Mulai Berpikir Strategis dengan Mengenali Cara Kerja Otak

Photo by meo from Pexels

Mengambil keputusan bukan hal mudah ketika kita dikepung oleh banyak informasi. Apalagi jika kita adalah panutan atau pemimpin, kita tentu diharapkan memberikan arahan yang jelas dan mudah untuk diikuti. Mana sih yang paling penting? Apa yang pertama kali harus dilakukan?

Mengenali cara kerja otak, sesungguhnya akan membuat kita lebih taktis dalam mengelola informasi yang kita terima setiap saat. Dari situ kita akan bisa berpikir secara lebih efektif, dan pada akhirnya, strategis.

Buku berjudul “Your Brain At Work: Strategies for Overcoming Distraction, Regaining Focus, and Working Smarter All Day Long”, karya David Rock (2009) dapat menjadi rujukan yang saya referensikan. Penjelasan sederhana dari buku itu telah mengubah bagaimana saya menjadi “manajer” yang efektif bagi pikiran-pikiran saya sendiri.

Hal pertama dan terpenting yang perlu diketahui dari buku itu adalah tentang bagian otak manusia yang disebut dengan Prefrontal Cortex (PFC). PFC volumenya hanya sekitar 4% dari keseluruhan otak manusia, namun memiliki peran yang sangat vital dalam kerja otak.

Bagian ini sering disebut juga sebagai “The Executive Brain”, karena di sinilah keputusan-keputusan strategis manusia dilakukan. PFC memiliki pekerjaan utama untuk memahami (understanding), mengingat (recalling), menghapal (memorizing), menahan atau mengendalikan pikiran (inhibiting), dan memutuskan (deciding).

Sejauh yang saya baca, dinosaurus belum punya bagian otak yang seperti ini.

PFC memiliki beberapa sifat dasar, yaitu sangat boros energi, hanya bisa fokus pada satu pekerjaan, dan hanya mampu memegang maksimal 3 atau 4 hal atau pikiran dalam saat bersamaan. PFC juga sangat mudah terdistraksi oleh informasi yang ada di sekelilingnya.

Sifat-sifat dasar ini sangat penting untuk diingat, karena akan memudahkan kita “menyusun taktik” untuk menggunakan PFC secara efektif dan efisien.

Dengan sifat-sifatnya tadi itu, jika PFC dibombardir oleh banyak informasi secara bersamaan, dia akan kewalahan. Sifatnya yang boros energi membuatnya akan merasa babak belur.

Kalau misalnya, di pagi hari kita sudah diberondong oleh begitu banyak informasi, maka energi kita sudah akan habis menjelang siang hari. Akibatnya, kita tidak punya banyak energi lagi untuk mengerjakan hal-hal yang lain dan menjadi kurang produktif.

Yang terjadi pada saat kita dilanda banjir informasi biasanya, kita akan berpindah-pindah dari satu informasi ke informasi lain tanpa sempat menelaah secara lebih mendalam. Padahal kita tahu PFC sangat boros energi. Berpindah-pindah dari satu informasi ke informasi lain, membuat PFC menjadi lebih boros lagi.

Masalahnya, di dalam sebuah handphone generasi terkini kita memiliki semua aplikasi informasi yang sangat mungkin membuat kita terombang-ambing antara satu informasi satu dengan informasi lain. Kita memiliki email, aplikasi social-messagging (Whatsapp atau Line) atau media sosial (Facebook, Twitter atau Instagram) di satu alat komunikasi yang sama.

Ditambah dengan serbuan hoax dan konten yang dengan sengaja menyebarkan Fear, Uncertainty, Doubt (Ketakutan, Ketidakpastian, Keragu-raguan), maka celakalah kita jika cuma jadi obyek perang informasi.

Lalu, bagaimana cara mengelola informasi secara tepat?

Dengan mengetahui bahwa PFC hanya mampu memegang 3 hingga 4 hal secara bersamaan, maka prinsip pertama adalah membiasakan diri membuat pengelompokan (chunking) terhadap informasi sebanyak maksimal 4 kelompok.

Pengelompokan ini sangat subyektif sifatnya dan juga tergantung konteks yang berbeda bagi setiap orang. Saya misalnya, membagi empat kelompok informasi yang saya prioritaskan dari berbagai pesan yang saya terima dari aplikasi whatsapp.

Pertama, adalah informasi terkait pekerjaan. Kedua, informasi terkait keluarga. Ketiga, informasi terkait organisasi sosial yang saya ikuti. Keempat, informasi aktual lainnya.

Jadi, bila informasi yang masuk adalah informasi yang terkait pekerjaan, maka itu akan menjadi prioritas pertama untuk membaca, membalas dan menindaklanjutinya. Informasi terkait keluarga adalah yang kedua – karena dalam pertimbangan saya, 5 hari dalam seminggu saya bekerja dan jika ada yang sangat urgent terkait keluarga biasanya istri atau anak-anak saya akan langsung menelpon dan tidak hanya mengandalkan whatsapp.

Demikian seterusnya, sampai ke informasi yang saya anggap kurang prioritas.

Cara seperti ini membuat saya memiliki perspektif terhadap “kekacauan jagad informasi” yang terus-menerus terjadi dan bisa lebih mudah menentukan sikap, termasuk apakah harus merespon sebuah informasi atau tidak. Cara seperti ini memunculkan perasaaan adanya independensi atau otoritas bagi saya secara mental untuk mengelola informasi.

Dalam prakteknya, saya sering melakukan prinsip chunking ini ketika mendadak diminta berbicara tanpa teks atau membaca sebuah buku dengan cepat.

Ketika berbicara tanpa teks, saya membagi empat hal: (1) Problem statement atau persoalan pokok dari isu yang akan dibahas; (2) Bagaimana solusi yang sudah, sedang atau akan dikembangkan; (3) Bagaimana langkah-langkahnya, dan; (4) Seperti apa peran yang harus kita ambil. Dalam pengalaman saya, cara ini sangat efektif nyaris untuk setiap topik.

Begitu juga ketika harus membaca buku dengan cepat, saya menyiapkan tiga pertanyaan yang akan menuntun otak saya mencari informasi dengan cepat dalam sebuah buku, yaitu: (1) Pesan inti buku ini apa? (2) Apa relevansi buku ini bagi kehidupan dan/atau pekerjaan saya? (3) Apa kekuatan buku ini? (4) Apa kelemahan buku ini? Dalam pengalaman saya cara ini, bisa mempercepat saya membaca dan memahami sebuah buku atau tulisan saintifik di sebuah jurnal.

Mengingat PFC hanya mampu secara efektif fokus pada satu pekerjaan, maka ini juga membawa konsekuensi bagi kita agar membiasakan diri melakukan pengelompokan waktu untuk mengerjakan berbagai hal. Misalnya, dalam sehari, alokasikan waktu di pagi hari untuk merencanakan kegiatan apa yang hendak dilakukan pada sepertiga waktu pertama, sepertiga waktu kedua dan sepertiga waktu ketiga, ditambah dengan merencanakan waktu senggang yang kita miliki pada saat hari itu.

Umpama kita kita mengalokasikan jam 9 hingga 11 siang untuk mengerjakan laporan, pastikan kita tidak terdistraksi dengan pikiran-pikiran lain. Oleh karena itu, ada baiknya untuk menyetel berbagai gadget yang kita punya ke dalam posisi silent, mengingat PFC sangat mudah terdistraksi oleh segala sesuatu – baik suara, gambar atau teks – yang muncul di depan kita. Hal ini akan membuat energi kita lebih terfokus dan hasil pekerjaan kita juga akan lebih baik.

PFC tidak didesain untuk bekerja secara multitasking. Kalaupun dicoba melakukan beberapa pekerjaan secara bersamaan, maka kemampuan PFC akan menurun secara drastik.

Ada baiknya ketika melakukan pengelompokan dan prioritisasi, kita melakukannya dalam catatan tertulis. Dengan membuat catatan, apalagi dengan menambahkan informasi dalam bentuk visual, maka pekerjaan PFC akan lebih ringan – sebab membuat catatan ibarat melepaskan beban berat pekerjaan PFC yang boros energi tadi, namun tetap mudah diingat karena catatan adalah alat bantu yang biasanya kita bawa bersama kita.

Begitu juga informasi visual, akan memudahkan PFC untuk menjalankan fungsi mengingat karena dalam sebuah gambar terwakili banyak hal yang saling terkait sekaligus.

Di luar konteks pengelolaan banjir informasi, ilmu pengetahuan tentang otak perlu lebih banyak kita pelajari dan kembangkan. Misalnya, ada juga bagian lain dari otak yang memungkinkan kita bekerja secara multitasking. Ini dinamakan Basal Ganglia. Ketika kita melakukan sesuatu kegiatan dengan pola yang rutin secara berulang, maka Basal Ganglia secara otomatis akan mulai mengambil-alih kendali.

Contohnya, ketika kita menyetir mobil setiap hari, maka perlahan-lahan kita akan melakukan seolah tanpa sadar. Jika sudah demikian, yaitu ketika Basal Ganglia sudah mengambil-alih, barulah kita bisa menambah kegiatan lain seperti mengobrol atau mendengarkan radio yang tidak mengganggu proses menyetir.

Ada begitu banyak rahasia dari ilmu pengetahuan tentang otak yang jika kita singkapkan satu per satu dapat turut membantu manusia menjadi Master yang efektif. Bagi pikiran-pikirannya sendiri, lalu bagi lingkungan sekitarnya.

Dengan begitu, kita tak perlu terlalu khawatir jika burung-burung yang suaranya merdu itu bakal kembali menjelma seperti nenek moyangnya 65 juta tahun yang lalu.

2 Comments

  1. di zaman yang banjir akan informasi prinsip yg ane pegang selama ini “less is more”
    maksud nya, bukan seberapa banyak info yang kita dapat, tapi lebih ke seberapa penting dan kredibel info yg kita punya.
    kalau semua info di masukkan ke otak, ya mungkin otak akan pusing dan ga mampu mengolah semua nya
    btw nicepost bang 😀

    Suka

Tinggalkan Balasan ke ilham arya susanto Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s