
Akhir tahun 70-an, “intelektualisasi bisnis” sedang mencapai puncaknya. Persaingan sengit terjadi antar beberapa perusahaan konsultan untuk memenangkan klien. Boston Consulting Group (BCG) yang mempelopori disrupsi strategi bisnis di tahun 1960-an, sedang kewalahan.
Metode Experience Curve – formula merebut pangsa pasar dan menurunkan biaya produksi klien – yang dikembangkan Bruce Henderson, tokoh di balik kebangkitan BCG, tampaknya sudah tak mujarab lagi. Bukan karena tak relevan, tapi karena sudah menjadi rahasia umum.
Kala itu, beragam model atau tools sudah berkembang – mulai dari SWOT analysis, value chain hingga competitive advantage. Metode-metode yang lahir dari diskusi panjang, dari hipotesis yang dikembangkan dari pengalaman mendampingi klien, dipadu dengan data-data, lalu diuji dan didebat dari berbagai sudut pandang.
Namun, belakangan, berbagai metode tersebut pun mulai jadi hal biasa. Hasil akhirnya, seringkali hanya berupa dokumen tebal dengan data-data ekstensif, namun tak banyak berdampak pada keunggulan klien. Para eksekutif membaca ringkasan di halaman depan dan seringkali gagap untuk mengeksekusi.
Bain & Company, yang didirikan oleh Bill Bain, salah satu motor kesuksesan BCG, sedang berada di atas angin dengan pendekatan hubungan jangka panjangnya dengan klien. Belajar dari kekurangan BCG, mereka berorientasi outcome yang jelas – pengurangan biaya produksi, peningkatan keuntungan dan peningkatan harga saham. (Peran dan persaingan lembaga-lembaga konsultan bisnis ini bisa dilihat dalam tulisan sebelumnya “Bagaimana ‘Intelektualisasi Bisnis’ Berperan dalam Kebangkitan dan Keterpurukan Korporasi Modern”).
Namun, pendekatan ini pun kelak dirasakan berisiko karena membuat jarak antara pemilik perusahaan dan para konsultan menjadi terlalu dekat, dan tak jarang berdampak pada “batas etis” atau sekarang dikenal dengan good corporate governance yang dengan mudah dilanggar. Dalam kasus ekstrem, ketika perusahaan mengalami masalah besar, para konsultan ada yang cuci tangan dan meninggalkan klien.
Dalam situasi seperti itulah, David Hall, konsultan asal Inggris, menjadi bintang baru dalam BCG. Di tahun 1981, ia menggunakan pendekatan berbeda yang terinspirasi dari percakapannya dengan ibunya sendiri, seorang terapis. “Apa yang saya peroleh dari perbincangan itu adalah, seorang konselor pada dasarnya menolong klien untuk memahami masalah mereka dan merumuskan solusi mereka sendiri.”
“Konselor hanyalah fasilitator, yang merumuskan struktur masalah, memancing pertanyaan-pertanyaan, tapi tak pernah memberikan jawaban,” ungkap Hall. “Aha”.
Pendekatan itulah yang kemudian ia gunakan untuk menangani kliennya saat itu, Fläkt Group – perusahaan teknologi lingkungan asal Swedia. Kebetulan perusahaan itu baru saja mengangkat CEO baru yang ketika itu masih berusia 30-an tahun, Björn Stigson – yang menjadi champion untuk bekerjasama dengan Hall dan tim BCG.
Pendekatan itu memberi manfaat tersendiri bagi klien – yaitu pembelajaran intelektual, peningkatan kapasitas manajerial dan analitikal, dan yang terpenting ‘kepemilikan’ terhadap rekomendasi yang dihasilkan bersama. Hasilnya, kinerja Fläkt Group yang kinclong membuat mereka diakuisisi oleh perusahaan global ABB Asea Brown Boveri di tahun 1991, dan Björn Stigson, diangkat menjadi Vice President-nya.
Selanjutnya, Hall berekspansi ke sektor finansial dan asuransi. Ia mendapatkan klien besar seperti Bank of Ireland, lalu Royal Insurance – yang biasanya menjadi klien saingan mereka McKinsey. Seiring dengan kesuksesannya menjadi Partner dan kemudian Executive Committee di awal 1990-an, Hall dipercaya mensupervisi penggunaan pendekatannya di berbagai area perusahaan.
Lewat proses iterasi dan penyempurnaan internal, Hall kembali membuat terobosan yang sejalan dengan “filosofi konselor”-nya, yaitu dengan mulai mempersilakan wakil dari klien untuk tampil sebagai presenter dari ide-ide reformasi yang dikerjakan bersama-sama dengan tim konsultan. Sebuah ide revolousioner yang berani – bahkan untuk saat ini.
Sebagaimana disimpulkan oleh Walter Kiechel III, penulis buku “Lords of Strategy” (terbitan Harvard Business School, 2010), ukuran keberhasilan pendekatan Hall mungkin tidak selalu dapat diukur secara tepat, namun “modus operandi yang ia lakukan untuk BCG dapat menjadi pegangan ke masa depan, ketika hubungan dengan klien tidak hanya berjarak dari proyek satu ke proyek lainnya, tetapi justru bisa bertahan selama bertahun-tahun.”
Cerita di atas adalah contoh bagaimana filosofi konselor atau fasilitator digunakan secara efektif. Dalam konteks ini, klien, sebagai pihak yang dilayani diperlakukan sebagai “VIP” (lihat tulisan sebelumnya tentang “Semua Orang adalah VIP”). Relasi kerja yang dibangun pun bukan semata-mata hubungan kontraktual, tetapi kepercayaan dan “pendekatan psikologis-emosional” yang dilakukan dalam batas-batas profesional.
Dalam suasana saling-percaya, inovasi mudah terpicu, yang seringkali diikuti dengan kesuksesan finansial (David Hall dan timnya dari BCG hanya perlu memfasilitasi, solusi datang dari pihak klien, yang kemudian membayar mereka dengan nilai yang hampir pasti tidak sedikit). Hal ini dapat terjadi dalam berbagai jenis relasi, ke dalam maupun ke luar organisasi.
Pendekatan ini kiranya relevan pula untuk dipraktekkan para pemimpin modern saat ini. Jurgen Klopp, manajer Liverpool FC yang baru saja menjuarai Premiere League musim 2019-2020 (lihat tulisan sebelumnya tentang “Jurgen Klopp dan ‘People Strategy'”) menggunakan pendekatan serupa untuk membangun soliditas timnya.
“Saya ingin orang-orang di sekitar saya berbahagia, dan sebagai manajer, itu juga berarti memiliki keyakinan pada para pekerja. Saya percaya kekuatan terbesar dapat diperoleh dengan mengelilingi diri dengan orang-orang yang lebih kuat dari dirimu di sejumlah bidang,” kata Klopp.
Di era perkembangan teknologi informasi – ketika akses informasi menjadi demikian terbuka – manusia modern memiliki tantangan besar untuk mengelola informasi dan pengetahuan. Tidak ada yang bisa menghalangi setiap orang untuk belajar berbagai hal – yang baru maupun lama. Sepanjang waktu. Namun pada saat yang sama, tidak mungkin seseorang menguasai seluruh informasi yang begitu berlimpah.
Dengan kata lain, tidak ada manusia super yang menguasai semua hal. Makin dalam ia menguasai sebuah topik pengetahuan, makin ia menjadi spesialis dan makin berjarak dengan topik-topik lain yang tidak didalaminya. Makin luas atau banyak ia mempelajari berbagai topik, makin sedikit kedalaman pengetahuannya untuk setiap topik itu. Itulah dilema tak terselesaikan antara kaum “spesialis” dan “generalis”.
Cara paling efektif bagi organisasi – dan negara! – untuk mengelola informasi dan pengetahuan adalah dengan mengembangkan sistem secara kolektif. Dalam sistem ini setiap orang maupun unit dalam organisasi bisa memberikan kontribusi, informasi dan analisis, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diakumulasi dari berbagai sumber. Di sinilah pentingnya peran pemimpin sebagai fasilitator untuk mengorkestrasi pengetahuan individual tadi menjadi gerak bersama yang sinergis.
Mencermati analisis “Management Guru” Peter F. Drucker sejak akhir tahun 1960-an tentang makin pentingnya peran knowledge worker atau pekerja berpengetahuan dalam organisasi, maka pemimpin-fasilitator tampaknya merupakan keniscayaan bagi organisasi modern. Hal ini bisa dilihat dari analisis komprehensif terhadap pandangan Drucker terkait knowledge worker dalam esai berjudul Knowledge Workers and Virtues in Peter Drucker’s Management Theory oleh Alvaro Turriago-Hoyos, Ulf Thoene, dan Surendra Arjoon yang saya sarikan di bawah ini:
Dalam pengamatan Drucker, setidaknya yang terjadi di Amerika Serikat, telah terjadi pergeseran mendalam dari apa yang ia sebut sebagai “managerial economy” menjadi “entrepreneurial economy” – yang kedua ini cenderung mengandalkan generasi berpengetahuan sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, “meningkatkan, mempertukarkan dan melindungi pengetahuan menjadi tantangan utama manajemen pada saat ini” (Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles, 1985).
Pekerjaan knowledge worker, menurut Drucker, tidak lagi didefinisikan dengan kuantitas atau banyaknya hasil pekerjaan, tapi berdasarkan kualitas (The Effective Executive: The Definite Guide To Getting The Right Things Done, 1967). Mereka harus dikelola dengan aturan-aturan yang berbeda, sebab “mereka yang akan memberikan karakter pada knowledge society, kepemimpinannya serta profil sosialnya. Mereka mungkin bukanlah kelas penguasa, tapi mereka berada di depan. Karakteristiknya, posisi sosialnya, nilai-nilainya dan ekspektasinya, secara fundamental berbeda dari kelompok manapun dalam sejarah yang pernah memegang posisi kepemimpinan.”
“Knowledge workers mendefinisikan seperti apa tugas-tugas yang harus dilakukan.” Dengan kata lain, “mengelola diri sendiri dan menjadi otonom adalah ciri utama pekerjaan dalam knowledge society yang membawa konsekuensi knowledge worker harus menyadari kekuatan pribadinya melalui analisis umpan balik, melatih diri dan membangun kesadaran diri (Management Challenges in the XXI Century, 1999).”
Dengan demikian, organisasi dan perusahaan modern “tidak lagi dibangun atas paksaan, tapi atas kepercayaan. Orang-orang tidak harus selalu bersepakat, tapi mereka harus ‘mengerti satu sama lain’ (Managing Oneself, 2005).” Konsekuensinnya, knowledge worker harus dilihat sebagai ‘aset’ ketimbang ‘biaya’ (1999).”
Dalam pandangan M. Kurzynski (Modern Day Aristotle for the Business Community. Journal of Management History, 2009), Peter Drucker memperlakukan organisasi, khususnya perusahaan, sebagai “organisasi manusia”, organisasi sosial, sebuah komunitas dan masyarakat mikro yang menjadi bagian dari masyarakat makro, di luar sebuah entitas ekonomi. “Filosofi manajemennya berbasis pada filsafat komunitarian yang menyakini bahwa meskipun berada dalam masyarakat yang individualistik, masyarakat tetap membutuhkan keterhubungan, makna dan tujuan hidup,” ungkap Kurzynski.
Alvaro Turriago-Hoyos, Ulf Thoene dan Surendra Arjoon lantas menyimpulkan bahwa, karena knowledge worker merasa bertanggungjawab pada berbagai tindakan mereka, maka mereka pun akan turut mendorong terjadinya inovasi. “Mereka dapat melakukan refleksi atau ‘analisis umpan balik’ dengan mempertimbangkan proses dan hasil, tidak hanya dengan mengandalkan kesadaran dan kendali atas tindakan mereka (sebagai bentuk terbatas dari pengetahuan diri) tetapi juga dengan menguasai proses yang dapat memfasilitasi kemajuan inovasi.”
Demikian, pandangan Opa Guru Drucker.
Terlebih pada saat ini, sesungguhnya, pemimpin-fasilitator dibutuhkan bukan saja karena perkembangan teknologi informasi dan tuntutan knowledge society, krisis yang terjadi akibat Pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir menuntut model kepemimpinan yang kolegial – mengandalkan kebersamaan.
Situasi krisis, seperti dikemukakan oleh Profesor Dutch Leonard dan Profesor Robert Kaplan dari Harvard Business School, “berada di luar kapasitas, sumber daya dan pengetahuan kita.” Untuk itu penyelesaiannya tidak bisa dengan membuat keputusan-keputusan sepihak yang tidak melalui sebuah proses iterasi bersama (lihat juga tulisan sebelumnya tentang “Harvard Business School tentang Manajemen Krisis Covid-19: ‘Tak Ada Jawaban Terbaik, Yang Ada Proses Terbaik'”).
Salah satu pendekatan penanganan krisis yang diajukan kedua profesor itu mensyaratkan kemampuan fasilitasi yang mumpuni, yaitu untuk “menciptakan berbagai kondisi untuk mendukung agile problem-solving yang sukses”, dengan empat langkah berikut:
- Fasilitasi terjadinya diskusi dan pembahasan yang efektif.
- Pastikan diversifikasi, baik gagasan maupun keterwakilan suara.
- Ciptakan kondisi keamanan atau kenyamaan psikologis (perbedaan gagasan harus dihormati).
- Bangun situasi perumusan gagasan bersama, bukan untuk mengadvokasi gagasan tertentu.
Menjadi Pemimpin-Fasilitator
Saatnya berpijak ke bumi. Meskipun sudah membaca teori, kenyataannya, kita seringkali tak langsung bisa mempraktekkannya dalam keseharian – ini karena manusia tidak seratus persen rasional dan karena perubahan kebiasaan selalu butuh waktu.
Pengalaman saya berorganisasi hingga hari ini, terdapat dua ciri ekstrem kepemimpinan yang bertentangan dengan konsep pemimpin-fasilitator. Pertama, pemimpin dominan. Dominan tidak selalu berarti otoriter – dalam masyarakat yang kian terbuka saat ini, saya hampir tidak pernah lagi menemukan pemimpin yang otoriter. Dominan biasanya terlihat dari caranya mengelola forum. Bisa jadi karena kebiasaan atau tidak sadar, banyak pemimpin yang terlalu mendominasi pembicaraan dalam rapat dan lupa memberikan kesempatan pada peserta rapat yang lain untuk memberikan pandangan secara proporsional.
Akibatnya, ide-ide terbaik tidak muncul, dan yang lebih berbahaya adalah, jika terdapat ketidakpuasan di antara peserta rapat, sang pemimpin tidak bisa mendeteksi. Jika proses ini berjalan terus-menerus, dampak lebih jauhnya adalah tingkat trust yang rendah dalam organisasi – terutama karena anggota atau pekerja tidak merasa didengarkan, apalagi diapresiasi. Dengan menggunakan matematika sederhana, sebetulnya kita bisa memperhitungkan bagaimana cara mengelola rapat yang partisipatif secara efektif.
Jika, rapat berlangsung satu jam, dengan peserta 10 orang, maka jika tiap orang berbicara 6 menit, waktu 1 jam akan langsung terpenuhi. Bayangkan jika pemimpin rapat mengambil porsi 20 menit hingga setengah jam untuk memberikan pengantar, berapa banyak potensi ide brilyan yang hilang akibat peserta rapat yang lain tak bisa berekspresi. Kalau rapatnya berlangsung hanya setengah jam, kerugiannya bakal lebih besar lagi.
Sebaliknya, ada pula pemimpin yang terlalu “ngalah”. Ia cenderung membiarkan seluruh peserta rapat untuk bebas berbicara apa saja dalam waktu yang tidak dibatasi. Akibatnya, kesimpulan rapat menjadi tidak jelas – termasuk rencana tindak lanjutnya harus seperti apa – dan yang paling saya tidak sukai dari situasi rapat yang demikian adalah seluruh peserta menjadi terlalu lelah pada saat rapat berakhir.
Situasi seperti ini seringkali berakibat negatif bagi si pemimpin, karena ia berpotensi kehilangan respek dari para peserta rapat (namun mungkin tetap mendapat pujian dari beberapa orang yang memang memprogram diri untuk terbiasa “memuji”).
Dalam mengelola rapat, pemimpin-fasilitator tahu kapan harus menekan pedal gas dan kapan harus menginjak rem. Pada saat situasi “buntu”, ia mencoba memancing semua orang untuk mengeluarkan gagasan dan bila perlu membuat keputusan sementara. Pada saat banyak yang berbicara, ia menyimak, membuat intisari dan memilah-milah, mana gagasan yang saling mendukung dan mana yang saling bertentangan – ia memfasilitasi hingga terjadi kesepakatan. Jika ada yang terlalu dominan, ia bisa mengingatkan dan menghentikan, lalu memberi kesempatan pada yang lain untuk bersuara.

Pemimpin-fasilitator itu seperti konduktor – tidak hanya dalam ruang rapat – tapi juga dalam konteks yang lebih luas. Ia selalu berpikir bagaimana membuat organisasi bisa mencapai tujuannya secara lebih efektif, namun ia mempersilakan para anggota untuk berkontribusi melalui keahliannya masing-masing. Dia membiarkan “para pemainnya” berkreasi, sesekali menampilkan permainan solo, tapi tetap dalam keharmonisan.
Dalam ungkapan Marshall Goldsmith, coach para eksekutif berbagai perusahaan ternama yang didaulat sebagai most credible thought leaders in the new era of business dari Majalah The Economist, “transisi pemimpin dari seorang bos menjadi fasilitator ditentukan oleh kemampuannya menciptakan lingkungan yang terbuka dan transparan yang dapat mendorong para anggota tim untuk menilai dan mengartikulasikan tingkat kinerja mereka masing-masing tanpa merasa takut atau malu – serta bersikap terbuka untuk mendapatkan bantuan dari semua orang dari setiap tingkatan dalam sebuah perusahaan.”
Berikut beberapa tips Goldsmith untuk mengelola knowledge workers:
- Berhati-hatilah memberikan saran tanpa didasari keahlian yang benar
- Bersedia mengakui bahwa pengetahuan adalah ‘kekuatan’
- Secara aktif melibatkan orang lain
- Targetkan transparansi dan apresiasi jika itu terjadi
- Selalu periksa ego sebelum mengambil keputusan
Pengalaman saya berkarir selama lebih dari 20 tahun di lembaga internasional, konsultan hingga pemerintahan selama ini, membuat saya sendiri memiliki sejumlah prinsip dasar yang rasanya cukup relevan dengan konsep pemimpin-fasilitator:
Pertama, memahami secara persis tujuan organisasi – sehingga dalam melakukan fasilitasi, seluruh tim harus diingatkan dan diarahkan bahwa apapun yang diputuskan harus selalu berkontribusi atau sejalan dengan tujuan organisasi.
Kedua, mengetahui problem statement atau tantangan utama yang menghalangi tercapainya tujuan organisasi tadi – sehingga seluruh anggota tim dapat diarahkan untuk terbiasa memikirkan solusi dan menjadi inovatif.
Ketiga, mampu mengelola waktu secara efektif, pada saat memimpin rapat maupun saat mengelola program agar memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan – dengan demikian menghindari organisasi terjebak dalam “aktivisme” yang tak berujung.
Keempat, mengapresiasi kontribusi setiap orang – terutama karena setiap orang memiliki kecepatan dan puncak kinerja yang berbeda-beda (seseorang yang tidak berprestasi tahun ini, bisa menjadi ‘bintang’ di tahun depan, begitu pula sebaliknya).
Kelima, tidak berhenti belajar dan mengevaluasi (saya punya kebiasaan membuat diskusi mingguan dengan anggota tim dengan topik yang bebas agar semua orang bisa mengekspresikan pemikirannya yang kreatif dan mungkin liar; selain itu, setiap kali sebuah program atau proyek selesai, saya akan mengajukan pertanyaan berikut: “apa yang bisa kita lakukan dengan lebih baik, seandainya kita harus mengulangi proyek ini?”).
Dalam prakteknya, kecakapan pemimpin-fasilitator akan tercermin dalam kemampuannya mengelola forum atau rapat.
Berikut ini, adalah sejumlah tips memfasilitasi yang sering saya praktekkan – dan yang terbukti efektif, terutama saat memimpin Tim Penyusunan Laporan Tahunan Presiden dan Wakil Presiden selama empat tahun berturut-turut (2016-2019) di Kantor Staf Presiden, yang menuntut koordinasi intensif dengan berbagai pejabat eselon I dan II di hampir seluruh Kementerian/Lembaga:
- Tentukan outcome dari setiap rapat sebelum rapat berlangsung – misalnya, “agar terjadi kesepakatan terhadap konsep atau kerangka waktu sebuah program” (outcome yang jelas akan memudahkan kita menavigasi rapat agar berjalan efektif).
- Jika rapat melibatkan orang baru, persilakan semua orang memperkenalkan diri – hal ini akan meredakan ketegangan yang mereka bawa dan akan membantu mereka merasa “menjadi bagian” dari rapat yang sedang berlangsung.
- Ucapkan terima kasih dan apresiasi orang-orang lama yang hadir dengan menyebut nama mereka secara jelas – secara psikologis, hal ini sudah cukup membuat mereka merasa “dihormati” dan akan berkontribusi pada atmosfer rapat yang kondusif.
- Persilakan orang bicara secara proporsional, pastikan semua suara terwakili agar dapat memperlancar tindak lanjut rapat – sebisa mungkin membaca bahasa tubuh peserta rapat (jika ada yang tidak puas biasanya mudah terbaca gerak-geriknya).
- Ketika terjadi debat berkepanjangan, hentikan atau tengahi – jangan berpihak pada salah satu peserta dan ingatkan persamaan yang ada di antara mereka (persamaan tersebut, bisa diungkapkan dengan mengatakan “tujuan kita sebetulnya sama, yaitu untuk mencapai hasil yang paling optimal atau efektif”).
- Jika terjadi kritik pada Anda, dengarkan dulu, dan apresiasi substansi kritiknya – sebisa mungkin kendalikan emosi dan jangan sampai terjebak untuk berdebat agar energi batin anda, yang harus dijaga agar bisa menavigasi rapat secara efektif, tidak habis terkuras.
- Jika forum berlangsung dengan hening (tak ada yang berbicara), ajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menstimuli diskusi.
- Setelah selesai rapat, bacakan 4 poin utama sebagai kesimpulan untuk memudahkan tindak lanjut pasca rapat – empat poin utama adalah hal yang paling substansial yang mudah diingat seluruh peserta (meskipun perinciannya mungkin jauh lebih banyak dari itu).
Terlepas dari dampak jangka pendek hingga jangka panjang – yang tentu membutuhkan pengukuran tersendiri – model kepemimpinan-fasilitator dapat memberikan dampak seketika yang mudah untuk dilihat dan dirasakan. Ketika energi positif memenuhi ruang rapat, ketika antusiasme meluap-luap – saat itulah, kita mengetahui bahwa dampak instant-nya telah tercapai.
Jika kemudian pada setiap penugasan atau setiap kali menghadapi tantangan, sebagian besar anggota tim justru tampil dengan solusi dan inovasi, bukannya mengeluh – saat itu kita tahu bahwa lahan yang subur untuk membangun kultur organisasi yang sehat telah tersedia. Kita hanya perlu menanam benih nilai-nilai progresif, profesional serta keutamaan lainnya, lalu merawatnya untuk meraih tujuan bersama.
Warning: menjadi pemimpin-fasilitator yang efektif atau berhasil, bukan merupakan jaminan bahwa orang lain akan memuji kehebatan kita. Jadi, kalau pujian yang kita harapkan, model kepemimpinan ini takkan bisa memastikan. Justru, sebaliknya, kita yang dituntut menjadi lebih murah pujian bagi orang lain. Tapi, satu yang bisa saya janjikan, kepemimpinan semacam ini, bisa mendatangkan banyak teman – sebab, secara natural, setiap orang akan menyukai orang yang menghargai mereka (rasanya T-rex pun demikian).
Bagi saya, itu adalah reward yang membahagiakan. Salam.
