Plato, Negara yang Adil & “The Philosopher King”

Ditulis sekitar tahun 375 SM, “The Republic” karya Plato adalah salah satu hasil pemikiran filsafat dan teori politik yang paling besar pengaruhnya di dunia. Para tokoh dan pemikir terkemuka dari zaman Romawi kuno seperti Cicero hingga filsuf Inggris abad ke-20 Bertrand Russel dan Leo Strauss turut mengkaji buku ini secara mendalam.

Dalam dunia Islam, Ibnu Rushid (Averroes), pemikir asal Andalusia abad ke-12 yang menguasai berbagai bidang ilmu pun turut menuliskan komentarnya terhadap “The Republic”. Di tahun 2001, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Philosopher’s Magazine buku ini dinobatkan sebagai karya terbesar filsafat.

Ide mendasar buku ini adalah tentang keadilan dan bagaimana mewujudkannya. Bagi Plato, negara yang adil harus memiliki jiwa-jiwa yang adil pula. Bentuk negara bisa berubah, dan selalu berubah, jika berkaca pada sejarah. Apapun bentuk negaranya, Plato menganjurkan untuk selalu membangun pendidikan bagi para calon pemimpin agar ada yang dapat menjadi “The Philosopher King”.

Socrates: Hidup Yang Tak Teruji Tak Layak Dijalani

Melalui Plato, kita mengenal sosok Socrates yang jenius dan superior dari sisi intelektual. Namun, melalui Xenophon, muridnya yang lain, Socrates tampil sebagai sosok yang bijaksana.

“Dialog-dialog Socratic” ia gunakan untuk mempersuasi, dan kadang-kadang memprovokasi, lawan bicaranya untuk memiliki pemahaman dan kesadaran baru. Lebih dari itu, Socrates mengajak kita untuk bangkit dan menjadi kuat – secara mental maupun intelektual.

Kehidupan yang layak diraih dengan bekerja keras. Hanya dengan begitu, kita sebagai individu maupun sebagai bangsa, bisa mencapai kemajuan. Socrates, seperti kata Profesor Michael Sugrue, adalah the living voice, walaupun sudah lebih dari dua milenia sejak kematiannya, seruannya masih relevan hingga hari ini.