Alat Tukar Komplementer Sebagai Solusi Krisis (II): Eksperimen Singkat Mata Uang Berbunga Negatif dari Sebuah Kota Kecil di Austria

Photo by Nattanan Kanchanaprat from Pixabay

Tulisan ini pertama kali disirkulasikan melalui laman Facebook saya 11 tahun yang lalu dengan judul cukup sangar, “Kisah Perlawanan Terhadap Riba Sebuah Kota Kecil di Austria”, saat saya baru pertama kali berkenalan dengan pemikiran maupun berbagai penelitian Bernard Lietaer.

Awalnya, saya justru agak berbeda dengan Lietaer, berpikiran bahwa mata uang konvensional yang berlaku sekarang harus diganti total dengan mata uang “tanpa bunga”.

Namun, belakangan, saya mulai menerima pandangan bahwa mengganti sebuah mata uang secara total bisa berisiko kegagalan bahkan keruntuhan sistem secara keseluruhan, dan karenanya mulai beranggapan bahwa yang diperlukan adalah diversifikasi atau “demokratisasi” mata uang.

Yang diperlukan bukanlah monopoli satu mata uang, tetapi pengakuan terhadap eksistensi dan keragaman berbagai mata uang lainnya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Sehingga, mengikuti Lietaer, saya pun mengadopsi istilah “complementary currency” yang digunakannya.

Inilah tulisan tersebut, yang sebagian besar bahannya diperoleh dan diramu dari situs-situs berikut (www.newciv.orgwww.lietaer.orgwww.transaction.net)…

Kisah Perlawanan Terhadap Riba Sebuah Kota Kecil di Austria

11 Januari 2009

Tahun 1932. Kala itu depresi besar sudah mulai melanda dunia. Michael Unterguggenberger, sang walikota, gundah-gulana. Sebagai pejabat tertinggi Wörgl, ia punya segudang rencana untuk membangun kotanya. Namun, di tengah-tengah deflasi yang melanda dunia, ia sadar tak sanggup melakukan semua dengan keterbatasan uang yang tersimpan dalam kas kota. Dari 4.500 penduduk di kotanya, 1.500 adalah pengangguran. Sementara 220 keluarga, tak punya uang sesenpun.

Pada tanggal 5 Juli tahun itu, terilhami oleh gagasan Silvio Gessel tentang “free money”, Unterguggenberger berbuat nekat. Bukannya menggunakan uang sebesar 40.000 schillings yang tersedia untuknya (yang memang hanya akan cukup untuk membayar gaji aparat birokrasinya selama beberapa minggu saja), ia menyimpannya ke dalam sebuah bank lokal untuk dijadikan jaminan bagi rencananya untuk menciptakan mata uang lokal alternatif yang komplementer. Mata uang itu dikenal sebagai stamp scrip. Bentuknya memang selembar kertas bak sertifikat yang ditambahi stempel untuk mengindikasikan masa berlakunya.

Setiap bulan, para pemegang stamp scrip harus mendapatkan stempel untuk menjaga supaya nilai mata uang tersebut tetap berlaku. Namun, setiap kali distempel para pemegang uang harus rela kehilangan 1% dari nilai yang tertera dalam mata uang yang dimilikinya. Hasil dari pemotongan nilai tersebut segera digunakan sang walikota untuk membangun dapur umum untuk memberi makan 220 keluarga yang tak punya uang tadi.

Karena tak ada orang yang mau kehilangan nilai uang sebesar 1%, hanya karena menjadi pemegang uang tersebut, mereka segera membelanjakannnya secepat yang mereka bisa. Tak ada untungnya bagi mereka untuk menyimpan mata uang tersebut. Walapun para pemegang stamp scrip sewaktu-waktu bisa menukarkan mata uangnya dengan schillings (dengan nilai lebih rendah yaitu sekitar 98% dari stamp scrip yang dipegangnya, sehingga menciptakan disinsentif untuk menggunakan schillings). Faktanya, jarang sekali ada yang mau menukarkannya.

Dari semua pelaku bisnis di kota itu, hanya kantor pos dan kantor kereta api yang menolak menerima pembayaran dengan stamp scrip, itu pun karena mereka adalah perusahaan nasional yang harus patuh pada aturan di kantor pusatnya. Ketika orang-orang mulai kehilangan ide untuk membelanjakan uangnya, mereka pun akhirnya memilih untuk membayar pajak lebih awal. Sehingga, hanya dalam waktu 13 bulan sejak proyek itu dimulai, Unterguggenberger telah mampu mewujudkan semua rencana proyeknya mulai dari pengaspalan dan penerangan jalan, distribusi air ke seluruh kota serta menanam pohon di sepanjang jalan-jalan kota.

Bukan hanya itu, ia juga berhasil membuat rumah-rumah baru, tempat penampungan air untuk kota, tempat untuk bermain ski serta jembatan. Secara ajaib, orang-orang mulai menggunakan stamp scrip untuk menanam kembali hutan, dengan harapan untuk memperoleh pemasukan secara berkesinambungan dari hasil pohon-pohon yang merekat tanami.

Kunci dari kesuksesan mata uang alternatif, yang tidak saja tanpa bunga atau riba tapi malah berbunga negatif tersebut, tak lain terletak pada kecepatan sirkulasinya untuk menghidupkan ekonomi lokal. Diperkirakan, kecepatannya 14 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Akibatnya, hal ini meningkatkan perdagangan, menciptakan serta lapangan kerja lebih luas. Pada saat itu, Wörgl merupakan satu-satunya kota di Austria yang tidak mempunyai pengangguran.

Banyak ekonom memperkirakan bahwa depresi yang melanda dunia kala itu, kurang lebih sama dengan situasi yang bakal dialami dunia akibat krisis finansial global saat ini (2008-2009). Persoalan besar yang dihadapi justru bukanlah inflasi, tetapi deflasi. Harga-harga memang turun, tetapi uang begitu sulit didapatkan. Orang yang memiliki uang pun cenderung untuk menyimpan, bukannya membelanjakan.

Depresi dimulai dengan rontoknya bursa saham di Wall Street tahun 1929 yang membuat aset-aset berbagai korporasi, khususnya bank-bank besar hancur berantakan. Seperti halnya dengan krisis finansial 2008, pada saat itu para pemilik modal, khususnya perbankan, lebih suka memutar uangnya di pasar finansial atau “ekonomi kasino” ketimbang menyalurkannya di sektor riil. Lama-kelamaan nilai aset-aset kertas di Wall Street sudah jauh meninggalkan aset riil. Lalu, ketika sudah terjadi oversupply dan tak ada lagi yang mau membeli saham dengan harga kelewat tinggi, secara alamiah harga-harga menukik jatuh.

Obsesi untuk mendapatkan “bunga” dari para pemilik modal, merupakan akar dari sistem seperti ini. Bukannya digunakan sebagai alat tukar, mereka yang memiliki uang berlebih memilih untuk mengakumulasikannya. Yang berakibat, mandegnya perdagangan, meningkatnya pengangguran serta melebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin — terutama karena sulitnya mayoritas publik untuk mengakses uang.

Pihak perbankan yang menjadi motor utama dari sistem riba ini, pun ketika mendapatkan bantuan likuiditas dari pemerintah tidak berupaya untuk menolong sektor riil melalui kucuran kredit. Mereka lebih memilih menahan uang serta menyeimbangkan catatan pembukuannya dari berbagai kerugian – tindakan yang justru membuat krisis finansial berubah menjadi resesi kemudian depresi.

Eksperimen yang dilakukan di Wörgl pada tahun 1932, justru membalik logika riba yang sering dilakukan perbankan. Bukannya mengenakan bunga, mereka mengenakan biaya bagi pihak yang memegang uang dalam waktu yang lama. Hal ini berdampak pada bangkitnya perekonomian yang lesu.

Bernard Lietaer (penulis buku The Future of Money), tokoh yang banyak melakukan studi dan eksperimen tentang mata uang alternatif menyimpulkan bahwa hanya mata uang dengan “bunga negatif” atau negative interest currency yang memungkinkan lahirnya perekonomian yang tidak mengandalkan pada growth atau pertumbuhan. Obsesi pada pertumbuhanlah yang menciptakan keserakahan untuk merusak lingkungan serta membiarkan separuh dunia kelaparan seperti yang sudah terjadi pada jaman ini.

“Agama pertumbuhan” ini percaya bahwa akan ada invisible hand atau “tangan ajaib” yang akan mencegah peradaban dunia dari kerusakan atau keruntuhan akibat makin menipisnya sumber daya alam. Sayangnya, bukti ilmiah tidak menunjang optimisme semacam itu. Berbagai riset sains – termasuk evaluasi mutakhir di tahun 2007 terhadap skenario Limits to Growth yang dipresentasikan oleh para saintis MIT dan Club of Rome di tahun 1972 – menunjukkan bahwa tanpa ada perubahan mendasar terhadap pola perkembangan ekonomi dunia, beberapa dekade lagi kita akan melihat kejatuhan peradaban yang lebih dahsyat.

Hal yang akan ditandai dengan populasi yang makin tak terkendali, persediaan makanan yang makin langka, polusi atau kerusakan lingkungan yang sangat cepat, total produksi industri yang berlebih serta menipisnya sumber daya alam tak terbarukan.

Sayangnya, eksperimen Wörgl tidak berlanjut. Padahal saat itu, 6 kota tetangga telah ikut pula mengadopsi sistem tersebut dengan sukses. Perdana Menteri Perancis, Eduoard Dalladier, melakukan kunjungan khusus untuk melihat keajaiban di Wörgl. Bulan Juni 1933, Unterguggenberger hadir dalam pertemuan dengan ratusan perwakilan kota dan desa untuk mencari tahu lebih jauh mekanisme mata uang alternatif yang diciptakannya. Kebanyakan tertarik untuk menerapkannya.

Pada titik inilah, bank sentral Austria merasa terancam. Mereka memutuskan melarang mata uang alternatif, meskipun sifatnya komplementer. Upaya publik untuk menuntut keputusan bank sentral berakhir dengan kekalahan di Mahkamah Agung. Mata uang alternatif dianggap kejahatan kriminal. Belakangan, gagasan Unterguggenberger ini dianggap berbau komunis, kemudian dianggap fasis – dua kekuatan yang justru sejak awal menolak adanya mata uang lokal.

Tahun 1934, Wörgl kembali mencatatkan 30% angka pengangguran. Tahun itu juga, kekacauan sosial melanda seluruh Austria. Empat tahun kemudian, ketika Hitler menganeksasi Austria, banyak orang bermimpi bahwa dia bisa menjadi “juruselamat” yang baru. Selebihnya, sejarah telah mencatat salah satu tragedi kemanusiaan akibat kekejaman Hitler.

Perjuangan mewujudkan mata uang yang anti terhadap riba, bunga atau usury, untungnya tak pernah berhenti. John Maynard Keynes memuji gagasan ini di tahun 1936 dalam karyanya, “General Theory of Employment, Interest and Money”. Di Swiss, sistem ini kemudian berkembang dan memunculkan WIR Bank, yang dalam pengamatan Lietaer sanggup menahan Swiss dari dampak berbagai krisis finansial yang telah terjadi berulang kali, hingga saat ini. Studi Lietaer juga menunjukkan bahwa saat ini telah ada ribuan komunitas di berbagai belahan dunia yang telah menggunakan mata uang alternatif dalam berbagai bentuk dan mekanisme.

Semoga kita bisa belajar dari semua ini.

Tautan untuk tulisan lain dalam serial ini:

Alat Tukar Komplementer Sebagai Solusi Krisis: Mempertimbangkan Kembali Gagasan “Di Luar Kotak” Mendiang Bernard Lietaer

Alat Tukar Komplementer Sebagai Solusi Krisis III: Mengapa Mata JUang Konvensional “Gagal” Menciptakan Kesejahteraan?