
Kekuasaan adalah salah satu hasrat primitif manusia. Dalam lingkungan terkecil, di keluarga, kelompok, organisasi, perusahaan hingga negara, kehendak untuk meraih kekuasaan terjadi di mana-mana.
Mungkin ini salah satu kesamaan kita dengan dinosaurus.
Tak mengenal usia dan latar belakang sosial maupun gender. Status lebih berpengaruh, lebih tinggi secara inheren sepertinya merupakan program yang sudah ditanamkan pada otak manusia di manapun mereka hidup dan berkembang.
Kisah-kisah dalam berbagai tradisi, pun menunjukkan bahwa perebutan kekuasaan merupakan tema yang tak pernah usang dan terus berulang.
Kehendak berkuasa ini tak selalu identik dengan keinginan untuk menjadi kaya secara material.
Ada banyak orang yang rela menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk memperoleh posisi penting dalam pemerintahan.
Benar bahwa sebagian dari mereka menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri. Tapi, juga banyak yang merasa sudah cukup puas dengan jabatannya, kendati imbalan materi yang diperoleh tak sebanding dengan apa yang sebelumnya sudah diraih.
Ada seorang teman yang selalu ingin menjadi anggota DPR, meskipun selalu saja tak beruntung dan bahkan kehilangan banyak uang…
Membangun Kekuatan, Membangun Posisi Tawar
Banyak cara dilakukan orang untuk memperoleh kekuasaan. Pendekatan umumnya selalu sama, yaitu dengan membangun kekuatan atau membangun “posisi tawar”.
Kekuatan ini bisa merupakan kekuatan yang terlihat secara fisik seperti uang, massa, senjata atau fisik yang kuat dan menarik.
Namun kekuatan bisa juga didapatkan dengan cara yang lebih lunak, seperti ilmu pengetahuan, termasuk informasi dan kemampuan persuasif untuk mempengaruhi orang lain, dan sebagainya.
Perang, seperti dibahas dalam bagian lain di blog ini (“Perang Persepsi”), juga merupakan sebuah upaya yang bertujuan untuk menentukan siapa pemenang yang pada akhirnya memiliki kekuasaan nanti.
Dalam perkembangannya, strategi perang tidak lagi semata-mata bisa mengandalkan kekuatan yang terlihat secara fisik (hard power). Tetapi yang tak kalah penting, bahkan mungkin lebih penting dari itu adalah kekuatan yang bisa memenangkan persepsi publik (soft power).
Kekuatan ini diperoleh melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi. Seperti dalam Blue Ocean strategy, atau semacamnya.
Tak ada gunanya memenangkan perang, namun menghadapi publik yang terus-menerus melakukan perlawanan melalui berbagai pengaruh ide dan pemikiran.
Kekuasaan menjadi perebutan karena dianggap sebagai sumber daya yang terbatas. Persepsi umum yang berlaku adalah bahwa hanya ada satu pemenang dalam sebuah permainan yang demikian – yang memang didesain untuk menghasilkan satu pemenang.
Kenyataannya, berbagai game manusia modern tak jarang berujung pada zero sum game. Keadaan sama-sama kalah, alias tanpa pemenang.
Pengalaman dalam sejarah, menunjukkan bahwa permainan kekuasaan ini dilakukan oleh semua pihak yang merasa memiliki kekuatan dan potensi untuk berkuasa. Mereka yang memiliki kekuatan (hard power dan soft power), seringkali tak bisa menahan diri untuk membuktikan diri sebagai pihak yang paling berkuasa.
Itu sebabnya, konsep pertahanan (defence) menjadi pilihan yang masuk akal bagi semua pihak. Baik untuk mereka yang memang memiliki hasrat untuk bertarung, maupun untuk mereka yang sekedar ingin menjaga diri – pada tingkat individu, tradisi Nusantara mempunyai istilah yang tepat untuk ini, yaitu “bela diri”.
Pada konteks negara, membangun kekuatan melalui sistem pertahanan adalah sebuah keniscayaan kalau tidak mau dipandang sebelah mata atau didikte oleh mereka yang melakukan konsolidasi kekuatan.
Agar lebih jelas, saya ingin menekankan esensi mengapa kita perlu belajar membangun kekuatan dan mengelola kekuasaan:
Merupakan fakta bahwa hasrat manusia untuk berkuasa – dan mengalahkan yang lain – masih akan terus terjadi, maka suka atau tidak, kita semua akan dengan mudah terseret dalam pusaran atau lebih tepatnya “pertarungan” kekuatan.
Pemahaman mendasar tentang permainan kekuasaaan penting kita miliki, agar tidak menjadi obyek atau terinjak-injak para gajah yang sedang bertarung.
Pelajaran dalam game theory mengajarkan kita bahwa konsekuensi membangun kekuatan adalah meningkatnya posisi tawar kita terhadap pihak lain dalam sebuah permainan secara umum – baik permainan atau pertarungan untuk mencari yang terbaik, maupun perlombaan atau persaingan untuk memasuki “kelas” yang lebih tinggi.
Mereka yang memiliki posisi tawar yang meningkat, dengan sendirinya sudah memperoleh keuntungan tertentu.
Bayangkan, Anda sedang menerima lamaran pekerjaan dari para pelamar di perusahaan media milik anda.
Ada 3 orang pelamar. Pelamar A memiliki kemampuan berbicara bahasa Inggris sangat baik. Pelamar B memiliki kemampuan menulis laporan yang sangat baik. Pelamar C memiliki kemampuan mencari data lapangan yang juga sangat mumpuni. Sedangkan, pelamar D mempunyai kemampuan komunikasi yang sangat baik dan kemampuan menulis yang baik.
Jika, ditanya manakah yang secara obyektif paling berpeluang untuk diterima lamarannya? Dengan dua kemampuan yang dimiliki, maka pelamar D adalah yang paling berpeluang diterima karena dua kemampuan tersebut merupakan posisi tawar yang secara relatif lebih tinggi dari pelamar yang lain.
Tetapi jika ada pelamar lain yang punya kelebihan lebih banyak lagi, termasuk kedekatan dengan Anda sebagai pemilik perusahaan misalnya, maka ia posisi tawarnya akan lebih tinggi lagi.
Dalam perlombaan seperti ini, semakin banyak kemampuan yang dimiliki semakin meningkat posisi tawar seseorang.
Non-Cooperative Game
Dalam sebuah pertarungan yang menuntut adanya satu orang atau satu pihak saja yang akan jadi pemenang (non-cooperative game), pun membangun kekuatan sangat penting.
Sebuah klub sepakbola yang berambisi menjadi juara liga nasional, harus punya daftar kekuatan yang lebih dibandingkan lawan-lawannya.
Mulai dari pelatih yang unggul, talenta pemain yang unggul di berbagai lini, sistem pembinaan, pelatihan dan perekrutan yang unggul, pemberian gizi yang baik, penonton yang fanatik, sistem keuangan klub yang sehat dan sebagainya.
Jika semua ini secara relatif lebih baik dari para pesaingnya, maka peluang untuk juara akan menjadi lebih besar. Meskipun ada saja faktor-faktor lain yang mungkin luput dari pengamatan dan kemudian ternyata bisa berperan besar dalam menentukan siapa yang akan jadi juara.
Kuncinya adalah terus mempelajari faktor-faktor apa, yang lama maupun yang baru, yang akan menentukan lahirnya sang juara.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita tak selalu memiliki kemewahan untuk bisa mempunyai semua kekuatan yang ada. Selalu saja ada kesenjangan antara keadaan yang ideal dengan yang nyata-nyata tersedia.
Lalu, bagaimanakah strategi yang paling tepat untuk menghadapi permainan semacam ini?
Kita punya beberapa pilihan. Jika kita merasa memiliki semua kekuatan yang ada dan secara relatif lebih unggul dibandingkan lawan-lawan yang ada, pilihannya tentu mendikte lawan dengan kekuatan yang sudah ada itu.
Tujuannya adalah memenangkan pertandingan secara efektif dan efisien.
Namun, jangan lupa pula dalam sebuah permainan, bisa terjadi dinamika yang menyebabkan kekuatan yang kita punyai menurun dan kekuatan lawan tiba-tiba meningkat karena faktor-faktor yang tak terduga…
Misalnya, dalam pertandingan sepakbola, jika pihak yang kuat mengalami kebobolan terlebih dahulu secara tak teduga, dicurangi wasit atau pemain mengalami cedera.
Nash Equilibrium – Tak Selalu Harus Menang
Jika kita secara relatif memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan lawan-lawan yang ada, pilihannya adalah mengoptimalkan kekuatan yang ada supaya memperoleh hasil yang seoptimal mungkin.
Tujuannya, tidak harus memenangkan pertandingan, melainkan untuk menampilkan permainan sebaik-baiknya, dengan memaksimalkan kekuatan sendiri dan mengeksploitasi kesalahan lawan.
Tidak berusaha mengoptimalkan kekuatan yang ada, sama sekali bukan pilihan yang harus dipertimbangkan. Sebab tak ada kebaikan dan pelajaran yang mungkin berguna di masa mendatang dari cara berpikir semacam itu.
Berada dalam situasi superior maupun inferior, yang terpenting dalam permainan seperti ini adalah melakukan segala sesuatu sebaik-baiknya.
Intinya: Menggunakan potensi kekuatan yang sama-sama dipunyai sampai pada titik yang paling optimal. Titik yang paling optimal itu akan tercapai ketika tak ada lagi upaya yang bisa diambil dari kedua belah pihak untuk membuat kedudukan mereka menjadi lebih baik lagi.
Ini yang disebut dengan “Nash Equilibrium” dalam game theory.
Menyadari titik optimal ini penting, terutama dalam “permainan” yang memungkinkan terjadinya negosiasi atau diplomasi.
Saat titik optimal tercapai, maka akan lebih mudah untuk mencapai kesepakatan bagi kedua-belah pihak yang sedang bermain – baik dalam sebuah “permainan” tawar-menawar harga buah jeruk di pasar, maupun dalam “permainan” membangun senjata nuklir di antara negara-negara adi daya.
Asumsinya, kesadaran terhadap posisi optimal ini akan memunculkan perasaan fairness di antara para pemain. Sehingga, jika mereka sama-sama rasional, mereka akan menyadari bahwa inilah pilihan terbaik, ketimbang sama-sama kalah.
Sekali lagi, jika mereka sama-sama rasional. Dalam kenyataannya, manusia seringkali terpeleset, melakukan banyak kebodohan.
Cooperative Game
Dalam permainan yang tidak menuntut adanya pemenang tunggal, situasi yang dihadapi akan sedikit lebih mudah.
Para pemain tentu tetap harus meningkatkan posisi tawarnya untuk tetap berada dalam kelas atau status yang setinggi mungkin. Namun, pada satu titik, kesepakatan bisa diambil untuk bekerja sama (cooperative game) karena disadari itu akan lebih menguntungkan semua pihak.
Ini misalnya bisa terjadi dalam kesepakatan untuk membentuk zona perdagangan bebas dari beberapa negara dalam kerangka ko-eksistensi.
Dalam konteks global maupun nasional, ko-eksistensi dibangun berdasarkan otonomi dan kesetaraan. Ko-eksistensi tidak dibangun berdasarkan penaklukan sebuah kekuatan atas kekuatan lain. Tapi, kekuatan yang eksis secara bersamaan itu dapat menciptakan keseimbangan kekuatan. Sehingga bisa berdampak pada terjadinya ketertiban dunia.
Pada tingkatan negara, ko-eksistensi paling tepat diwujudkan melalui demokrasi dan pluralisme. Hegemoni satu ideologi atas ideologi lain jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam ko-eksistensi. Begitu juga dengan dominasi kelompok satu atas kelompok lainnya.
Hanya soal waktu saja bagi tatanan masyarakat yang dibangun berdasarkan hegemoni ideologi atau dominasi kelompok tertentu untuk menghadapi perlawanan dari yang lain.
Dalam ko-eksistensi, dalam dunia yang damai, pembangunan kekuatan dapat terus dilakukan dalam pondasi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama melalui riset, teknologi dan inovasi.
Pembangunan kekuatan di bidang ini dapat membawa umat manusia pada kemajuan bersama. Bukan hanya power (kekuasaan) yang dapat diraih, tapi juga empower (memberdayakan).
Jadi, strategi paling tepat bagi Anda untuk membangun kekuatan adalah… Oh, maaf, tulisannya sudah kepanjangan. Sekian.