Seni Mengambil Keputusan: Berguru Pada Daniel Kahneman, Satu-Satunya Psikolog Peraih Nobel Ekonomi

Photo: The Nobel Foundation

Dua orang sahabat sejak muda, punya hobi melakukan berbagai percobaan tentang persepsi. Salah satunya, mereka beri judul “Penularan Penyakit Asia”.

Intinya, mereka hendak mendapatkan tanggapan berbagai pihak, tentang dua pilihan kebijakan A dan B, hasil reka-reka mereka sendiri, untuk mengatasi penularan penyakit tersebut seperti berikut:

“Jika Program A diadopsi, 200 orang akan terselamatkan.”

“Jika Program B diadopsi, terdapat sepertiga probabilitas bahwa 600 orang akan terselamatkan dan duapertiga probabilitas tidak ada yang selamat.”

Sebagian besar orang yang mereka tanyakan memilih Program A. Mereka menganggap bahwa pilihan itu lebih pasti ketimbang pilihan lainnya yang mengandung keraguan!

Lalu, para responden itu kembali diberi pertanyaan. Masih dengan dua pilihan kebijakan yang disajikan dengan framing berbeda:

“Jika Program AA diadopsi, 400 orang akan meninggal dunia.”

“Jika Program BB diadopsi, terdapat sepertiga probabilitas bahwa tidak ada yang akan meninggal dunia dan duapertiga probabilitas bahwa 600 orang akan meninggal dunia.

Kali ini, mayoritas orang yang ditanyakan memilih Program BB.  Mereka bersedia memilih kebijakan yang terdengarnya meragukan ketimbang pilihan yang pasti tentang kematian!

Padahal, jika dicermati, Program A dan Program AA, memberikan konsekuensi hasil yang sama. Begitu pula antara Program B dan Program BB.

Dalam suatu pertemuan dengan para profesional yang merupakan pengambil keputusan di bidang obat-obatan, Amos Tsversky, satu dari kedua sahabat tadi, mengajukan pertanyaan serupa tentang “Penularan Penyakit Asia” ini.

Hasilnya, ternyata, sama saja!

“Kalian memilih pilihan yang kelihatan lebih pasti untuk menyelamatkan nyawa 200 orang dalam formulasi pertanyaan pertama, kemudian memilih ‘berjudi’ ketimbang menerima kematian 400 orang dalam formulasi pertanyaan berikutnya. Kalian tahu ini tidak konsisten?” tanya Amos.

Tak ada yang bersuara. Mungkin terkejut, mungkin malu.

Cerita ringan di atas, sesungguhnya, mengangkat sebuah persoalan penting tentang kemampuan manusia modern dalam mengambil keputusan secara rasional. Manusia memang memiliki rasionalitas. Tapi, dalam banyak kesempatan, manusia melakukan tindakan yang cenderung emosional dan bisa dipengaruhi oleh framing.

Cerita itu juga menunjukkan bahwa manusia modern, pada umumnya, tidak menyukai risiko kerugian jika mempunyai pilihan lain yang dalam persepsinya lebih pasti menguntungkan. Namun, mereka akan mengambil risiko, ketika tak ada pilihan yang dianggapnya lebih baik.

Amos Tsversky dan Daniel Kahneman, kedua sahabat tadi, bertahun-tahun lamanya melakukan riset tentang hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa ketika dihadapkan pada piliihan antara menghindari kerugian (loss aversion) dan memperoleh keuntungan, manusia cenderung memilih yang pertama.

“Loss aversion”, atau “takut rugi”, menjadi komponen penting dalam Prospect Theory yang mereka berdua kembangkan untuk menunjukkan aspek emosional dan subyektif dalam pengambilan keputusan. Teori mereka ini membantah teori tentang keputusan rasional manusia yang sejak lama dipercaya para ekonom dan membuka jalan bagi disiplin ilmu baru yang disebut dengan Behavioral Economics.

Secara khusus, Prospect Theory mematahkan Teori Utilitas (Expected Utility Theory) dari Daniel Bernoulli – yang menganggap bahwa manusia selalu mengambil pilihan rasional dengan ekspektasi utilitas yang paling tinggi – yang sudah berusia hampir 300 tahun lamanya!

Amos Tsversky meninggal dunia pada tahun 1996 akibat kanker kulit…

Namun, persahabatan dan kolaborasi kedua sahabat ini, menghantarkan Daniel Kahneman meraih hadiah Nobel bidang Ekonomi pada tahun 2002 – bersama dengan Vernon Smith yang bergerak di bidang Eksperimental Ekonomi. Hadiah Nobel Ekonomi pertama yang diraih seorang psikolog ini, dipersembahkan Kahneman untuk sahabatnya Tsversky sebagaimana ia sebutkan di bagian pengantar karya masterpiece-nya “Thinking, Fast and Slow” (2011) yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini.

Daniel Kahneman adalah Profesor Emeritus Psikologi di Princeton University dan Profesor Urusan Publik di Woodrow Wilson School of Public and International Affairs.

Sistem 1 dan Sistem 2

Dalam “Thinking, Fast and Slow”, teori pengambilan keputusan yang dikembangkan Kahneman dan Tsversky, secara berani dan brilyan, diabstraksikan menjadi sebuah sistem berpikir sederhana oleh Kahneman. Ia mempersilakan kita untuk membayangkannya sebagai “Dua Agen” (Agen 1 dan Agen 2).

Tapi saya memilih membayangkannya sebagai sistem operasi, sebagaimana yang terdapat dalam setiap komputer. Bedanya dengan komputer konvensional, sistem operasi pikiran manusia terdiri dari 2 bagian – Sistem 1 dan Sistem 2 – yang sering bekerja bersama. Kadang juga tidak.

“Sistem 1 beroperasi secara otomatis dan cepat, dengan sedikit atau bahkan tanpa upaya dan juga tanpa bisa dikontrol,” kata Kahneman.

Sedangkan, “Sistem 2 befokus pada pada kegiatan-kegiatan mental yang membutuhkan upaya keras, termasuk untuk melakukan perhitungan yang kompleks. Operasi Sistem 2 sering dikaitkan dengan pengalaman subjektif, penentuan pilihan, dan konsentrasi.”

Meskipun Sistem 1 dan Sistem 2 sepertinya memiliki keterkaitan dengan bagian-bagian otak manusia seperti “amygdala” dan “neo cortex”. Namun, Kahneman, dalam forum “Talks at Google” tak mau cepat-cepat mengiyakannya. Ia tampaknya lebih melihat bahwa Sistem 1 dan Sistem 2 sebagai software sedangkan kedua bagian otak tadi sebagai hardware. Tak sama tapi berkaitan.

Untuk memudahkan pengertian kita, karakter kedua sistem ini dapat juga dipersingkat, menjadi dua: Cepat (Sistem 1) dan Lambat (Sistem 2) – sebagaimana judul buku Kahneman ini.

Karena karakternya yang mau serba cepat, Sistem 1 memiliki beberapa sifat dan menghasilkan sejumlah konsekuensi. Sistem 1 selalu memiliki kecenderungan untuk “mengasosiasikan” segala sesuatu yang sedang tersaji dalam memorinya. Barangkali, bagi orang Jawa, sistem ini punya hobi “otak atik gathuk” – suka menghubung-hubungkan berbagai hal, meskipun tak ada hubungannya.

Asosiasi dalam Sistem 1 ini berlangsung serba otomatis. Yang menarik, dalam penelitian Kahneman, kalau kita memikirkan sejumlah kata yang bisa diasosiasikan dengan orang berusia tua – misalnya “sunyi”, “nyeri”, “tenang” dll – kita bisa tiba-tiba berjalan dengan “lamban” seperti mereka.

Sedangkan kata “uang”, mengubah sikap kita menjadi lebih “individualistik” – tak jelas kenapa.

Lagi-lagi karena suka bekerja cepat, tanpa kita sadari, Sistem 1 membuat berbagai prioritas untuk beroperasi. Salah satunya yang disebut dengan priming effect – yang artinya, Sistem 1 mempunyai sejumlah hal atau kata yang “lebih disukainya” ketimbang kata-kata yang lain. Hal itu, misalnya “makan”, “minum”, “tidur”, “seks” dan lain-lain.

Kalau kita misalnya diberikan kata tidak lengkap seperti “mak*n”, kemungkinan Sistem 1 akan mengartikannya sebagai “makan” bukan “makin”. Lalu, kita akan cenderung mengartikan “tid*r” sebagai “tidur” ketimbang “tidar”. Juga kalau diberikan kata “k*nt*l, kemungkinan besar kita tidak akan memilih “kental”.

Cukup jangan diteruskan.

Sistem 1 juga lebih suka dengan hal-hal “gampang” dibandingkan hal-hal yang sulit atau “tegang”. Sistem 1 mengevaluasi jika ada hal-hal yang mudah ditanggapi secara otomatis atau “gampang”. Jika “tegang” hal tersebut akan segera ditransfer ke Sistem 2.

“Gampang” berarti segala sesuatu berjalan baik. “Tidak ada ancaman, tidak ada berita besar, tidak perlu memberi perhatian khusus atau mengerahkan upaya. Sebaliknya, ‘tegang’ menunjukkan adanya masalah, yang akan membutuhkan mobilisasi Sistem 2.

Gambar di atas menunjukkan hal-hal yang dianggap “gampang” oleh Sistem 1. Pengalaman yang berulang, tampilan huruf yang jelas dalam sebuah presentasi, kata-kata yang masuk kategori priming effect seperti contoh di atas, atau suasana hati yang baik (yang bisa dipicu oleh hal-hal eksternal dan memunculkan memori yang menyenangkan) merupakan contoh hal-hal yang bisa memunculkan persepsi “gampang”.

Persepsi “gampang” ini punya dampak positif bagi emosi. Ia bisa memicu perasaan familiar, benar, baik dan lancar. Sebaliknya, kalau sedang “tegang”, kita cenderung waspada dan curiga, berupaya lebih keras, tidak nyaman, melakukan sedikit kesalahan, tapi juga kurang intuitif dan tidak sekreatif biasanya.

Kalau Anda seorang graphic designer, mungkin paham betul dengan konsep “gampang” menurut Sistem 1 ini: Menggunakan warna atau simbol atau sentuhan desain yang berulang, judul dan teks utama yang jelas, pilihan kata yang mudah diingat serta gambar-gambar yang menyenangkan.

Kalau ingin mempersuasi seseorang, kini kita tahu bahwa membangun suasana hati yang baik ditambah dengan berbagai hal “gampang” seperti di atas perlu dipadukan agar mencapai hasil yang optimal. Umpama Anda suka suka mem-forward beritahoax” dan ujaran kebencian pada teman-teman Anda, mungkin Anda mau coba-coba pinjam uang pada salah satu dari mereka?

Tak usah repot melaporkan hasilnya pada saya.  

Hal menarik lain yang menjadi obyek riset Kahneman dan Tsversky adalah yang mereka namakan “Anchoring Effect” (Efek Penahan). Ini misalnya terjadi ketika kita ingin mengira-ngira nilai tertentu dari sebuah obyek, tapi sebelumnya tidak punya informasi sebagai referensi sama sekali alias tidak tersimpan dalam memori.

Di siniah “anchoring effect” beroperasi. “Jika Anda ditanya apakah Mahatma Gandhi berusia lebih dari 114 tahun ketika dia meninggal, Anda akan cenderung membuat perkiraan yang mendekat ke angka yang tinggi dibandingkan jika pertanyaannya adalah apakah Gandhi meninggal dalam usia di atas 35 tahun.”

“Jika Anda sedang menimbang-nimbang berapa banyak yang harus dibayarkan untuk sebuah rumah, Anda akan dipengaruhi oleh harga yang ditawarkan. Rumah yang sama akan tampak lebih berharga jika harga yang tercantumnya tinggi dibandingkan rendah, meskipun Anda bertekad menolak pengaruh angka ini.”

Sebaliknya, jika kita yang lebih dahulu memberikan tawaran harga, maka tawaran itu dengan sendirinya menghasilkan “anchoring effect” bagi mitra penjual atau pembeli di depan kita.

Apakah produk atau jasa anda pernah ditawar sangat murah? Jangan sedih, Tulisan ini juga ditujukan bagi “orang-orang yang pernah bernasib sama”. Makanya, jangan sampai gagal paham dengan “anchoring effect”.

Sistem 1 juga yang bertanggung jawab menciptakan koherensi dalam pikiran, menjadi suatu gagasan atau membuat big picture. Hal itu bisa dia lakukan meskipun data atau informasi yang dimilikinya masih terbatas atau kurang. Menggunakan istilah Kahneman, WYSIATI –what you see is all there is (apa yang kelihatan, itu saja yang digunakan).

Jadi, Sistem 1 ini memang sok tahu. Ini menjelaskan mengapa ada sikap fanatisme terhadap agama dan ideologi. Juga mengapa orang yang – maaf – bodoh, tidak tahu keadaan dirinya sampai dia sendiri mau terbuka pada pengetahuan baru. Dari mana datangnya sifat ini? Ini bukan bagian dari studi Kahneman – mungkin sudah dari jaman dinosaurus.

Sistem 2 – yang tidak terlalu banyak dieksplorasi dalam buku Kahneman – sangat mudah dipahami cara beroperasinya oleh kita. Ia cenderung lamban, pemalas, boros energi. Tapi juga teliti dan kritis. Sistem 2 bisa bekerjasama dengan Sistem 1, tapi juga bisa memberitahu Sistem 1 jika memori yang ia miliki mengatakan ada yang salah dengan kesimpulan Sistem 1.

Kendati jarang, kedua sistem ini bisa bertentangan dalam pengambilan keputusan. Contohnya gambar di bawah ini:

Gambar ini kelihatan biasa saja. Gambar garis dengan dua sirip di kedua ujungnya. Yang di bawah lebih panjang dibandingkan dengan yang di atas. Tapi, jika sebelumnya sudah pernah melihatnya, Anda tahu ini adalah ilusi Müller-Lyer yang terkenal. Dengan menggunakan penggaris, kita tahu bahwa panjang garis di kedua gambar ini sebenarnya sama.

Jika hanya mengandalkan Sistem 1, kita mudah percaya bahwa ada perbedaan panjang garis dari kedua gambar itu. Tapi setelah melakukan pengecekan, menggunakan Sistem 2, kita kini punya kesimpulan baru bahwa kedua garis itu sama panjangnya.

Pelajarannya adalah, kita tidak bisa mengkontrol Sistem 1 untuk mengambil kesimpulan. Butuh berbagai pelajaran atau informasi tambahan sehingga kesimpulan kita bisa menjadi lebih terpercaya. Juga butuh kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita bisa, atau seringkali salah.

Contoh terakhir yang cukup menarik untuk ditampilkan, adalah tentang bagaimana informasi atau citra yang diinduksi secara repetitif (mere exposure effect) mempengaruhi cara Sistem 1 beroperasi secara bawah sadar:

Percobaan ini dilakukan oleh psikolog terkenal Robert Zajonc di surat kabar mahasiswa di University of Michigan dan Michigan State University.

Selama beberapa minggu, sebuah kotak mirip iklan muncul di halaman depan koran mahasiswa itu, yang berisi salah satu kata Turki (atau yang terdengar seperti Turki) berikut: kadirga, saricik, biwonjni, nansoma, dan iktitaf.

Frekuensi pengulangan kata-kata itu bervariasi: satu dari kata-kata itu hanya ditampilkan satu kali, yang lain muncul pada dua, lima, sepuluh, atau dua puluh lima kesempatan terpisah. Kata-kata yang paling sering disajikan di salah satu koran universitas, ditampilkan secara jarang di koran yang lain. Tak ada penjelasan apa-apa. Kalaupun ada yang bertanya cukup dijawab dengan “pengiklan ingin namanya dirahasiakan.”

Ketika serangkaian iklan misterius itu berakhir, para peneliti mengirim kuesioner kepada komunitas universitas, dan meminta kesan mereka apakah masing-masing kata itu “berkesan baik atau buruk”.

Hasilnya sangat spektakuler: kata-kata yang disajikan lebih sering dinilai jauh lebih berkesan baik daripada kata-kata yang hanya ditampilkan sekali atau dua kali. Temuan ini telah dikonfirmasi dalam banyak percobaan berikut, menggunakan ideograf Cina, wajah, dan poligon berbentuk acak.

Hanya dengan paparan (mere exposure effect) dan tidak tergantung pada pengalaman keakraban secara sadar. Efeknya sama sekali tidak bergantung pada kesadaran. Hal itu terjadi bahkan ketika kata-kata atau gambar yang diulang-ulang itu diperlihatkan begitu cepat – sehingga para pengamat tak menyadari pernah melihatnya. Mereka tetap saja menyukai kata-kata atau gambar yang disajikan lebih sering.

Beragam Implikasi

Studi dan penelitian tentang pengaruh aspek emosi terhadap pengambilan keputusan, sudah banyak dilakukan. Namun, apa yang dielaborasi Kahneman dengan memaparkan mekanisme Sistem 1 dan Sistem 2 tampaknya membuat banyak hal menjadi lebih terang-benderang.

Salah satunya, kita makin mengerti bahwa manusia modern sangat mungkin terdilusi atau “ditipu” setelah mengetahui bagaimana pikiran bekerja. Ini bukan kesalahan Kahneman tentu saja – sejak dulupun praktik “hypnosis” sudah banyak dilakukan, untuk tujuan kesehatan dan juga kejahatan.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana “Cambridge Analytica” menggabungkan big data pengguna media sosial dengan pemahaman mereka tentang neurosains untuk memanipulasi pilihan pemilih dalam kasus Brexit dan Pilpres 2016 di AS. Ini juga bukan salah Kahneman.

Buku “Thinking, Fast and Slow” yang terbit tahun 2011, mungkin saja memberikan banyak insight tentang mudahnya mempengaruhi pikiran manusia sebagaimana dalam percobaan mere exposure effect di atas. Tapi yang dilakukan Kahneman dan banyak peneliti lainnya, adalah murni sains.

Implikasinya harus dipikirkan oleh masing-masing kita, bersama para pengambil kebijakan – karena pada dasarnya, kita semua terdampak, secara sosial mauun individual. Oleh karena itu, sejumlah gagasan berikut, barangkali, bisa kita pertimbangkan bersama:

  • Kebijakan literasi secara luas. Publik perlu memperoleh pemahaman tentang bagaimana pikiran mereka bekerja. Semakin banyak yang “tercerahkan”, maka peluang mereka untuk jadi “obyek” pengaruh iklan bisnis maupun politik, setidaknya bisa dikurangi.
  • Perbaikan Proses Penyusunan Kebijakan Publik. Kita mengetahui bahwa Sistem 1 yang “sok tahu” bisa menjadi penghalang dalam kebijakan publik yang baik. Oleh karena itu, proses deliberasi dan iterasi yang intensif harus menjadi pilihan. Sejalan dengan itu, participatory governance atau pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam penyusunan kebijakan akan menambah kaya perspektif dan juga “rasa memiliki” dari sebuah kebijakan publik.
  • Komunikasi Publik. Komunikasi publik yang baik, tentu harus mempertimbangkan karakter Sistem 1 dan Sistem 2 agar narasi atau konten yang disampaikan ke publik bisa lebih efektif. Kebijakan kenaikan “Iuran BPJS”, misalnya, meskipun telah didasarkan pada pertimbangan “cost & benefit” yang masuk akal, tetap mudah memancing keresahan publik karena menyinggung kecenderungan “loss aversion” dari Sistem 1. Harus ada framing lebih baik.
  • Membangun Kultur Organisasi Pembelajar. Dalam konteks organisasi, kecenderungan  Sistem 1 yang ingin serba cepat tadi jika diikuti begitu saja hanya akan membuat organisasi berjalan di tempat. Diskusi internal atau menghadirkan narasumber dari luar bisa memperkaya perspektif dan, mungkin, memicu terjadinya inovasi.

Untuk konteks individual, jelas bahwa pemahaman tentang Sistem 1 dan Sistem 2 setidak-tidaknya bisa membantu kita meningkatkan kemampuan persuasi menjadi lebih baik lagi (ingat tentang bagaimana menciptakan atmosfir yang “gampang”). Khusus bagi saya, Kahneman telah memperkaya perspektif dalam membangun interaksi sosial yang lebih baik.

Menggabungkannya dengan substansi dari tulisan sebelumnya “Semua Orang adalah VIP” dan “Bagaimana ‘Mengakali’ Otak untuk Memimpin secara Efektif” mestinya akan dahsyat.

Terakhir, saya merasa bahwa Sistem 1 dan Sistem 2 mungkin bisa lebih mudah “dijembatani” jika kita terbiasa menggunakan “mind map” – terima kasih untuk Om Tony Buzan, yang konon adalah penemunya, meskipun saya tak pernah belajar sama beliau karena belajar sendiri juga bisa. Sistem 1 ibarat “cabang-cabang utama” atau “dahan-dahan” atau “anak-anak” dalam mind map, sedangkan Sistem 2 adalah “cabang-cabang pembantu” atau “ranting-ranting” atau “cucu-cucu”. Maaf, membuat bingung yang tak pernah pakai mind map.

Ya, begitulah kura-kura. Semoga berguna.

Tautan untuk tulisan lain dalam serial ini:

Seni Mengambil Keputusan II: Belajar dari Pengalaman Mantan Negosiator Pembebasan Sandera FBI