
But life is very short and anxious for those who forget the past, neglect the present, and fear the future – Seneca, “On the Shortness of Life”
Ia tahu tak ada lagi yang dapat ia lakukan, dan meminta agar diberikan tablet agar bisa menuliskan surat wasiatnya. Namun, ia sempat kesal dan memprotes ketika para perwira itu tak mengizinkannya – betapa tidak? Itulah, satu-satunya kesempatan terakhir baginya untuk mewariskan satu-satunya kebanggaan hidupnya, yaitu gambaran dirinya di akhir hidupnya. Nilai-nilai kebijaksanaannya.
Ia segera menyadari, pilihan itu pun ternyata tak tersedia baginya. Garda Praetoria, Pasukan Pengawal Kaisar itu, bukannya tak punya perasaan. Mereka sendiri berlinang airmata, dan bahkan telah berusaha menyampaikan pembelaan mantan penasehat Kaisar yang bijaksana itu bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, apa daya, Nero, Sang Kaisar bergeming. Keputusan telah diambil. Seneca harus mengakhiri hidupnya.
Ia hanya punya satu pilihan: menyampaikan kata-kata terakhir. Dimulai dengan nada ramah, lalu secara perlahan menjadi nada teguran. “Di mana prinsip-prinsip kebijaksanaan kalian, pelajaran selama bertahun-tahun untuk menghadapi kejahatan? Siapa yang tidak tahu kekejaman Nero? Setelah membantai seorang ibu dan saudara laki-lakinya, tak ada yang bisa menghentikannya untuk melakukan penghancuran terhadap penjaga maupun tutornya.”
Seneca lantas berbalik memeluk Paulina, istrinya, memintanya tak bersedih. Tapi, Paulina malah memutuskan mengikuti suaminya. Keduanya, lalu memotong pembuluh darah di lengannya masing-masing. Tak tega melihat penderitaan istrinya, Seneca meminta agar Pompeia Paulina diselamatkan – hal yang dipenuhi oleh para pasukan pengawal karena Nero memang tak memerintahkan kematian Paulina.
Seperti digambarkan Tacitus dalam “Annals” (sebagaimana dikutip oleh Arkeolog Mediterania, Josho Brouwers), untuk mempercepat kepergiannya, Seneca minta agar diperbolehkan mandi air hangat. Ia masih sempat melakukan gerakan penaburan air sebagai tanda persembahan khusus bagi Jupiter, Sang Pembebas. Tak lama berselang, ia terbebas dari raganya.
Kematian Seneca (4 SM – 65 M) memang menggetarkan – namun bukanlah merupakan akhir cerita. Ironi, karena peristiwa itu juga menandai “kegagalan” Seneca dalam mendidik Nero menjadi seorang negarawan. Tapi, sejarah justru memberikan tempat yang lebih terhormat bagi Seneca – satu dari 3 filsuf Stoik paling berpengaruh (dua lainnya adalah Epictetus, “Sang Budak” dan Marcus Aurelius, “Sang Kaisar yang Bijaksana”).
Mari sejenak kita kembali ke belakang.
Seneca adalah tutor Nero muda sejak tahun 49 Masehi. Kedudukan itu ia peroleh atas permintaan Agrippina ibu Nero yang bersahabat dengannya. Seneca, yang sejak kecil berada dalam lingkungan keluarga berada menjadi senator di Roma sekitar tahun 37 Masehi diduga karena pengaruh bibi yang membesarkannya yang menikah dengan Gaius Galerius, Gubernur Kekaisaran Roma di Mesir.
Belajar Stoikisme sejak muda, Seneca menjadi senator yang sukses karena kemampuan orasinya yang baik. Caligula, Kaisar yang berkuasa saat itu, tak senang dengan orasi Seneca, bahkan pernah menyuruhnya untuk bunuh diri. Namun, karena saat itu Seneca berada dalam kondisi sakit-sakitan, Caligula berhasil diyakinkan untuk membiarkannya. Ia diyakini akan mati dengan sendirinya.
Meskipun tak memiliki hubungan baik dengan Caligula, namun Seneca berteman dengan saudara-saudara perempuan Sang Kaisar – Julia Livilla dan Agrippina, ibu Nero. Ketika Caligula terbunuh dan digantikan oleh Claudius pada tahun 41 Masehi, nasib Seneca tak langsung menjadi lebih baik. Ia malah dituduh berselingkuh dengan Julia Livilla oleh Messalina, istri Kaisar. Seneca sempat dihukum mati tapi akhirnya diampuni oleh Claudius dan dikurangi hukumannya – menjalani pengasingan di Pulau Korsika.
Nasib baik mulai menghampiri Seneca ketika Agrippina akhirnya menikah dengan pamannya sendiri, Claudius pada tahun 49 Masehi – tahun yang sama dengan saat ia mulai menjadi tutor Nero. Ketika Nero menjadi Kaisar pada tahun 54 Masehi, Seneca pun diangkat menjadi penasehat Kaisar (jabatan yang dipegangnya hingga 62 Masehi) bersama-sama dengan Sextus Afranius Burrus yang menjadi kepala Garda Praetoria.
Di awal kekuasaannya, yang dianggap sebagai tahun keemasan Nero, Seneca memiliki peran sentral. Ia menyusun pidato pelantikan Nero yang berjanji untuk mengembalikan prosedur hukum kewenangan yang sepantasnya pada Senat. Ia pula yang menyusun pidato Nero yang dibacakan dalam pemakaman Claudius.
Namun bulan madu hubungan keduanya perlahan memudar seiring dengan perubahan prilaku Nero yang mulai merasa terganggu dengan orang-orang dekatnya. Tahun 55 Masehi, Nero membunuh Britannicus, saudara tirinya (anak dari Claudius dan Messalina). Saat itulah Seneca menulis, salah satu karya pentingnya, de Clementia (yang mungkin lebih tepat diartikan sebagai “kemurahan hati”) sebagai upayanya untuk mengembalikan Nero pada jalan kebijaksanaan kaum Stoik.
Upaya Seneca akhirnya menemui jalan buntu. Tahun 59 Masehi, Nero memerintahkan pembunuhan terhadap ibunya, Agrippina yang diduga tidak menyetujui hubungan Nero dengan Poppaea Sabina. Agrippina disebut lebih menyayangi Octavia, istri Nero. Sejak saat itu, pengaruh Seneca terhadap Sang Kaisar memudar. Sempat mengajukan pengunduran diri dua kali, tahun 62 Masehi dan 64 Masehi (namun keduanya ditolak oleh Nero), Seneca memilih non-aktif dan menjauh dari kehidupan politik di Roma.
Ia melanjutkan pengembaraan pikiran dan menghasilkan renungan-renungan kebijaksanaan melalui dua karya pentingnya, Naturales Quaestiones (Ensiklopedia Kehidupan Alam) dan Epistulae Morales ad Lucilium (Surat-Surat untuk Lucilius). Karya-karya ini memantapkan pengaruh Seneca sebagai salah satu tokoh penting Stoikisme hingga hampir 2 milenia lamanya.
Sedangkan Nero, bekas anak didiknya, makin tersesat dalam perangkapnya sendiri.
Sepeninggal Agrippina yang sangat berpengaruh dalam karir politiknya, Nero menjalankan kepemimpinan penuh teror. Tak lagi memiliki orang yang dapat dipercaya, ia sepertinya kian merasa “terancam”. Ia menciptakan lebih banyak kematian, termasuk istrinya Octavia. Ketika terjadi kebakaran hebat yang menghancurkan sebagian besar kota Roma pada tahun 64 Masehi, Nero menuduh komunitas Kristen sebagai penyebabnya. Anggapan bahwa Nero justru berada di balik kebakaran itu menguat saat ia memutuskan untuk membangun Domus Aurea (Rumah Emas) yang akan menjadi istananya di pusat kota Roma yang telah hancur.
Tahun 65 M, dibantu oleh sejumlah tokoh penting, termasuk perwira Garda Praetoria, Gaius Calpurnius Piso, seorang tokoh politik Roma merencanakan kudeta untuk menjatuhkan Nero. Namun, upaya itu gagal. Piso dikhianati. Lebih dari 40 orang dituduh berkonspirasi melawan Nero. Sebagian diasingkan, sebagian dieksekusi. Sebagian lagi, warga kelas atas yang dianggap terlibat, diperintahkan bunuh diri – termasuk Piso dan Seneca.
Kematian musuh-musuh politiknya, tak menyurutkan gerakan pemberontakan terhadap Nero. Tahun 68 Masehi, kembali terjadi kekacauan politik yang dimulai dari pemberontakan Gaius Julius Vindex. Meskipun berhasil dipatahkan, namun Servius Sulpicius Galba, Gubernur Hispania Tarraconensis yang beraliansi dengan Vindex justru yang memperoleh keuntungan dan belakangan diangkat menjadi Kaisar. Para pendukung Nero pun mulai menyadari kekuasaan Sang Kaisar sudah berada di titik nadir. Mereka perlahan-lahan berpaling darinya.
Setelah mendengar kabar bahwa Para Senator di Roma telah mengadilinya secara in absentia dan mendeklarasikannya sebagai musuh publik (merevisi keputusan sebelumnya yang menyebut Galba sebagai musuh publik), Nero meninggalkan kota untuk menyepi. Hidupnya berakhir di sana – tak jelas benar karena bunuh diri atau terbunuh – di sebuah villa, milik seorang mantan budak yang pernah dibebaskannya.
“Kebangkitan Kembali” Seneca
Setelah kematiannya upaya untuk menghapus nama dan pengaruh Nero terjadi di berbagai tempat. Salah satunya adalah penghapusan statusnya sebagai pemenang Olimpiade 67 Masehi untuk kategori lomba balapan kereta dengan 10 kuda. Ketika itu Nero dijadikan pemenang meskipun terlempar dari kereta dan tak bisa meneruskan lomba – alasannya dijadikan pemenang adalah karena menurut penyelenggara “ia seharusnya menang jika bisa menyelesaikan lomba.”
Kendati sejumlah sumber mengatakan bahwa pengaruh dan popularitas Nero di masyarakat kelas bawah tetap kuat hingga beberapa tahun setelah kematiannya – bisa jadi karena karakter populisnya – namun di kalangan kelas menengah dan kelas atas, Nero tak lagi mendapatkan tempat. Dalam karya fiksi dan budaya pop yang berkembang belakangan, nama Nero benar-benar identik penguasa korup dan zalim.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari film “Quo Vadis” produksi Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) tahun 1951, hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya peraih Nobel, Henryk Sienkiewicz asal Polandia. Dalam film yang disutradarai oleh Mervyn LeRoy dan sukses menjadi box-office ini – meskipun tak jadi meraih satupun Oscar dari 8 nominasi yang diterimanya – Nero menjadi tokoh antagonis yang dihadapkan dengan orang-orang Kristen dan para pembelanya.
Sebaliknya dengan Seneca. Tokoh-tokoh awal Kristen tampaknya memiliki simpati dan merasa dekat dengan pemikiran-pemikiran Seneca dan Stoikisme – termasuk Santo Agustinus (354-430 Masehi). Ditambah lagi terdapat cerita – yang tak dapat diketahui kebenarannya – bahwa Seneca memiliki kedekatan dengan Santo Paulus, tokoh penting dalam penyebaran agama Kristen. Sekitar seribu tahun kemudian pun karya-karya Seneca masih dikutip oleh Dante Alighieri (1265-1321) penyair Italia yang dikenal dengan karyanya, “Divine Comedy”, dan Geoffrey Chaucer (1340-1400) penulis dan penyair asal Inggris.
Hal ini berlanjut di masa Renaissance, ketika karya-karya Seneca terus dicetak dan diterjemahkan – termasuk oleh filsuf dan pemikir Kristen asal Rotterdam, Erasmus (1466-1536) dan juga oleh John Calvin (1509-1564), tokoh reformasi Protestan yang pernah memberikan kata pengantar untuk de Clementia. Dalam karya seni populer, kematian Seneca yang tragis pun menjadi obyek lukisan Jacques-Louis David (1748-1825) pelukis beraliran neo-klasik yang terkemuka pada tahun 1773.

Kematian Seneca, dalam perspektif yang berbeda, justru “memateraikannya” sebagai legenda Stoikisme. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya tentang Marcus Aurelius, Stoikisme adalah ajaran yang mengedepankan “kebajikan (virtue) sebagai hal tertinggi” (Summum Bonum) yang harus terus diupayakan manusia.
Bagi Kaum Stoa yang mempraktekkan Stoikisme, pengendalian diri sangat penting untuk menghasilkan prilaku yang selaras dengan kebajikan. Mereka berpandangan bahwa indikator terbaik untuk mengukur tingkat kebajikan seseorang bukanlah dengan melihat apa yang dia katakan, tetapi dari perilakunya – itu sebabnya, sikap Seneca untuk menerima kematiannya adalah penanda penting bahwa ia memang seorang Stoik sejati.
Seneca bukanlah seorang suci – ia tak pernah mengaku demikian. Kisah pembuangannya ke Pulau Korsika dengan tuduhan perselingkuhan pun menunjukkan bahwa ia seorang manusia biasa. Berdaging dan bertulang. Seneca menarik justru karena ia tak menghasilkan “keajaiban” dan harus bekerja keras untuk meraih kebijaksanaan. Dalam “On the Shortness of Life”, Seneca menegaskan, “belajar bagaimana hidup membutuhkan upaya seumur hidup, dan, yang mungkin lebih mengejutkan Anda, adalah perlu seumur hidup pula untuk belajar bagaimana menghadapi kematian.”
Lalu, mengapa ia masih relevan?
Di era modern, Seneca – dan Stoikisme secara umum – menjadi penting terutama ketika kita berhadapan dengan situasi krisis atau ketidakpastian. Stoikisme pada dasarnya mengajarkan kita untuk tidak bergantung pada apapun di luar diri kita. Kita bisa berbuat kebajikan kapanpun dan dimanapun dengan mengoptimalkan “ruang kendali pikiran” (sphere of choice) yang tersedia dalam diri kita – sebagaimana diajarkan Epictetus dan direkam oleh Arrian muridnya dalam “Discourses”.
Nassim Nicholas Taleb, penulis buku best-seller “Black Swan” – buku sangat menarik yang menceritakan tentang berbagai peristiwa tak terduga yang disebutnya “Black Swan” yang berulangkali muncul, yang salah satunya disebabkan karena ketidakmampuan manusia modern, termasuk para pakar ekonomi peraih Nobel, yang secara “sadis” dikritik oleh Taleb, yang tak dapat memperkirakan kedatangannya – mengungkapkannya dengan tepat di bagian akhir edisi kedua bukunya:
“Bagi Seneca, Stoikisme adalah bagaimana berurusan dengan kehilangan, dan menemukan cara untuk mengatasi keengganan kita untuk kehilangan (loss aversion) – cara menjadi kurang bergantung pada apa yang Anda miliki.”
“Ingat ‘Prospect Theory’ Danny Kahneman dan rekan-rekannya: jika saya memberi Anda rumah yang bagus dan Lamborghini, memasukkan sejuta dolar di rekening bank Anda, dan memberikan Anda jejaring sosial, lalu, beberapa bulan kemudian, mengambil semuanya, Anda akan merasa jauh lebih buruk daripada jika hal itu tidak pernah terjadi sama sekali.”
“Kredibilitas Seneca sebagai filsuf moral (bagi saya) berasal dari kenyataan bahwa, tidak seperti filsuf lain, ia tidak merendahkan nilai kekayaan, kepemilikan, dan properti karena ia miskin. Seneca dikatakan sebagai salah satu orang terkaya pada zamannya. Dia hanya membuat dirinya bersiap untuk kehilangan segalanya setiap hari. Setiap hari.”
“Meskipun pengkritiknya menyebut bahwa dalam kehidupan nyata, dia bukanlah seorang Stoa yang bijak, terutama karena kebiasaannya merayu wanita yang sudah menikah (dengan suami yang bukan Stoik), dia sudah cukup bijak. Sebagai seseorang yang berpengaruh, dia juga memiliki banyak pencela – dan, jika dia gagal memenuhi cita-cita Stoiknya, dia jauh lebih baik dibandingkan orang-orang yang sezaman dengannya.”
Lagi pula, “jauh lebih sulit untuk memiliki sifat-sifat baik ketika seseorang memiliki banyak harta daripada ketika ia miskin, juga lebih sulit untuk menjadi seorang Stoa ketika kaya, berpengaruh, dan dihormati dibandingkan ketika miskin, sengsara, dan kesepian.”
Bagi Taleb – yang selalu membawa-bawa karya Seneca kemanapun ia pergi – Seneca menyiapkan dirinya untuk menjadi “kuat” atau robust ketika ketidakpastian dan hal-hal tak terduga, seperti kehancuran pasar finansial atau serangan teroris 9/11, datang. “Black Swan takkan mudah menghancuran seseorang yang memiliki gambaran tentang tujuan akhirnya.”
Dari bacaan saya pribadi, Seneca penting sebagai panduan untuk “melahirkan” pemimpin-negarawan – yang kuat menavigasi krisis dan tak takut kehilangan tahta, harta atau dinastinya. Ia memang gagal dengan Nero – sebab, sepertinya, seorang pemimpin memang harus melalui proses “penggodogan” yang lama, tidak bisa dicetak secara instan, apalagi jika tidak mengindikasikan adanya “bahan baku” yang berkualitas dalam sifat-sifat dasarnya. Tapi, Seneca sendiri tidak gagal sebagai negarawan.
Oleh karena itu, saya ingin menutup tulisan ini dengan menampilkan sejumlah pandangan Seneca yang relevan dengan sikap kenegarawanan – yang berasal dari 2 esainya yang powerful berikut ini:
Tentang Kemurahan Hati (de Clementia)
Kendati ditulis untuk Nero – terutama sebagai upaya untuk mencegah Sang Kaisar muda menjadi zalim – namun, karya ini relevan bagi siapapun yang berada di puncak kekuasaan. Jalan hidup Nero menunjukkan bahwa kekuasaan bisa dengan mudah membutakan. Ketika berada di bawah supervisi Seneca, ia mampu membuat berbagai kebijakan yang dianggap baik. Namun, ia berubah seiring waktu – dan membuktikan keampuhan adagium Lord Acton bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut korup secara absolut pula.”
“De Clementia”, adalah pondasi penting yang perlu dimiliki oleh para pemimpin agar tidak dibutakan oleh kekuasaan. Bagi Seneca, “pertama-tama, kemurahan hati harus dibedakan dari rasa kasihan yang merupakan kelemahan, meskipun seringkali dianggap sebagai kebajikan. Setelah itu, bagaimana membiasakannya dalam ke dalam pikiran, dan menjalankannya.”
“Kemurahan hati adalah watak yang menguntungkan pikiran, terutama ketika menjatuhkan hukuman; atau, sebagai moderasi terhadap penalti yang sudah terjadi; sebagai pengampunan dari total hukuman yang layak. “
“Sebagaimana belas kasih dan dan kelembutan alam merupakan sumber segala perdamaian dan ketenangan, bahkan di sebuah pondok yang kecil, maka terlebih lagi manfaat dan perhatiannya jika hal itu datang dari Istana. Di ruang-ruang privat kebaikan dan kejahatan dapat ditutupi, tapi kata-kata dan tindakan seorang pangeran bisa menjadi isu publik; dan oleh karenanya perlu diperhatikan dengan seksama, dalam kesempatan apa hal tersebut dapat disampaikan pada publik untuk dibahas, yang dengannya orang-orang akan terus membicarakannya.”
“Kemurahan hati dapat dilakukan semua orang namun paling baik jika dilakukan para penguasa; sebab itu membuat kekuasaan mereka terasa nyaman dan bermanfaat bukan sebaliknya menciptakan malapetaka bagi kemanusiaan. Hal itu memperkokoh keagungan mereka ketika mereka menjadikan kebaikan publik sebagai perhatian khususnya, dan kemudian menggunakan kekuasaannya bagi keselamatan rakyatnya.”
“Sang pangeran, dengan demikian, merupakan jiwa dari komunitasnya, sebagaimana komunitas tak lain adalah tubuh dari sang pangeran; sehingga dengan menjadi penyayang bagi yang lain, ia juga berbuat baik bagi dirinya sendiri.”
“Ketika seorang pangeran yang murah hati menunjukkan dirinya kepada rakyatnya, mereka tidak melarikan diri darinya seperti ketika melihat seekor harimau yang terbangun dan keluar dari sarangnya, tetapi mereka memujanya karena kebaikannya; mereka mengamankannya dari semua konspirasi, dan menjadikan tubuhnya perisai di antara dia dan bahaya.”
“Mereka menjaganya saat ia tidur, dan membelanya di medan laga melawan musuh-musuhnya. Ini bukan tanpa alasan, kesepakatan bulat dalam cinta dan kesetiaan ini, serta semangat heroik untuk mengabaikan kepentingan diri sendiri demi keselamatan pangeran mereka; karena apa yang mereka lakukan adalah dalam rangka menjaga kepentingan rakyat. Dalam nafas seorang pangeran ada hidup dan mati; dan hukumannya baik, benar atau salah.”
Di bagian akhir, Seneca menceritakan bagaimana Kaisar Augustus mengampuni Cinna, mantan musuh yang kemudian masih berusaha membunuhnya. “Kemurahan hati inilah yang membuatnya (Augustus) agung dan bisa mengambil hati rakyatnya, meskipun kekuasaan pemerintahan sebelumnya telah membuat mereka merasa terpasung; kemurahan hati inilah yang membuat namanya tersohor untuk waktu yang lama.”
Tentang Ketenangan Pikiran (de Tranquillitate Animi)
Esai “Tentang Ketenangan Pikiran” merupakan jawaban Seneca atas pertanyaan Serenus, yang hidupnya gelisah meskipun hidup dalam serba kecukupan. Kegelisahan Serenus, menurut Seneca, “muncul dari ketidakstabilan mental dan dari ketakutan serta tidak terpenuhinya berbagai keinginan, ketika seseorang tidak berani atau tidak mencapai semua yang mereka dambakan, dan apa yang mereka pegang hanyalah harapan: mereka selalu tidak seimbang dan terombang-ambing, sebuah konsekuensi tak terelakkan dari hidup dalam ketegangan.”
Meskipun hidup dalam kemewahan, orang-orang seperti ini selalu tidak terpuaskan. Mereka terus mencari hal-hal baru yang dapat memuaskan hatinya. “Mereka membuat satu perjalanan ke perjalanan yang lain dan mengganti pemandangan yang satu dengan pemandangan yang lain.” Menurut Seneca, hal ini tak jarang berakhir dengan kematian, “karena dengan sering mengubah tujuan mereka terus terperangkap ada hal-hal yang sama dan tidak meninggalkan ruang untuk hal-hal yang baru.”
“Jalan terbaik, sebagaimana disarankan oleh Athenodorus, adalah menyibukkan diri dengan aktivitas politik dan tugas-tugas kemasyarakatan (perlu diingat, sebagai seorang Stoik, politik dalam pemahaman Seneca selalu terkait dengan kebajikan).” Bagi Seneca, seseorang yang menjadikan dirinya berguna bagi masyarakat akan terlatih hati dan jiwanya dan dengan sendirinya akan membawa dampak baik secara individual untuk dirinya maupun secara kolektif untuk masyarakat.
“Namun,” sebagaimana juga diingatkan Athenodorus, “karena umat manusia juga sangat ambisius dan banyak melakukan tuduhan untuk mengubah yang baik menjadi salah, yang menjadikan kejujuran tidak aman dan bahkan menimbulkan perlawanan bukannya pertolongan, kita juga harus mampu meninggalkan kehidupan publik dan politik, meskipun para pemikir besar selalu saja punya ruang untuk beraktivitas bebas di antara kehidupan pribadinya.”
“Bakti pada negara tidak harus terbatas pada untuk mengisi jabatan publik, membela masyarakat di pengadilan, dan memberikan suara pada saat situasi damai maupun perang: mereka yang mengajar kaum muda, mereka yang menanamkan kebajikan dalam alam pikiran kaum muda (apalagi karena kita mengalami kekurangan guru-guru yang berkualitas), mereka yang mampu memegang dan menahan orang-orang yang terburu-buru mengajar kekayaan dan kemewahan, dan jika tak ada yang bisa dilakukan lagi, setidaknya menunda langkahnya – mereka pun sedang melakukan pelayanan publik, dalam kehidupan privatnya.”
“Jika Anda membuat diri anda terus belajar, Anda bisa menghalau kebosanan dalam hidup, Anda tidak lagi harus merindukan malam karena tak menyukai hari yang terik, Anda juga tidak harus menjadi beban bagi diri sendiri atau menjadi tidak bermanfaat bagi orang lain, Anda akan menarik banyak orang untuk menjadi teman anda dan orang-orang terbaik akan mengikutimu.”
Ini pandangan saya sendiri: Belajar dan mengembangkan diri akan selalu relevan dan tak bisa dibatasi oleh usia. Makin bertambah usia justru kita bisa menjadi makin cemerlang – karena kita bukan dinosaurus. Jangan seperti kata Seneca: “Seringkali seorang tua tak punya bukti telah menjalani hidup cukup lama selain dengan melihat usianya.”
Di manapun seseorang berada, ia tetap bisa melakukan kebaikan. “Jika keberuntungan memaksamu keluar dari peran penting dalam jabatan publik, Anda harus tetap berdiri tegar dan menyemangati yang lain, bahkan jika ada yang mencekik lehermu, tetap tegar dan membantu dalam senyap. Melayani publik tak pernah sia-sia: dengan terlihat atau terdengar, seseorang bisa membantu melalui ekspresinya, melalui anggukan kepalanya, dalam keheningannya, bahkan dalam langkahnya.”
“Kenapa Anda berpikir bahwa seseorang yang telah pensiun tak dapat mempersembahkan sesuatu yang bernilai?
Seneca mengingatkan untuk berhati-hati dengan kekayaan pribadi – yang dianggapnya “sumber terbesar kesengsaraan manusia”. Dalam pandangannya, “jika dibandingkan dengan semua hal yang bisa menyengsarakan manusia seperti kematian, penyakit, ketakutan, nafsu, penderitaan fisik dan kerja keras, kejahatan yang dibawa oleh uang, jauh melebihi yang lain-lain.”
Sebagaimana disampaikan oleh Nassim Nicholas Taleb di atas, manusia memiliki watak tak mau kehilangan “hal-hal yang telah dimilikinya” – ini yang disebut dengan loss aversion oleh Daniel Kahneman. “Ingatlah juga bahwa rasa sakit karena tidak punya uang masih jauh lebih ringan dibandingkan kehilangan uang.”
“Seperti yang saya katakan, lebih mudah untuk menanggung sesuatu dan lebih sederhana untuk tidak memperoleh apa-apa dibandingkan kelak harus kehilangan, sehingga Anda akan melihat bahwa orang-orang yang tidak pernah mendapatkan keberuntungan (kemuliaan) lebih ceria dibandingkan mereka yang pernah memperolehnya namun ditinggalkannya. Orang berjiwa besar seperti Diogenes menyadari hal ini, dan menjalani hidup sehingga tidak ada yang bisa diambil darinya.”
Dalam dunia politik dan bisnis pun kita melihat fenomena ini selalu terjadi. Orang-orang yang sudah berkuasa dan berkecukupan takut kehilangan posisi serta hartanya. Hingga usia tua mereka terus mengejar kekuasaan dan kekayaan serta melupakan betapa banyak hal baik di sekitarnya yang masih dapat mereka perbuat.
Mereka yang sedang berkuasa pun harus sadar bahwa tak ada yang tak berubah: “Di manakah terdapat kerajaan yang tidak mengalami kehancuran dan keruntuhan, menghadapi tiran dan algojo? Hal-hal ini tidak terjadi dalam interval waktu yang lebar: betapa singkatnya waktu ketika duduk dalam tahta dan kemudian bertekuk lutut pada yang lain. Ketahuilah bahwa setiap keadaan dapat berubah, dan apa yang terjadi pada orang lain dapat terjadi padamu juga.”
Dalam hal pencarian pengetahuan, kesederhanaan atau sikap moderat dapat diterapkan. “Apa gunanya memiliki banyak buku dan perpustakaan dengan banyak judul buku, jika jarang dibaca oleh pemiliknya sepanjang hidupnya? Jumlah buku yang banyak hanya membebani pelajar jika tidak menjadi pengetahuan, dan jauh lebih baik mendalami pandangan beberapa penulis daripada tersesat di antara yang banyak.”
“Ada orang yang mendapatkan jabatan tinggi, yang lain memperoleh kekayaan; ada yang lahir dalam keluarga yang beruntung, ada yang lahir dalam kesederhanaan; ada yang tunduk dalam penguasaan yang lain dan ada yang mengatur kekuasaannya sendiri; ada yang tak leluasa bergerak di tempat pengasingan, yang lain karena menjadi imam: semua kehidupan adalah pelayanan. Kita harus terbiasa dengan keadaan, mengeluhlah sesedikit mungkin, dan carilah celah manfaat apa pun yang masih dapat diraih: tidak ada kondisi yang begitu pahit sehingga pikiran yang stabil tidak dapat menemukan penghiburan di dalamnya.”
Meskipun kehidupan penuh ketidakpastian, “alam pikiran kita harus rileks: mereka akan bangkit lebih baik dan lebih tajam setelah istirahat. Sama seperti Anda tidak boleh memaksakan lahan pertanian yang subur, karena produktivitas yang terus-menerus akan segera melelahkannya, demikian pula upaya yang terus menerus akan menguras kekuatan mental kita, sementara waktu istirahat dan relaksasi yang singkat akan memulihkan kekuatan. Upaya tanpa henti hanya akan mengarah pada semacam kebebalan dan kelesuan mental.”
Demikianlah Seneca – dan tuntaslah niat saya untuk membahas ketiga legenda Stoik. Terima kasih.
Tautan Serial Stoikisme yang Lain:
Pelajaran dari Marcus Aurelius dan Kaum Stoa Ketika Badai Krisis Tiba
Belajar Kepemimpinan dari Epictetus: “Budak” Paling Berpengaruh di Dunia
Seneca tentang Singkatnya Kehidupan dan Bagaimana Menjalani Hidup Tanpa Bergantung pada Nasib