
Saya seperti sedang membaca sejarah seluruh zaman dan bangsa di setiap halamannya – dan terutama sejarah negeri kita selama 40 tahun terakhir. Cobalah mengganti semua nama yang ada di dalamnya, dan setiap kisah di sana bisa dikenakan pada kita – John Adams (Pendiri Bangsa dan Presiden Kedua Amerika Serikat, dalam buku “Life of Cicero”, karya Conyers Middleton).
Dengan alasan yang sama dengan John Adams, saya merasa perlu untuk membuat, atau untuk kali ini, tepatnya, menyadur, tulisan kedua tentang Cicero (baca tulisan sebelumnya “Kisah Kejatuhan dan Kebangkitan Kembali Cicero, Sang Penjaga Api Republik”, yang menggambarkan sepak terjang sang pengkritik terbesar Julius Caesar itu, di blog ini). Kali ini, lebih berfokus pada pemikirannya tentang kepemimpinan dan kenegarawanan.
Artikel ini adalah terjemahan bebas dari kumpulan karya Cicero, yang dipiih secara cermat oleh Philip Freeman dan dibukukan dengan judul “How To Run A Country: An Ancient Guide for Modern Leaders”. Saya memilih menampilkan seleksi Freeman, selain ringkas, juga karena telah dikurasi dengan sangat baik, sehingga menjadi sangat relevan dengan situasi kontemporer yang kita hadapi. Saya merasa tidak perlu lagi menambahkan analisis dan konteks terhadap tulisan ini – tetapi hanya melakukan sedikit penyuntingan pada bagian pendahuluan, terkait dengan kisah hidup Cicero yang telah ditampilkan dalam tulisan saya sebelumnya.
Tulisan-tulisan reflektif Cicero, umumnya dihasilkan ketika pada suatu masa, ia merasa sedang terpinggirkan. Julius Caesar, Pompey dan Crassus, telah membentuk pemerintahan aliansi, yang disebut dengan Triumvirate Pertama. Namun, justru pada saat itulah, ia menumpahkan segenap pemikirannya yang sampai hari ini masih bisa kita baca.
Tulisan-tulisan itu mencoba menjawab berbagai pertanyaan penting yang masih relevan untuk kita tanyakan:
Apa dasar dari sebuah pemerintahan yang adil? Aturan apa yang paling tepat dijadikan landasannya? Bagaimana seharusnya seorang pemimpin berperilaku? Cicero membahas soal-soal ini dan banyak pertanyaan lainnya secara langsung, bukan sebagai ahli teori atau akademisi, tetapi sebagai seseorang yang telah berpengalaman menjalankannya di level negara dan telah melihat dengan mata kepalanya sendiri proses keruntuhan sebuah pemerintahan.
Cicero adalah seorang konservatif yang moderat – jenis yang tampaknya semakin langka di dunia modern – yang memiliki kepercayaan untuk bekerja dengan pihak lain untuk kebaikan negara dan rakyatnya. Ia memang seorang politisi, tapi ide-idenya menunjukkan kenegarawanannya, kategori lain yang saat ini pun semakin sedikit.
Karya-karya Cicero adalah sumber referensi yang tak ternilai bagi yang hendak melakukan studi tentang Romawi kuno, serta untuk menggali wawasan dan kebijaksanaannya yang abadi. Penggunaan, dan penyalahgunaan kekuasaan, tampaknya tidak banyak berubah dalam dua ribu tahun terakhir ini. Tapi, bagi yang mau mendengarkan, Cicero menawarkan sejumlah pelajaran penting. Di antaranya adalah:
1. Ada hukum universal yang mengatur perilaku manusia. Cicero percaya adanya aturan ilahi, yang melampaui batas kepercayaan dan zaman, yang menjamin kebebasan mendasar bagi semua orang dan pada saat yang sama membatasi bagaimana pemerintah harus berperilaku.
Sebagaimana yang ditulis oleh para pendiri bangsa Amerika, yang merupakan para pengikut Cicero, di dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang menyebutkan: “Kami percaya bahwa kebenaran yang tak terbantahkan ini, bahwa semua manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka dianugerahi oleh Sang Pencipta hak-hak tertentu yang tidak dapat dicabut, di antaranya adalah kehidupan, kebebasan, dan pemenuhan kebahagiaan.”
2. Bentuk pemerintahan terbaik memerlukan keseimbangan kekuasaan. Seorang raja yang paling mulia sekalipun bisa menjadi tiran jika pemerintahan mereka tidak diawasi, seperti halnya demokrasi akan terdegradasi menjadi “hukum massa” jika tidak ada batasan pada kekuasaan rakyat. Pemerintah yang adil harus didirikan di atas sistem check and balances. Waspadalah terhadap pemimpin yang mengesampingkan aturan-aturan konstitusional dengan dalih perlunya kemudahan atau keamanan.
3. Pemimpin harus memiliki karakter dan integritas yang tinggi. Mereka yang akan memerintah suatu negara harus memiliki keberanian, kemampuan, dan tekad yang besar. Pemimpin sejati selalu mengutamakan kepentingan bangsanya di atas kepentingan pribadi. Seperti dikatakan Cicero, memerintah suatu negara ibarat mengemudikan kapal, terlebih saat badai besar menghampiri. Jika nakhoda tak mampu mempertahankan arah yang tepat, pelayaran akan berakhir menjadi bencana bagi semua.
4. Pastikan teman-temanmu berada dekat denganmu – dan musuhmu, lebih dekat lagi. Pemimpin gagal ketika berpikir sudah tak ada masalah dengan teman dan sekutunya. Jangan pernah mengabaikan pendukungmu, tetapi yang lebih penting lagi, pastikan untuk memahami apa yang dilakukan musuhmu. Jangan takut untuk mendekati mereka yang menentangmu. Harga diri dan keras kepala adalah kemewahan yang terlalu mahal.
5. Kecerdasan bukan barang haram. Mereka yang memerintah suatu negara haruslah menjadi yang terbaik dan tercerdas di negerinya. Seperti dikatakan Cicero, jika para pemimpin tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang mereka bicarakan, pidato mereka akan menjadi ocehan konyol, dari kata-kata yang kosong, dan tindakan mereka akan menyesatkan.
6. Kompromi adalah kunci untuk menyelesaikan sesuatu. Cicero menulis bahwa dalam politik adalah tidak bertanggung jawab untuk bersikap keras kepala ketika keadaan selalu berubah. Ada saat-saat untuk mempertahankan pendirian, tetapi sikap konsisten untuk menolak menyerah adalah pertanda kelemahan, bukan kekuatan.
7. Jangan menaikkan pajak – kecuali benar-benar harus melakukannya. Setiap negara membutuhkan pendapatan agar dapat berfungsi, tetapi bagi Cicero, tujuan utama pemerintah adalah memastikan bahwa individu menyimpan apa yang menjadi miliknya, bukan meredistribusikan kekayaan. Di sisi lain, ia mengutuk pemusatan kekayaan ke tangan segelintir orang, dan menegaskan bahwa merupakan tugas negara untuk memberikan layanan dan keamanan mendasar kepada warganya.
8. Imigran membuat negara lebih kuat. Roma tumbuh dari sebuah desa kecil menjadi sebuah imperium perkasa dengan membuka diri terhadap warga baru ke dalamnya pada saat berekspansi ke seluruh Mediterania. Mantan budak sekalipun bisa menjadi anggota masyarakat dengan hak suara penuh. Warga negara baru membawa energi dan ide baru ke dalam suatu negara.
9. Jangan pernah memulai perang yang tidak adil. Tentu saja orang Romawi, seperti halnya banyak negara modern, percaya bahwa mereka dapat membenarkan perang apa pun yang ingin mereka lakukan, tetapi Cicero setidaknya, berpegang pada pandangan bahwa perang yang dipicu dari keserakahan bukan karena alasan pertahanan atau untuk melindungi kehormatan suatu negara, tidak dapat dibenarkan.
10. Korupsi menghancurkan sebuah bangsa. Keserakahan, penyuapan, dan penipuan melahap negara dari dalam, membuatnya lemah dan rentan. Korupsi bukan hanya kejahatan moral, tetapi ancaman praktis yang membuat warga negara menjadi sangat kecewa, dan yang terburuk, memicu amarah dan mematangkan revolusi.
BAGAIMANA MENGELOLA NEGARA
Hukum Alam
Dalam bagian-bagian yang tersisa dari bukunya “Tentang Negara” (On the State), Cicero menawarkan diskusi sistematis tentang teori politik, termasuk bagian terkenal tentang gagasan hukum ilahi yang mendasari alam semesta dan merupakan fondasi terbentuknya pemerintahan. Cicero tampak mengikuti filsuf Yunani Aristoteles dan kaum Stoa di era sebelumnya dalam mengedepankan hukum alam – sebuah gagasan yang juga dianggap mendasar bagi para pendiri Republik di Amerika Serikat terlepas dari keyakinan agama mereka.
Hukum sejati adalah yang memiliki keselarasan antara penalaran dan sifat-sifat alami. Ini berlaku untuk semua orang di setiap tempat dan waktu, karena ia tidak pernah berubah dan abadi. Hukum ini memerintahkan masing-masing kita untuk menjalankan tugas dan melarang kita melakukan kejahatan. Perintah dan larangannya membimbing orang-orang baik dan bijaksana, tetapi mereka yang jahat tak akan menghiraukannya. Hukum ini tidak bisa diubah. Kita tidak dapat mencabut bagian mana pun dari hukum ini, apalagi sama sekali menghapusnya. Senat ataupun majelis permusyawaratan rakyat tak dapat membebaskan kita dari kewajibannya. Kita juga tak membutuhkan siapa pun untuk menjelaskan atau menafsirkannya.
Tidak ada hukum yang sejati di Roma dan juga di Athena. Tidak ada perubahan terhadap hukum ini dari waktu ke waktu. Ia berlaku untuk semua orang di mana pun – dulu, sekarang, dan masa depan. Hanya ada satu tuan, Sang Ilahi, penguasa atas kita semua yang merupakan pencipta, hakim, dan penegak hukum ini. Mereka yang tidak mematuhinya melarikan diri dari diri mereka sendiri dan menolak kemanusiaan mereka sendiri. Meskipun mereka lolos dari penilaian manusia karena kesalahan mereka, mereka akan membayar harga yang sangat mahal pada akhirnya.
Dalam bukunya “Tentang Hukum” (On Laws), Cicero menampilkan dialog antara dirinya, saudaranya, dan sahabatnya, Atticus, untuk menjabarkan rencananya terhadap sebuah pemerintahan yang ideal. Dalam pilihan-pilihan kutipan dari dialog tersebut, Cicero membahas mengapa pemerintah diperlukan dan bagaimana seharusnya ia berfungsi sesuai dengan hukum alam.
Anda tentu saja menyadari bahwa tugas seorang pemimpin adalah mengatur dan memberikan perintah yang adil, menguntungkan negara, dan sesuai dengan hukum. Hukum sebuah negara mengatur seorang pemimpin seperti halnya dia mengatur rakyat. Memang bisa dikatakan bahwa pemimpin adalah suara hukum dan hukum adalah pemimpin yang diam.
Aturan pemerintahan harus selaras dengan keadilan dan prinsip-prinsip dasar alam, yang saya maksud adalah sesuai dengan hukum. Tanpa pemerintahan seperti itu, tidak ada rumah atau kota atau negara atau bahkan ras manusia, lingkungan sekitar, atau alam semesta yang bisa eksis. Karena alam semesta menaati Tuhan sama seperti lautan dan daratan mematuhi alam semesta, sehingga semua umat manusia tunduk pada hukum tertinggi ini.
Perimbangan Kekuatan
Bagi Cicero, pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang menggabungkan kualitas terbaik dari monarki, aristokrasi, dan demokrasi – seperti yang terjadi di Romawi. Pengaruh tulisan-tulisannya tampak menonjol dalam konstitusi Amerika Serikat yang dirancang oleh para pendiri bangsa itu.
Dari tiga jenis pemerintahan yang ada, monarki tampaknya yang lebih disukai. Tetapi bentuk pemerintahan yang moderat dan seimbang yang menggabungkan ketiganya bahkan lebih baik daripada kerajaan. Negara semacam ini akan memiliki eksekutif dengan kualitas unggul dan mulia, tetapi juga memberikan kekuasaan tertentu kepada warga negara yang layak dan pada rakyat sesuai dengan keinginan dan penilaian mereka.
Konstitusi semacam ini pertama-tama menawarkan derajat kesetaraan yang tinggi kepada warga negara, sesuatu yang hampir tidak dapat dilakukan oleh warga negara yang bebas untuk waktu yang lama, tetapi pada saat yang sama juga memberikan stabilitas. Ketika satu jenis pemerintahan saja yang diterapkan, ia sering kali mengalami kemunduran – raja menjadi tiran, aristokrasi berubah menjadi oligarki faksional, dan demokrasi menjadi pemerintahan massa dan anarki.
Namun, sementara satu bentuk pemerintahan sering berubah menjadi sesuatu yang lain, sistem campuran dan seimbang tetap stabil, kecuali para pemimpinnya luar biasa jahat. Karena tidak ada alasan bagi pemerintah untuk berubah ketika setiap warga negara dijamin perannya dan tidak ada yang direndahkan yang menyebabkannya bisa tergelincir dan jatuh.
Kepemimpinan
Marcus Cicero senang memberikan saran, terutama bagi keluarganya dan adiknya Quintus. Ketika Quintus ditunjuk sebagai gubernur di salah satu provinsi Romawi di Asia (di pantai barat Turki modern) pada tahun 61 SM, Marcus pun mengirimkannya dua surat panjang tentang bagaimana sebaiknya ia menjalankan tugas. Quintus bagaimanapun adalah seorang administrator yang mumpuni yang kemudian akan melayani Julius Caesar dengan gagah berani di wilayah Gaul. Namun, ia memiliki karakter pemarah dan cenderung melankolis. Meskipun Quintus mungkin tak terlalu senang menerima saran dari kakaknya, namun surat pertama Cicero mengandung masukan bijak bagi siapapun yang menghadapi tantangan ketika memimpin sebuah lembaga pemerintahan.
Yang saya harapkan darimu adalah jangan gentar dan berkecil hati. Jangan membiarkan dirimu merasa tertekan dengan besarnya beban tanggung jawab yang terus menghampiri. Bangkit dan hadapilah segala kesulitan di hadapanmu dan bila perlu sambutlah mereka. Jangan berharap pada keberuntungan dalam memerintah. Sebab, untuk sebagian besar, kesuksesanmu tergantung pada kerja keras dan kecerdikan.
Jika engkau terpaksa berada dalam perang besar dan berbahaya serta kepemimpinanmu harus diperpanjang, saya khawatir angin keberuntungan bisa menghempaskanmu. Tapi, sebagaimana saya sudah katakan, keberuntungan hanya sedikit pengaruhnya dalam menjalankan tugas negara. Semuanya tergantung pada keberanian dan kemampuanmu menghadapinya dengan penuh perhitungan. Saya rasa engkau tak perlu khawatir terhadap serangan musuh, pertempuran yang sengit, ditinggalkan oleh sekutu kita, kehabisan uang atau makanan bagi pasukan, atau pemberontakan pasukan. Hal-hal tersebut bisa sesekali terjadi bahkan pada orang yang paling bijaksana sekalipun, yang tak bisa mengatasi kemalangan sebagaimana seorang jurumudi mengarungi badai yang hebat.
Tugasmu adalah mengemudikan kapal pemerintahanmu dengan tenang dan mantap. Ingatlah bahwa seorang jurumudi yang tertidur dapat mencelakakan kapalnya. Tapi, jika engkau terus terjaga, engkau bisa menikmati perjalanannya.
Lima tahun setelah Cicero menjabat sebagai Konsul pada tahun 63 SM, ia diasingkan ke dari Italia oleh para lawan politiknya dan harus menghadapi rekayasa berbagai tuduhan. Salah seorang kawan yang membelanya adalah Publius Sestius, yang belakangan juga harus menghadapi tuduhan dari musuh yang sama yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Cicero membelanya ketika ia kembali ke Roma dan menggunakan kesempatan itu untuk memaparkan visinya tentang pemimpin sejati dan bagaimana seharusnya warga negara bertindak ketika menghadap ancaman terhadap kebebasannya.
Ke mana arah yang harus dituju oleh para pemimpin Republik dan jalur mana yang seharusnya ditempuh untuk mencapainya? Jawaban yang paling masuk akal, pantas dan yang selalu diharapkan para bijak adalah perdamaian dengan saling menghormati. Mereka yang menghendaki hal ini adalah warga negara kita yang terbaik, mereka yang mewujudkannya adalah para pemimpin terbaik kita yang dianggap sebagai penyelamat negara.
Mereka yang memerintah kita, sudah seharusnya tidak terbawa oleh kekuatan politik mereka sendiri sehingga mereka lantas berpaling dari perdamaian, tetapi mereka juga tidak harus menciptakan perdamaian dengan jalan yang tidak terhormat.
Prinsip-prinsip dari Republik kita, esensi dari perdamaian yang berdasarkan saling menghormati, nilai-nilai yang harus dipertahankan dan dilindungi oleh para pemimpin kita dengan segenap jiwanya adalah sebagai berikut: penghormatan terhadap agama, pengetahuan terhadap kehendak ilahi, dukungan terhadap para pengambil keputusan, penghormatan terhadap kewenangan Senat, kepatuhan terhadap hukum, penghargaan terhadap tradisi, penghormatan terhadap pengadilan dan putusan-putusannya, pembuktian integritas, pertahanan terhadap wilayah-wilayah provinsi serta sekutu kita, dan pembelaan terhadap negara, kekuatan militer kita dan kekayaan negara kita.
Mereka yang menjadi pelindung dari prinsip-prinsip penting tersebut haruslah orang-orang dengan keberanian besar, bekemampuan besar dan mampu mengambil keputusan besar. Sebab di antara orang-orang banyak terdapat mereka yang berniat menghancurkan negeri kita melalui revolusi dan huru-hara, yang disebabkan karena perasaan bersalah dan ketakutan untuk menghadapi hukuman, atau karena mereka cukup gila untuk menghasut dan menciptakan pertentangan dalam masyarakat, atau karena salah urus keuangan mereka sendiri, mereka lebih memilih membawa seluruh negeri ke dalam api ketimbang terbakar sendirian.
Ketika orang-orang semacam ini menemukan pemimpin untuk mewujudkan rencana jahatnya, Republik akan terombang-ambing. Saat hal ini terjadi, para jurumudi negeri harus ekstra waspada dan menggunakan seluruh kemampuannya dan ketekunannya untuk menjaga prinsip-prinsip yang saya sebutkan tadi dan mengarahkan negeri kembali dengan selamat dalam damai dan terhormat.
Para Juri yang terhormat, saya tidak menyangkal bahwa upaya untuk melindungi negeri kita merupakan jalan yang terjal, sulit dan penuh bahaya untuk diikuti. Saya berbohong jika mengatakan pada kalian semua bahwa saya tidak tahu dan tidak berpengalaman menghadapi situasi ini, bukan sekali dua kali. Kekuatan-kekuatan yang hendak menyerang Republik lebih besar dibandingkan yang ingin menyelamatkannya. Orang-orang frustrasi dan tak pantas hanya membutuhkan sedikit dorongan untuk menggerakkan mereka melawan negeri ini.
Namun sayangnya, orang-orang baik biasanya lamban dalam bertindak dan sering mengingkari bahaya hingga krisis telah terjadi. Mereka lamban dan ingin hidup dalam damai tanpa peduli pada kehormatan, tetapi kelambanan mereka menyebabkan mereka kehilangan keduanya.
Dalam risalahnya “Tentang Negara” (On The State) Cicero memaparkan rencana-rencananya bagi sebuah pemerintahan ideal. Meskipun bagian akhir dari buku tersebut sudah tak terawat, sejumlah fragmennya yang masih tersisa menampilkan visi yang inspiratif tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin.
Negara yang ideal adalah yang memberikan penghormatan dan pujian untuk orang-orang terbaik serta menjauhkan penghinaan dan aib. Warga negara seperti mereka tidak takut pada hukuman atas kesalahannya sebagaimana telah ditentukan oleh hukum, tapi mereka lebih takut karena perasaan malu yang alamiah akibat mendapatkan kritikan yang mereka anggap memang pantas diterima. Pemimpi sejati juga mendorong perasaan alamiah seperti ini melalui opini publik dan penerapannya secara lebih meluas di berbagai lembaga dan pendidikan sehingga rasa malu sebagai warga negara tak lebih kecil dari rasa takut akan ganjaran hukum.
Sebagaimana seorang jurumudi menginginkan perjalanan yang lancar atau seorang dokter yang berupaya untuk kesehatan pasiennya atau seorang jenderal yang merancang strategi kemenangan, begitu pula dengan seorang pemimpin negara harus bekerja bagi warga negaranya untuk mencapai kehidupan yang bahagia dengan kecukupan finansial, sumber daya yang berlimpah, reputasi yang baik dan kebajikan yang tulus. Inilah yang saya dambakan dari para pemimpin kita, sebab hal seperti ini memang semestinya menjadi tujuan mulia dan terbesar mereka.
Cicero memulai karir politiknya di Roma pada tahun 75 SM sebagai seorang quaestor (pejabat pemerintahan Roma yang ditugaskan di daerah) yang bertugas mensupervisi bagian dari provinsi Sicilia dan ditempatkan di kota kecil Lilybaeum di pantai barat pulau itu, jauh dari kota Syracuse yang lebih dikenal. Dia menjalankan tugasnya dengan baik dan hati-hati, berhasil memenangkan hati warga setempat, yang sebelumnya terbiasa menghadapi penyalahgunaan kekuasaan pejabat yang hanya berniat mencuri untuk kepentingan pribadi. Cicero memastikan bahwa setiap orang di Roma harus mengetahui hal baik yang telah ia lakukan dan menanti pujian mereka setelah tugasnya berakhir. Dalam sebuah pidato di pengadilan bertahun-tahun kemudian, Cicero yang sudah lebih tua dan bijaksana, mengenang kembali pengalamannya sebagai pemuda yang kembali ke Italia sebagai pelajaran tentang kerendahan hati.
Juri yang terhormat, saya berharap Anda sekalian tidak berpikir bahwa saya sedang membual jika saya berbicara tentang pengalaman saya sebagai quaestor. Sebuah penugasan yang berhasil, meskipun saya kemudian bisa bekerja di lembaga-lembaga negara yang lebih tinggi setelah itu dan karenanya tidak bermaksud mengungkapkan kisah kejayaan dari pengalaman pada saat itu. Tapi memang tidak pernah ada orang sedemikian dikenal dan dihormati masa penugasannya. Demi Hercules, saya percaya pada saat itu bahwa seluruh Roma pasti telah banyak membicarakan tentang pekerjaan memuaskan yang saya lakukan di Sicily. Saya berhasil mengirimkan bahan pangan yang demikian besar untuk Roma di tengah-tengah situasi kekurangan pangan.
Saya bersikap ramah pada semua pebisnis, adil pada para pedagang, baik hati pada pemungut pajak dan jujur dalam menghadapi warga asli. Setiap orang di wilayah itu berpandangan bahwa saya telah melakukan pekerjaan dengan baik dalam menangani tugas-tugas yang diberikan, dan warga Sicily menghormati saya tidak seperti quaestor sebelumnya. Saya meninggalkan provinsi itu berharap dan percaya bahwa orang-orang Roma juga bisa menghargai saya.
Say meninggalkan Sicily dan kembali ke Roma di musim panas, dan menyempatkan diri mampir ke sebuah resor di Puteoli tempat orang-orang Roma terkemuka beristirahat pada saat itu. Saya seperti disambar petir, saudara-saudara sekalian, ketika seseorang yang saya temui bertanya kapan terakhir saya meninggalkan Roma dan jika terdapat berita dari kota itu. Saya menjawabnya dengan singkat bahwa saya sedang dalam perjalanan kembali setelah setahun bertugas di luar kota.
“Oh ya, demi Hercules,” katanya, “saya yakin dari Afrika, pastinya ya.”
Saya merasa sangat terganggu dan menjawabnya dengan merendahkan. “Tidak, saya baru saja kembali dari Sicily.”
Lalu seseorang yang “sok tahu” yang berdiri dekat kami menyela, “Apa? Memangnya kamu tidak tahu dia adalah quaestor dari Syracuse?”
Saya harus bilang apa lagi? Dalam keadaan demikan, saya tak peduli lagi dan memilih bergabung dengan kerumunan di pantai.
Kawan dan Lawan
Cicero memiliki banyak kawan dan juga lebih banyak musuh pada saat karir politiknya mulai menanjak. Ia bekerja tanpa lelah sepanjang karirnya untuk memperkuat negara, terutama ketika ia membongkar sebuah rencana yang dipimpin oleh Catilina, lawan politiknya untuk menjatuhkan pemerintahan. Salah seorang sekutunya adalah Metellus Celer, yang mengangkat senjata di Italia Utara untuk menghadapi Catilina dan kelompoknya. Namun saudara Metellus tak begitu menyukai Cicero, yang menyebabkan posisinya sulit di tengah-tengah tradisi Roma kuno yang sangat berorientasi pada keluarga karena harus menghadapi saudara dekat dari temannya. Metellus menulis surat tak mengenakkan yang mengungkapkan penghinaan yang diterimanya karena harus menyerang adiknya, yang kemudian direspon oleh Cicero. Bagian ini menunjukkan bagaimana Cicero menangani seorang sekutu yang merasa terdesak dengan cara menghadapi masalahnya secara langsung dan dengan sangat baik menjelaskan mengapa kadang-kadang penting bagi pemimpin untuk berdiri di samping seorang teman, meskipun ada konsekuensi politik yang harus dihadapi.
Dari Marcus Tullius Cicero, putra dari Marcus, untuk Quintus Metellus Celer, putra dari Quintus, Proconsul.
Saya harap engkau dan seluruh pasukan berada dalam keadaan baik.
Engkau menulis padaku bahwa karena pertemanan kita dan demi menjaga hubungan baik di antara kita engkau tidak mengharapkan saya mempermainkanmu. Saya tidak begitu mengerti apa yang engkau maksudkan, tapi saya menduga bahwa seseorang mungkin telah melaporkan padamu apa yang telah saya sampaikan pada Senat.
Saya mengumumkan di sana bahwa banyak orang yang tidak senang dengan kenyataan bahwa saya telah menyelamatkan Republik. Saya menyebutkan bahwa salah seorang keluargamu, yang kepadanya engkau tidak bisa berkata tidak, telah meyakinkanmu untuk menahan apa yang hendak engkau katakan untuk membelaku di hadapan Senat. Saya juga menambahkan bahwa engkau dan saya telah berbagi tugas untuk menyelamatkan negeri, sehingga saya harus melindungi Roma dari pengkhianatan di dalam negeri dan pengkhianat di dalam dinding kota, sementara engkau melindungi sebagian besar wilayah Italia dari musuh bersenjata dan konspirasi terselubung.
Saya melanjutkan bahwa kemitraan kita telah membawa kejayaan dan merupakan sebuah tugas terhormat namun telah dianggap tidak berarti oleh salah seorang keluargamu yang khawatir engkau terus menjaga hubungan baik diantara kita, terutama karena saya sering memujimu dengan penuh kehangatan dan kebanggaan…
Saya bisa memberikan jaminan bahwa saya tidak menyerang adikmu, namun hanya merespon serangannya pada saya. Rasa hormatku padamu, sebagaimana yang engkau pernah tuliskan, tidak berubah sama sekali, tetap konstan, meskipun engkau menjaga jarak dariku. Kendati engkau menulis surat yang tidak mengenakkan, yang bisa saya lakukan adalah membalasnya dengan memaafkan kata-katamu yang tajam tapi saya menghargai kemarahanmu. Saya juga memiliki seorang saudara yang saya sayangi, dan perasaanku padanya yang menjadi pertimbangan dalam hal ini.
Oleh karena itu, saya memintamu untuk memahami perasaanku. Engkau perlu mengetahui bahwa ketika saudaramu menyerangku secara kasar dengan rasa sakit yang tanpa sebab, saya tak mungkin hanya bersikap pasrah padanya. Sebaliknya, dalam situasi demikian saya memiliki setiap hak untuk mendapatkan dukungan dari engkau dan pasukanmu.
Saya selalu mengharapkan bisa menjadi temanmu dan telah berusaha untuk membuatmu mengerti bahwa perkawanan kita sangat berarti bagiku. Perasaanku yang hangat terhadapmu tidak berubah dan takkan pernah berubah, selama kau menginginkannya. Karena alasan ini, saya lebih memilih untuk tidak mengindahkan perseteruanku dengan saudaramu ketimbang membiarkannya mengganggu perkawanan kita.
Berbeda dengan surat sebelumnya, kalimat-kalimat berikut, yang ditulis hanya setahun kemudian, menunjukkan sikap terus terang Cicero ketika ia menyampaikan pada sahabatnya Atticus tentang situasi politik di Roma. Atticus menghabiskan masa dewasanya di Yunani dengan secara sengaja menhindarkan diri dari politik, meskipun ia tetap tertarik dengan perkembangan yang terjadi di Roma dan selalu mengharapkan mendapatkan berbagai berita.
Oh Atticus, sejak kau pergi begitu banyak hal yang terjadi yang seharusnya saya tulis, tapi saya belum bisa mengambil risiko kehilangan surat itu, yang bisa saja dicegat dan dibuka. Engkau harus tahu bahwa mereka tidak membiarkan saya berbicara lebih dahulu dalam pertemuan di Senat tapi memilih Piso, yang menawarkan perdamaian (hah!) bagi wilayah Allobroges di Gaul. Sebagian besar anggota Senat berbisik-bisik atas penghinaan yang saya alami ini, tapi saya tidak terlalu peduli. Setidaknya saya tidak lagi harus berbaik-baik pada orang yang mengerikan itu dan lebih bebas untuk menjaga sikapku atas agenda politiknya.
Meskipun demikian, menjadi pembicara kedua pun sesungguhnya merupakan sebuah keistimewaan sebagaimana pembicara pertama, dan hal itu justru menyelamatkanku dari perasaan harus tunduk pada Konsul. Catullus mendapatkan kesempatan berbicara ketiga, dan jika engkau masih mengikuti, Hortensius mendapatkan kesempatan keempat.
Konsul kita adalah seorang idiot dengan pikiran jahat. Ada hal mengesalkan dalam dirinya yang membuat orang-orang tertawa meskipun ia tidak menyadari. Wajahnya terlihat lebih lucu dari berbagai lelucon yang ia lontarkan. Namun, setidaknya, ia tidak mencoba terlibat dalam keputusan politik dan tak memiliki hubungan dengan kelompok konservatif. Dia tidak punya keinginan untuk menjadi lebih berguna bagi negaranya atau lebih berani untuk menyebabkan kerusakan. Mitra konsulnya, bagaimanapun, memperlakukan saya dengan rasa hormat yang besar dan seorang pembela yang bersemangat untuk berbagai gagasan konservatif.
Hanya ada sedikit ketidakcocokan di antara kedua Konsul saat ini, meskipun saya khawatir itu bisa menyebar seperti penyakit. Saya rasa engkau mungkin telah mendengar bagaimana dalam sebuah festival perempuan, Dewi Kebaikan, yang diadakan di rumah Caesar, ada seseorang yang menyelinap dengan menggunakan pakaian wanita.
Sang Perawan Suci harus mengulang seluruh prosesi persembahan. Belakangan, Quintus Cornificius (dia bukanlah salah satu ari kelompok kita, jika engkau sempat berpikir demikian) membawa isu ini hingga ke Senat. Oleh para pemimpin adat hal tersebut kemudian dianggap sebagai penistaan. Kemudian kedua Konsul dan Senat mengusulkan sebuah undang-undang yang mendukung keputusan tersebut yang menyebabkan Caesar harus menceraikan istrinya.
Mengingat Piso adalah kawan baik Clodius, ia bekerja di belakang layar untuk menghentikan rancangan undang-undang itu sampai-sampai ia sendiri mengusulkan sebuah keputusan senat yang serius terkait dengan agama. Mesalla menganut garis keras dalam kasus ini. Clodiuslah yang mempengaruhi semua orang terhormat untuk tidak terlibat dalam persoalan ini. Kelompok-kelompok preman dibentuk.
Saya tadinya bersikap keras juga sebagaimana Lycurgus yang sudah tua, tapi kemudian saya kehilangan minat. Cato yang mempersoalkan hal ini sebagaimana merupakan kebiasaannya. Tapi cukuplah soal itu. Saya sebetulnya agak khawatir sikap kurang peduli orang-orang baik terhadap hal ini dan, sebaliknya, perhatian yang diberikan para pengacau adalah pertanda buruk bagi Republik.
Kawanmu – engkau tahu yang kumaksud – orang yang engkau bilang mulai mau memujiku ketika ia mulai tak berani mengkritikku, sekarang bertindak seolah-olah ia adalah sahabat baikku sekarang ini. Ia memelukku, mengungkapkan perasaaan hangatnya padaku, dan secara terbuka memujiku, namun menyembunyikan rasa irinya di bawah kulitnya. Ia tak punya rasa syukur, tidak tulus, tak paham politik, tak jujur, tak punya keberanian, dan tak punya kemurahan hati – tapi saya akan kembali ke sana di lain waktu.
Persuasi
Mungkin tak mudah bagi kita saat ini untuk membayangkan betapa pentingnya kemampuan orasi dalam kehidupan di masa Cicero. Di saat ketika media cetak dan elektronik belum tersedia, kemampuan seorang pemimpin untuk mempersuasi massa, dalam jumlah besar maupun kecil, sangatlah penting. Namun ketika Cicero berbicara tentang seorang orator, ia tidak sekedar membicarakan seseorang yang memberikan pidato. Untuknya, seorang orator di atas segalanya adalah seorang negarawan yang bisa mengekspresikan kekuatan gagasan pada publik berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan. Seorang orator Roma sejati dapat mempersuasi audiensnya untuk sependapat dengannya bukan karena kemampuan teknis verbal. Itu juga penting, namun lebih dari itu, mereka mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan dan memiliki perhatian yang mendalam terhadap negerinya.
Sesungguhnya kemampuan berorasi membutuhkan lebih banyak daripada yang dibayangkan banyak orang dan sangat bergantung pada kemampuan dan ketrampilan yang cakupannya luas. Fakta bahwa hanya sedikit yang bisa melakukannya dengan baik bukanlah semata-mata karena kekurangan pembelajar yang sungguh-sungguh atau pengajarnya atau bahkan karena terbatasnya bakat alami. Ada begitu banyak kasus menarik, dengan penghargaan terhadap kesuksesan yang begitu luar biasa.
Tapi mengapa hanya sedikit yang berhasil? Sebab seorang orator harus menguasai begitu banyak topik yang sulit. Jika seseorang tidak memperoleh pengetahuan yang cukup mendalam atas berbagai disiplin yang dibutuhkan dalam kemampuan berorasi, pidatonya akan menjadi ocehan dangkal dan kosong. Seorang orator harus bisa memilih diksi yang tepat dan mengatur kata-katanya dengan hati-hati. Ia juga harus memahami semua bentuk emosi yang telah diberikan alam pada kita, sebab kemampuan untuk memunculkan gairah atau menenangkan massa merupakan ujian terbesar atas pemahaman dan kemampuan praktis seorang pembicara.
Seorang orator juga membutuhkan daya pikat dan kecerdasan, cara yang beradab dari seorang pria sejati, dan kemampuan untuk menyerang dengan tajam seorang musuh. Kemudian, ia juga membutuhkan sikap halus yang anggun dan kebijaksanaan. Akhirnya, seorang orator harus memiliki kemampuan untuk mengingat banyak preseden dan contoh yang relevan dalam sejarah, bersamaan dengan pengetahuan yang mendalam terhadap hukum dan perkara-perkara sipil.
Saya rasa saya tidak perlu menyampaikan lagi tentang bagaimana membawakan sebuah pidato secara praktis. Hal ini termasuk bagaimana seorang orator mengendalikan dirinya, bagaimana ia menggunakan bahasa tubuh, ekspresi wajahnya, penggunaan suaranya, dan memastikan bahwa ia tidak melakukan semua itu secara monoton. Berikan perhatian khusus pada hal terakhir tadi. Engkau akan melihat betapa penting hal itu dalam seni yang tak terlalu serius, seperti acting. Sebab meskipun para aktor harus memaksa diri untuk memunculkan ekspresinya, suara-suaranya dan gerakan-gerakannya, ada beberapa yang menarik yang saya ingin tonton dalam waktu yang lama.
Lalu apa lagi yang harus saya katakan tentang pentingnya memori, yang menjaga segala yang kita ketahui? Pikiran kita memegang semua kata dan gagasan ketika berpikir dan berbicara. Tanpa memori yang tajam, seorang yang mempersiapkan pidatonya dengan sangat hati-hati pun akan kelihatan tak berarti.
Engkau bisa melihat sekarang mengapa seorang orator sejati tak mudah untuk diperbanyak. Mereka harus menguasai keterampilan yang sangat luas, padahal menguasai satu hal saja sudah bisa disebut sebagai pencapaian yang luar biasa. Oleh karena itu mari kita dorong anak-anak kita dan mereka yang reputasi dan pencapaiannya penting bagi kita untuk mengapresiasi betapa besar dan kompleksnya tugas ini. Mereka tidak boleh berpikir bahwa menjadi orator cukup dengan mengikuti aturan-aturan atau mencari seorang pengajar yang baik atau melalui berbagai latihan. Mereka bisa saja punya kemampuan untuk mencapai tujuannya tapi mereka harus melakukan lebih banyak hal lagi.
Saya percaya bahwa tak seorang pun bisa menjadi seorang orator yang sejati kecuali jika ia memiliki dasar yang kuat dalam pengetahuan manusia yang luas. Pengetahuan ini akan memberi landasan dan memperkaya segala sesuatu yang hendak ia sampaikan. Jika seorang orator tak memiliki latar belakang seperti ini dan tidak belajar, semua yang hendak ia katakan bakal sia-sia dan remeh temeh. Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa seorang orator harus mengetahui segala hal, terlebih dengan hiruk-pikuk kehidupan modern, tapi saya percaya bahwa seseorang yang menyebut dirinya orator harus mampu menangani semua subyek yang ia hadapi, sehingga bentuk dan substansi pidatonya akan berkualitas tinggi…
Apa yang lebih menyenangkan untuk didengar oleh telinga dan pikiran dibandingkan sebuah pidato yang diwarnai dengan pemikiran yang bijaksana dan kata-kata yang dipilih secara hati-hati? Coba pikirkan kekuatan seorang diri, sang orator yang harus menggugah audiensnya, untuk membelokkan keputusan para juri, atau membentuk opini Senat. Apa yang lebih mulia, lebih baik, lebih indah daripada itu?
Seorang orator memiliki kekuatan untuk menyelamatkan para pemohon, untuk mengangkat kaum yang tertindas, untuk membawakan hasil bagi yang membutuhkan, untuk membebaskan mereka yang sengsara karena marabahaya, dan untuk menegakkan hak-hak warga negara…
Saya bisa menyatakan bahwa pencapaian tertinggi dari sebuah orasi adalah karena dengan itu ia bisa mengumpulkan orang-orang yang tercerai-berai ke dalam satu tempat, lalu memulai sebuah perlombaan yang liar dan tak terkendali dalam perjalanan peradaban manusia, untuk membentuk berbagai komunitas, dan memperbaharui mereka dengan hukum yang menjamin hak-hak dan keadilan.
Saya dapat bicara tentang hal ini tanpa henti, tapi sebaliknya saya hanya ingin mengatakan bahwa ketika seorang bijak dan orator yang moderat berbicara baik-baik, ia tidak saja membawakan kehormatan bagi dirinya, tapi juga keselamatan bagi sesama warga negaranya dan sesungguhnya, juga untuk seluruh negerinya.
Cicero tentang Kepemimpinan dan Kenegarawanan II (Selesai)
Kisah Kejatuhan dan Kebangkitan Kembali Cicero, Sang Penjaga Api Republik