Leonardo Da Vinci: Apa yang Menjadikannya Jenius?

The Last Supper

Sejak kecil saya terbiasa melihat lukisan itu. Yang menampilkan peristiwa ketika Yesus melakukan jamuan terakhir dengan murid-muridnya sebelum disalibkan. Namun, hanya setelah dewasa saya bisa mengapresiasinya sebagai sebuah karya besar seorang jenius.

The Last Supper, nama lukisan itu, seperti kata Walter Isaacson yang menulis biografi Leonardo Da Vinci, tidak sekedar menggambarkan sebuah peristiwa. Lebih dari itu, “sebuah panggung drama, seolah-olah sedang mengkoreografikan pertunjukan teater.”

Penggambaran meja secara horizontal memang mengesankan sebuah panggung artifisial yang biasanya terdapat dalam berbagai pertunjukan, namun pilihan perspektif yang demikian, sengaja diambil agar ia bisa secara leluasa menampilkan reaksi Yesus dan keduabelas muridnya secara lebih emosional, terutama melalui impresi wajah dan gerakan tangan mereka.

Banyak orang, tidak terbatas pada kaum kristiani, sudah mengetahui tentang kisah sesudah “perjamuan kudus” itu. Masing-masing tentu memiliki imajinasi tentang bagaimana peristiwa itu seharusnya digambarkan. Namun fakta bahwa The Last Supper telah menjadi lukisan yang telah menyebar di seluruh dunia, dalam berbagai variasi bentuk, menunjukkan bahwa selama berabad-abad, perspektif Leonardo telah turut mempengaruhi imajinasi sebagian besar kita.

The Last Supper yang dilukis pada dinding biara Dominikan, Santa Maria delle Grazie di Milan, secara tepat menggambarkan peristiwa ketika Yesus pertama kali mengatakan bahwa “salah satu dari kalian akan mengkhianati aku”. Pernyataan itu yang kemudian memunculkan reaksi beragam dari murid-muridnya. Dalam situasi demikian, Yesus tetap tenang, mengarahkan matanya pada roti dan piring di hadapannya.

Gerakan tangan dan ekspresi wajah dalam lukisan ini sebetulnya adalah preferensi subyektif Leonardo untuk merepresentasikan karakter atau jiwa dari tokoh-tokoh yang hendak digambarkannya. Bisa saja dalam kehidupan nyata, sebagian muridnya adalah orang-orang yang tidak ekspresif – namun tentu sulit sekali menampilkan mereka dalam bentuk lukisan.

Orang-orang Italia secara umum, sebagaimana Leonardo, punya kecenderungan untuk menggunakan gerakan tangan dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, sangat wajar jika The Last Supper pun diberikan warna atau karakter Italia. Sebagian besar dari kita pun menganggapnya sebagai hal yang wajar saja.

Di luar soal penggambaran ekspresi, lukisan yang diselesaikan Leonardo antara tahun 1495 hingga 1498 ini, juga menunjukkan keahliannya dalam menampilkan perspektif ruang.

Jika diperhatikan secara seksama, garis-garis imajinasi ruang dalam lukisan ini cenderung mengarah atau berkonvergensi ke bagian dahi Yesus. Ini sangat serasi dengan bentuk ruangan asli tempat lukisan berbentuk mural ini berada. Melihat lukisan ini, pengunjung akan disajikan kesan bahwa lukisan tersebut merupakan perpanjangan dinding kiri dan kanan dari ruangan itu.

Dan itu hanya sebagian saja dari sekian banyak variabel yang dapat dicermati dari The Last Supper. Para ahli punya lebih banyak analisis tentang ini. Namun, intinya, lukisan ini adalah gabungan antara perspektif saintifik dan penggambaran teatrikal, antara intelek dan fantasi, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang sungguh jenius.

Kemampuan menghasilkan karya yang demikian sesungguhnya tidak didapatkan dari “bakat” semata. Tapi juga dari ketekunan luar biasa yang membedakannya dengan talenta-talenta lainnya. Yang membuat namanya tetap menjadi legenda.

Dilahirkan di Vinci, Italia, sebagaimana namanya, pada tanggal 15 April 1452, Leonardo adalah manusia serba bisa. Seorang polymath. Ia tak cuma melukis, memahat, tapi juga merancang berbagai teknologi atau peralatan perang inovatif pada jamannya – salah satunya mesin terbang, ratusan tahun sebelum ditemukannya pesawat terbang.

Dari berbagai catatan yang dibuatnya, yang totalnya mencapai 13.000 halaman yang terdiri dari corat-coretan dan gambar, dunia mengetahui betapa luas dan serius minat Leonardo, yang meliputi anatomi, obat-obatan, arsitektur, optik, hidrolik, botani dan sejarah bumi. Salah satu dari catatannya yang dikenal dengan Codex Leicester, dimiliki oleh bilyuner Bill Gates, yang membelinya dengan harga lebih dari 30 juta dolar AS pada tahun 1994 dari balai lelang Christie di New York.

Meskipun tidak memiliki pendidikan tinggi namun Leonardo memiliki sikap seorang saintis yang amat rajin melakukan observasi terhadap berbagai fenomena, orang dan alam. Semua itu dilakukannya dengan tekun dan direkamnya dalam catatan hariannya. Caranya, seperti ia tulis dalam Codex Ashburnham:

“Pada saat anda berjalan-jalan di tengah kota, amatilah dengan konstan, catat, dan pertimbangkan situasi sekitar dan prilaku orang-orang pada saat mereka bercakap-cakap atau bertengkar atau tertawa atau saat hendak marah.”

Ia tidak hanya mengamati hal-hal di permukaan. Lebih dari itu, rasa ingin tahunya yang besar membuatnya tak segan-segan berurusan dengan puluhan mayat manusia, membedahnya dan melihat isinya serta mencoba memahami cara kerja berbagai organ tubuh manusia.

Apa hubungan itu semua dengan karya-karyanya? Kadang-kadang memang tidak ada hubungannya. Karena curiousity belaka. Tapi, pemahamannya itu kemudian terefleksi dalam sapuan-sapuan kuasnya untuk menggambarkan serealistis mungkin ekspresi manusia yang menjadi obyek lukisannya.

Walter Isaacson menyimpulkan bahwa rahasia kemampuan Leonardo untuk menggambarkan ekspresi wajah dalam lukisan-lukisannya adalah karena ia telah mempelajari secara langsung dan detil anatomi wajah beserta otot-otot yang mempengaruhi gerakan-gerakannya.

“Ia barangkali satu-satunya artis dalam sejarah yang pernah membedah dengan tangannya sendiri wajah manusia dan juga kuda untuk melihat apakah otot-otot yang menggerakkan bibir manusia memiliki kesamaan dengan otot-otot yang bisa mengembangkan lubang hidung kuda.”

Lukisan Sebagai Sains Plus Imajinasi

Leonardo mengambil sikap yang tak populer di kalangan seniman lainnya, yaitu menempatkan lukisan sebagai karya seni yang lebih superior dibandingkan karya seni lainnya. Preferensinya ini tercermin dalam Paragone (artinya “perbandingan”), yaitu sebuah debat legendaris di era Renaissance yang berusaha menemukan superioritas antar cabang seni.

Dasar argumen Leonardo adalah bahwa kreativitas sejati membutuhkan kemampuan untuk mengkombinasikan observasi dan imajinasi, sehingga mengaburkan batas antara realitas dan fantasi. Seorang pelukis menurutnya, harus memiliki kedua kemampuan itu.

Ia juga membangun argumen bahwa mata adalah jendela jiwa, “yang merupakan sarana terpenting bagi reseptor dalam otak untuk mengkontemplasikan secara utuh dan tepat cara kerja alam yang tak terbatas.” Melalui seni lukis, keindahan tubuh manusia digambarkan secara proporsional sehingga keindahannya menjadi bersifat permanen dan dapat terus dilihat dalam waktu lama.

Suara dianggapnya kurang penting karena akan cepat hilang setelah dikeluarkan. Sedangkan puisi membutuhkan banyak kata-kata untuk menyampaikan apa yang dapat dilakukan oleh satu buah lukisan saja. Sedangkan patung tidak bisa menggambarkan cahaya, bayangan dan warna yang sangat penting dalam merepresentasikan keaslian obyek seperti dalam lukisan.

Argumen pamungkas Leonardo adalah bahwa lukisan tidak hanya membutuhkan intelektualitas, tapi juga imajinasi yang seringkali lebih magis dibandingkan dengan apapun yang ada dalam realitas.

“Oleh karena itu, adalah kekeliruan, wahai penulis, untuk mengeluarkan lukisan dari kategori liberal arts (pendidikan umum), sebab lukisan tidak saja mampu mencerminkan apa yang terjadi di alam ini tapi juga hal-hal tak terbatas yang tak pernah diciptakan oleh alam.”

Sikap Leonardo yang ia sampaikan dalam debat di Puri Sforza pada tanggal 9 Februari 1498 ini, adalah kontra argumen terhadap pandangan kubu lawannya yang menganggap lukisan merupakan karya seni yang lebih inferior karena keterbatasan “bentuk”. Salah satu alasannya, karena lukisan tidak bisa diapresiasi oleh seorang tunanetra yang hanya bisa mengenal karya seni melalui sentuhan atau pendengaran.

Kubu lainnya berargumen bahwa puisi dan penulisan sejarah adalah yang terpenting. Sebab, menurutnya, reputasi dan memori dari para pemimpin besar, termasuk Julius Caesar dan Alexander yang Agung, datang dari para sejarawan ketimbang pemahat dan pelukis.

Isaacson berpandangan bahwa sikap Leonardo tersebut perlu ditempatkan dalam konteks bahwa Paragone adalah sebuah “pertunjukan” untuk memuaskan para penonton dan juga untuk menaikkan status sosial para pelukis. Mungkin mirip dengan talkshow di era modern, yang seringkali menjadikan polemik sebuah isu – yang sebetulnya tak harus dipertentangkan dan bisa saling melengkapi.  

Leonardo sebagai Inovator

Leonardo memang unik. Dia adalah seorang generalis namun yang memiliki kedalaman, untuk menggali sejauh yang ia bisa, setiap subyek yang sedang ia geluti. Itu salah satu penyebab yang menjadikannya jenius.

Karya-karyanya tidak terbatas pada lukisan. Ia melakukan banyak sekali inovasi meskipun tidak semua bisa ia wujudkan, sebagaimana terdapat sejumlah lukisan yang tak sempat ia tuntaskan. Ia dianggap berpikir melampaui jamannya ketika membuat sketsa tentang mesin yang dapat membuat manusia terbang.

Minat Leonardo terhadap terhadap mesin tidak dapat dipisahkan dari rasa ingin tahunya yang besar terhadap fenomena “gerakan”. Baginya, adalah penting untuk memahami apa yang membuat badan manusia dan mesin bergerak. Jika untuk mendapatkan pemahaman itu ia harus membedah tubuh manusia atau membongkar sebuah mesin, maka ia takkan ragu melakukannya.

Para ahli teknologi di era Renaissance umumnya hanya akan menampilkan karyanya dalam bentuk yang utuh, komplit dan tak mau repot-repot mendiskusikan peran dan efisiensi dari tiap-tiap komponen. Berbeda dengan Leonardo yang merasa harus masuk pada hal-hal rinci memahami fungsi serta prinsip-prinsip mekanisasinya. Baginya “anatomi” tubuh dan mesin, sama-sama perlu dibedah.

Ia pun menggunakan lukisan sebagai alat bantunya untuk berpikir. Bereksperimen dengan kertas dan mengevaluasi konsep-konsepnya dengan melakukan visualisasi. Tak kurang dari 5.000 halaman ia hasilkan untuk itu. Tak heran jika semasa hidupnya ia juga dikenal sebagai “insinyur”.

Di antara rancangan dan penemuannya yang tak selalu dapat dipraktekkan, terdapat alat musik, “ksatria yang terbuat dari mesin”, pompa hidrolik, mekanisme engkol yang bisa dibolak-balik, cangkang mortir bersirip dan meriam uap.

Pada tahun 1499, saat meninggalkan Venice menuju Milan, Leonardo membuat sebuah barikade yang dapat dipindah-pindahkan untuk melindungi kota itu dari serangan musuh. Tahun 1502 ia juga merancang skema untuk mengalihkan aliran sungai Arno, bersama-sama dengan Niccolo Machiavelli.

Mengamati bagaimana burung terbang dan bagaimana membuat mesin terbang juga menjadi bagian dari observasi dan perenungannya yang dituangkan dalam Codex on The Flights of Birds di tahun 1505 – di antaranya “Ornithopter” yang dapat mengepak dan mesin dengan rotor heliks. Dalam Leonardo’s Dream Machine, sebuah filem dokumenter yang diproduksi oleh Channel Four dari Inggris, terlihat juga berbagai desain berupa parasut dan panah raksasa yang tak semua dapat diwujudkannya – karena tidak sempat, juga karena tidak praktis dan gagal.

Standar Tinggi Kejeniusan

“Seorang talenta mampu menyasar target yang tak bisa disasar oleh orang lain,” kata filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer. Namun, “seorang jenius menyasar target yang tak terlihat oleh orang lain.”

Itu yang membedakan Leonardo dengan banyak talenta lain. Ditambahkan oleh Isaacson, Leonardo tidak saja pintar tapi ia mempunyai kreativitas dan kemampuan untuk mengaplikasikan imajinasinya ke ranah intelektual. Imajinasinya itulah yang “tak terlihat oleh orang lain.”

Isaacson mencatat setidaknya 20 kualitas Leonardo yang membuatnya jenius, yaitu: rasa ingin tahu yang besar; mencari pengetahuan untuk pengetahuan itu sendiri; memiliki rasa kagum bak seorang anak yang polos; rajin mengamati; memulai dengan rinci; melihat hal yang tak dilihat banyak orang; mencari hingga ke kedalaman; terbuka pada ide-ide baru; menghormati fakta; dan, tidak terburu-buru menyelesaikan karya.

Selain itu, menjadikan kesempurnaan sebagai musuh dari yang “bagus”; berpikir secara visual; menghindari keterasingan; berupaya melebihi kemampuan diri; menikmati fantasi; berkreasi untuk diri sendiri bukan hanya untuk para patron; berkolaborasi; membuat daftar gagasan; membuat catatan; dan, terbuka pada misteri.

Di luar kemampuan dan, lebih tepatnya, disiplin diri yang luar biasa itu, Leonardo mempunyai kemampuan komunikasi dan kelenturan politik yang membuatnya disukai para penguasa yang saling berseteru pada jamannya. Orang lain boleh tak bersepakat dengan pilihan sikapnya ini. Tapi tampaknya sikap demikian itulah yang memungkinkannya tak berhenti berkarya.

Di awal karirnya, Leonardo mendapatkan proteksi dari Lorenzo di Piero de’ Medici (yang dikenal juga sebagai The Magnificient Lorenzo), seorang bankir, negarawan dan penguasa Florentine Republic yang juga dianggap sebagai patron Renaissance di Italia. Lorenzo pula yang mengirimkan Leonardo sebagai duta kepada Ludovico il Moro, penguasa Milan pada tahun 1479 sampai 1499.

Atas perlindungan Ludovico, Leonardo diberikan tugas besar untuk melukis The Last Supper. Ketika Ludovico digulingkan oleh Perancis pada tahun 1500, Leonardo pun meninggalkan Milan. Hanya dua tahun berselang, ia telah bekerja sebagai arsitek untuk Cesare Borgia, anak dari Paus Alexander VI. Ketika itu, Da Vinci berhasil membuat rancangan kota Imola yang membuatnya diangkat sebagai Kepala Arsitek dan Rekayasa Militer.

Tahun 1506, Leonardo kembali ke Milan dan bekerja untuk Charles II d’Amboise, yang merupakan perwakilan Pemerintahan Perancis di kota itu. Tahun 1513, Giovanni, putra dari Lorenzo de’ Medici menjadi Paus (Leo X) yang menyebabkan Leonardo menuju ke Roma dan mendampingi Giuliano, saudara Giovani.

Tahun 1515, Raja Francis I dari Perancis kembali merebut Milan dan Leonardo pun diundang untuk bergabung ke Milan. Setahun setelahnya,ia secara resmi bekerja untuk Perancis dan diberikan tempat tinggal dekat dengan kediaman raja di Château d’Amboise.

Mona Lisa

Tak lengkap tentu membicarakan tentang Leonardo tanpa menyinggung Mona Lisa, yang dianggap karya terbesarnya. Lukisan ini mulai ia kerjakan pada tahun 1503, setelah kembali ke Florence setelah bekerja untuk Cesare Borgia. Namun, selama bertahun-tahun, ia terus menyempurnakannya, hingga menjelang ajalnya.

Lukisan itu pun sebetulnya belum selesai dan masih terdapat di dalam studionya ketika ia meninggal dunia pada tahun 1519.

Mona Lisa dianggap menjadi titik kulminasi kehebatan Leonardo. Tapi seandainya ia hidup lebih lama, sepertinya ia akan terus berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman dan pengetahuannya. Lukisan yang tak selesai itu juga karenanya, bagi saya, melambangkan “keabadian” Leonardo. Keengganannya untuk berhenti, karena kreativitas tidak boleh mati.

Jauh sebelum Mona Lisa, pada saat Leonardo masih berguru pada Andrea del Verrocchio di Florence, ia pernah membuat lukisan perempuan, Ginevra de’ Benci. Kedua lukisan tersebut memiliki kemiripan: keduanya menggambarkan perempuan yang sama-sama merupakan istri pedagang dari Florence, posenya berukuran tiga perempat badan dan menggunakan sungai sebagai lanskapnya.

Namun bagi para kurator seni, kedua lukisan tersebut memberi gambaran yang sangat baik tentang perbedaan antara seorang pelukis muda dengan kemampuan observasi yang sangat baik dengan seorang jenius yang memiliki kematangan seorang saintis, filsuf dan humanis sekaligus.

Kenneth Clark atau Baron Clark, ahli sejarah dan kurator seni dari Trinity College, Oxford, dengan tepat mengungkapkan tentang relasi Leonardo dan Mona Lisa. “Rasa ingin tahunya yang tidak terpuaskan, lompatannya yang tak pernah lelah dari satu subyek ke subyek lain, telah mampu ia harmonisasikan dalam satu karya.”

“Sains, kemampuan memotret, obsesi terhadap alam, pemahaman tentang psikologis, semua terdapat di sana, secara seimbang nan sempurna, yang pada awalnya kita kesulitan untuk menyadarinya.”

Yang menarik dari lukisan itu sendiri adalah modelnya, Lisa Gherardini, yang bersal dari kalangan biasa. Meskipun Lisa merupakan turunan dari keluarga feodal pemilik tanah, namun pada saat menjadi subyek lukisan Leonardo, ia telah menjadi istri pedagang sutra Franscesco del Giocondo yang tidak bisa dikategorikan sebagai keluarga papan atas.

Namun, justru karena itulah, Leonardo bisa berekspresi dengan bebas. Lukisan itu sama sekali tidak membebani dirinya untuk mengikuti permintaan atau “pesanan” dari orang kuat (ia bahkan tidak menyelesaikan lukisan itu). Lukisan itu adalah simbol “kebebasan”-nya sebagai seniman – ia dengan “jenius” bisa melakukan itu, meskipun sepanjang karirnya, ia selalu dekat dengan kekuasaan.

Bayangkan betapa kecewanya para patron politiknya, jika mengetahui bahwa karya terbesar Leonardo Da Vinci bukanlah tentang diri mereka atau pesanan mereka!

Melalui Mona Lisa, Leonardo berhasil melukiskan manifestasi dari emosi terdalam manusia, yaitu senyuman. Bukan sembarang senyum, tapi yang misterius. Samar.

Kita tak pernah bisa memahami makna dari senyuman itu, yang sengaja dibuat dengan teknik sfumato, sebagai salah satu keunggulan Leonardo. Dengan teknik itu ia menyamarkan batas garis dan warna dalam lukisannya sehingga menimbulkan kesan adanya kabut atau asap. Semacam “hijab”.

Di akhir tahun 2005, para peneliti dari University of Amsterdam bekerjasama dengan University of Illinois menggunakan perangkat lunak ciptaan mereka untuk mengenali emosi yang tergambar pada Mona Lisa. Hasilnya, senyum Mona Lisa disimpulkan sebagai 83% bahagia, 9% jijik, 6% takut, 2% marah dan kurang dari 1% netral, serta 0% terkejut.

Wajar jika Mona Lisa dianggap sebagai salah satu representasi terbaik dari era Renaissance. Lukisan yang saat ini tersimpan di Museum Seni, Louvre, Paris, sejak tahun 1797 ini memegang rekor sebagai lukisan dengan valuasi asuransi tertinggi di dunia menurut Guiness World Record yang mencapai 100 juta dolar AS pada tahun 1962 (atau sekitar 660 juta dolar AS pada tahun 2019).

Lebih dari lima abad setelah kematiannya, kita masih mengagumi dan bahkan berdebat tentang Da Vinci. Entah kapan lagi, umat manusia dapat memiliki jenius dengan kualitas yang demikian.

Tinggalkan komentar