum Bill Gates mendapatkan kontrak dari IBM untuk penggunaan MS-DOS.
Kita tahu Bill Gates kemudian menjadi orang terkaya di dunia, sementara Kildall meninggal dunia tahun 1994 – diduga karena perkelahian. Ia menjadi alkoholik di akhir hidupnya.
Tapi, menurut Gordon, Thomas Alva Edison adalah pengecualian. Ia adalah gabungan antara jenius dan wirausahawan yang tangguh. Di akhir hidupnya di tahun 1931 ia meninggalkan harta kekayaan senilai 12 juta dolar AS – yang jika disesuaikan dengan inflasi pada saat ini, nilainya ditaksir setara dengan 170 juta dolar AS. “Cukup besar untuk menempatkannya dalam daftar ‘The Forbes 400’, seandainya daftar seperti itu sudah ada pada saat itu,” kata Gordon.
Jika kita hanya melihat satu babak saja dalam kehidupan Edison, yaitu saat terjadinya “Perang Arus”, ia memang merupakan pihak yang kalah. Namun, faktanya, ada cukup banyak babak ‘pertempuran’ dalam kehidupan Edison yang ia menangkan. Salah satunya, bagaimana ia harus hidup dengan pendengaran yang rusak sejak kecil akibat demam berdarah dan infeksi berulang yang terjadi di bagian tengah telinganya. “Saya tidak pernah lagi mendengar kicauan burung sejak berusia 12 tahun,” ungkapnya seperti dikutip oleh peraih Pulitzer, Edmund Morris, dalam “Edison” (2019).
Dalam keadaan tuli total di salah satu telinga dan kesulitan mendengar di telinga lainnya, Edison mengembangkan kemampuan mendengarkan musik dengan cara mengunyah-ngunyah kayu untuk menyerap gelombang suara ke tulang tengkoraknya. Yang lebih menakjubkan, menurut Morris, meskipun pendengarannya makin memburuk, namun “ia telah menemukan dua ratus lima puluh perangkat sonik.” Mulai dari boneka yang bisa berbicara dan bernyanyi, penerima telepon radio, alat untuk mendengar letusan matahari, pengeras suara miniatur yang memanfaatkan silinder kuarsa dan sinar ultraviolet, hingga perangkat pendengar (earbud) melalui tulang yang bisa digunakan oleh lebih dari satu orang.
Sebagai ganjaran atas aksinya menyelamatkan seorang anak berusia 3 tahun, Jimmy MacKenzie, yang nyaris terlindas kereta api, Edison mendapatkan kepercayaan dari MacKenzie senior, yang merupakan kepala stasiun untuk menjadi operator telegraf. Saat itu, perusahaan kereta api adalah perusahaan bergengsi yang menggunakan teknologi yang sudah sangat maju pada jamannya. Di sana, selain berkenalan dengan telegraf, Edison juga belajar analisis kualitatif dan melakukan berbagai eksperimen kimia hingga akhirnya ia meninggalkan pekerjaan itu.
Setelah berkenalan dengan teknologi, Edison mencoba peruntungannya sebagai wirausahawan dengan pertama-tama mendapatkan hak eksklusif untuk menjual koran-koran di pinggir jalan. Lalu, dengan bantuan empat orang asisten, ia mulai membuat dan mencetak terbitan sendiri, Grand Trunk Herald, yang di kemudian hari ia jual. Belakangan ia berhasil mendirikan 14 perusahaan, termasuk Edison Electric yang kemudian bermetamorfosa menjadi General Electric.
Dalam sudut pandang inovasi dan kewirausahawanan sekaligus, puncak kejeniusan Edison terjadi justru saat ia mendirikan laboratorium riset industri pada tahun 1876 di Menlo Park – yang menjadi dapur berbagai penemuannya. Menlo Park adalah lembaga pertama yang dibangun dengan tujuan spesifik untuk memproduksi dan menyempurnakan inovasi teknologi secara konstan. Lab-nya itu dibangun dengan mengandalkan dana sebesar 10 ribu dolar AS (atau setara dengan 226 ribu dolar AS pada saat ini) hasil dari penjualan “telegraf quadruplex” miliknya yang mampu mengirimkan dan menerima empat sinyal terpisah dalam sebuah kabel pada saat yang bersamaan.
Menlo Park memungkinkan Edison untuk tidak bergantung pada satu jenis penemuan saja. Dengan mempekerjakan banyak staf, ia memiliki keleluasaan untuk mengembangkan berbagai inovasi – sebut saja fonograf, kinetoskop, diktafon, lampu pijar dan printer autografik. Ia juga berjasa meningkatkan kemampuan telepon dengan menciptakan mikrofon berbahan karbon.
Sebagian besar penemuannya tidak selalu orisinal tetapi merupakan perbaikan dari penemuan sebelumnya.
Sepanjang abad ke-20, Edison adalah penemu paling produktif di dunia. Ia memegang 736 paten di AS saja. Secara keseluruhan, ia memegang 1.093 paten, yang terdiri dari 1084 paten utilitas (paten untuk penemuan) dan 9 paten desain artistik.
Pasca kekalahannya dalam “Perang Arus”, Edison masih memberikan kontribusi besar pada negaranya, terutama karena kekhawatirannya pada dampak yang terjadi akibat Perang Dunia I. Saat itu, Edison mengusulkan pembentukan komite sains dan industri untuk memberikan masukan pada militer AS, yang menyebabkannya terpilih untuk mengepalai Naval Consulting Board pada tahun 1915.
Salah satu usulan konkritnya adalah bagaimana agar AS bisa melepaskan diri dari ketergantungan atas suplai karet dari luar negeri yang mendorongnya untuk mencari penggantinya dari dalam negeri. Untuk mewujudkan gagasannya itu, Edison melakukan riset di laboratoriumnya yang baru di Fort Myers. Laboratorium itu dibangunnya bersama ketiga sahabatnya, sesama pengusaha terkemuka saat itu, Henry Ford (pengusaha otomatif) dan Harvey Firestone (pengusaha karet dan ban mobil). Dengan modal awal 93 ribu dolar AS, ketiganya kemudian membentuk Edison Botanical Research Corporation.
Di kemudian hari, di tahun 2014, Laboratorium di Fort Myers itu dijadikan sebagai National Historic Chemical Landmark karena peran pentingnya dalam membangun kemandirian industri AS di masa krisis. Dibangun di tahun 1928, laboratorium itu terus beroperasi hingga tahun 1936 (lima tahun setelah kematian Edison) bertepatan dengan serah-terima proyek tersebut pada Kementerian Pertanian AS. Di sana, saat Edison masih hidup, ia mengaku telah mengujicoba 2250 tanaman liar di Florida, 545 di antaranya mengandung karet.
Di antara banyaknya “kemenangan” yang ia raih, ada juga kekalahan lain yang ia alami. Salah satunya terkait dengan keinginannya untuk mereformasi sistem moneter di AS agar tidak menggunakan mata uang yang mengenakan bunga. Seperti pernah dikutip oleh New York Times di tahun 1921, Edison pernah menyebut bahwa sistem riba adalah penemuan “setan”. Ia menunjukkan absurditas sistem tersebut – karena memaksa para pembayar pajak di AS yang membutuhkan pinjaman untuk mengembalikan pinjaman mereka dengan nilai yang bisa mencapai dua kali lipat bahkan lebih dari nilai pokok pinjamannya.
Menurutnya, jika sistem tersebut dapat menciptakan uang dengan riba, mestinya sistem yang sama juga bisa menciptakan uang untuk diberikan pada para pembayar pajak.
Tentang hal ini, ia membicarakannya secara panjang lebar di sekitar tahun 1921 dan 1922. Ia bahkan menerbitkan proposal berjudul “A Proposed Amendment to the Federal Reserve Banking System”. Di situ ia menjelaskan secara rinci tentang mata uang berbasis komoditas – dalam sistem ini, semestinya Federal Reserve mengeluarkan mata uang bebas bunga bagi para petani berdasarkan nilai komoditas yang mereka hasilkan. Meskipun sudah berusaha berkomunikasi dengan para akademisi dan bankir, namun ide ini tak mendapatkan dukungan dan terabaikan – hingga hari ini. (Baca juga tulisan lain tentang kritik terhadap sistem moneter saat ini dalam “Alat Tukar Komplementer Sebagai Solusi Krisis (III): Mengapa Mata Uang Konvensional ‘Gagal’ Menciptakan Kesejahteraan?”).
Di bulan Oktober 1929, “Light’s Golden Jubilee”, peringatan 50 tahun penemuan lampu pijarnya dirayakan secara besar-besaran, didukung oleh sahabatnya Henry Ford dan dihadiri oleh Presiden Herbert Hoover. Albert Einstein mengirimkan pesan via kabel dari Berlin dan menyebutnya sebagai “spirit penemu, yang telah memenuhi seluruh hidupnya dan eksistensi kita dengan cahaya yang terang benderang.” Saat itu, ia merasa begitu tersentuh dan bersyukur namun sulit mengungkapkannya dengan kata-kata. Setelah acara usai, ia bilang, “saya lelah dengan semua kemenangan ini, saya ingin kembali bekerja.”
Tidak seperti Tesla yang lahir dengan bakat, Edison adalah tipe penemu dan pekerja keras. Ia sepertinya “mengakui” hal itu, seperti dikutip oleh Morris: “Segala sesuatu di bumi sangat tergantung pada kehendak. Saya tak pernah memiliki sebuah ide dalam hidup. Saya tak punya imajinasi. Saya tidak pernah bermimpi. Apa yang saya temukan sudah disediakan oleh alam – saya hanya mewujudkannya. Saya tidak menciptakan apa-apa. Tak ada yang bisa. Tak ada yang namanya gagasan yang dilahirkan dari otak; segala sesuatunya datang dari luar.”
Ungkapnya lagi, “mereka yang rajin menariknya dari alam sekitar; kebanyakan orang membiarkannya dan pergi menonton pertandingan bisbol. Namun, yang disebut ‘jenius’ berkutat di laboratoriumnya siang dan malam. Jika terjadi sesuatu, ia berada di sana untuk ‘menangkapnya’; kalau ia tidak berada di sana, hal itu mungkin akan tetap terjadi, hanya saja tidak akan jadi miliknya.”

Kerja keras dan mental kewirausahawanannya tampaknya yang membuat Edison memenangkan lebih banyak ‘pertempuran’. Hal ini bahkan diakui oleh Elon Musk, CEO SpaceX dan pemilik pabrikan mobil listrik yang menggunakan nama Tesla. Meskipun Musk mengatakan bahwa Tesla semestinya mendapatkan peran lebih besar dalam masyarakat, namun, “saya lebih mengagumi Edison.” Mengapa? Karena “Edison mampu membawa penemuannya ke pasar dan membuatnya dapat diakses oleh dunia.”
Tesla: Apa Lagi Yang Ia Menangkan?
Kendati menjadi pemenang bersama George Westinghouse dalam “Perang Arus”, Nikola Tesla, masuk dalam apa yang dikategorikan oleh John Steele Gordon sebagai “Pioneers Die Broke”. Di masa tuanya, Tesla yang dianggap memiliki bakat dan intelektualitas yang melampaui Edison, menghabiskan hari-harinya dengan memberi makan burung-burung merpati di luar Perpustakaan Umum New York.
Tesla memang berkebalikan dari Edison. Sama-sama pekerja keras, ia memiliki kecenderungan supranatural sejak kecil yang memungkinkannya melihat berbagai bayangan atau gambaran dari penemuan-penemuannya, sebelum ia wujudkan dalam laboratorium. Gambaran-gambaran itu terkadang diikuti oleh kilatan cahaya yang mengaburkan penglihatannya terhadap obyek yang nyata dan mengganggu pikiran dan kegiatannya.
“Terdapat gambar berbagai macam hal dan pemandangan yang dengan nyata terlihat, tapi tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ketika sebuah kata diucapkan pada saya, gambaran obyek yang dimaksud akan hadir dengan jelas dalam penglihatan saya – dan kadang-kadang saya tidak dapat membedakan apakah yang saya lihat itu, nyata atau tidak,” ungkap Tesla dalam “My Inventions: The Autobiography of Nikola Tesla” (1919).
Pengalaman demikian sama sekali bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi Tesla. “Saya sangat tidak nyaman dan cemas.” Lebih dari itu, dalam otobiografinya, Tesla menggambarkan sejumlah pengalaman yang hampir membuatnya mati. Mulai dari tenggelam di danau hingga dirawat karena kolera selama sembilan bulan lamanya – dan kemudian sembuh setelah ayahnya mengabulkan keinginannya untuk melanjutkan studi di bidang teknik.
Ia mengaku telah berkonsultasi dengan mereka yang belajar psikologi dan fisiologi untuk mencobat mendapatkan penjelasan tentang pengalamannya, tapi tak ada yang mampu memuaskannya. Ia kemudian membuat teorinya sendiri, dan menurutnya gambaran-gambaran yang ia lihat itu bukanlah halusinasi yang dihasilkan dari pikiran yang sakit dan sedih, “karena dalam hal-hal lain, saya normal dan tenang.”
Tesla barangkali memiliki bias subyektif terhadap kondisi psikologisnya dan kelak sejumlah pihak menyebutnya menunjukkan gejala obsessive-compulsive disorder – yang ditandai dengan pikiran tak masuk akal dan ketakutan atau obsesi yang menyebabkan perilaku kompulsif, terpaksa melakukan hal-hal tertentu. Sejak tahun 1912 ia mulai sering menarik diri dari aktivitas sehari-hari. “Dia menjadi terobsesi dengan kebersihan dan terpaku pada nomor tiga; dia berjabat tangan dengan orang-orang lalu mencuci tangannya – semuanya dilakukan dalam tiga set. Dia harus memiliki 18 serbet di mejanya selama makan, dan akan menghitung langkahnya setiap kali berjalan ke mana pun.”
Sesungguhnya tak mudah untuk menyimpulkan apa yang benar-benar terjadi pada Tesla. “Seobyektif” apapun upaya untuk menginterpretasikan hidup dan prilakunya, kita takkan pernah mendapatkan gambaran kehidupannya yang utuh. Apapun kesimpulan kita – berdasarkan referensi ataupun pengalaman bertemu langsung sekalipun – takkan terlepas dari pengaruh prasangka atau kepercayaan sebagai produk sejarah yang telah mempengaruhi kita. Meminjam perspektif filsuf Hans-Georg Gadamer penulis “Truth and Method”, kita tak dapat berdiri di luar sejarah dan budaya, dan oleh karena itu “takkan pernah bisa mencapai sudut pandang yang obyektif secara absolut.”
Faktanya, melalui pengalaman-pengalaman uniknya pula, penemuan-penemuan besarnya dapat diwujudkan. Ia tidak seperti Edison yang bekerja secara induktif, menguji semua hal secara detil, sebelum mengambil kesimpulan. “Metode saya berbeda. Saya tidak terburu-buru melakukan pekerjaan yang sebenarnya. Ketika mendapatkan ide, saya mulai membangunnya dalam imajinasi saya. Saya mengubah konstruksi, membuat perbaikan dan mengoperasikan perangkat dalam pikiran saya. Sangat tidak penting bagi saya apakah saya menjalankan turbin dalam pikiran atau mengujinya di bengkel saya.”
Selain sistem AC yang dikembangkannya bersama Westinghouse, Tesla melakukan serangkaian eksperimen dengan osilator mekanik/generator untuk menghasilkan listrik dari uap, tabung pelepasan listrik, pencitraan awal sinar-X. Dia juga membuat perahu yang bisa dikendalikan dari jarak jauh untuk pertama kalinya – yang menjadikannya seperti seorang pesulap pada saat itu.
Sepanjang tahun 1890-an, Tesla mencoba mewujudkan ide-ide liar yang sesungguhnya sangat visioner pada jamannya, untuk menghadirkan penerangan secara wireless atau nirkabel dan mendistribusi daya listrik juga secara nirkabel di seluruh dunia dalam percobaan daya bertegangan tinggi dan berfrekuensi tinggi di New York dan Colorado Springs. Tahun 1893, ia sempat membuat pengumuman tentang kemungkinan melakukan komunikasi nirkabel dengan perangkatnya.
Pada tahun 1900, Tesla mencoba untuk merealisasikan ide-idenya secara praktis dan terintegrasi dalam proyek Wardenclyffe Tower atau Tesla Tower yang ambisius – sebuah proyek komunikasi nirkabel dan pemancar energi antarbenua, yang akhirnya tak bisa ia selesaikan karena penyandang dananya, JP Morgan – yang sebelumnya menjadi investor Edison dalam “Perang Arus” – menarik diri sebelum proyek itu selesai.
JP Morgan, sebelumnya, sempat memberikan modal sebesar 150 ribu dolar AS – yang menurut Tesla diperolehnya dengan menyerahkan 51% dari hak-hak patennya yang terkait dengan telepon dan telegraf pada Morgan. Dengan proyek itu, Tesla berharap bisa mengakselerasi kemajuan komunikasi dan memungkinkannya mengirimkan foto, pesan, ramalan cuaca hingga laporan pergerakan saham ke seluruh dunia. Kegagalan proyek itu menjadi kekalahan terbesar Tesla dalam hidupnya.
Walaupun menghasilkan 700 paten atas namanya, namun Tesla tak seberuntung Edison dalam mengelola bisnis dan laboratorium. Ia sempat mendirikan Nikola Tesla Company pada tahun 1895 untuk memasarkan berbagai paten dan penemuannya dengan sokongan dana dari Edward Dean Adams, pengusaha yang pernah sukses bekerjasama dengan Tesla dan Westinghouse untuk mendirikan pembangkit listrik pertama di Air Terjun Niagara menggunakan sistem AC. Namun tahun 1890-an, keadaan ekonomi sedang sulit dan sejumlah paten Tesla yang hendak dipasarkan pada saat itu tak kunjung keluar. Sehingga bisnisnya pun tak berkembang.
John Steele Gordon berandai-andai, Tesla mungkin bisa saja menjadi kaya raya seandainya ia tak mau dibujuk oleh George Westinghouse untuk melepaskan hak paten dan royaltinya atas sistem AC yang dikembangkannya, serta tidak menjual hak patennya terkait sistem penyiaran nirkabel pada JP Morgan. Namun, jika ia tak menjualnya, Tesla mungkin takkan pernah memiliki laboratoriumnya sendiri – tempat ia mewujudkan visi dan penemuan-penemuannya. Bagaimanapun, Tesla lebih condong sebagai inventor – dan, rasanya, kurang memiliki bakat bisnis.
Ia juga, tampaknya, tak pandai mengelola uang. Bahkan dalam otobiografinya, ia mengaku pernah terjerat dalam perjudian: “Pada usia tertentu saya menjadi gandrung berjudi yang menimbulkan kekhawatiran besar bagi orang tua saya.” Dengan asumsi bahwa mereka yang suka berjudi adalah orang-orang yang spekulatif, dan karenanya cenderung tak cakap dalam perencanaan keuangan, maka mudah pula untuk menduga bahwa Tesla adalah pribadi yang demikian. Entahlah.
Ketidakberuntungannya yang lain terjadi pada tahun 1895. Gedung South Fifth Avenue, lokasi laboratorium milik Tesla terbakar hebat. Lantai empat gedung itu, yang ditempati oleh laboratorium Tesla, runtuh hingga ke lantai dua. Kebakaran itu merupakan kemunduran cukup besar. Berbagai koleksi catatan dan bahan riset, permodelan dan perangkat demo, termasuk yang pernah dipamerkan dalam Columbian Exposition di tahun 1893, hangus tak bersisa. “Saya terlalu sedih untuk berbicara. Apa yang bisa saya katakan?” katanya kepada The New York Times saat itu.
Pasca kegagalannya dengan Tesla Tower, Tesla masih menjadi magnet berita dari waktu ke waktu, saat tinggal di lantai 33 New Yorker Hotel. Tahun 1931 ia menjadi sampul majalah Time, yang menampilkan penemuannya pada ulang tahunnya yang ke-75. Lalu, di tahun 1934, New York Times melaporkan bahwa Tesla sedang mengerjakan “Death Beam” yang mampu menjatuhkan 10.000 pesawat musuh keluar dari langit.
Dia berharap mendapatkan dana untuk prototipe senjata pertahanan “demi kepentingan perdamaian dunia”, tetapi permohonannya kepada J.P. Morgan Jr. dan Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain tak berhasil. Tesla, dikabarkan, sempat menerima cek sebesar 25 ribu dolar AS dari Uni Soviet, tetapi proyek tersebut terhenti. Dia meninggal pada tahun 1943, dalam keadaan terjerat hutang, meskipun Westinghouse telah membayar kamar dan makanannya di hotel selama bertahun-tahun.

Menjelang akhir hidupnya, Tesla menjadi terobsesi pada merpati, terutama betina berwarna putih, yang ia cintai hampir seperti seorang insan mencintai insan lainnya. Katanya, suatu malam, merpati putih itu mengunjunginya melalui jendela terbuka di hotelnya, dan memberi tahu dia sedang sekarat. Tesla menatap “dua biji cahaya yang kuat” di mata burung itu.
“Ya, itu adalah cahaya yang nyata, cahaya yang kuat, menyilaukan, membutakan, cahaya yang lebih intens dibandingkan yang pernah saya hasilkan dari lampu paling kuat di laboratorium saya.” Merpati itu mati dalam pelukannya, dan sang penemu menyatakan bahwa pada saat itu, dia tahu bahwa dia telah menyelesaikan pekerjaan seumur hidupnya.
Catatan Penutup: Pelajaran yang Saya Dapati
Menulis perihal Tesla versus Edison, bukanlah perkara mudah. Saya mulai dengan berempati terhadap Tesla, terutama karena saya lebih dulu membaca otobiografinya dan menyaksikan dokumenter “American Genius” serta “The Current War” – Edison cenderung digambarkan lebih “jahat” di sana. Namun, setelah membaca lebih lanjut tentang Edison, termasuk memahami pragmatisme ala William James-nya (sejak usia 14 tahun kebijakannya, adalah, apapun yang ia tulis, cetak dan publikasikan untuk koran yang dibagikan di kereta api, ia tujukan untuk sesuatu yang praktis, bermanfaat dan menguntungkan), saya juga menyediakan ruang empati yang besar pada Edison.
Keduanya memiliki kelemahan dan banyak sekali kelebihan. Sungguh sayang mereka tidak bisa bekerjasama secara harmonis dalam jangka panjang – tapi itu adalah pengandaian yang lain lagi. Mereka memang menjalani hidupnya dengan cara yang demikian, sebagaimana tersaji dari berbagai referensi yang bisa kita akses.
Ada sejumlah “kejatuhan” atau kekalahan yang masing-masing mereka alami, tapi juga ada kemenangan yang tak selalu bisa diukur dengan uang. Mereka memberikan jalan bagi modernisasi, kemajuan peradaban dan terutama mengilhami, betapa meskipun kita memiliki bakat dan fasilitas, kerja keras tetap sangat menentukan dan harus dilakukan.
Dari sisi keuntungan finansial, jelas bahwa Tesla adalah yang paling kurang beruntung. Edison, seperti dikemukakan sebelummya, adalah sedikit dari inventor yang tidak jatuh miskin. JP Morgan, investor oportunis yang sebelumnya membekingi Edison dan kemudian berpaling ke Tesla – meskipun tak sampai tuntas – jelas lebih beruntung dari mereka berdua.
Ya, apalagi jika melihat legacy-nya hingga saat ini. Sebagai sebuah institusi perbankan, JPMorgan Chase & Co, adalah yang terbesar di AS dan keenam terbesar di dunia berdasarkan peringkat yang disusun oleh S&P Global pada tahun 2019. Total asetnya mencapai 2,7 trilyun dolar AS dan menjadikannya bank paling bernilai di dunia berdasarkan kapitalisasi pasar. Tahun lalu, penerimaannya mencapai 115,6 milyar dolar AS.
Ketika JP Morgan, sebagai pribadi yang hidup semasa dengan Edison dan Tesla, meninggal dunia pada tahun 1913, ia memiliki kekayaan mencapai 80 juta dolar AS atau sekitar 1,2 milyar dolar AS jika dikonversi dengan nilai pada saat ini – jauh di atas Edison yang ‘hanya’ sebesar 12 juta dolar AS, namun masih di bawah pengusaha minyak terkaya AS saat itu, John D. Rockefeller yang ketika meninggal dunia di tahun 1937 meninggalkan kekayaan sebesar 1,2 milyar dolar AS atau setara dengan 190 milyar dolar AS saat ini.
Saya merasa perlu menyebut nama Rockefeller setelah melihat grafik di bawah ini – yang membuat saya berandai-andai, misalnya Tesla berhasil dengan Wardenclyffe Tower-nya untuk menyediakan komunikasi wireless dan energi murah ke seluruh dunia, bisnis siapakah yang paling mungkin terganggu? Jawabannya bisnis pengusaha minyak dan batubara. Tapi, skenario konspiratif ini tidak ada indikasinya dalam sejarah perjalanan hidup Nikola Tesla. Jadi lupakan saja.

Kembali ke Edison versus Tesla. Singkatnya, jadilah inventor dengan visi yang hebat. Tapi, jangan sampai dikerjai investor – em, maksudnya, jangan sampai tak paham keuangan. Atau begini: Boleh jadi jenius, tapi jangan lupa belajar akuntansi, atau setidaknya rugi-laba. Ya terserahlah.