
Lebih dari dua puluh lima tahun lalu, filsafat identik dengan bemo, sepatu sandal, para calon rohaniwan dan sekelompok kecil mahasiswa yang gelisah, iseng tapi selalu punya selera humor yang lumayan tinggi – saya ada di antara kelompok itu.
Ya, meskipun gambaran ini tentu sangat subyektif dan teramat spesifik, terutama bagi kami atau bagi saya yang sempat memilih berkuliah di sebuah kampus kecil di wilayah Rawasari, Jakarta Pusat, yang sering kami pelesetkan sebagai “Sekolah Tanpa Faedah” (STF) itu, namun rasanya kebanyakan orang punya persepsi yang kurang lebih sama tentang filsafat dan orang-orang yang belajar filsafat – yaitu, ilmu yang jauh dari hiruk-pikuk dunia. Serius, sederhana, dan sekali lagi, tanpa faedah.
Tak usah jauh-jauh, ketika bapak saya, seorang bankir profesional ketika itu, tahu bahwa saya dengan inisiatif sendiri belajar filsafat dengan menyisihkan tabungan yang ia kirim tiap bulan, ia juga mengernyitkan dahi: “Hah, mau jadi apa kamu?”. Saya sendiri bingung mau jawab apa. Cuma garuk-garuk kepala. Sempat saya mau menceramahi tentang bahaya kapitalisme, dan bahwa bank adalah salah satu instrumen utamanya, tapi akhirnya niat itu saya urungkan karena khawatir akan berimplikasi langsung terhadap besaran kiriman tiap bulan – itu ilmu yang saya dapatkan dari belajar politik di kampus yang lain lagi, di Pejaten, Pasar Minggu.
Kalau saja bapak saya masih hidup, mungkin saya akan sengaja menyempatkan nonton TV bersama-sama sambil menunjukkan padanya seorang pengamat, public figure, ahli filsafat yang sering tampil di berbagai talk show dengan kepandaiannya memainkan kata-kata. “Begitu tuh kalau belajar filsafat, keren,” itu yang akan saya katakan untuk menunjukkan bahwa pilihan saya belajar filsafat bukan suatu yang sia-sia. Mmmm barangkali tak perlu juga sih. Pertama, bapak saya meskipun orang yang punya subyektivitas tinggi, tapi tak pernah memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Kedua, seingat saya, bapak saya kurang begitu terkesan dengan orang yang jago beretorika – yang penting “kerja dan beretika”, itu prinsip hidupnya.
Dia “berfilsafat”, sementara saya baru belajar filsafat.
Dalam pengalaman saya, filsafat menjadi sesuatu yang benar-benar terasa keren, tampaknya baru belakangan ini, terutama dengan munculnya Yuval Noah Harari, pemikir dan sejarawan asal Israel yang menjadi pusat perhatian dunia terutama karena karya-karyanya, Sapiens: A Brief History of Humankind, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow dan 21 Lessons for 21st Century menjadi sangat laris dan diperbincangkan oleh banyak kalangan.
Dikutip dari www.ynharari.com, “Sapiens” yang diterbitkan pada tahun 2014, terjual 16 juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke dalam 60 bahasa. Menjadi satu dari 10 buku terlaris New York Times, dan memegang posisi kesatu dan ketiga dari daftar buku terlaris Sunday Times selama 96 minggu berturut-turut. Buku ini juga direkomendasikan oleh Mark Zuckerberg, Barack Obama, Bill Gates, dan banyak tokoh lainnya. The Guardian memuji Sapiens mampu merevolusi pasar buku non-fiksi dan mempopulerkan “buku-buku cerdas”.
Diterbitkan pada tahun 2016, “Homo Deus” terjual hingga 7,5 Juta eksemplar di seluruh dunia, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 50 bahasa. Sedangkan pada tahun 2018, di tahun pertama penerbitannya, “21 Lessons” terjual hingga 4 Juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa.
Sebagaimana sebuah karya, fiksi maupun non-fiksi, tidak semua orang tentu memberikan pujian terhadap karya-karya dan pemikiran Harari. Salah satu yang paling tajam datang dari Christopher Robert Hallpike, antropolog asal Inggris-Kanada, yang juga Profesor Emeritus di McMaster University, Ontario, Kanada yang secara khusus ia tuangkan dalam “A Response to Yuval Harari’s ‘Sapiens: A Brief History of Humankind”:
“Meringkas buku ini secara keseluruhan, orang sering kali harus menunjukkan keheranan terhadap betapa sedikit yang tampaknya telah ia baca tentang berbagai topik penting. Cukup adil untuk mengatakan bahwa meskipun fakta-fakta yang diangkatnya memang benar secara umum, namun itu bukanlah hal baru, dan setiap kali dia mencoba untuk melakukan kritik, dia sering melakukan kesalahan, yang terkadang serius.”
“Jadi,” lanjutnya, “kita seharusnya tidak menilai Sapiens sebagai kontribusi serius terhadap pengetahuan, tetapi sebagai ‘infotainment’, sebuah ‘ajang penerbitan’ untuk merangsang pembacanya dengan perjalanan intelektual liar melintasi lanskap sejarah, dihiasi dengan spekulasi sensasional, dan diakhiri dengan prediksi yang menyeramkan tentang takdir manusia. Dengan kriteria demikian, ini adalah buku yang paling sukses.”
Kejam? Ya dunia akademik bisa begitu. Seru, dan sebetulnya, juga merupakan “infotainment” tersendiri. Senjata yang sering digunakan untuk mengkritik adalah “tidak ada yang baru.” Saya sendiri tidak yakin apakah memang tujuan utama pengetahuan adalah mencari sesuatu yang baru. Itu bisa jadi salah satunya saja, dan rasanya tidak banyak orang yang bisa menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru – dan barangkali juga Harari memang tidak berpretensi untuk memberikan sesuatu yang baru. Mana saya tahu.
Dengan menggunakan perspektif komunikasi atau marketing, sesuatu yang baru tak selalu efektif atau menjual. Yang lebih penting adalah dampaknya. Dalam beriklan, malah, sesuatu yang dianggap efektif biasanya harus dilakukan secara “repetitif dan intensif”. Mungkin ada banyak akademisi yang lebih pintar dan membaca buku yang lebih banyak jumlahnya daripada Harari, tapi barangkali karya-karyanya hanya dibaca sesama profesor di kampusnya.
Faktanya, hanya segelintir orang yang karyanya bisa dibaca oleh semua kalangan dan bahkan dicetak melebihi sejumlah novel terlaris sepanjang masa. Harari adalah salah satunya, dan setidaknya untuk itu, ia harus diapresiasi.
Kekuatan Story-telling dan Identitas
Saya mengenal Harari pertama kali justru melalui karyanya yang ketiga, “21 Lessons”. Buku ini menarik perhatian karena berbagai topik yang ia tampilkan adalah isu-isu besar yang “seharusnya dibahas masing-masing secara tersendiri” – setidaknya itu yang ada di benak saya ketika membeli versi audiobook dari “21 Lessons” . Pertanyaan saya adalah, “apa gerangan yang ia pikirkan dan yang bisa menjadi benang merah dari berbagai topik yang dibahas dalam buku itu?”
Topik yang diangkat Harari antara lain adalah tentang perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang mulai mengalahkan manusia dalam berbagai bidang termasuk olahraga, tantangan kepemilikan data yang masih dimonopoli perusahaan-perusahaan teknologi informasi digital, pemanasan global dan dampak lingkungannya, dramatisasi terorisme yang sebetulnya secara aktual tidak lebih mematikan dibandingkan polusi dan diabetes, hingga yang paling akhir adalah meditasi – yang meskipun tidak dikemukakan secara eksplisit, sepertinya merupakan tawaran Harari untuk menghadapi berbagai riuh rendah isu global yang chaotic.
Jika dalam “21 Lessons” Harari memancing kita untuk mendiskusikan isu-isu terkini manusia modern secara global, dalam “Homo Deus” ia menyajikan sejumlah tantangan masa depan yang sebelumnya tak terbayangkan dan tak memiliki preseden dalam sejarah kehidupan di bumi. Tantangan itu terutama didorong oleh perkembangan teknologi, yang memungkinkan manusia menjadi “manusia dewa” (Homo Deus) karena organ-organ tubuhnya bisa digantikan oleh mesin yang tidak bisa mati.
Memang benar, beberapa topik yang diangkat oleh Harari bukan merupakan hal baru, dan sesungguhnya, beberapa di antaranya pun kurang begitu menukik kedalamannya. Ketika membahas tentang big data dan betapa berbahanya hal itu bagi kebebasan sebagian besar masyarakat awam, analisis Harari akan terasa berada di permukaan dibandingkan dengan Shosana Zuboff dari Harvard yang menulis “The Age of Surveillance Capitalism” misalnya. Juga ketika membahas tentang Artificial Intelligence, karya Max Tegmark dari MIT, “Life 3.0” memberikan analisis tentang masa depan yang membuat saya merasa bahwa film “Star Wars” semestinya dirombak dan diproduksi ulang.
Tetapi tentu tidak adil membandingkan karya Harari yang mencoba merangkai berbagai topik besar ke dalam sebuah buku dengan karya para spesialis yang mungkin hampir sepanjang hidup menggeluti bidangnya. Antara specialist melawan generalist. Siapa pemenangnya?
Sia-sia jika harus menjawab pertanyaan itu. Jelas tak bisa dibandingkan. Seorang spesialis akan lebih baik soal detil dan kedalaman, sebaliknya, seorang generalis biasanya lebih baik dari sisi perspektif atau narasi besar dan – meskipun tidak selalu demikian – dari sisi koherensi. Seorang spesialis akan punya data yang lebih banyak, seorang generalis – sebagaimana umumnya jurnalis – harus punya kemampuan bercerita yang lebih baik.
Mana yang lebih berpengaruh? Nah, di sini kelebihannya story-teller yang mampu memasukkan aspek emosi – yang menurut para psikolog dan neurosaintis, lebih mampu mempengaruhi prilaku orang lain, ketimbang data-data yang detil dan logis. Saya selalu ingat kata-kata dari Alan Weiss, seorang konsultan independen terkemuka: Logic makes you think, emotion makes you act.
Dalam perspektif inilah, saya melihat Harari telah memberikan kontribusi yang sangat penting bagi kita, manusia modern. Harari tidak selalu akurat dan mendalam, tapi dengan kemampuannya bercerita, ia sedang mengajukan kembali sebuah pertanyaan eksistensial yang sangat penting, yaitu “siapa kita?” – dan pada saat yang sama mempersuasi kita untuk menerima identitas sebagai homo sapiens.
Mari kita lihat betapa powerful-nya pertanyaan “siapa kita” dan bagaimana implikasinya…
Jika kita menjawab pertanyaan “siapa kita” dengan jawaban – yang tak selalu kita sadari dan mungkin tersembunyi di alam bawah sadar – bahwa kita adalah seorang mahluk individual, maka konsekuensinya kita akan menjalani hidup dengan terus mengutamakan kepentingan individual kita (untuk makan, minum, beraktualisasi diri dan sebagainya). Sebaliknya, jika kita percaya bahwa kita adalah mahluk sosial, maka kita akan mengutamakan kepentingan kolektif (menjaga kerukunan, stabilitas sosial, termasuk eksistensi dan kebanggan sebagai bagian dari komunitas sosial tertentu).
Jawaban terhadap “siapa kita” terbentuk dalam sebuah proses sosialisasi, pendidikan maupun perenungan sampai terbentuknya sebuah persepsi dan imajinasi yang membuat kita menyimpulkan bahwa itulah identitas kita. Kita bisa menciptakan identitas sebagai suku tertentu, etnis tertentu, agama tertentu hingga negara tertentu – masing-masing memilikji tujuan tertentu dengan segala implikasinya.
Dari berbagai peristiwa sehari-hari, kita bisa melihat bahwa seseorang bisa mengorbankan nyawa untuk identitas yang sudah ia pilih. Seseorang bisa mati atau dibunuh atas nama keluarga, komunitas (termasuk penggemar klub sepakbola), etnisitas, agama atau negara. Semua itu bisa terjadi karena proses internalisasi atas jawaban dari pertanyaan “siapa kita” telah berjalan cukup jauh.
Dan sesungguhnya, kita tidak bisa “melarikan diri” dari pertanyaan ini. Meskipun kita tidak secara sadar mengajukan pertanyaan “siapa kita”, lingkungan sosial kita ataupun berbagai informasi yang kita serap setiap saat, dengan sengaja dan tidak sengaja, akan dengan sendirinya membangun sebuah persepsi tentang identitas kita. Itu sebabnya, ruang publik menjadi sangat penting karena senantiasa menjadi ajang pertarungan nilai-nilai dan gagasan – untuk mempengaruhi, dan memanipulasi, bagaimana kita membuat persepsi tentang “siapa kita”.
Harari tidak secara eksplisit mengajukan pertanyaan “siapa kita”, tapi dari judul buku-bukunya, sebetulnya sudah jelas, bahwa ia sedang mengajak kita untuk mengenakan identitas yang tidak baru, tapi selama ini kurang menjadi perhatian kita, yaitu sebagai homo sapiens. Ia tidak serta-merta mengatakan pada kita “halo semua, kita ini homo sapiens, lho, ayo dong bekerjasama” – karena cara demikian pasti tidak akan efektif.
Yang ia lakukan adalah menyajikan sebuah drama – dan celakanya, kita semua cenderung tertarik pada drama – dengan menggunakan berbagai fragmen sejarah yang jauh melampaui sejarah konvensional peradaban manusia, untuk menunjukkan bahwa betapa tidak mudahnya bagi homo sapiens untuk menjadi spesies yang paling berkuasa di planet bumi. Juga betapa besar tantangan di masa depan yang kita hadapi sebagai homo sapiens – kita bisa saja turun dari tahta kekuasaan dan digantikan oleh spesies baru yang kita ciptakan sendiri.
Betapa dahsyatnya persuasi seperti itu.
Terus terang, saya terpengaruh dengan persuasi Harari. Sepanjang hidup saya telah menjalani peran sebagai individu, bagian dari keluarga, komunitas (salah satunya sebagai pendukung Liverpool FC), suku, agama dan negara. Tapi baru setelah membaca buku-buku Harari saya merasa bahwa saya, pada saat yang sama, adalah juga homo sapiens – dan betapa masih banyaknya “PR” yang masih harus dilakukan untuk turut menjaga eksistensinya, jika kita bersepakat untuk menjaganya.
Bagi saya, dengan mengakui eksistensi (atau jawaban atas pertanyaan “siapa kita” di atas) bahwa kita adalah homo sapiens, tidak berarti kita harus menafikan berbagai identitas lainnya. Kita adalah, individual sekaligus sosial, dan kita adalah bagian dari keluarga, komunitas, masyarakat, kaum beragama, warga negara, warga dunia dan homo sapiens sekaligus. Ragam identitas itu tidak harus saling dipertentangkan.
Membaca Ulang Sejarah Manusia
Sebagai sejarawan, Harari tahu persis bagaimana menggunakan cerita sejarah. Kebanggaan kita terhadap identitas suku atau agama atau bangsa dan negara, hanya akan muncul setelah kita membaca atau menyimak testimoni sejarah melalui buku-buku ataupun yang secara langsung kita dapatkan dari para pelaku sejarah. Melalui cerita sejarah inilah, nilai-nilai direproduksi – melalui kisah-kisah kepahlawanan dan romantisme – dan tujuan bersama dibentuk dan dipelihara.
Oleh karena itu, kalau kita ingin memahami narasi yang ditawarkan Harari, sangatlah penting untuk membaca buku pertama, karya terlarisnya, sekaligus magnum opus-nya, “Sapiens”. Kedua karyanya yang lain, “Homo Deus” dan “21 Lessons”, bagi saya lebih merupakan contoh-contoh tantangan yang harus dihadapi setelah kita menerima dan mengakui bahwa kita adalah homo sapiens. Tantangan-tantangan itu sangat banyak, dan tak cukup untuk ditulis sendirian oleh Harari. Kita sendiri harus membuat dan terus memperbarui daftar tantangan tersebut, lalu mendiskusikan dan mencarikan jalan keluarnya.
Menjadi Penguasa Bumi
“Sapiens” dimulai dengan cerita singkat tentang terciptanya alam semesta dan bumi sekitar 14 milyar tahun dan 4 milyar tahun lalu. Mahluk hidup dengan sosok mirip manusia sudah ada sejak 2,5 juta tahun lalu, namun cara mereka hidup tak ada bedanya dengan simpanse, babon dan gajah yang kita kenal hingga hari ini. Mereka belum menjadi penguasa bumi, namun sekitar 300 ribu tahun lalu telah mulai menggunakan api untuk memasak yang memberikan jalan bagi kelahiran generasi berikutnya yang memiliki otak dan kepandaian lebih baik. Umumnya para ahli bersepakat bahwa homo sapiens baru muncul sekitar 150 ribu tahun lalu, dan mulai naik peringkat menjadi yang teratas dalam rantai makanan sekitar 100 ribu tahun lalu.
Di era Revolusi Kognitif yang terjadi sekitar 70 ribu tahun lalu – sebuah perkembangan yang sangat menarik terjadi yaitu ketika homo sapiens secara tiba-tiba mulai menjelajahi bumi. Lalu, antara 65.000 hingga 50.000 tahun yang lalu, teknologi yang lebih maju mulai bermunculan seperti senjata-senjata dengan proyektil yang rumit seperti busur dan pelempar tombak, pancing, keramik serta jarum jahit. Harari tidak terlalu mengelaborasi mengapa – kecuali menyebutkan adanya kemungkinan mutasi genetik secara kebetulan sebagai alasan yang lebih banyak diterima – namun inilah masa yang oleh para saintis disebut sebagai the great leap forward atau “lompatan besar ke depan”.
Manusia mulai membuat seni yang merepresentasikan kehidupan – seperti lukisan kuda di gua, dewi-dewi dari gading, dan patung berkepala singa, yang menunjukkan bakat artistik dan imajinasi yang tinggi. Seruling dari tulang burung mengisyaratkan kemampuan mereka bermusik. “Lompatan besar” ini konon mencerminkan evolusi otak manusia yang sepenuhnya modern – namun fosil dan DNA yang ditemukan para saintis menunjukkan bahwa kecerdasan sebetulnya sudah ada lebih awal dari masa itu.
Kita boleh saja berspekulasi bahwa pada saat itulah “alien turun ke bumi”, atau “Tuhan mengirimkan manusia pertama”, atau bisa jadi pada saat itulah terjadi akselerasi terhadap “titik didih” yang sebetulnya sudah dimulai dari jutaan tahun sebelumnya, atau seperti kata Harari, mutasi genetika yang kebetulan. Namun, apapun yang sebenarnya terjadi, karena tidak ada yang bisa membuktikan, itu akan tetap tinggal spekulasi. Yang jelas, itulah awal yang menandai superioritas homo sapiens atau mahluk hidup yang lain.
Salah satu kehebatan homo sapiens adalah kemampuannya untuk bekerjasama – dalam skala kecil seperti keluarga atau komunitas hingga skala besar seperti negara. Hal ini yang menurut Harari dimungkinkan terjadi karena homo sapiens bisa membangun sebuah “mitos yang hanya eksis dalam imajinasi manusia”. Bagian dari mitos itu adalah sebuah tujuan bersama yang dibangun, diulang-ulang dan diteruskan pada generasi berikutnya (bandingkan dengan penjelasan tentang “siapa kita” sebelumnya).
Cerita – seperti yang dilakukan Harari dengan buku “Sapiens” – memegang peranan penting dalam upaya untuk membangun dan mempertahankan mitos tersebut. Melalui ceritalah, homo sapiens mendapatkan kekuatan dahsyat yang memungkinkan orang-orang yang tidak saling mengenal mau bekerjasama untuk sebuah tujuan bersama. “Berbeda dengan kebohongan, realitas imajiner adalah sesuatu yang dipercaya setiap orang, dan selama kepercayaan komunal ini bertahan, maka realitas imajiner ini dapat menjadi kekuatan di dunia.”
Dari penjelasan Harari kita bisa menyimpulkan bahwa, realitas imajiner menjadi penting untuk terus diproduksi dan diteruskan jika sebuah “kerjasama kolektif” apapun – seperti perusahaan atau negara misalnya – hendak bertahan lama. Hal yang tentu kian menantang terutama di era banjir informasi, termasuk hoax, melalui media sosial, sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Jika cerita-cerita itu terhenti, maka realitas imajinernya pun memudar dan digantikan oleh realitas imajiner lainnya yang sedang berkembang.
Proses menjadi penguasa bumi bukanlah dilalui dengan mulus dan tanpa banyak masalah. Masalahnya adalah homo sapiens sendiri – yang walaupun tidak sekekar dan sesangar penguasa bumi puluhan juta tahun sebelumnya, yaitu dinousaurus – merupakan spesies yang justru banyak membuat masalah.
“Pada saat Revolusi Kognitif (70 ribu tahun lalu), planet ini adalah rumah bagi sekitar 200 jenis mamalia darat besar dengan berat lebih dari 100 pon. Pada masa Revolusi Pertanian (10 ribu tahun lalu), hanya tersisa sekitar seratus jenis. Homo sapiens menyebabkan kepunahan sekitar setengah dari jenis-jenis makhluk besar di planet ini jauh sebelum manusia menemukan roda, tulisan, atau alat-alat dari besi,” ungkap Harari.
Salah satu yang menyebabkan homo sapiens berkuasa adalah karena pada satu masa, mereka belajar “melaut” dan mulai menjelajah dunia. Para pelaut pertama itu adalah nenek moyang orang Indonesia yang hidup di antara pulau. Homo sapiens di Indonesia, “menjadi pelaut Pasifik tanpa menumbuhkan sirip dan tanpa harus menunggu hidungnya berpindah ke atas kepala seperti halnya paus. Sebaliknya, mereka membuat perahu dan belajar cara mengemudikannya. Dan keterampilan ini memungkinkan mereka mencapai dan menetap di Australia.”
Tidak seperti pandangan konvensional yang menganggap Revolusi Pertanian sebagai salah satu capaian penting dalam kemajuan manusia, Harari memiliki kesimpulan berbeda.
“Revolusi Pertanian jelas memperbesar jumlah total makanan yang tersedia bagi umat manusia, tetapi adanya makanan tambahan tidak berarti bahwa pola makan menjadi lebih baik atau lebih banyak waktu luang. Sebaliknya, yang terjadi adalah ledakan populasi dan kaum elit yang lebih dimanjakan. Homo sapiens sebagai petani rata-rata bekerja lebih keras ketimbang ketika masih menjadi pengumpul makanan, dan sebagai gantinya mendapatkan pola makan yang lebih buruk. Revolusi Pertanian adalah penipuan terbesar dalam sejarah.”
Menuju Penyatuan Dunia
Dari cerita Harari, kita mengetahui bahwa perjalanan panjang homo sapiens senantiasa memunculkan banyak sisi positif sekaligus negatif. Seperti contoh Revolusi Pertanian tadi yang membawa konsekuensi yang cukup luas. Salah satunya, ia menjadi dasar dari sistem politik dan sosial skala besar. Surplus makanan yang dari Revolusi Pertanian inilah “yang memicu dinamika politik, perang, seni, dan filsafat.”
Menurut Harari, makanan ekstra yang dihasilkan petani memberi makan minoritas kecil elit – seperti raja, pejabat pemerintah, tentara, tapi juga pendeta, seniman dan pemikir – yang mengisi buku-buku sejarah dan membuat peradaban dunia lebih maju. “Sejarah adalah sesuatu yang dilakukan orang segelintir orang, ketika mayoritas orang sedang membajak sawah dan membawa ember air.”
Surplus pangan yang dihasilkan oleh petani, ditambah dengan teknologi transportasi baru, pada akhirnya memungkinkan semakin banyak orang untuk berdesak-desakan, pertama-tama ke desa-desa besar, lalu ke kota-kota kecil, dan akhirnya ke kota-kota besar. Semua akhirnya tergabung dalam kerajaan-kerajaan baru dan jaringan komersial.
Meskipun dilalui dengan cara berdarah-darah, melalui perang dan penaklukan bahkan perbudakan, sejarah dalam pandangan Harari bergerak menuju “penyatuan global”. “Selama ribuan tahun, budaya kecil dan sederhana secara bertahap menyatu menjadi peradaban yang lebih besar dan lebih kompleks, sehingga dunia memiliki semakin sedikit mega-budaya, yang masing-masing lebih besar dan lebih kompleks.”
Kesimpulan seperti itu tidak akan bisa kita dapatkan jika hanya mengandalkan sudut pandang mikroskopik. Dari dekade ke dekade dan dari abad ke abad. “Sebaiknya kita mengadopsi sudut pandang satelit mata-mata kosmik, yang memindai data ribuan tahun ketimbang hanya berabad-abad. Dari sudut pandang ini, menjadi sangat jelas bahwa sejarah bergerak tanpa henti menuju penyatuan.”
“Saat ini hampir semua manusia berbagi sistem geopolitik yang sama (seluruh planet dibagi menjadi negara-negara yang diakui secara internasional); sistem ekonomi yang sama (kekuatan pasar kapitalis mempengaruhi bahkan hingga ke sudut-sudut terjauh di dunia); sistem hukum yang sama (hak asasi manusia dan hukum internasional berlaku di semua tempat, setidaknya secara teoritis); dan sistem ilmiah yang sama (para ahli di Iran, Israel, Australia dan Argentina memiliki pandangan yang sama persis tentang struktur atom atau pengobatan tuberkulosis).”
Persoalan Global Butuh Respon Global
Di abad ke-21, homo sapiens telah melakukan banyak sekali hal – “kita telah menguasai lingkungan kita, meningkatkan produksi pangan, membangun kota, membangun kerajaan dan menciptakan jaringan perdagangan dengan jarak yang saling berjauhan.” Namun, persoalan yang dihadapinya tidak semakin menyurut. Perang antar negara mungkin sudah mereda, dan tak lagi efisien bagi negara-negara besar, dengan makin mudahnya menaklukkan pasar melalui perdagangan internasional. Persoalan yang kita hadapi justru makin besar dan kompleks. Tak terbayangkan sebelumnya.

Meskipun belum dapat sepenuhnya mengerti tentang dampaknya, manusia modern kini dapat mendesain kehidupan dengan tiga cara: (1) Melakukan rekayasa genetika terhadap berbagai jenis mahluk hidup; (2) Menciptakan perangkat atau organ tubuh buatan yang dapat “ditanamkan” dan “menggantikan” organ tubuh manusia sehingga memungkinkannya abadi seperti cyborg, dan; (3) Menciptakan teknologi yang dapat bekerja secara independen, seperti Artificial Intelligence dan robot, yang pada suatu saat bisa menjadi penguasa bumi.
Salah satu kemungkinan dampak yang sudah mulai dibicarakan oleh para pemikir dan penemu adalah, terdapat kemungkinan bahwa manusia modern akan dapat “dihancurkan oleh ciptaannya sendiri”, yang mungkin menyimpulkan bahwa tidak lagi efisien untuk mempertahankan homo sapiens di atas bumi (Anda bisa mengikuti diskusi soal ini, salah satunya dari buku “Life 3.0”-nya Max Tegmark yang sempat saya sebutkan sebelumnya).
Dengan segala kemajuan yang dicapai, meminjam kata Harari, “masih sedikit hal yang dapat membuat kita bangga.” Harari melanjutkan, “sudahkah kita meredakan penderitaan di dunia? Peningkatan kekuatan manusia tidak selalu membuatnya semakin sejahtera, dan biasanya menimbulkan penderitaan bagi mahluk-mahluk yang lain.”
Sampai di sini, tampaknya Harari tidak bisa lagi memberikan penjelasan tambahan, apalagi solusi. Hal-hal selanjutnya yang ia sampaikan lebih merupakan pertanyaan terbuka yang harus kita jawab bersama-sama. Dalam “Sapiens” maupun “21 Lessons” Harari mengelaborasi tentang meditasi, yaitu bagaimana kita bisa mengambil jarak terhadap pikiran yang simpang-siur dengan mengamati pikiran dan mencapai ketenangan, yang ia praktikkan setiap hari.
Bagi saya, solusi ini – jika ia memang mau menawarkan solusi – rasanya terlalu individualistik. Saya tidak mengatakan bahwa meditasi tidak penting – saya sendiri percaya bahwa cara paling ampuh untuk mengatasi kecenderungan manusia untuk merusak kehidupan di bumi adalah dengan mengendalikan diri sendiri, nafsunya sendiri, yang bisa dilakukan dengan laku spiritual, seperti berpuasa atau prihatin, dalam tradisi Jawa. Namun solusi individualistik ini perlu diimbangi dengan sebuah upaya kolektif sebagai homo sapiens.
Saya hendak mengakhiri catatan saya sampai di sini. Mengapa? Karena saya hanya ingin meneruskan upaya Harari untuk memprovokasi kita agar menyadari identitas kita sebagai homo sapiens. Kita perlu menyadari dan bahkan menambah daftar topik atau masalah global yang telah disampaikan Harari, karena hanya dengan demikian kita mulai bisa maju pada langkah berikutnya untuk bekerjasama mencarikan solusi.
Bagi kita semua, terutama bagi para pemimpin, tidak cukup lagi jika kita hanya mengidentifikasi diri sebagai “warga A”, “etnis B, “agama C”, dan “warga negara D”. Pada saat yang sama kita adalah homo sapiens yang perlu bekerjasama untuk mempertahankan eksistensi spesies kita. Kelak, jika kita dengan sadar atau tidak sadar “menghancurkan kehidupan”, termasuk diri kita sendiri, alam semesta punya mekanisme untuk melakukan proses daur ulang kehidupan.
Selama seratus lima puluh juta tahun, dinosaurus pernah menguasai bumi dan suatu ketika mereka luluh lantak dihantam oleh asteroid dan bencana alam susulan. Mereka punah dan digantikan oleh mahluk-mahluk lain yang tadinya lebih inferior, hingga akhirnya “nenek moyang” kita pun bisa eksis. Tidakkah terbayang bahwa bencana yang sama pun bisa saja terjadi pada homo sapiens di masa mendatang?
Saat ini, urgensi untuk mengenakan identitas homo sapiens menjadi semakin penting, terutama karena kita sedang menghadapi masalah global yang butuh penyelesaian secara global pula: Pandemi COVID-19.
Kata Harari dalam “The World After Coronavirus” yang dimuat di Financial Times: “Umat manusia perlu membuat pilihan. Akankah kita menempuh jalur perpecahan, atau akankah kita mengadopsi jalan solidaritas global? Jika kita memilih perpecahan, ini tidak hanya akan memperpanjang krisis, tetapi mungkin akan menghasilkan bencana yang lebih buruk di masa depan. Jika kita memilih solidaritas global, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya melawan virus corona, tetapi juga melawan semua epidemi dan krisis di masa depan yang mungkin menyerang umat manusia di abad ke-21.”
Terimakasih sudah berkunjung ke rawanda.blog. Salam sehat, kuat dan bahagia.