Ketika Manusia Akhirnya Bisa Mendesain Manusia

Struktur DNA (pixabay/liyuanalison)

Sebuah iklan promosi terhadap filem fiksi-sains “Gattaca” (1997) di berbagai suratkabar berbunyi demikian:

“Pemesanan untuk Pembuatan Anak”

“Di Gatttaca, sangat mungkin untuk merekayasa keturunan anda. Berikut adalah checklist untuk membantu Anda memutuskan karakter seperti apa yang hendak Anda wariskan pada keturunan anda.”

Daftar tersebut termasuk gender, tinggi badan, warna mata, warna kulit, berat badan, kerentanan terhadap sifat adiktif, kecenderungan sikap agresif, kemampuan bermusik, kemampuan fisik dan intelektual.

Iklan tersebut juga memberi saran pilihan: “Untuk alasan keagamaan atau alasan lainnya, Anda juga bisa berkeberatan terhadap rekayasa genetika untuk anak anda. Kami mempersilakan Anda untuk mempertimbangkannya. Dari sudut pandang kami saat ini, umat manusia dapat berubah sedikit lebih baik.”

Di bagian bawah iklan tersebut terdapat nomor telepon bebas pulsa yang memberikan tiga pilihan:

“Tekan satu jika Anda ingin memastikan bahwa keturunan anda akan bebas dari penyakit. Tekan dua jika Anda menginginkan peningkatan karakter fisik dan intelektual. Tekan tiga jika Anda tidak ingin mengintervensi perubahan genetika untuk anak anda.”

(Dikutip dari “The Code Breaker: Jennifer Doudna, Gene Editing and the Future of the Human Race”, karya Walter Isaacson, Maret 2021).

Meskipun sempat mendapatkan nominasi Oscar untuk penyutradaraan terbaik dan Golden Globe untuk naskah orisinal terbaik, filem yang dibintangi oleh Ethan Hawke dan Uma Thurman ini tak berhasil di pasaran. Diproduksi dengan biaya 36 juta dolar AS, namun hanya berhasil meraup 12,5 juta dolar AS.

Tak berhasil karena temanya yang terlalu berat, pada saat itu? Karena banyak orang tak sanggup membayangkannya benar-benar terjadi? Entahlah. Yang jelas, di dunia nyata saat ini, perkembangan bioteknologi telah memungkinkan imajinasi dalam “Gattaca” benar-benar terwujud.

Pada bulan November 2018, dalam sebuah video yang dibuat oleh Associated Press, sepasang bayi kembar hasil pengeditan gen pertama di dunia bernama Lula dan Nana telah lahir dengan selamat di Guangdong, China. Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa bayi ketiga juga telah dilahirkan pada saat yang sama.

Orang yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu adalah saintis asal China bernama He Jiankui, dari Southern University of Science and Technology, Shenzhen. Masih muda, kelahiran tahun 1984.

He Jiankui (AFP, 2018)

Dunia keilmuan pun gempar. Reaksi pertama dari para saintis, termasuk dari China sendiri, adalah mengutuk perbuatan itu. He Jiankui sendiri lantas harus menjalani hukuman penjara selama 3 tahun dan denda tiga juta yuan atau sekitar 430 ribu dolar AS dari otoritas China.

Pengadilan di Shenzen menyatakan bahwa ia telah bertindak dengan dasar “mengejar ketenaran dan keuntungan personal” dan telah secara serius “mengacaukan ketertiban medis”, sebagaimana dilaporkan Xinhua.

He Jiankui juga dianggap telah “melangkahi dasar etik dalam riset saintifik dan kedokteran.”

Meskipun banyak saintis yang mengutuk apa yang dilakukan Jiankui sebagai “tidak bertanggungjawab”, tapi yang menarik adalah, mayoritas mereka tidak menghendaki terjadinya “moratorium” terhadap pengeditan gen yang sudah terlanjur terjadi itu.

Akademi Saintis China yang merupakan salah satu pihak pertama yang menolak pengeditan gen terhadap manusia hanya menyatakan bahwa “dalam situasi saat ini, pengeditan terhadap embrio manusia masih memungkinkan terjadinya berbagai hal teknis yang belum dapat diselesaikan, yang bisa membawa pada risiko yang tak dapat diperkirakan dan dapat melanggar konsensus di antara komunitas saintifik internasional.”

Sementara itu di Second International Summit on Human Genome Editing yang menghadirkan berbagai saintis top dunia yang diselenggarakan di Hong Kong pada tanggal 28 November 2018, tak lama setelah kelahiran Lula dan Nana, He Jiankui justru diberikan kesempatan untuk tampil di podium dan memaparkan hasil eksperimennya.

Apa yang dilakukan oleh He Jiankui adalah menyasar sebuah gen yang dilabeli CCR5. Gen ini memiliki instruksi genetik yang penting bagi fungsi sistem imun manusia – namun pada saat yang sama merupakan pintu masuk bagi human immunodeficiency virus (HIV) untuk menginfeksi sel.

Dengan melakukan perubahan atau rekayasa terhadap CCR5, maka HIV tidak bisa masuk dan orang atau embrio yang mengalami pengeditan gen pun bisa terbebas dari virus tersebut. Itulah yang terjadi pada embrio Lula dan Nana, yang kedua orang tuanya memiliki HIV.

Penelitian Estafet Antar-Generasi & Antar-Bangsa

Eksperimen He Jiankui terhadap CCR5 tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang penelitian para saintis terhadap fenomena DNA (deoxyribonucleic acid), substansi yang menjadi penyebab pewarisan sifat-sifat manusia.

Dimulai dari penemuan DNA dan RNA (ribonucleic acid) pada tahun 1869 oleh Friedrich Miescher. DNA adalah penyimpan atau blueprint dari segala jenis informasi genetik yang menjadi dasar kehidupan semua mahluk hidup. Sedangkan RNA berfungsi sebagai “pembaca” yang menerjemahkan semua informasi tadi untuk diteruskan ke generasi selanjutnya.

Hal ini berlanjut hingga eranya James Watson, peraih Nobel di bidang Fisiologi atau Pengobatan, bersama-sama dengan Francis Crick dan Maurice Wilkins pada tahun 1962. Mereka, dan juga Rosalind Franklin yang meninggal dunia di tahun 1958 (sebelum pengumuman pemenang Nobel), dianggap sebagai penemu struktur molekular DNA yang kita kenal hingga saat ini, yaitu: double helix – yang mirip seperti susunan anak tangga berbentuk spiral.

Model yang diajukan Watson dan Crick memudahkan kita mengerti bagaimana molekul DNA menduplikasi dirinya – sehingga kita pun mengetahui bagaimana gen dan kemudian kromosom menggandakan diri.

Penelitian lain yang juga vital adalah apa yang disebut dengan DNA sequencing, yaitu sebuah proses pemetaan untuk menentukan susunan nucleotides atau molekul organik yang membentuk DNA – yang terdiri dari empat basa, yaitu adenine, guanine, cytosine dan thymine.

Pengurutan DNA memudahkan para ilmuwan untuk membandingkan antara DNA yang “sehat” dan yang telah bermutasi. Sehingga, memungkinkan diagnosis terhadap berbagai penyakit, termasuk kanker, dan terutama menjadi penuntun untuk mengobati pasien. Tokoh yang dianggap berjasa di sini adalah Frederick Sanger (peraih 2 Nobel di bidang Kimia, pada tahun 1958 dan 1980).

Penemuan, pemetaan dan pengurutan DNA ini kemudian berevolusi menjadi “pengeditan gen” sebagaimana yang telah dilakukan oleh He Jiankui.

Ada banyak tokoh di balik kompetisi saintifik untuk menemukan mekanisme pengeditan gen ini. Namun, yang paling menonjol adalah dua perempuan saintis asal Amerika Serikat dan Perancis, yaitu Jennifer Doudna dari University of California, Berkeley, dan Emmanuelle Charpentier dari Max Planck Unit for the Science of Pathogens.

Emmanulle Charpentier & Jennifer Doudna (Reuters, 2015)

Pada tahun 2012, kolaborasi keduanya menjadi yang pertama yang menyatakan bahwa CRISPR-Cas9 (clustered regularly interspaced short palindromic repeats-associated protein 9), enzim dari keluarga DNA yang ditemukan pada bakteri dapat digunakan untuk mengedit gen.

Selama milyaran tahun, bakteri menggunakan enzim ini sebagai mekanisme untuk bertahan dari serangan virus. Gambaran sederhana tentang proses pengeditan gen ini dapat dilihat dari video singkat berikut ini:

How CRISPR lets you edit DNA – Andrea M. Henle

Penelitian yang dianggap sebagai salah satu penemuan terpenting dalam sejarah biologi inilah yang kemudian mengganjar Doudna dan Charpentier dengan penghargaan Nobel di bidang Kimia pada tahun 2020 lalu.

Dari penelitian ini pula, telah lahir sejumlah alternatif menjanjikan untuk melawan virus Corona yang sedang melanda dunia saat ini. Salah satunya ditemukan oleh Stanely Qi, asal China, dan Patrick Hsu, asal Taiwan, yang keduanya menjadi peneliti di laboratorium milik Doudna di Berkeley.

Terinspirasi dari CRISPR-Cas9, keduanya menemukan varian enzim lain, yaitu Cas13d yang mampu membelah SARS-Cov-2 dengan sangat efektif, hingga 90 persen. Stanley Qi menamakan temuan mereka Pac-Man (Prophylactic antiviral CRISPR in human cells) – sebagaimana karakter pemakan kue dalam sebuah video game yang sangat populer.

Dengan cara kerjanya yang mampu langsung “memakan” virus yang menginvasi tubuh manusia, Pac-Man mempunyai potensi lebih efektif dibandingkan vaksin yang mengandalkan respon imunitas dari tubuh manusia – yang terkadang tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

Human Enhancement dan Implikasinya

Kembali pada He Jiankui. Apa yang dilakukannya, tak lain adalah eksperimen langsung pada manusia untuk membuktikan kebenaran ilmiah dari temuan Doudna dan Charpentier.

Saat ini, eksperimen He Jiankui memang masih berada dalam tahap curing atau penyembuhan (terhadap calon bayi yang orangtuanya terkena HIV). Namun, sebetulnya teknologi, atau tepatnya bioteknologi yang sama, sudah dapat digunakan untuk enhancing (peningkatan kemampuan) manusia.

Dengan kata lain, manusia sudah bisa “mendesain manusia”.

Inilah disrupsi besar, bahkan lebih besar dari disrupsi digital yang pada saat sekarang juga sedang terjadi: disrupsi bioteknologi. Konsekuensinya begitu besar dan belum terbayangkan sepenuhnya oleh kita semua.

Salah satu perdebatan sengit yang sudah terjadi di antara para ilmuwan sekalipun, adalah perdebatan etik. Mereka yang tidak setuju memberikan alasan adanya risiko yang tak terbayangkan, termasuk kemungkinan menghasilkan manusia yang digunakan untuk kepentingan perang atau perebutan kekuasaan.

Sementara mereka yang setuju, termasuk James Watson dan He Jiankui, memberikan argumen yang juga tak mudah untuk dipatahkan, yang saya formulasikan dalam kalimat berikut:

“Jika evolusi telah menghantar umat manusia pada suatu titik yang memungkinkannya memperperbaiki kualitas kehidupan generasi penerusnya – agar terbebas dari berbagai penyakit dan menjadi lebih unggul dalam banyak hal – bukankah merupakan sebuah ketidakadilan bagi kemanusiaan untuk tidak merealisasikannya?”

Sesungguhnya fenomena ini terlalu dahsyat bagi kita. Selama milyaran tahun evolusi berjalan natural sesuai dengan “hukum alam” yang tertulis di dalam tiap-tiap mahluk hidup. Lalu, tiba-tiba datang suatu masa, ketika manusia yang juga bagian tak terpisahkan dari proses evolusi, bisa meretas evolusinya sendiri.

Manusia menjadi “gene-hacker!”

Perdebatan lain, atau tepatnya kekhawatiran lain, adalah terkait dengan masa depan heterogenitas manusia. Selama ini, perbedaan warna kulit, postur tubuh, bentuk wajah dan sebagainya dianggap sebagai kekayaan hereditas yang telah memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban manusia.

Pengeditan gen dinilai bisa menjadikan umat manusia menjadi “homogen”. Bisa jadi memang, tapi bisa jadi juga siapapun yang mengambil keputusan kelak, memilih sikap yang berbeda.

Kekhawatiran lain lagi, datang dari Jennifer Doudna sendiri. Yaitu, bahwa bioteknologi kelak hanya menjadi monopoli kaum superkaya, yang sanggup untuk membayar dengan harga tinggi, agar mereka dan keturunannya menjadi manusia paling unggul di muka bumi.

Dengan begitu, kesenjangan sosial yang sekarang sudah terjadi, bakal kian absolut. Ini juga concern yang sama yang pernah diajukan Yuval Noah Harari terkait kesenjangan digital – bahwa mereka yang menguasai big data akan makin berkuasa dan mereka yang tidak bisa mengakses data menjadi The Irrelevant.

Doudna sendiri berkomitmen untuk mencegah hal ini terjadi.

Apapun yang kelak terjadi, tak mungkin lagi membalik jarum jam peradaban. This is the point of no return! Penelitian bioteknologi terkini telah terlanjur tersebar ke seluruh dunia. Itu sebabnya, kolaborasi peneliti asal Amerika Serikat dan Perancis, bisa direalisasikan oleh peneliti asal China.

Agenda yang rasanya masih relevan adalah, bagaimana, di tengah-tengah disrupsi yang tengah terjadi, kita tetap berusaha untuk “memanusiakan manusia”. Dalam lanskap perkembangan jaman yang berbeda-beda, pertanyaan ini semestinya akan tetap penting.

Dengan atau tanpa harus menjadi saintis, kita bisa terlibat di dalamnya.

***

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s